This study aims to explore the prohibition of "nikah malem songo geblake mbah" in the Jegulo Soko Tuban community, which is an adat (customary) prohibition outside of Islamic law. Using a normative-fiqhiyyah and sociological approach, the study found that the prohibition of "nikah malem songo geblake mbah" is based on sadd al-dhari'ah, as it is believed to potentially cause harm and disrespect to elders, and goes against community norms. The research also identified various factors contributing to the prohibition. In terms of Islamic law, the study concludes that "nikah malem songo geblake mbah" is prohibited, as it goes against the principles of kemaslahatan (public interest) and may cause harm. Therefore, it is recommended that the community continues to uphold the prohibition to maintain social harmony and respect for cultural norms.
Highlights:
Manusia dalam menjalankan kehidupannya tidak bisa terlepas dari bermasyarakat, dimana terciptanya masyarakat itu dikarenakan terdapatnya perkawinan.Perkawinan ialah cara yang tepat untuk membina keluarga yang bahagia, yaitu sebuah keluarga yang bisa menghadirkan generasi penurus sebagai khalifah Allah di muka bumi Forum Kajian Ilmiah (FKI). Entitas fiqh al-munakahah sebagai tolok ukur hukum perkawinan ini sifatnya komprehensif dan mapan, serta bisa menjangkau ketetapan dalam wilayahnya.
Tapi, dalam perjalanannya, UU ini terganggu dengan terdapatnya hukum lain yang tidak ada dalam sumber hukum Islam, seperti Al-Qur’an ataupun hadist, serta para fuqoha juga belum pernah merumuskannya melalui ijtihad. Dalam masalah ini larangan adat jawa pada nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah hadir sebagai peraturan diluar hukum Islam dan diberlakukan untuk warga Desa Jegulo dan seolah-olah larangan tersebut menjadi kewajiban yang harus ditaati jika tidak menginginkan adanya hal buruk yang bisa menimpa pasangan suami istri dikemudian hari. Padahal di desa tersebut mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Akibatnya, hal ini masih menjadi titik perdebatan sengit di tataran pengaplikasiannya.
Sadd al-dhari’ah ialah upaya pencegahan agar tidak terjadi suatu hal yang memunculkan dampak negative. Metode hukum ini ialah sebuah bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang tidak dimiliki oleh agama lain. Hal ini dikarenakan mevang sebuah tujuan hukum Islam ialah guna mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan. Apabila sebuah perbuatan yang belum dijalankan diduga keras akan memunculkan kerusakan, maka hal-hal tersebut akan dilarang. Metode hukum ini yang biasa disebut dengan sadd al-dhari’ah.
Sehingga kesimpulannya, adat larangan nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah tersebut masuk dalam kategori sadd al-dhari’ah karna larangan nikah tersebut diagap tidak baik, banyak cobaaan dan rintangannya, pernikahan tidak berkah, serta mengandung ungsur mafsadah. Pda umumnya, riset ini dihadirkan untuk dedikasi khazanah keilmuan hukum Islam dan secara khususnya untuk semua warga Desa Jegulo. Diharap riset ini bisa berkontribsi positif baik dalam wilayah praktis ataupun diskursus, sehingga untuk selanjutnya peleiti bisa mengabdikan karyanya sebagai perubahan pada masyarakat Desa Jegulo menuju masyarakat Desa Jegulo yang lebih baik.
Metode
Metode penelitaian ini mengunakan metode normative empiris yakni komparasi jalur field research dengan action research dan membandingkan dengan data kepustakaan literature library, sedangkan untuk menganalisa data, penulis mengunakan analisa secara kualitatif, interaktif dan deskriptif, selanjutnya diadakannya eksplorasi dengan masif, mencakup gejala, faktor yang memengaruhi, ataupun dampaknya bagi kehidupan, dimana pendekatan sosiologis dan normatifnya direkrut sebagai pendekatan utama. Hal ini bertujuan guna memperoleh data yang valid dan terarah pada analisa fiqh-nya.
Dalam hukum Islam, khususnya hukum perkawinan fiqh al-muna kahat sudah secara rinci diatur terkait dengan ketetapan dan ketentuan yang mencakup semua aspek perkawinan, mulai dari syarat, akad, rukun, khibah ataupun larangan dalam perkawinan. Ketentuan ini bertujuan agar perpecahan dalam keluarga dapat terhindari.
Umumnya, praktek perkawinan ataupun ketetapan proses perkawinan yang diberlakukan pada masyarakat desa Jegulo telah sesuai dengan hukum perkawinan Islam, mulai dari lamaran (khitbah), syarat rukun dan akad perkawinan tidak ada yang berseberangan dengan hukum Islam, namun dalam permasalahan waktu pelaksanaan perkawinan terdapat ketidaksamaan antara adat desa Jegulo dengan ketentuan hukum Islam[1].
Dalam perkawinan Islam tidak dikenal terdapatnya larangan perkawinan nikahsebagaimana larangan adat Jawa seperti larangan nikah Temu Selawe (25) adat jawa, terkait larangan nikah Temu Selawe (25). Rinwanto menerangkan dalam sebuah penelitian yang berjudul “ Relasi Islam Dan Budaya Dalam Perkawinan Masyarakat Jawa (Nikah Malem Songgo) nikah Temu Selawe (25) boleh di lakukan pada Malem Songgo (29) bulan ramadahan sebagai alternatif hari baik melaksanakan pernikahan yang dilarang, namun demikian dalam realitias masyarakat desa jegulo prihal kebolehan nikah malem songo tidak serta merta semua boleh dan mau melaksanakan pernikahan malem songgo.
Muncul suatu larangan nikah malem songo yang semula baik menjadi di larang yaitu nikah malem songgo yang bertepatan dengan geblake (hari meningalnya) sesepuh keluarga dekat seperti kakek/ nenek (mbah) seperti yang dialami oleh Yulia Nurdiati Asma ((21) warga desa jegulo ketika akan melangsungkan pernikahan Malem Songgo (29) Ramadhan / 1443H tangal 02 Mei 20022 M bertepatan saat itu hari meninggalnya nenek (geblake mbah), maka nikah Malem Songgo (29) saat bertepatan Geblake Mbah seprti itu dilarang.
Dalam perspektif adat desa Jegulo perkawinan semacam ini adalah termasuk dari perkawinan yang dilarang karna tidak khurmat sesepuh dan kurang baik jika di teruskan oleh masyarakat sekitar melangar norma moral dan akan menimbulkan kemadaratan.
Adapun cara untuk menentukan al-dhariah adalah sebagai berikut: maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebai kan (masl}ah}ah)(Jalaluddin al-Su>yuthi>, tt:76).
Jadi kesimpulannya dari pemaparan yang telah dipaparkan peneliti tentang analisa hukum Islam terhadap pelaksanaan nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah di kelurahan Jegulo dari sudut pandang sadd al-dhari>’ah adalah nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah dilarang karena larangan perbuatan nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut, sesuai tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan ke-maslahat-an dan menghindari kerusakan (mafsadah) [2]
Dilihat dari segi tingkatannya, memiliki tiga tingkatan, yang mana ketiganya diukur berdasarkan standar pengaruhnya bagi individu maupun sosial, diantaranya yaitu:
Terkait kemas}lah}atan dengan tema yang diangkat, yaitu larangan nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah, menurut hemat peneliti adanya praktek perkawinan seperti ini merupakan upaya pemenuhan [3]
Sisa-sisa peninggalan nenek moyang atau setidaknya yang dianggap peninggalan, seperti hitungan-hitungan dalam penentuan tanggal pelaksanaan perkawinan, awal bercocok tanam, dan mistisisme sejenis juga dapat dijumpai pada sebagian warga, meskipun tidak dominan.
Adapun Faktor-faktor Yang Mempengaruhi adalah sebagai berikut:
Dalam sejarah perkembangan kebudayaan, masyarakat desa Jegulo mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Seperti halnya masyarakat Jawa pada umumnya. Oleh karena itu, corak dan bentuknya diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam seperti Animisme, Dinamisme, Hinduisme, Budhisme dan Islam. Salah satu bentuk budaya Jawa yang menonjol adalah adat istiadat atau tradisi kejawen (Islam Jawa).
Maka ketika agama Islam dipeluk oleh sebagian besar masyarakat Jawa, kebanyakan dari mereka masih tetap melestarikan unsur-unsur kepercayaan lama yang telah mengakar kuat dalam masyarakat, diantaranya mitos-mitos yang berkembang pada masyarakat. Masih kentalnya pengaruh dari kebudayaan Jawa pada masyarakat desa Jegulo dapat terlihat dari upacara resepsi perkawinan, upacara matang puluh, nyatus, nyewu, pendak, geblak dan lain sebagainya.
Pengaruh kebudayaan lampau itu hampir memasuki semua sendi-sendi aktivitas masyarakat, termasuk dalam masalah perkawinan, kemudian muncullah larangan nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah, larangan ini merupakan hukum adat yang berlaku umum pada masyarakat dalam berbagai lintas stratanya. Larangan ini lahir dan disepakati sebagai hukum adat, yang mana hal ini merupakan hasil yang terwujud dari pengilhaman keilmuan sesepuh. [4]
Pemahaman yang berkembang pada masyarakat tradisional umumnya bersifat monoton dan harus sama seperti apa yang telah disepakati oleh pendahulunya, baik berupa ajaran agama maupun adat, hal ini juga berlaku pada mayoritas warga desa Jegulo. Fanatik terhadap suatu pemahaman tertentu dapat mengakibatkan sulitnya untuk menerima pemahaman baru dari luar, bahkan sama sekali tidak dapat menerima. Sedikit banyak, warga desa Jegulo telah terjangkit fanatisme terhadap ajaran adat ini. Sehingga mereka sulit menerima masukan-masukan faham yang rasional dari pihak lain, meskipun faham yang mereka anut bersifat irasional (anlogic)
Mereka cenderung bersifat apriori terhadap pemahaman-pemahaman baru tentang larangan nikah ini, demi loyalitas mereka terhadap sesepuh dan rasa takut akan ”kualat” karena arus pemikiran berseberangan dengan pendahulunya. Apabila mereka tunduk pada sesepuh, maka hidup mereka akan bebas dari petaka dan nyaman. Dalam hal larangan nikah ini, mereka selalu percaya pada mitos-mitos yang ada. Apabila kedatangan musibah, mereka pasti akan selalu mengaitkannya dengan pelanggaran larangan adat, mindset inilah yang sesuai dengan ketentuan para sesepuh mereka.. [5]
Walaupun warga desa Jegulo ingin membuat pendidikan sebagai prioritas utama, tapi hal ini harus memerlukan proses dan waktu yang lumayan panjang. Hingga sampai detik ini berdasar data laporan triwulan desa Jegulo bulan Juni 2016, pendidikan masyarakat pada waktu itu didominasi oleh lulusan pendidikan Sekolah Dasar (SD), bahkan tidak berpendidikan sama sekali. Hal ini dikarenakan ekonomi warga yang terbatas dan minim, sehingga ini menjadikan anak-anak tidak bersekolah dan lebih memilih untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.
Fakta tersebut menjelaskan bahwasannya umumnya tingkat pendidikan masyarakat desa Jegulo tergolong rendah. Sehingga, ini akan memengaruhi mindset dalam menyikapi mitologi dan adatnya. Rendahnya tingkat pendidikan ini akan menggiring mereka pada ketaatan penuh (sendiko dhawuh) pada orang yang mereka anggap paham pada adat Jawa. Hal seperti ini akan menghambat kemajuan berpikir masyarakat, yang seharusnya mereka tanggap dan kritis pada kondisi yang terjadi, namun malah pasrah dan selalu mengaitkannya dengan mitos yang ada di masyarakat tersebut. [6]
Warga desa Jegulo sangat menghagai sesepuh mereka baik yang masih ada ataupun yang sudah meninggal dunia. Mereka enggan disebut sebagai orang yang tidak memiliki tata krama (unggah-ungguh) yang disebabkan oleh pelanggaran pada ketetapan yang sudah ditentukan oleh pendahulu.
Setiap pengambilan keputusannya, mereka selalu mengaitkan dengan adat dan berusaha untuk tidak melakukan pelanggaran ketentuan yang sudah di ”patenkan” sesepuh. Selain itu, masyarakat desa juga selalu minta pertimbangan dalam mengambil sebuah keputusan. Doktrin serta petuah dari sesepuh ini sangat memengaruhi mereka dalam mengambil keputusan dan tidak ingin melanggarnya. Apabila melanggar, ini akan menjadi sebuah dosa sosial yang membebani mereka.
Beberapa faktor yang sudah dipaparkan oleh peneliti ialah terkait dengan hal-hal yang memengaruhi eksistensi larangan nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah pada warga desa Jegulo, baik itu pengaruhnya kecil ataupun besar. [7] Tapi, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada faktor lain yang akan memengaruhinya yang tidak disebutkan oleh peneliti.
Setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ini meniscayakan adanya pengaruh ataupun implikasi, baik itu dampak positif maupun negatif. Demikian halnya dengan larangan nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah, mayoritas warga Jegulo yakin jika perkawinan dengan cara ini akan berdampak buruk pada kehidupan keluarga. Perpecahan,perecraian, marabahaya, tidak tentaram, banyak musibah dan kesengsaraan rumah tangga ini akan menjadi sebuah grand effect bagi pelakunya.
Dampak negatif yang diyakini warga Jegulo, terutama kaum sesepuh adalah adanya petaka yang akan menimpa dari salah satu keluarga dari nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah. Keyakinan seperti ini telah menjadi “doktrin” bagi masyarakat desa Jegulo. Loyalitas mereka dengan sesepuh masih kental, tapi tidak jarang juga banyak warga yang hanya sebatas menghargai dan menghormati sesepuh, tidak tunduk sepenuhnya, sebagian dari mereka menjalankan keyakinanya masing-masing. Hal inilah menjadi faktor yang memengaruhi terdapatnya larangan nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah di desa Jegulo.
Sepanjang penelusuran peneliti, di desa Jegulo berdasakan wawancara dengan sesepuh dan tokoh masyarakat terdapat satu orang yang berani melakukan nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah, yaitu keluarga bapak Sukiran dari perkawianan tersebut terjadi banyak coabaan dan rintangannya[8]. Faktanya, dampak buruk yang mereka yakini tersebut ialah akan terjadinya suatu musibah, seperti musibah sakit, pertengkaran, berat dalam mencari nafkah dan lain-lain.
Menurut pengamatan sesepuh desa jegulo, terjadinya perceraian adalah sebuah konsekuensi atas pelanggaran terhadap larangan adat, seperti tidak hurmat pada orang tua (sespuh). Apabila melanggarnya, akan terjadi hal-hal buruk lain seperti adanya kesialan dalam berumah tangga, adanya kegagalan, eksulitan ataupun hal-hal lain. Seluruh hal buruk tersebut akan dikaitkan dengan pelaksanaan pernikahan. [9]
Sementara menurut para pemuka agama di desa Jegulo akan menyikapinya sebagai takdir dan ujian kehidupan yang wajib dijalani, terkait penghormatan pada orang tua (sesepuh) keluarga yang meninggal Nass Islam menerangkan dalam masa berkabung atau masa idddah.
Ditinjau dari implikasinya, larangan nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah pada kehidupan rumah tangga, praktik larangan nikah ini mengisyaratkan pada suatu kemas}lah}atan yang hendak direalisasikan oleh wargaDesa Jegulo dan menghindari mafsadah.
Penjabaran diatas ialah hasil analisa peneliti terhadap beberapa faktor yang vemengaruhi larangan nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah dan implikasinya bagi kehidupan rumah tangga dengan memakai teori saddu al-dhar’ah.
Masyarakat sangat memperhatikan faktor yang amat penting pelaksanaan pernikahan, serta untuk menentukan baik/ berkah dan tidaknya pelaksanaan pernikahan mulai pranikah prosesisi dan pasaca nikah. Umumnya, warga desa Jegulo jikamau melaksanakan akad nikah, menentukan penanggalan (neptu), hari kelahiran calon suami dan istri, dan memilih hari yang di yakini baik, apabila kurang baik di hindari seperti Nikah Malem Songgo (29) saat Geblake Mbahmaka mayoritas masyarakat menangguhkan pernikahannya waalupuan pada awalnya nkah malem songo baiak tetapi bersamaan dengan geblake Mbah (saat meningal nya sesepuh) saat masa sedih berkabung, diangap tidak baik karna mengurangi nilai penghormatan kepada orang tua, banyak cobaaan dan rintangannya.
Tinjauan Hukum Islam Tentang Larangan Nikah Nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah. Sebetulnya dalam syari’at Islam, hal-hal larangan nikah Nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah semacam ini, tidak di jumpai dalam syari’at Islam, tidak terdapat nas}s} secara khusus, baik Al-Qur’an atau hadith yang menentukan hari khusus sebagai hari yang disyari‘atkan untuk melaksanakan pernikahan, ataupun suatu larangan, masalah teknis seperti itu diserahkan kepada masing-masing yang bersangkutan dengan hajat tersebut, setiap orang bisa menetapkan hari yang baik untuk menjalankan pernikahan berdasarkan mas}lah}at yang ada. Karena diduga keras perbuatan Nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), kemudian nikah Nikah Malem Songgo (29) Geblake Mbah tersebut dilarang, larangan ini berdasarkan pendekatan sosiologis normatif-fiqhiyyah Sadd al-Dhari’ ah sebagai manhaj yang paling realistis sebagai pencegahan agar tidak terjadi sebuah hal yang berdampak negatif, larangan itu sesuai dengan sebuah tujuan hukum Islam yaitu untuk mewujudkan kemas}lah}atan dan menghindari kerusakan.