Paralegals have an important role in providing legal assistance to people who do not have high legal awareness. This research focuses on the efforts of paralegals in building legal awareness and empowering community law in the Work Area of the 'Aisyiyah Branch Manager, Sambikerep District, Surabaya. This research is empirical legal research, namely the application of legal norms in legal practice in society with participatory efforts through the Asset Based Community Development (ABCD) method. The results of research on the role of paralegals in society. The results of the study confirm that the role of paralegals in building community legal awareness in the working area of the head of the 'Aisyiyah branch, Sambikerep District, Surabaya is carried out by paralegal training with the main focus, namely basic knowledge of law and human rights, so as to be able to make solutions and/or strategies in resolving cases cases dealing with the law as well as skills in conducting advocacy related to the application of legal norms. Furthermore, the role of paralegals and efforts to empower community law in the work area of the leadership of the 'Aisyiyah branch, Sambikerep District, Surabaya Participatory orientation to make PCA Sambikerep Members that is oriented as ghost lawyers whose hope is that Sambikerep PCA Members can consciously, actively, and critically fight for their legal rights at the same time can fight for their legal rights through various efforts and available space..
Bantuan hukum secara umum dipahami sebagai upaya untuk mendampingi, membantu, sekaligus memproses segala hal yang berorientasi pada penyelesaian masalah hukum bagi pihak-pihak yang layak mendapatkan bantuan hukum [1]. Tentu, pihak-pihak yang mendapatkan bantuan hukum bukanlah sembarang pihak tetapi pihak tertentu yang memang tidak memiliki kapasitas baik secara hukum maupun secara ekonomis untuk menjalankan proses hukum yang ada. Selain bersifat membantu akses terpenuhinya hak-hak hukum masyarakat, bantuan hukum juga memiliki orientasi untuk menumbuhkan kesadaran hukum melalui pemberdayaan hukum[2]. Dengan demikian, maka bantuan hukum bersifat komprehensif serta lebih menekankan aspek substantif untuk melindungi hak hukum masyarakat.
Bantuan hukum mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (selanjutnya disebut UU Bantuan Hukum) menegaskan bahwa bantuan hukum dilaksanakan oleh pemberi bantuan hukum. Dalam ketentuan dalam UU Bantuan Hukum, pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memiliki orientasi untuk memfasilitasi bantuan hukum. Lebih lanjut, ketentuan mengenai adanya pemberi bantuan hukum juga dipertegas dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 3 Tahun 2021 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum (selanjutnya disebut Permenkumham Paralegal) yang menegaskan bahwa salah satu pemberi bantuan hukum adalah paralegal.
Paralegal sebagaimana dalam Permenkumham Paralegal sejatinya merupakan pemberi bantuan hukum yang dapat berasal dari masyarakat atau komunitas tertentu yang mendampingi bantuan hukum tetapi tidak secara mandiri dalam memberikan bantuan hukum[3]. Hal ini berarti, bahwa paralegal perlu mendapatkan bimbingan dari Advokat sehingga Advokat tidak diperkenankan menjadi paralegal[4]. Adanya paralegal sebagai salah satu pemberi bantuan hukum sejatinya merupakan upaya negara untuk memfasilitasi terselenggaranya bantuan hukum bagi seluruh masyarakat[5][6]. Penelitian ini berfokus pada upaya paralegal dalam membangun kesadaran hukum serta pemberdayaan hukum masyarakat di Wilayah Kerja Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah Kecamatan Sambikerep Surabaya. Hal ini sebagai upaya untuk menerapkan ketentuan Permenkumham Paralegal bahwa paralegal salah satunya berasal dari organisasi kemasyarakatan yang mana 'Aisyiyah merupakan organisasi perempuan dari organisasi kemasyarakatan yaitu Persyarikatan Muhammadiyah.
Penelitian mengenai peran paralegal sejatinya perlah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya seperti Neo Adhi Kurniawan (2020) tentang Peran Paralegal Dalam Perlindungan Serta Pemenuhan Hak Hukum Masyarakat yang berfokus pada pentingnya eksistensi paralegal dalam memberikan bantuan hukum di masyarakat[7]. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Cokorda lstri Dharmasatyari, I Nyoman Gede Sugiartha, dan Ni Made Sukaryati Karma (2021) tentang Peran Pendamping (Paralegal) dalam Memberikan Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga yang menegaskan bahwa peran paralegal penting khususnya bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam memperjuangkan hak hukumnya[8]. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Bagas Ragil Wicaksono dan Hakim Anis Maliki (2022) tentang Role of Paralegal in Providing Access to Justice for the Poor: Comparing Indonesia and Malaysia yang berfokus pada peran paralegal dalam memberikan bantuan bagi orang miskin dengan studi perbandingan hukum antara Indonesia dan Malaysia[9].
Dari ketiga penelitian tedahulu tersebut, penelitian lapangan yang mengkaji peran paralegal dalam upaya untuk menumbuhkan kesadaran hukum serta pemberdayaan hukum di organisasi kemasyarakatan belum terdapat penelitian secara khusus yang membahasnya. Dengan demikian, penelitian ini adalah penelitian yang orisinal. Penelitian ini berupaya menjawab dua rumusan masalah, yaitu: (i) Bagaimana peran paralegal dalam membangun kesadaran hukum masyarakat di wilayah kerja pimpinan cabang ‘Aisyiyah Kecamatan Sambikerep Surabaya? Dan (ii) Bagaimana peran paralegal dan upaya pemberdayaan hukum masyarakat di wilayah kerja pimpinan cabang ‘Aisyiyah Kecamatan Sambikerep Surabaya?.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, yaitu pada penerapan norma hukum dalam praktik hukum di masyarakat[10]. Dalam hal ini, penelitian ini yaitu melihat penerapan UU Bantuan Hukum dan Permenkumham Paralegal dikaitkan dengan upaya menumbuhkan kesadaran dan pemberdayaan hukum di wilayah kerja pimpinan cabang ‘Aisyiyah Kecamatan Sambikerep Surabaya. Data primer yang digunakan berasal dari observasi beserta upaya partisipatif melalui metode Asset Based Community Development (ABCD) yang berfokus pada pada keberadaan aset lokal yang terdapat di suatu wilayah, sehingga masyarakat tersebut dapat memecahkan sendiri masalah-masalah yang dihadapi dalam komunitas atau wilayahnya[11]. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi UU Bantuan Hukum dan Permenkumham, serta berbagai kajian dan hasil penelitian mengenai peran paralegal di masyarakat.
UUD NRI 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia dalam Pasal 28D auat (1) sejatinya menyiratkan pentingnya jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat salah satunya melalui bantuan hukum [12]. Bantuan hukum sejatinya merupakan manifestasi dari acces to justice yang merupakan bagian dari hak konstitusional masyarakat[13]. Sebagai hak konstitusional, maka acces to justice sejatinya wajib dipenuhi dan difasilitasi oleh negara[14][15]. Salah satu upaya negara dalam memberikan jaminan pemenuhan terhadap acces to justice adalah melalui peran paralegal sebagai pemberi bantuan hukum[16]. Bantuan hukum dalam pandangan M. Yahya Harahap sejatinya memiliki tiga karakteristik yang meliputi: legal aid, legal assistance, serta legal service[17]. Legal aid merupakan suatu bentuk bantuan hukum yang secara praktis memberikan bantuan hukum kepada masyarakat terkait dengan adanya kasus-kasus tertentu[18].
Dalam konsepsi legal aid ini, bantuan hukum diberikan secara gratis untuk kalangan masyarakat yang tidak mampu. Selanjutnya adalah legal assistance yang secara umum berorientasi pada pemberian pendampingan hukum kepada masyarakat[19]. Pendampingan hukum ini bermakna lebih luas dari sekadar bantuan hukum dalam konsepsi legal aid. Jika legal aid hanya berkaitan dengan bantuan hukum jika terdapat permasalahan hukum, namun legal assistance bermakna lebih luas termasuk juga pemberian konsultasi hukum sebelum adanya suatu sengketa hukum. Selanjutnya, lebih luas dari konsepsi legal aid dan legal assistance adalah berkaitan dengan legal service yang secara leksikal dipahami sebagai pemberian atas layanan hukum.
Legal service dipahami sebagai upaya bantuan hukum yang lebih luas termasuk pemberian pemahaman dan penyadaran hukum bagi masyarakat untuk memberikan pemahaman terkait hak-hak hukum yang harus dilindungi[20]. Mengacu pada ketiga konsepsi tersebut, maka secara ideal bantuan hukum di Indonesia harus mencerminkan aspek legal service. Dalam hal ini, tidak hanya berfokus pada proses penegakan hukum serta pemberian konsultasi hukum, tetapi termasuk juga memberikan upaya penyadaran hukum di masyarakat. Penyadaran hukum di masyarakat dalam kaitannya dengan paralegal maka perlu diupayakan untuk meneguhkan aspek legal service termasuk upaya pemberian penyuluhan dan pemberdayaan hukum di masyarakat[21].
Dalam konteks ini, maka peran penting organisasi kemasyarakatan untuk mengetahui sekaligus memahami hak-hak hukum sejatinya perlu diberdayakan oleh paralegal. Hal ini menegaskan bahwa paralegal tidak hanya memberikan bantuan hukum ketika terjadi permasalahan hukum, tetapi termasuk juga memberikan penyuluhan akan peningkatan kesadaran hukum di masyarakat [22]. Kesadaran hukum masyarakat menjadi hal penting karena bekerja dan berjalannya hukum dipengaruhi oleh tinggi atau rendahnya kesadaran hukum masyarakat[23]. Soerjono Soekanto memberikan empat klasifikasi mengenai kesadaran hukum yang meliputi: pengetahuan akan hukum, pemahaman hukum, sikap terkait dengan hukum, serta perilaku sebagai akibat dari tahu, paham, serta sikap hukum[24]. Keempat klasifikasi tersebut harus dipenuhi secara optimal dan maksimal untuk dapat disebut sebagai taraf kesadaran hukum individu atau masyarakat menjadi tinggi. Dalam konteks ini, maka peran paralegal perlu untuk mewujudkan keempat klasifikasi mengenai kesadaran hukum sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto.
Pada praktiknya, optimalisasi kesadaran hukum terkait dengan peran paralegal di lingkup organisasi kemasyarakatan dalam penelitian ini difokuskan pada Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (PCA) Kecamatan Sambikerep, Surabaya. Pada 19 Mei 1917, Organsiasi ‘Aisyiyah sebagaimana sejatinya merupakan bagian dari organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah didirikan K.H.A. Dahlan[25]. ‘Aisyiyah merupakan gerakan perempuan berdasar Islam dengan bersumber pada Al Quran serta As-Sunah sebagaimana menjadi bagian organisasi dari Muhammadiyah yang berbasis pada melaksanakan dakwah secara amar makruf nahi munkar serta tajdid. [26]. Organisasi tersebut memiliki otonomi untuk melaksanakan berbagai program amal usaha sebagaimana diarahkan sekaligus ditetapkan oleh pimpinan Muhammadiyah [27]. ‘Aisyiyah didirikan dengan tujuan menegakkan substansi dari nilai-nilai Islam dalam keorganisasiannya maupun untuk khalayak umum.
‘Aisyiyah dalam upaya mencapai tujuannya berupaya melaksanakan dakwah dalam segala aspek kehidupan manusia, baik amar makruf nahi munkar maupun tajdid; sebagaimana diorientasikan pada program-program sosial-religius [28]. Struktur organisasi ‘Aisyiyah terdiri dari: Ranting (kesatuan anggota dalam satu tempat atau kawasan), Cabang (kesatuan Ranting dalam satu tempat). ‘Aisyiyah Cabang Sambikerep, Surabaya (PCA Sambikerep) sejatinya telah berdiri sejak tanggal 05 Rabiul Akhir 1426 H atau 14 Mei 2005 M, yang disahkan secara resmi pada tanggal 05 Rabiul Akhir 1426 H bertepatan dengan 14 Mei 2005 M sesuai SK dari Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur No. 31/SK- PWA/A/V/2005. Cabang PCA Sambikerep mempunyai 3 Ranting, yaitu :
Perlu diketahui, Qoryah Thayyibah (Desa QT) ialah salah satu program dari PCA Sambikerep. Program tersebut ialah konsep yang bertujuan untuk melakukan dakwah secara Kaffah, dalam aspek Hablum Minallah ataupun Hablun minannas. Ciri ciri dari program tersebut dapat diuraikan sebagaimana di bawah ini:
Tujuan sebagaimana program di atas ialah sejatinya mendorong terbentuknya masyarakat dengan iman serta takwa kepada Allah SWT untuk mengamalkan seluruh ajaran Islam kepada keluarga sekaligus berbagai aspek kehidupan mereka [29]. Program ini diharapkan memberikan pemberdayaan kepada seluruh cabang maupun Ranting dari Muhammadiyah. Sehingga, pada titik puncaknya, program tersebut selaras dengan cita cita ataupun tujuan dari Aisyah sebagaimana mendorong adanya Transformasi kesejahteraan masyarakat dengan berbagai hal, antara lain: Edukasi terhadap Kesetaraan gender, baik implementasi maupun kesadaran, melek akan teknologi agar mendapatkan berbagai informasi secara mudah dan tepat guna, sekaligus edukasi terhadap penguatan ekonomi keluarga.
Di sisi lain, sasaran program tersebut ialah warga Muhammadiyah serta masyarakat desa setempat. Secara khusus, bidang kerja dari program Desa QT ialah hukum dan politik, sebagaimana bertujuan memberikan wawasan sekaligus edukasi terkait hak-hak konstitusional sebagaimana dimiliki oleh setiap warga negara, sehingga mereka mampu memiliki kesadaran hukum sekaligus pendidikan kewarganegaraan yang komprehensif. Hal tersebut berorientasi agar masyarakat memahami pula pentingnya ikut berperan pada pengambilan keputusan yang menyasar pada kepentingan umum. Maka dari itu, dibutuhkan penguatan dalam bidang tersebut, salah satunya membentuk sekaligus mengoptimasi peran para legal. Urgensi pentingnya peran paralegal dalam memberikan penyadaran hukum di PCA Sambikerep. Hal tersebut didasarkan pada hasil penelitian Tim Pengabdian ke Masyarakat (PKM) Universitas Muhammadiyah Surabaya, sebagaimana menyatakan bahwa 99% Pimpinan Cabang Aisyiyah di Kecamatan Sambikerep, -yang merupakan bagian dari Cabang kerja PCA Sambikerep, mulai dari pimpinan Cabang hingga pimpinan ranting-, tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum, bahkan belum memahami dan melaksanakn praktik-praktik berhukum.
Pada satu sisi, terdapat berbagai kasus kekerasan yang terjadi pada anak serta perempuan. Bahkan, para buruh migran juga mengalami berbagai kasus hukum, sebagaimana fenomena tersebut terjadi di wilayah kerja PCA Sambikerep. Temuan selanjutnya menunjukkan bila sumber daya PCA Sambikerep membutuhkan pengetahuan dan pemahaman tentang keparalegalan, sebagaimana hal tersebut diharapkan mendorong untuk meningkatkan upaya-upaya menegakkan amal ma’ruf nahi munkar, khususnya pada membantu menyelesaikan masalah masyarakat yang berhadapan dengan hukum. Upaya untuk mewujudkan kesadaran hukum melalui kegiatan Tim PKM Universitas Muhammadiyah Surabaya ini yaitu memberikan pelatihan keparalegalan kepada Anggota PCA Sambikerep, yang meliputi Pimpinan Cabang Aisyiyah dan Pimpinan Ranting Aisyiyah di Kecamatan Sambikerep.
Setidaknya terdapat dua hal yang diharapkan dari Pelatihan Paralegal tersebut. Pertama, seluruh komponen PCA Sambikerep memiliki pengetahuan mengenai hak-hak konstitusional mereka sekaligus prinsip-prinsip dasar hukum yang berlaku. Kedua, seluruh pengurus dan anggota mampu menyelesaikan berbagai kasus-kasus hukum, dengan pendekatan humanis, solutif, sekaligus advokatif. Setelah PCA Sambikerep mendapatkan kedua bekal tersebut, selanjutnya akan dibentuk jaringan antar Paralegal lintas sektor, serta dibentuk Posko Bantuan Hukum (Posbakum). Dengan demikian, Posbakum akan menjadi pioneer untuk memberikan bantuan terhadap kasus dan/atau peristiwa yang dihadapi masyarakat. Orientasi terkait dengan adanya pelatihan keparalegalan dimaksudkan supaya dapat memberikan wawasan sekaligus kemampuan teknis-praktis dasar kepada pengurus PCA Sambikerep terkait potensi maupun permasalahan hukum yang berkaitan dengan Pimpinan Cabang Aisyiyah dan Pimpinan Ranting Aisyiyah di Kecamatan Sambikerep, Surabaya.
Dalam aspek kesadaran hukum, pemberian wawasan sekaligus pelatihan keparalegalan dimaksudkan untuk mewujudkan empat klasifikasi aspek kesadaran hukum sebagaimana ditegaskan oleh Soerjono Soekanto. Dari aspek pengetahuan hukum, pelatihan keparalegalan dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dasar pengurus PCA Sambikerep terkait hak-hak hukum yang harus dilindungi dan diperjuangkan. Selanjutnya, dari aspek pemahaman hukum, pelatihan keparalegalan dimaksudkan untuk menajamkan pengetahuan hukum yang telah diperoleh sehingga paham mengenai alur upaya untuk melindungi hak-hak hukum beserta proses perlindungannya. Lebih lanjut, terkait dengan sikap hukum diharapkan pengurus PCA Sambikerep yang sudah tahu dan paham dapat bersikap serta memiliki jiwa kritis dan memiliki sensitivitas terkait permasalahan hukum yang terdapat di wilayah sekitar PCA Sambikerep.
Sikap hukum tersebut diharapkan dapat membentuk perlilaku hukum pengurus PCA Sambikerep yang sadar hukum sehingga dapat memberikan advokasi serta memberikan sosialisasi hukum di lingkup masyarakat PCA Sambikerep. Berdasarkan uraian di atas, peran paralegal dalam membangun kesadaran hukum masyarakat di wilayah kerja pimpinan cabang ‘Aisyiyah Kecamatan Sambikerep Surabaya dilakukan dengan pelatihan paralegal untuk menumbuhkan empat klasifikasi kesadaran hukum yang meliputi pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, serta perlilaku hukum di masyarakat.
Pemberdayaan hukum sejatinya merupakan upaya untuk memperkuat kedudukan setiap anggota masyarakat dalam memperjuangkan hukum.[30] Bagi masyarakat miskin atau masyarakat di tingkat bawah untuk mewujudkan grassroot justice atau keadilan bagi masyarakat miskin dan lemah (masyarakat akar rumput). Pemberdayaan hukum sejatinya identik dengan akses terhadap hukum yang orientasinya adalah terwujudnya keadilan bagi masyarakat[31]. Dalam perkembangannya, perkembangan hukum didasarkan pada asas hukum yaitu equality before the law. Pemahaman mengenai asas equality before the law sejatinya perlu dilakukan rekonstruksi karena asas ini cenderung dimaknai secara formal bahwa hukum diberlakukan sama bagi setiap orang. Padahal, esensi dari asas equality before the law adalah adanya persamaan akses terhadap hukum bagi setiap kelompok masyarakat yang berbeda-beda[32].
Dalam hal ini, hukum ditujukan untuk memberikan ruang akses yang setara bagi semua pihak yang memperjuangkan keadilan. Hal ini berarti, sekalipun para pihak memiliki latar belakang ekonomi, politik, serta latar belakang ras dan kepercayaan yang berbeda namun hukum harus memberikan akses yang setara bagi semuanya[33]. Dalam konteks ini lah, maka pemberdayaan hukum merupakan salah satu implementasi dari asas equality before the law. Pemberdayaan hukum salah satu praktiknya adalah berkaitan dengan adanya bantuan hukum. Sebagai bagian dari pemberdayaan hukum, bantuan hukum tidak boleh hanya bersifat pragmatis yang hanya mengedepankan “ada kasus-ada bantuan hukum”. Bantuan hukum sebagai bagian dari pemberdayaan hukum harus berkarakter progresif yang artinya memiliki tujuan mulia yaitu memberikan pemahaman dan kesadaran hukum masyarakat sekaligus ikut memperjuangkannya[34].
Salah satu output dari pemberdayaan hukum adalah advokasi yang bertujuan meneguhkan pemahaman masyarakat mengenai hak-hak hukum beserta cara memperjuangkannya. Secara umum, pemberdayaan hukum terdiri dari berbagai bentuk yang meliputi[35]: (i) street law, yaitu suatu metode pemberdayaan hukum yang bersifat interaktif sehingga mengajak para penstudi hukum untuk mengkaji permasalahan hukum secara faktual. Dalam melakukan metode street law, selain diajak melihat permasalahan hukum konkret, penstudi hukum juga diformulasikan untuk merancang pemberdayaan hukum yang akan dilakukan untuk membela masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang hak-haknya belum terpenuhi. Selanjutnya yaitu (ii) clinical legal education, yaitu metode pemberdayaan hukum yang esensinya mengedepankan kerjasama antara kamus dengan masyarakat. Masyarakat yang mendapatkan permasalahan hukum mengadu ke kampus dan kampus menawarkan penstudi hukum untuk menawarkan solusi serta preskripsi hukum yang ditawarkan untuk ikut memperjuangkan hak-hak masyarakat.
Lebih lanjut, jenis pemberdayaan hukum adalah ghost lawyer, yaitu upaya masyarakat untuk mengembangkan kapasitas hukum melalui pelatihan dan edukasi dari penstudi hukum. Orientasi dari metode ghost lawyer adalah masyarakat diharapkan dapat secara mandiri dalam memperjuangkan kepentingan hukumnya. Mengacu pada jenis pemberdayaan hukum di atas, guna memberikan edukasi sekaligus meningkatkan kecakapan hukum para pengurus dan anggota PCA Sambikerep sebagaimana pada kondisi saat itu mereka belum memiliki pemahaman mengenai hukum, maka Tim PKM Universitas Muhammadiyah Surabaya berorientasi agar seluruh anggota PCA Sambikerep berpartisipasi menjadi Paralegal yang profesional dalam memperjuangkan hak-hak para pencari keadilan. Jika mengacu pada jenis pemberdayaan hukum di atas, maka pemberdayaan hukum bagi Anggota PCA Sambikerep terkait keparalegalan sejatinya berorientasi pada metode ghost lawyer yang harapannya Anggota PCA Sambikerep dapat secara sadar, aktif, serta kritis dalam memperjuangkan hak hukumnya. Orientasi partisipatif untuk menjadikan Anggota PCA Sambikerep sebagai ghost lawyer sejatinya menggunakan metode Asset Based Community Development (ABCD)[11].
Metode ABCD merupakan metode untuk memberdayakan masyarakat agar mampu menyelesaikan segala problematika internal melalui cara cara praktis dan inovatif guna menjadi problem solver yang berkelanjutan. Metode ini digagas di Northwestern University, oleh John Mc Night dan Jody Kretzmann. [11]. Pengembangan metode tersebut merupakan kritik terhadap pemberdayaan sekaligus pengembangan masyarakat yang dianggap senantiasa bersifat tradisional dan kuno, sehingga tidak mampu melahirkan berbagai inovasi dan kreasi penyelesaian sengketa secara berkelanjutan. Perspektif metode ini menilai bila mana seluruh masyarakat sejatinya memiliki potensi atau sesuatu yang telah dimiliki pula oleh mereka sebagai suatu “asset” yang sangat penting. Hanya saja, terkadang masyarakat belum memahami berbagai kemungkinan potensial dari “asset” sebagaimana yang telah mereka miliki. Maka dari itu, secara tidak sadar, mereka belum mampu melahirkan potensi-potensi tersebut sebagai problem solver.Prinsip dasar metode ini ialah bahwa setiap warga masyarakat memiliki kapasitas serta kompetensi sebagaimana bila diidentifikasi dan diterapkan, maka akan melahirkan transformasi sosial yang baik dan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat[11].
Metode ABCD berorientasi untuk memberikan pemberdayaan terhadap aset sebagaimana dimiliki oleh masyarakat atau individu agar mereka mampu menjadi problem solved dari berbagai problematika yang terjadi di lingkungan masyarakat. Harapannya, Metode tersebut dapat memenuhi berbagai bidang aspek keperluan masyarakat guna menunjang kondisi ekonomi dan sosial. Metode ABCD sejatinya menekankan pada “aset” masyarakat yang mana dalam metode ABCD, aset masyarakat meliputi: masyarakat, institusi, asosiasi, sumber daya alam, serta ekonomi. Masyarakat sebagai aset dalam hal ini karena masyarakat merupakan tempat di mana hukum itu bekerja. Optimal tidaknya nilai dan esensi hukum terlihat dari bagaimana penerapannya di masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat merupakan tempat di mana hukum itu bekerja (law in action)[36]. Selanjutnya, institusi berkaitan dengan lembaga formal yang ada di masyarakat. Lembaga formal ini penting karena sebagai salah satu sarana untuk mengubah dan merekayasa masyarakat[33].
Lebih lanjut adalah asosiasi yaitu perkumpulan masyarakat yang bersifat informal dan tidak terlembagakan. Hal ini juga penting karena sekalipun tidak terlembagakan, namun asosiasi penting untuk melihat bagaimana masyarakat menerapkan hukum dalam kehidupannya. Hal yang tak kalah penting juga adalah terkait sumber daya alam. Sumber daya alam penting karena merupakan salah satu “harta kekayaan” masyarakat. Bahkan, tak jarang konflik di masyarakat terjadi karena adanya permasalahan terkait dengan sumber daya alam. Oleh karena itu, sumber daya alam merupakan bagian dari objek pemberdayaan hukum. Terakhir, terkait dengan “aset” masyarakat yaitu aspek ekonomi. Aspek ekonomi merupakan aspek penting dalam kaitannya dengan upaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya.
Adapun perangkat Metode ABCD ini adalah sebagai berikut :
Tim PKM Universitas Muhammadiyah Surabaya bekerjasama dengan PCA Sambikerep melaksanakan identifikasi sekaligus pemetaan asset. Dengan demikan, masyarakat mampu mengidentifikasi segala aset dari diri masing-masing.
Tim PKM Universitas Muhammadiyah Surabaya memfasilitasi PCA Sambikerep untuk melakukan Focus Group Disscussion (FGD) tentang hasil pemetaan aset, sehingga PCA Sambikerep dapat memutuskan sendiri bagaimana cara memobilisasi atau memanfaatkan aset yang telah dipunyai untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Metode ABCD dipilih sebagai metode dalam PKM ini karena PCA Sambikerep mempunyai aset berupa sumber daya manusia, asosiasi, institusi, dan ekonomi yang belum dioptimalkan potensinya untuk menyelesaikan maslah-masalah hukum yang dihadapi oleh penduduk Kecamatan Sambikerep. Dalam melakukan proses pelatihan paralegal, Tim PKM Universitas Muhammadiyah Surabaya merilis serangakaian progam untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia PCA sambikerep yang berbasis bidang hukum, sebagaimana tabel 1.
(Tabel 1 disini)
Dari ketentuan tabel di atas, dapat dilihat bahwa kegiatan Tim PKM Universitas Muhammadiyah Surabaya dengan orientasi pada pemahaman aspek paralegal bagi PCA Sambikerep sejatinya terdiri atas lima tahap, yaitu: tahap persiapan, tahap implementasi, tahap monitoring dan evaluasi, tahap evaluasi, serta tahap penyusunan laporan. Kelima tahap di atas, diorientasikan untuk memberdayakan PCA Sambikerep untuk sadar, kritis, serta mampu melakukan advokasi hukum terhadap hak-hak hukumnya.
Berdasarkan uraian di atas, peran paralegal dan upaya pemberdayaan hukum masyarakat di wilayah kerja pimpinan cabang ‘Aisyiyah Kecamatan Sambikerep Surabaya Orientasi partisipatif untuk menjadikan Anggota PCA Sambikerep yaitu diorientasikan sebagai ghost lawyer yang harapannya Anggota PCA Sambikerep dapat secara sadar, aktif, serta kritis dalam memperjuangkan hak hukumnya sebagaimana tujuan PKM ini dengan menggunakan metode Asset Based Community Development (ABCD). Kegiatan PKM dengan orientasi pada pemahaman aspek paralegal bagi PCA Sambikerep sejatinya terdiri atas lima tahap, yaitu: tahap persiapan, tahap implementasi, tahap monitoring dan evaluasi, tahap evaluasi, serta tahap penyusunan laporan. Kelima tahap di atas, diorientasikan untuk memberdayakan PCA Sambikerep untuk sadar, kritis, serta mampu melakukan advokasi hukum terhadap hak-hak hukumnya. Berbagai kegiatan di atas, diharapkan dapat memberdayakan PCA Sambikerep secara hukum dengan memahami sekaligus dapat memperjuangkan hak hukumnya melalui berbagai upaya dan ruang yang tersedia.
Peran paralegal dalam membangun kesadaran hukum masyarakat di wilayah kerja PCA Sambikerep dilakukan dengan pelatihan paralegal dengan fokus utama, yaitu pengetahuan dasar hukum dan hak asasi manusia, sehingga mampu membuat solusi dan/atau strategi dalam penyelesaian kasus-kasus yang berhadapan dengan hukum serta keterampilan dalam melakukan advokasi yang berkaitan dengan penerapan norma-norma hukum. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menumbuhkan empat klasifikasi kesadaran hukum yang meliputi pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, serta perlilaku hukum di masyarakat. Peran paralegal dan upaya pemberdayaan hukum masyarakat di wilayah kerja PCA Sambikerep diharapkan mampu melahirkan aspek partisipatif untuk menjadikan Anggota PCA Sambikerep sebagai ghost lawyer. Di sisi lain, harapannya Anggota PCA Sambikerep dapat secara sadar, aktif, serta kritis dalam memperjuangkan hak hukumnya dengan metode ABCD. Penelitian oleh Tim PKM Universitas Muhammadiyah Surabaya berorientasi pada pemahaman aspek paralegal terhadap PCA Sambikerep sejatinya terdiri atas lima tahap, yaitu: tahap persiapan, tahap implementasi, tahap monitoring dan evaluasi, tahap evaluasi, serta tahap penyusunan laporan. Kelima tahap di atas, diorientasikan untuk memberdayakan PCA Sambikerep untuk sadar, kritis, serta mampu melakukan advokasi hukum terhadap hak-hak hukumnya. Berbagai kegiatan di atas, diharapkan dapat memberdayakan PCA Sambikerep secara hukum dengan memahami sekaligus dapat memperjuangkan hak hukumnya melalui berbagai upaya dan ruang yang tersedia.