Village Development Articles
DOI: 10.21070/ijccd.v14i2.777

Efforts to Increase Legal Awareness on Violent Behavior by Ende Residents in Surabaya City


Upaya Peningkatan Kesadaran Hukum Terhadap Perilaku Kekerasan pada Warga Ende di Kota Surabaya

Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya
Indonesia
Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya
Indonesia

(*) Corresponding Author

Violent Behaviour Belis Culture Legal Awereness Domestic Violence Nomad Community

Abstract

The legal system which is based on and inspired by the philosophical values of  Pancasila, aims to improve the legal system in Indonesia. That is able to protect its citizens from all actions or behaviors that are contrary to humanity and justice. Therefore, Indonesian law contains elements of protecting implementing order, justice, and especially non-discrimination, especially from gender. The law creates a dignified society, which humanizes humans, upholds human values. The norms that live in society, become a basis for the formation of a rule. But the customs and habits that exist in ethnic groups in Indonesia have their own character. Violence cannot be identified  in a particular society, but all humans can have a hard character. However, the existence of a belis or dowry, seems to give legitimacy that women have been bought. Therefore, through this community service activity, it focuses focuses on efforts to increase awereness of the law in the hope of minimizing the habit of violent behavior in the nomad community from Ende in the Surabaya city. This effort to increase awereness of the law is carried out through legal assistance regarding domestic violence in the Ende nomad community in Surabaya City. The assistance of representatives of Ende residents in Surabaya related to Law Number 23 of 2004 concerning Domestic Violence needs to be carried out intensively and massively. There is a decrease in the level of domestic violence in the families of Ende nomads in Surabaya.

Highlights:

  • Legal System Based on Pancasila: The legal system in Indonesia is inspired by the philosophical values of Pancasila, aiming to protect citizens and uphold humanity, justice, and non-discrimination, especially concerning gender.

  • Focus on Awareness and Minimizing Violence: Community service activity focuses on increasing awareness of the law to minimize violent behavior within the nomad community from Ende in Surabaya.

  • Intensive Legal Assistance: Representatives of the Ende residents in Surabaya provide intensive and massive legal assistance related to Law Number 23 of 2004 concerning Domestic Violence, resulting in a decrease in domestic violence in the Ende nomad families.

Keywords: Violent Behaviour, Belis Culture,  Legal Awereness,  Domestic Violence, Nomad Community

 

Pendahuluan

Hak konstitusional warga negara telah diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), baik hak sipil, maupun hak politiknya. Hak sipil ini meliputi hak-hak di berbagai sisi kehidupan sosial setiap individu yang adalah warga negara Indonesia. Dijaminnya hak asasi individu ini merupakan suatu perwujudan dari sila-sila dari Pancasila, dasar negara Indonesia. Hak-hak sipil ini meliputi hak asasi untuk hidup sejahtera lahir dan batin sesuai Pasal 28 H ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Oleh karena itu, fungsi hukum untuk memberikan pengayoman yang berarti melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan mencegah Tindakan sewenang-wenang dan secara aktif (positif) dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan yang memungkinkan proses kemasyarakatn berlangsung secara wajar dan adil.[1]Kondisi yang wajar dan adil ini memberikan suatu ketentraman dalam bermasyarakat, sehingga fungsi hukum sebagai pengayom, dapat terwujud.

Masyarakat yang berasal dari daerah Ende sebagai bagian dari Pulau Flores yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur atau NTT, memiliki norma adat dan budaya tersendiri, yang diupayakan untuk tetap dibawa ke Kota Surabaya. Sebagai kota yang heterogen, kota Surabaya dapat menerima berbagai asal daerah masyarakat, namun masyarakat pendatang juga harus memahami budaya dan hukum yang berlaku pula di kota ini. Masyarakat Surabaya memiliki kecenderungan untuk berkata-kata spontan dan tidak mengenal takut dalam melakukan sesuatu yang benar. Sedangkan masyarakat Ende berlaku demikian; yang membedakan dalam hal ini adalah Bahasa daerah yang kemungkinan tidak dipahami masyarakat secara umum, sehingga dapat meimbulkan perselisihan. Agar dapat memahami kondisi ini, maka yang dapat menyatukan perbedaan ini adalah tata aturan atau huku yang berlaku. Fungsi hukum sebagai pengayom masyarakat, dapat dilakukan dengan mewujudkan :[1]

  1. Ketertiban dan keteraturan yang memunculkan prediktabilitas;
  2. Kedamaian yang berketentraman;
  3. Keadilan (distributif, komutatif, vindikatif, dan protektif );
  4. Kesejahteraan dan keadilan sosial;
  5. Pembinaan akhlak luhur berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.

Hukum yang akan membatasi perilaku masyarakat secara keseluruhan termasuk budaya berkata spontan dalam masyarakat, sehingga sering menimbulkan keadaan yang merugikan karena spontanitas terkait dengan emosi. Emosi yang berlebihan akan menimbulkan perilaku kekerasan sehingga terjadi pelanggaran hukum yang mengakibatkan terkena sanksi atau hukuman.

Sanksi pidana sebagai ancaman dari pihak berikan karena terjadinya kekerasan verbal, kekerasan fisik bahkan penelantaran yang dmaksud dalam undang undang. Masyarakat NTT khususnya warga Ende yang sudah merantau sampai ke kota Surabaya untuk memperbaiki tingkatt kehidupan sosial, akan tidak tercapai jika mendapatkan sanksi pidana tersebut, akibat perilaku kekerasan yang dilakukan. Permasalahannya adalah perilaku kekerasan ini menjadi sterotype masyarakat yang berasal dari luar pulau Jawa, sehingga harus dicegah agar tidak terjadi peningkatan konflik, baik di dalam keluarga, komunitas, maupun masyarakat setempat. Perilaku prososial yang dilakukan juga dipengaruhi oleh adanya jenis kelamin baik pria maupun Wanita, dimana pria lebih dianggap mampu melakukan perbuatan yang lebih keras dibanding perempuan. Sebagai perantau, warga Ende harus beradaptasi dengan kondisi kota besar seperti Surabaya sehingga kehidupan prososial ikut berkembang hanya saja tidak merata.[2] Oleh karena itu, diperlukan adanya pemahaman akan hukum dalam sosialisasi tentang norma hukum yang berlaku. Dengan demikian dengan adanya peningkatan kesadaran hukum pada diri para perantau yang berasal dari Ende. Indikator capaian dari kegiatan sosialisasi hukum terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat Ende di Surabaya, khususnya pada keluarga muda asal Ende, adalah pemahaman terhadap aturan atau nrma hukum yang berlaku dan harus ditaati dimana norma yang disertai sanksi pidana bagi yang melanggar norma hukum tersebut.

Metode

Sebelum melakukan pendampingan hukum terhadap warga Ende yang ada di Surabaya, telah dilakukan pertemuan awal untuk melakukan wawancara yang dilakukan dengan perwakilan masyarakat dari pulau Flores, Sumba, dan Alor. Dari hasil wawancara diketahui beberapa penyebab adanya kekerasan yang ada pada warga perantau. Pemilihan warga perantau dari Ende dikarenakan lebih mudah dikoordinasikan dan dirumuskan bentuk pendampingan yang disesuaikan dengan kebutuhan warga Ende yang ada di Surabaya. Melihat bahwa dibutuhkan adanya Prosedur Kesehatan (Prokes) terkait dengan pandemi yang harus terus disosialisasikan di tengah masyarakat maka kegiatanyang dilakukan adalah Training of Trainers. Hasil pendampingan akan dilanjutkan oleh para simpul warga Ende kepada saudara dan sahabat pada yang tidak hadir karena dilakukan pembatasan kehadiran peserta kegiatan yang dilakukan secara langsung.

Hasil dan Pembahasan

Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki beberapa pulau besar dan kecil yang memiliki nama masing-masing. Pulau yang terbesar yaitu Pulau Flores di provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Ende berada di tengah pulau Flores diapit oleh beberapa kabupaten Ende memiliki daratan dan lautan sehingga penduduknya memiiki beragam profesi. Warga Ende memiliki tatanan sosial yang unik dengan adat budaya, Bahasa yang dipergunakan di setiap suku berbeda hingga adanya pembedaan kelas masyarakat. Agama yang dianut sangat beragam namun mayoritas adalah agama Katolik, Islam dan agama Kristen. Dengan kondisi yang beragam, tentunya masyarakat Ende yang berada di tempat asal maupun yang ada di peratauan akan memiliki karakter yang mudah beradaptasi. Sehingga seharusnya di dalam menjalankan kehidupan berumahtangga ataupun bermasyarakat dapat berjalan seiring dan harmonis.

Kondisi geografis memiliki karakter masing-masing berupa bentangan alam yang sangat menantang, sehingga sejak kecil setiap anak di Ende, sudah terbiasa dan mampu untuk menghadapi kenyataan alam yang keras, sehingga alam menjadi salah satu faktor dalam membentuk watak atau karakter. Hal ini dapat dilihat dari kondisi alam yang cukup sulit dalam mereka melakukan aktivitas mereka, seperti ke sekolah, bekerja mengolah tanah kebun, untuk menumbuhkan tanaman yang menjadi bahan pokok makanan mereka. Dengan berpindahnya warga Ende ke berbagai daerah dan hidup berdampingan dengan penduduk setempat, mereka tetap menerapkan kebiasaan perilaku di kampung halaman tersebut, baik dalam keluarga, maupun dalam kehidupan bermasyarakat.

Norma hukum setidaknya menunju pada perbuatan dua individu, yaitu pelaku atau yang mungkin melakukan delik atau deliquent; jika sanksi atau hukuman dikenakan terhadap orang lain selain deliquent, maka norma hukum menunjuk pada tiga individu, dan individu yang harus melaksanakan sanksi.[3] Akan tetapi konsep kewajiban hukum menunjuk hanya pada individu yang dikenakan sanksi, yaitu individu yang melakukan delik, sebagai subyek delik atau deliquent. Namun juga harus diketahui, bahwa kewajiban hukum berarti kondisi sebagai subjek suatu delik atau perbuatan, melainkan termasuk juga yang memiliki hubungan hukum dengan pelaku. Jadi norma hukum mewajibkan subjek untuk tidak melakukan delik dengan memberikan sanksi jika dilakukan. Apabila dikatakan bahwa kewajiban hukum merupakan suatu keharusan, maka keharusan itu merupakan epifenomena dari keharusan sanksi.[3]

Norma pertama tergantung pada norma kedua yang menetapkan sanksi, yang mana hubungan antar norma pertama (sebagai norma sekunder/secondary norm) dan norma kedua (sebagai norma primer /primary norm). Hukum adalah norma primer yang menentukan sanksi dan norma yang tidak bertentangan dengan delik dimana dilakukan oleh pelaku. Pelaku kekerasan sebenarnya mempunyai pilihan sebelum melakukan tindak kekerasan, yaitu: mematuhi norma dan tidak mematuhi norma. Jika suatu norma hukum secara permanen tidak dipatuhi subyek, maka mungkin tidak lagi diaplikasikan oleh masyarakat. Hukum dibuat untuk kebutuhan masyarakat, bukan pola dari masyarakat yang mengikuti hukum yang sudah tidak bermanfaat lagi untuk masyarakat.[4]

Norma adat yang berlaku pada masyarakat Ende adalah pada saat sebelum menikah harus didahului dengan pemberian Belis[5] atau mas kawin dari pihak pria kepada pihak perempuan. Pihak perempuan memberikan standar untuk pemberian belis[6] oleh pihak pria yang harus memenuhi agar dapat menikahi perempuan yang dicintai. Penetapan belis yang harus dipenuhi untuk menikah terkadang cukup tinggi sehingga keluarga pria harus berusaha keras untuk dapat memenuhi jumlah belis yang harus dipenuhi. Dengan keadaan yang sulit dan pihak pria tidak dapat memenuhi maka pihak pria dengan terpaksa harus memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana untuk menikah. Sehingga tidak jarang akhirnya menikah dengan orang yang tidak dicintai sekedar bisa memenuhi belis yang diminta keluarga perempuan.

Latar belakang seperti ini yang mengakibatkan sering adanya keadaan yang tidak seimbang antara pria dan perempuan yang pada akhirnya menikah dengan Belis yang tidak sesuai. Pihak suami yang merasa memberikan belis yang tinggi maka akan memiliki potensi untuk berlaku sewenang-wenang terhadap istrinya. Demikian pula jika yang terjadi adalah belis yang diberikan pada akhirnya lebih sedikit dari yang diminta oleh pihak keluarga perempuan, maka potensi kekerasan dapat dilakukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki.[7] Dalam pemikiran masyarakat tidak mungkin ada kekerasan dari pihak istri kepada pihak pria, namun dalam kenyataan ternyata hal ini sangat memungkinkan terjadi. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Pencegahan kekerasan dalam Rumah Tangga mengatur tentang jenis kekerasan dalam rumah tangga. Jenis kekerasan yang biasa terjadi pada perempuan dan anak yaitu : kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan berupa penelantaran secara ekonomi.[8] Melalui kegiatan yang dilakukan dengan kemunitas masyarakat Ende yang dilakukan dalam beberapa kali tatap muka ternyata diketemukan bahwa kekerasan terhadap pria atau suami yang dilakukan oleh pihak istri dan tidak mungkin tersampaikan kepada pihak luar. Pihak pria / suami dapat mengalami kekerasan fisik, kekerasan psikis maupun penelantaran secara ekonomi.

Saat masa pelaksanaan kegiatan tersebut terjadi keterbukaan tentang permasalahan yang tidak disadari merupakan kekerasan dalam keluarga. Seringkali orangtua tidak membedakan perbuatan yang dimaksud untuk mendisiplinkan anak dengan kekerasan yang masuk dalam kategori Kekerasan psikis karena dengan kata-kata kasar yang membawa traumatis bagi anak di masa depan. Jika dilakukan secara terus menerus akan menggerus kepercayaan diri anak. Orang tua adalah satu-satunya contoh terdekat anak, sehingga jika terdapat kesalahan komunikasi dari orang tua akan mempengaruhi watak / karakter anak di masa depan.[9]

Norma adat yang berlaku merupakan norma yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama dalam musyawarah, dengan berdasarkan konsep kearifan lokal, yang menegaskan tentang ‘keadilan’; Oleh arena itu, aturan dalam masyarakat khususnya dalam komunitas suku tertentu, senantiasa mengutamakan keadilan bagi setiap individu. Relasi antar manusia atau individu ini, adalah suatu konsep keadilan social, bukan sebagai konsep ‘ganjaran-hukuman’ (reward-punishment),[10] akan tetapi lebih kepada relasi sosial, yang memastikan agar tidak ada individu yang tidak merasakan keadilan, terutama dalam hubungan kesehariannya.

Demikian juga kearifan lokal yang berhubungan dengan prinsip kemanusiaan, yang tidak bisa dipisahkan dari bentuk perilaku yang baik terhadap orang lainnya. Perwujudan prinsip kemanusiaan ini ada dalam relasi anata manusia/individu tanpa ada pembedaan, karena pada dasarnya setaip mansusia harus menghargai dan menghormati manusia lainnya. Adanya norma adat adalah untuk memberikan penegasan terhadap norma hukum yang ada, sehingga bila terjadi pelanggaran, maka ada pengenaan sanksi yang sesuai denagn prinsip keadilan

Para perantau asal Ende merupakan suatu komunitas yang mempunyai budaya dalam keseharian, yang telah terbentuk dari masa kanak-kanak dalam kehidupan. Oleh karena perantau asal Ende ini tidak bisa secara serta merta merubah perilaku kerasnya, maka perlakuan yang tidak baik terhadap sesamanya ini, tetap dilakukan bahkan semakin meningkat seiring dengan sulitnya memperoleh kehidupan yang sejahtera di daerah baru. Berdasarkan komunikasi dengan warga Ende yang hadir dalam kegiatan pendampingan menyatakan bahwa ada masa dimana keadaan dipersulit lagi dengan karakter dari daerah yang tidak memikirkan akibat dari suatu perilaku. Perilaku yang dilakukan adalah perilaku yang melanggar norma hukum yang berlaku di daerah baru, yang seharusnya dipatuhi. Pemahaman akan norma hukum bagi warga Perantau perlu dilakukan secara berkala sehingga makin dalam pemahaman akan norma hukum terutama hukum yang tertulis. Norma hukum yang tertulis memiliki sanksi hukum bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali. Pengetahuan akan bermacam-macam norma hukum yang harus dipatuhi dalam melindungi hak dan kewajiban warga negara.

Kesadaran akan status sebagai warga negara Indonesia yang punya kewajiban mentaati peraturan yang berlaku, terkalahkan dengan karakter yang susah untuk dirubah. Kesemua permasalahan ini, bermula dari kurangnya kesadaran akan hukum dan ketidakpahaman akan aturan hukum yang berlaku lengkap dengan penetapan sanksi terhadap pelanggar aturan tersebut. Tingkat Pendidikan pun menjadi suatu kendala dalam pemahaman akan aturan hukum ini. Orangtua yang memiliki Pendidikan yang tidak sebanding antara suami dan istri menjadi potensi kekerasan di salah satu pihak. Pihak yang menjadi korban mengalami kesulitan untuk keluar dari masalahnya, karena merasa masalah yang dihadapi adalah masalah keluarga. Kondisi semacam ini membutuhkan pihak lain sebagai penengah agar korban tidak semakin terpuruk.[11]

Perantau Ende merupakan juga warga negara Indonesia, sehingga mereka pun mempunyai hak untuk hidup sejahtera dalam masyarakat, khususnya dalam keluarga. Kesejahteraan hidup ini merupakan hak warga negara yang telah ditetapkan dalam Pasal 28 H Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Kesejahteraan hidup ini meliputi kesejahteraan lahir, dalam kebutuhan sandang, pangan dan papan, dan juga kesejahteraan batin dalam kehidupan bersama. Kehidupan yang sejahteraa tanpa ada perilaku keras, belum diperoleh secara menyeluruh, khususnya perilaku terhadap anggota keluarga. Adanya suatu pemahaman bahwa kaum lelaki merupakan pemimpin keluarga yang memiliki kekuasaan penuh, menjadikan perilaku keras ini masih sering timbul dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku keras ini meliputi: perkataan dan juga perbuatan. Perkataan yang tidak sepantasnya diucapkan, dan perbuatan yang kasar dalam penyelesaian suatu permasalahan menyebabkan terjadi pelanggaran yang berakhir dengan dikenakan sanksi terhadap pelaku.

Kehidupan sejahtera yang diharapkan akan menjadi semakin jauh dari perwujudan jika perilaku keras berlanjut, sehingga semakin memperburuk kehidupan para perantau asal Ende ini. Terutama kekerasan pada anak yang tanpa disadari akan menjadi boomerang bagi orang tua di kemudian hari. Kekerasan yang seringkali tidak disadari karena emosi sesaat dan merasa yang paling berhak untuk melakukan kekerasan.[12]

  1. Karakteristik Kabupaten Ende
  2. Norma Hukum dan Norma Adat
  3. Pemahaman Norma Hukum Pada Komunitas Perantau Asal Ende
  4. Hak Hidup Sejahtera bagi Perantau Ende
  5. Kesadaran Akan Hukum

Pemahaman sebagian besar warga negara Indonesia akan hukum yang berlaku, sangatlah minim, karena hukum hanya dicoba pahami dalam menghadapi suatu permasalahan, baik permasalahan yang ringan hingga yang besar. Setiap pelanggaran hukum akan memiliki ancaman hukuman yang harus dihadapi oleh siapapun sebagai warga negara atau non warga negara selama masih ada di wilayah negara Indonesia. Saat pertemuan yang dilakukan untuk pendampingan perwakilan warga Ende dalam memahami norma hukum yang berlaku, muncul berbagai pertanyaan yang menarik terkait dengan berbagai jenis kekerasan yang diatur dalam berbagai undang-undang. Undang-undang yang dibahas kesemuanya memiliki aspek hukum terkait dengan kekerasan baik itu verbal, tulisan, perbuatan, psikis, seksual hingga penelantaran dalam hal ekonomi. Hal ini menandakan bahwa pemahaman sebenarnya membutuhkan informasi mengenai penerapan hukum. Masyarakat harus menyadari bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang memberikan sanksi apabila ada kejahatan yang terjadi.[13] Kekerasan adalah sebuah tindak kejahatan bukan pelanggaran hukum. Kesadaran hukum masyarakat ternyata tetap harus dibangun karena norma hukum yang berlaku akan berubah dalam waktu-waktu tertentu dan dianggap masyaraat telah mengetahui norma hukum tersebut atau yang disebut dengan fiksi hukum.[14]

Pemahaman yang juga diberikan saat membahas tentang anak yang mengalami kekerasan di sekolah, upaya dan pendekatan yang diperlukan oleh orangtua agar anak terhindar dari stigma. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual di sekolah yang saat ini marak juga menjadi bahasan dalam pendampingan. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual jangan menjadi korban kedua, ketiga bahkan berkali-kali saat keluarga tidak mempercayai, sekolah tidak mempercayai, bahkan apparat sekalipun. Anak telah menjadi korban, jangan lagi menjadikan anak korban dengan menuduh dan tidak mempercayai anak.[15] Perlindungan hukum untuk anak yang mengalami kekerasan seksual diatur dalam norma hukum yang memiliki sanksi atau hukuman, agar masyarakat memiliki rasa jera.[16]

Simpulan

Keadaan warga perantau Ende yang memiliki adat budaya yang dibawa dari daerah masing-masing yang tetap dijalankan, termasuk menikah dengan Belis / mahar. Kekerasan yang lebih banyak dilakukan dalam keluarga adalah kekerasan psikis karena lebih banyak dilakukan perkataan keras. Warga Ende di Kota Surabaya memahami bahwa perilaku kekerasan yang bersifat fisik tidak akan dilakukan jika tidak karena membela diri karena ada akibat hukum yang menyertai. Meskipun tidak mengetahui dengan jelas apakah akibat hukum yang akan diterima. Pengetahuan mengenai hukum bertahap dikembangkan melalui diskusi-diskusi yang dijalankan.

Rekomendasi

Budaya tersebut baik dijalankan namun seharusnya tidak mengubah pola pemikiran warga perantau menjadi memiliki seutuhnya dan berlaku semaunya kepada pasangannya dan seisi rumah. Pendampingan berkala tetap dilakukan karena akan meningkatkan pengetahuan mengenai hukum yang akan berlaku menjadi perhatian bagi warga perantau Ende di Surabaya. Berlaku baik akan menjadi pilihan semua orang karena akan menjadi investasi baik untuk masa depan.

References

  1. T. Prasetya, Hukum dan Sistem hukum Berdasarkan Pancasila. Yogyakarta: Media Putra Perkasa, 2013.
  2. L. Chasanah and E. W. Maryam, “Perilaku Prososial pada Mahasiswa Pengguna Media Sosial,” Indones. J. Cult. Community Dev., vol. 11, pp. 1–11, 2022.
  3. J. Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Konstitusi Press (Konpress), 2018.
  4. Marilang, “Menimbang Paradigma Keadilan Hukum Progresif,” J. Konstitusi, vol. 14, no. 2, p. 315-331, 2017.
  5. T. C. Nuwa, “Makna Belis Sebagai Mas Kawin (Studi Kasus Pada Pasangan Suami Istri yang Menikah Dengan Menggunakan Belis dan Tanpa Belis Pada Masyarakat Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur) Skripsi Disusun oleh Theresia Christina Nuwa,” Universitas Airlangga, 2019.
  6. D. Kleden, M. A. L. Studi, D. Pelestarian, B. Sumba, and S. Weetebula, “Belis dan Harga Seorang Perempuan Sumba (Perkawinan Adat Suku Wewewa, Sumba Barat Daya, NTT),” Stud. Budaya Nusant., vol. 1, no. 1, pp. 24–34, Apr. 2017.
  7. F. Avelino et al., “Transaksional Budaya Belis ( Kajian Fenomenologi di Desa Gunung , Kabupaten Manggarai Timur ),” J. Communio, vol. 9, no. 2, pp. 1–7, 2020.
  8. A. Setyaningrum and R. Arifin, “Analisis Upaya Perlindungan dan Pemulihan Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Khususnya Anak-Anak dan Perempuan,” J. MUQODDIMAH J. Ilmu Sos. Polit. dan Hummaniora, vol. 3, no. 1, pp. 9-11, 2019.
  9. D. F. Fatmala and D. Hariyanto, “Pola Hubungan Komunikasi Interpersonal Antara Orangtua dan Anak dalam Pembentukan Karakter Murid (Studi Kasus Pada SDI A-Education Desa Ketawang Jogosatru Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo),” Indones. J. Cult. Community Dev., vol. 11, pp. 1–8, 2022.
  10. A. Riyanto, kearifan Lokal - Pancasila - Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan. Sleman, Yogyakarta: Kanisius, 2015.
  11. E. Asmadi, “Peran Psikiater Dalam Pembuktian Kekerasan Psikis Pada Korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga,” LEGA LATA J. Ilmu Huk., vol. 3, no. 1, pp. 39–51, 2018.
  12. S. Sugijokanto, Apa saja kategori kekersan terhadap anak dan bagaimana solusi serta pencegahannya. Cegah kekerasan pada anak. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014.
  13. S. Kartini, Kesadaran Hukum. Semarang: Alprin Finishing and Bindery Shop, 2020.
  14. A. M. HSB, “Mengkritisi Pemberlakuan Teori Fiksi Hukum,” J. Penelit. Huk. Jure, vol. 16, no. 3, pp. 251–264, 2016.
  15. N. L. Ligina, A. Mardhiyah, and I. Nurhidayah, “Peran Orang Tua Dalam Pencegahan Kekerasan Seksual Pada Anak Sekolah Dasar Di Kota Bandung,” J. Keperawatan, vol. 9, no. 2, pp. 109–118, 2018.
  16. D. Suryandi, N. Hutabarat, and H. Pamungkas, “Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak,” J. Darma Agung, vol. 28, no. 1, pp. 84-91, 2020.