One of the changes that have occurred in the field of education after the COVID-19 pandemic is the drastic change in the learning model, where teaching and learning activities are carried out online. This requires students to adapt quickly. This adjustment has an impact on students' psychological well-being as they deal with the changes that occur. The psychological well-being of post-pandemic students is in the low and medium categories, so an effort is needed to improve this condition. The optimistic thinking training aims to help students improve their psychological wellbeing after the pandemic. The stages in this program are providing optimistic thinking interventions using the ABCDE (Adversity, Belief, Consequences, Disposition, and Energization) method. The result of this training is an increase in psychological well-being among students who take part in the training program. Having psychological well-being can help students master and adapt to the environment effectively, establish positive relationships with others, and develop their potential from time to time.
Highlights:
Rapid Adaptation: Students faced a rapid shift to online learning during the pandemic, requiring quick adaptation to a new learning model.
Optimistic Thinking Training: Implementing the ABCDE method, optimistic thinking training aims to improve the psychological well-being of post-pandemic students.
Benefits of Psychological Well-Being: Improved psychological well-being helps students effectively navigate their environment, establish positive relationships, and maximize their potential.
Keywords: online learning, psychological well-being, optimistic thinking training, post-pandemic students, adaptation.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia mengenai Pendidikan Tinggi tahun 2012, mahasiswa adalah salah satu anggota masyarakat yang berusaha untuk mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran yang telah tersedia pada jenjang perguruan tinggi maupun jenis pendidikan tertentu, serta merupakan individu yang berkewajiban untuk meraih prestasi akademis. Mahasiswa memiliki peran untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas perkuliahannya dengan baik sesuai harapan [1]. Perguruan tinggi bagi sebagian besar mahasiswa adalah tempat yang penuh keraguan, kecemasan, bahkan kegagalan [2].
Pengalaman kurang menyenangkan yang dirasakan mahasiswa di perguruan tinggi dapat menjadi sumber stres yang signifikan dan dapat mengurangi kualitas hidup bagi peserta didik [3]. Paska pandemi Covid-19, mahasiswa dituntut untuk mampu beradaptasi dengan perubahan proses belajar yang sebelumnya dilakukan secara daring, baik tatap muka dengan dosen maupun pengumpulan tugas kuliah menjadi hybrid (daring dan luring). Hal ini menyebabkan mahasiswa dituntut untuk melakukan adaptasi karena perubahan rutinitas. Pada saat mahasiswa harus melakukan adaptasi maka energi yang dikeluarkan menjadi jauh lebih besar, hal ini dapat menimbulkan kejenuhan, maka ia akan merasa tidak memiliki hubungan sosial yang baik dan aktualisasinya di kampus seolah-olah diabaikan. Selain itu, kebijakan belajar dari rumah selama pandemi Covid-19 serta merta menghentikan sementara seluruh kegiatan kemahasiswaan di kampus dan untuk memulai kembali bukanlah sebuah aktivitas yang mudah.
Penelitian yang dilakukan sebelumnya [4] menunjukkan bahwa semakin tinggi keterlibatan mahasiswa terhadap kegiatan kampus maka akan semakin tinggi pula well-beingyang dimiliki, sebaliknya semakin kurangnya waktu untuk terlibat dengan kegiatan kampus maka semakin rendah pula well-being yang dimiliki. Ketika well-being yang dimiliki mahasiswa rendah, maka akan menurunkan kualitas hidup serta menghambat kemampuannya untuk melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar khususnya lingkungan perkuliahan. Paska pandemic Covid-19, mahasiswa dituntut untuk mampu melakukan penyesuaian dengan kehidupan kampus serta metode perkuliahan yang sebelumnya dilakukan secara daring menjadi luring. Penelitian lain [5] menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara penyesuaian diri dengan kualitas hidup serta kesejahteraan individu dalam menjalin hubungan pertemanan. Berdasarkan hal tersebut, dibutuhkan suatu upaya intevensi yang dapat membantu mahasiswa dalam meningkatkan kualitas hidup di masa pandemi ini. Penelitian ini menyoroti pentingnya berpikir optimis dalam meningkatkan psychological well-being dan kualitas hidup mahasiswa. Penelitian lain menunjukkan efektifitas dari intervensi berpikir optimis dalam meningkatkan psychologicalwell-beingmahasiswa secara signifikan [6]. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti bermaksud untuk mengaplikasikan pelatihan berpikir optimis untuk membantu meningkatkan psychologicalwell-beingmahasiswa paska pandemi Covid-19.
Kegiatan pelatihan berpikir optimis dilaksanakan dengan melihat hasil analisis kebutuhan mitra. Hasil ini selanjutnya menjadi acuan pelaksanaan pelatihan serta kedalaman materi yang diberikan. Sasaran dari pelatihan ini adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT) yang memiliki skor psychological well-being yang rendah berdasarkan hasil pretes. Kegiatan pelatihan dilakukan dalam beberapa sesi secara hybrid (daring dan luring).
Kegiatan pelatihan dilakukan secara daring dan luring dengan metode diskusi dan aktivitas-aktivitas yang menstimulasi serta menambah keterampilan mahasiswa dalam meningkatkan psychological well-beingnya. Secara rinci kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut : memperoleh kesedian subjek dengan memberikan informed consent; pelaksanaan pre-test menggunakan skala psychological well-being yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Ryff [7]; pelaksanaan intervensi berpikir optimis selama 2 kali pertemuan yang dilakukan secara daring. Materi yang diberikan terdiri dari optimisme, dialog internal, self acceptance, explanatory style, disputasi, dan energisasi. Setiap pertemuan dilakukan selama 120 – 160 menit; pelaksanaan post-test setelah tahap intervensi selesai dengan menggunakan skala psychological well-being yang bertujuan untuk melihat perubahan skor psychological well-being setelah mengikuti proses intervensi; tahap follow up untuk melihat apakah pengaruh dari intervensi yang telah dilakukan masih bertahan atau mengalami penurunan.
Kegiatan intervensi berpikir optimis dilakukan secara hybrid kepada mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur. Peserta pelatihan merupakan mahasiswa yang sebelumnya telah mengisi skala psikologi dimana hasil skala tersebut menunjukkan tingkat psychological well-being mahasiswa dalam kategori rendah dan sedang. Intervensi dilakukan dalam dua kali pertemuan secara daring. Pertemuan pertama diawali dengan memberikan dengan materi optimisme yang berisi dasar-dasar berpikir optimis dan kisah-kisah inspiratif dari tokoh-tokoh yang bertujuan untuk memberikan gambaran serta insight kepada peserta. Selanjutnya dilanjutkan dengan materi dialog internal dimana peserta diajak untuk mengevaluasi kondisi diri dan apa yang akan dilakukan dimasa depan. Materi ketiga adalah self acceptanceyang bertujuan untuk melatih peserta agar dapat menerima kondisi diri saat ini dan di masa lampau.
Pertemuan kedua diawali dengan materi explanatory style yang bertujuan melatih peserta untuk mencoba bermacam-macam gaya dalam menjelaskan keinginannya secara efektif dan efisien. Materi selanjutnya adalah disputasi yang mengajarkan peserta untuk memilih pernyataan-pernyataan terbaik diatara sekian banyak pernyataan atau hal-hal yang ingin ia ungkapkan. Materi terakhir adalah energisasi, dimana peserta dilatih untuk menghimpun energi-energi positif dan mengabaikan energi negative baik yang berasal dari internal maupun eksternal.
Hasil dari kegiatan ini menunjukkan peningkatan psychological well-beingyang signifikandari para peserta yang terlihat dari hasil post-test yang diberikan kepada peserta. Namun ketika dilakukan follow up, hasil mengalami sedikit penurunan. Peningkatan pada hasil post-test dipengaruhi oleh adanya pengetahuan baru yang diperoleh peserta melalui pelatihan. Sedangkan penurunan yang terjadi pada tahap follow up disebabkan oleh rentang waktu yang Panjang antara masa pelatihan dan follow up sehingga pengetahuanbaru yang telah diperoleh melalui pelatihan tidak menetap lama di beberapa peserta.
Pelatihan ini diharapkan dapat menjadi agenda rutin sebagai upaya membantu mahasiswa untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Selanjutnya, kegiatan ini akan diselenggarakan dalam rangka penyelesaian permasalahan psikologis remaja dengan skala yang lebih luas.
Kegiatan ini menunjukkan hasil bahwa pelatihan berpikir optimis efektif dalam meningkatkan kesejahteraan psikologismahasiswa secara signifikan. Terjadi peningkatan kesejahteraan psikologis yang signifikan pada kelompok mahasiswa yang diberi perlakuan berupa pelatihan berpikir optimis. Pelatihan berpikir optimis tidak hanya memberikan keterampilan pada mahasiswa dalam melakukan rekonstruksi kognitif, tetapi juga memberikan mahasiswa keterampilan untuk menyusun sebuah tujuan masa depan yang dapat mendorong penerimaan diri.