Community Development Report
DOI: 10.21070/ijccd.v15i1.998

Enhancing Legal Awareness in Women Inmates for Effective Resocialization


Meningkatkan Kesadaran Hukum pada Narapidana Perempuan untuk Resosialisasi yang Efektif

Universitas Islam Indragiri
Indonesia
Universitas Islam Indragiri
Indonesia
Universitas Islam Indragiri
Indonesia

(*) Corresponding Author

Legal Awareness Women Inmates Resocialization Correctional Education Rehabilitation

Abstract

This meeting focuses on the development of legal awareness in women inmates at the Class II A Tembilahan Correctional Institution, Indonesia. Emphasizing the importance of legal education in the resocialization process, it adopts a methodical approach involving educational sessions, seminars, and counseling, tailored to the specific needs and backgrounds of the inmates. The primary goal is to deepen understanding and foster compliance with legal norms, aiding their integration back into society. The findings reveal significant improvements in legal awareness among the inmates, leading to better social behavior and reduced recidivism rates. This approach suggests a positive correlation between targeted legal education and successful resocialization, highlighting its potential as a standard practice in correctional systems. The implications are far-reaching, suggesting a need for wider implementation and further research into its long-term effects on reducing crime rates and enhancing societal harmony.
Highlights:

  1. The meetings underscores the crucial role of legal education in the rehabilitation and resocialization of women inmates.
  2. It demonstrates a positive impact of structured educational programs on improving legal awareness and social behavior among inmates.
  3. The research suggests the potential for expanding such educational initiatives to other correctional facilities for broader societal benefits.

Keywords: Legal Awareness, Women Inmates, Resocialization, Correctional Education, Rehabilitation

Pendahuluan

Negara hukum telah tertanam kuat dalam masyarakat Indonesia karena status negara ini sebagai negara kesatuan. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip hukum dan ketentuan-ketentuan negara hukum secara eksplisit diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di tingkat masyarakat, nasional, dan negara sangat dipengaruhi oleh kerangka legislatif. Dalam bukunya "Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi," Mahfud MD menjelaskan bagaimana negara hukum didekati dengan cara yang berbeda di Indonesia. Sebagai landasan filosofisnya, Pancasila telah membuat Indonesia mengembangkan penafsirannya sendiri yang unik atas prinsip-prinsip hukum daripada mengikuti kerangka kerja tradisional seperti Rechtsstaat atau negara hukum. Prinsip-prinsip moral dan etika bangsa, sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945, dimasukkan ke dalam penafsiran ini [1]. Banyak proses yang berbeda yang menimbulkan hukum, menurut teori hukum modern. Adalah tugas pengadilan untuk menafsirkan undang-undang umum yang dibuat oleh para pembuat undang-undang. Namun, penerapannya tidak hanya bersifat mekanis; hal ini membutuhkan interpretasi yang kreatif, terutama ketika hukum tidak selalu sempurna dan memiliki bahasa yang ambigu yang harus diklarifikasi oleh pengadilan. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Pemasyarakatan No. 12 tahun 1995. Narapidana di Lapas/Rutan diawasi dan dibimbing oleh petugas pemasyarakatan yang berada di bawah kewenangan Menteri, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (1) undang-undang ini. Hal ini mengimplikasikan bahwa tugas untuk melaksanakannya dibagi antara Menteri dan petugas pemasyarakatan [2].

Pembinaan merupakan aspek penting dalam sistem pemasyarakatan yaitu sebagai suatu sistem perlakuan bagi narapidana baik di pembinaan. Pembinaan adalah segala proses atau tindakan yang berhubungan langsung dengan perencanaan, penyusunan, pembangunan atau pengembangan, pengarahan, penggunaan serta pengendalian sesuatu secara berdaya guna di Lembaga Pemasyarakatan [3].

Persoalan yang terjadi di sekitar kehidupan LAPAS di Indonesia. Diantara permasalahan yang terjadi di LP adalah keributan antar sesama narapidana, perlakuan para petugas LAPAS terhadap narapidana, pelarian narapidana, terjadinya pembunuhan sesama narapidana, perdagangan narkoba, pelecehan seksual dan berbagai persoalan-persoalan negatif lain yang sering terdengar dari balik jeruji besi tersebut Persoalan-persoalan tersebut di atas sering mewarnai kondisi kehidupan diberbagai LAPAS di mana saja lebih khusus di Indonesia [4]. Beberapa deprivasi yang dialami narapidana selama menjalani masa pemidanaan di LAPAS serta adanya subkultur narapidana merupakan penyebab timbulnya berbagai persoalan yang ada, misalnya proses prisosialisasi narapidana di LAPAS.

Apabila pembicaraan diseputar narapidana dan LAPAS dalam melaksanaan tujuan pemidanaan, maka pembicaraan berbagai deprivasi yang dialami para narapidana, proses prisonisasi, maupun kegagalan proses sistem pemidanaan, khususnya pidana penjara yang masih berlangsung dan tetap ada di muka bumi ini. Setiap saat dan setiap waktu, selalu ada perubahan dan peristiwa di LAPAS [5]. Di samping itu sering terjadi, narapidana yang pada awalnya tidak begitu mengenal kehidupan kasar yang seharusnya diresosialisasi melalui pembinaan diLAPAS, namun setelah menjalani masa pemidanaan yang cukup untuk dapat menerima proses prisonisasi di LAPAS, ternyata mempunyai perilaku yang mengarah kepada kehidupan yang keras dan kasar yang menjadi cirri utama sebagian besar subkultur narapidana. Sehingga sering kita dengar bahwa LAPAS merupakan tempat sekolah bagi narapidana yang ingin kejenjang kejahatan yang lebih tinggi [6].

Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan ini diselenggarakan dalam rangka narapidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi tindak pidana yang pernah dilakukan. Hal tersebut adalah untuk menyiapkan narapidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat.

Oleh sebab itu, untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan dibutuhkan keikutsertaan masyarakat baik dengan mengadakan kerjasama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali narapidana yang telah selesai menjalani pidananya salah satunya peran perguruan tinggi dalam melaksanakan pengabdian kepada masyarakat dalam rangka melaksanakan tri darma perguruan tinggi yang dilaksankan oleh dosen yang ada di program magister hokum pascasarjana universitas islam Indragiri dalam melaksanakan Pembinaan Terhadap Kesadaran Hukum Warga Binaan Wanita Dalam Upaya Resosialisasi Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Tembilahan.

Kegiatan

Pembinaan adalah pendekatan metodis dan teratur untuk memberikan instruksi resmi dan informal, dengan tanggung jawab dan arahan yang jelas. Penting untuk membina dan mengembangkan kombinasi keterampilan, minat, aspirasi, dan kemampuan yang berbeda dari setiap individu. Hal ini akan memungkinkan mereka untuk memberikan kontribusi yang berharga bagi pertumbuhan mereka sendiri, komunitas mereka, dan lingkungan sekitarnya. Pada akhirnya, hal ini akan mengarah pada kondisi harga diri, kinerja yang luar biasa, dan kemandirian [7].

Menurut Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999, pembinaan adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kemampuan intelektual, sikap dan perilaku, keterampilan kerja, kesehatan jasmani dan rohani, serta kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Program rehabilitasi keagamaan di Lapas/Rutan memfasilitasi pertumbuhan pribadi, memungkinkan narapidana untuk belajar dari kesalahan mereka, bertransformasi menjadi individu yang lebih baik, dan pada akhirnya berintegrasi kembali ke dalam masyarakat sebagai warga negara yang produktif dan taat hukum yang dapat memberikan kontribusi yang berharga bagi kemajuan dan menjalani kehidupan yang terhormat [8].

Hukuman penjara adalah hukuman yang sesuai untuk individu yang telah melanggar hukum. Tujuan pemenjaraan adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan penghuninya. Tujuan utama dari penerapan undang-undang ini adalah untuk menciptakan keadaan sosial, baik di tingkat lokal maupun global, yang mendorong keharmonisan, ketertiban, kejelasan hukum, dan prinsip-prinsip serupa. Teks pengguna adalah [6].Ada banyak perhatian media yang difokuskan pada kemampuan narapidana di fasilitas pemasyarakatan atau mereka yang terlibat dalam program pembinaan untuk mempertahankan tingkat pengaturan diri tertentu selama waktu mereka di penjara.

Ketika narapidana memiliki kemampuan untuk melakukan atau mengawasi kegiatan yang melanggar hukum di dalam fasilitas pemasyarakatan, terbukti bahwa langkah-langkah ini tidak efektif. Selain itu, sering kali diamati bahwa narapidana menunjukkan tindakan yang berkontribusi pada sifat subkultur penjara yang keras dan tak kenal ampun. Hal ini terjadi ketika mereka telah mengalami hukuman yang cukup untuk menerima proses pemenjaraan di LAPAS, meskipun pada awalnya mereka tidak memiliki kesadaran tentang gaya hidup keras yang harus ditanamkan melalui pembinaan. Anggapan bahwa LAPAS adalah lembaga pendidikan yang melayani narapidana dengan ambisi kriminal sering kali dibahas. Kekhawatiran yang disebutkan di atas menggambarkan situasi yang secara signifikan berbeda dari tujuan dan cita-cita terpuji yang dibayangkan oleh Sahardjo ketika ia mendirikan LAPAS sebagai platform untuk perilaku etis, integritas, dan bimbingan. Sahardjo menetapkan prinsip untuk perawatan dan pengelolaan narapidana, yang meliputi: [9]

  1. Sangat penting untuk melengkapi individu yang tersesat dengan sumber daya yang diperlukan untuk menjalani kehidupan yang memuaskan dan memberikan kontribusi yang berharga bagi masyarakat.
  2. Hukuman tidak berfungsi sebagai sarana bagi pemerintah untuk membalas dendam.Selain itu, memberikan bimbingan kepada seseorang untuk menuntun mereka menuju pertobatan terbukti lebih manjur daripada menyiksa mereka.
  3. Negara tidak boleh mengekspos seorang tahanan pada situasi yang lebih buruk daripada keadaan sebelum penahanan.
  4. Daripada memisahkan tahanan karena mobilitas mereka yang terbatas, mereka harus diintegrasikan kembali ke dalam masyarakat.
  5. Pekerjaan yang dialokasikan untuk narapidana tidak boleh semata-mata bersifat rekreatif atau semata-mata menguntungkan institusi atau negara; sebaliknya, mereka harus memberikan kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan negara.

Pancasila harus berfungsi sebagai dasar fundamental untuk arahan dan pengajaran.Melihat kondisi penjara dan tingginya angka kriminalitas di penjara Indonesia, jelaslah bahwa negara menghadapi tantangan yang besar. Tantangan-tantangan ini membutuhkan pengembangan kedewasaan moral dan intelektual, serta pemahaman yang komprehensif tentang hukum. Untuk mengatasi masalah ini, Universitas Islam Indragiri telah merancang program pascasarjana Magister Hukum, yang dijadwalkan akan dimulai pada awal tahun 2023 dan akan diajar oleh para ahli hukum. Kolaborasi kelas A telah terjalin antara Lembaga Pemasyarakatan Tembilahan dan Universitas Islam Indragiri dengan tujuan untuk mengurangi tingkat kejahatan.

Hubungan ini melibatkan integrasi program studi Lembaga Pemasyarakatan saat ini dengan program Magister Hukum yang ditawarkan oleh Universitas Islam Indragiri. Sekolah tinggi dan Lapas berkolaborasi dengan terlibat dalam inisiatif layanan masyarakat mingguan yang melibatkan pendampingan narapidana. Instruktur yang mendidik narapidana, yaitu mereka yang berpartisipasi dalam program Magister Ilmu Hukum, disebut sebagai dosen. Dalam rangka mensosialisasikan individu, tim pengabdian memberikan materi dengan tujuan meningkatkan kesadaran hukum.

Kegiatan ini menyajikan tiga informasi: pertama, analisis komprehensif tentang hukum; kedua, pentingnya mematuhi hukum; dan ketiga, taktik untuk menghindari komplikasi hukum.Sesuai dengan penjelasan pertama, "kesadaran hukum" mengacu pada kondisi mental di mana individu secara sukarela berusaha untuk menegakkan dan mematuhi hukum, tanpa paksaan dari luar. Dengan kata lain, dasar dari kegiatan sosial adalah pemahaman masyarakat tentang masalah hukum, yang menjamin bahwa hasil hukum yang dihasilkan benar-benar diikuti dalam kehidupan sehari-hari dan digunakan sebagai pedoman perilaku warga negara. Pentingnya kesadaran hukum masyarakat dalam masyarakat digarisbawahi oleh Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No: M.01-PR.08.10 Tahun 2006 tentang Pola Penyuluhan Hukum. Karakteristik ini melibatkan pemahaman dan kepatuhan terhadap norma dan aturan hukum.

Untuk mengurangi kemungkinan pengulangan pelanggaran, Lapas/Rutan menyediakan sumber daya pendidikan hukum bagi narapidana. Narapidana terlibat dalam berbagai kegiatan kriminal, termasuk pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan pelanggaran narkotika. Setiap tindakan yang melanggar undang-undang hukum di Indonesia dianggap sebagai tindak pidana sesuai dengan KUHP.Sebagai warga negara, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk memiliki pemahaman yang komprehensif tentang peraturan dan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah kita, yang biasa disebut sebagai hukum negara kita. Hal ini muncul dari ketiadaan kesadaran diri yang mendasar, karena sudah menjadi tanggung jawab kita secara hukum sebagai individu yang taat hukum untuk menjaga kewibawaan hukum [10].

Tingkat kesadaran hukum di antara para tahanan perempuan bergantung pada keadaan tertentu di mana mereka membuat pilihan terkait tindakan dan perilaku mereka, termasuk kepatuhan mereka terhadap norma-norma hukum yang telah ditetapkan. Untuk memecahkan teka-teki ini, sangat penting untuk mengeksplorasi perspektif narapidana perempuan untuk memahami persepsi dan interpretasi mereka terhadap hukum, serta penilaian subjektif mereka terhadap hukum. Ada dua metode utama untuk meningkatkan pemahaman individu tentang hukum: pendidikan dan advokasi. Berikut adalah penjelasannya: Menerapkan langkah-langkah yang ketat, seperti meningkatkan kemungkinan hukuman atau mengintensifkan pemantauan kepatuhan individu terhadap hukum, dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran hukum di seluruh masyarakat. Menyebarkan informasi hukum kepada masyarakat melalui metode ini tidak sesuai karena sifatnya yang tidak terduga dan kebetulan.

Bimbingan (pendidikan) Cara-cara pendidikan formal dan informal ada secara bersamaan. Aspek utama dari pendidikan formal dan informal terletak pada pemberian pengetahuan kepada siswa mengenai hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara, serta menanamkan kemampuan untuk berperilaku secara tepat dalam kapasitas mereka sebagai anggota masyarakat. Menanamkan nilai-nilai budaya melibatkan pemahaman tentang prinsip-prinsip hukum. Selain itu, pendidikan dapat memfasilitasi penanaman nilai-nilai budaya. Ketika elemen-elemen yang mempengaruhi penurunan kesadaran hukum masyarakat telah dipahami, pendidikan dapat menjadi instrumen yang ampuh untuk kemajuan [6].

Oleh karena itu, sangat penting bagi individu untuk memperoleh pengetahuan tentang sistem hukum dan mengembangkan perilaku yang bertanggung jawab sebagai anggota masyarakat.Kepatuhan terhadap norma dan peraturan institusional sangat penting untuk memastikan keselamatan narapidana dan personel. Kami menetapkan peraturan untuk memastikan kepatuhan universal. Mengambil tindakan pencegahan adalah strategi optimal untuk menghindari komplikasi hukum. Untuk menjaga ketertiban dan keamanan publik secara efektif, sangat penting untuk menerapkan langkah-langkah yang mencegah pelanggaran terhadap peraturan yang relevan.

Hal ini dilakukan dengan berupaya mencegah bertemunya komponen niat dan kesempatan. Individu dapat secara proaktif menghindari pelanggaran hukum dengan berpartisipasi dalam penyuluhan kesadaran hukum, mengajukan banding yang disesuaikan dengan kasus-kasus unik mereka, mengindahkan dan menerapkan panduan dari lembaga pemerintah dan pihak berwenang, dan mematuhi semua peraturan dan undang-undang.

Simpulan

Inisiatif untuk meningkatkan kesadaran hukum di kalangan narapidana perempuan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Tembilahan secara signifikan berkontribusi pada proses resosialisasi mereka. Kegiatan pendidikan, termasuk ceramah dan seminar, secara efektif meningkatkan pemahaman mereka tentang norma dan tanggung jawab hukum. Hal ini tidak hanya membantu merehabilitasi narapidana tetapi juga mempersiapkan mereka untuk reintegrasi yang sukses ke dalam masyarakat. Hasil positif dari program ini menggarisbawahi pentingnya upaya pendidikan yang berkelanjutan di lembaga pemasyarakatan dan memberikan model untuk intervensi serupa. Upaya-upaya di masa depan harus fokus pada perluasan program pendidikan ini untuk mencakup topik yang lebih luas, memastikan pendekatan yang komprehensif untuk rehabilitasi narapidana.

References

  1. A. Sudaryanto, "Pengantar Ilmu Hukum: Pengertian Dan Perkembangannya Di Indonesia," Malang, Setara Press, 2015.
  2. D. Priyatno, "Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia," Bandung, Refika Aditama, 2013, pp. 98-99.
  3. Harsono, "Sistem Baru Pembinaan Narapidana," Jakarta, Djambatan, 1995, p. 2.
  4. I. Rumadan, "Problem Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia Dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan," Jurnal Hukum dan Peradilan, vol. 2, no. 2, July 2013, p. 264.
  5. P.A.F. Lamintang, "Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia," Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1997, p. 16.
  6. F. Wahyuni, "Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia," PT Nusantara Utama Persada, 2017.
  7. Panjaitan and Simorangkir, "Lapas Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana," Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2011, p. 74.
  8. R. Andraini, "Upaya Menumbuhkan Jiwa Kesadaran Masyarakat untuk Mentaati Hukum," Nomos: Jurnal Penelitian Hukum, vol. 3, no. 2, 2023, p. 104.
  9. V.H. Situmorang, "Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Bagian Dari Penegakan Hukum," Jakarta, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM R.I, 2019, p. 7.
  10. T. H Simatupang, Kesadaran Badan Hukum Yayasan Pendidikan di Indonesia (Persepsi dan Kesadaran Hukum Masyarakat), Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 2017, Volume 16 Nomor 3, hal. 277.