This study aims to examine the relationship between adversity quotient and empty nest syndrome in elderly women in Larangan village, Sidoarjo. The hypothesis in this study is that there is a negative relationship between adversity quotient and empty nest syndrome in elderly women in Larangan Sidoarjo village, namely the higher the adversity quotient of elderly women, the lower the empty nest syndrome of elderly women, and vice versa. This study uses a correlational quantitative approach with a sample of elderly women in Larangan Village, Sidoarjo, with a total sample of 199 from a total population of 424 elderly. In this study, two scales were used, the adversity quotient variable using the adversity quotient scale and the empty nest syndrome. Hypothesis analysis was performed using Pearson's product moment correlation technique on SPSS version 20.0 for windows. Based on the results of the study, the correlation coefficient (r) between adversity quotient and empty nest syndrome in elderly women in Larangan Sidoarjo village was (r) = -0.441, with a significant value (p) = 0.000 (p <0.05) and the test results coefficient of determination 0.194 (adjusted R Square) which indicates that the hypothesis of this study is accepted, namely there is a relationship between adversity quotient and empty nest syndrome in elderly women in Larangan Sidoarjo Village and Adversity Quotient provides an effective contribution of 19.4% to the Empty nest variable. syndrome and 80.6% were influenced by other factors, such as gender, age, spirituality, etc.
Setiap manusia akan mengalami perkembangan di kehidupannya dalam beberapa fase yang berurutan dan tidak dapat di hindari, mulai dari fase pranatal hinggal lanjut usia. Setiap masa yang dilalui manusia merupakan tahap yang saling berkaitan dan tidak bisa di ulang kembali. Artinya, perkembangan di setiap individu akan memberikan pengaruh terhadap tahap selanjutnya. Salah satu tahap yang akan di lalui individu adalah masa lanjut usia atau lansia.
Masa lanjut usia adalah masa perkembangan terakhir dalam hidup manusia. Menurut Hardywinoto [1] kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Bila seseorang yang sudah beranjak jauh dari periode hidupnya yang terdahulu ia sering melihat masa lalunya, biasanya dengan penuh penyesalan, dan cenderung ingin hidup pada masa sekarang, Hurlock [2].
Pada masa lanjut usia proses yang dilalui dalam kehidupan di tandai dengan berbagai perubahan kearah penurunan. Departemen Kesehatan RI 1998 [1] menyatakan ketika menjadi tua ditandai dengan kemunduran biologis yang terlihat pada gejala kemunduran fisik, yaitu mulai tumbuhnya uban, kulit yang mulai keriput, berat badan mulai menurun, tanggalnya gigi sehingga mengalami kesulitan makan, pendengaran dan penglihatan mulai berkurang, mudah letih dan terjadi penimbunan lemak terutama pada bagian perut dan pinggul. Selain itu juga muncul perubahan yang menyangkut kehidupan psikologis lansia, seperti perasaan tersisih, kurang di butuhkan lagi, ketidakikhlasan dalam menerima kenyataan baru, misalnya penyakit yang tidak kunjung sembuh atau kematian pada pasangan.
Masih sering kita temukan individu lanjut usia yang masih belum siap dalam menyikapi dan menghadapi di masa tua, sehingga menyebabkan para lansia kurang bisa menyesuaikan diri dalam memecahkan setiap masalah yang di hadapi, padahal pada diri seorang lansia tentu mengalami perubahan besar pada seluruh aspek kehidupannya, baik fisik, psikologis, maupun sosial. Salah satu permasalahan psikologis yang di hadapi yaitu sindrom saran kosong (empty nest syndrome).
Menurut Shakya [3], empty nest syndrome merupakan perasaan umum yang berupa kesepian maupun kesedihan yang dialami oleh orang tua ketika anak-anak mereka telah meninggalkan rumah. Bebrapa peneliti memperoleh hasil bahwa perubahan menuju masa sarang kosong lebih dominan terjadi pada para wanita, terutama kepada ibu rumah tangga. Jika di bandingkan dengan ayah, ibu akan lebih mengalami stres ketika anak-anak mulai pergi dari rumah untuk memulai hidup baru karena ibu lebih menghabiskan lebih banyak waktu dan tenaga bersama anak-anak mereka. Sindrom ini tidak hanya di alami oleh para orang tua dan mungkin juga di alami kepada yang muda, namun ada kesamaan khas yang mempengaruhi muncul sindrom sarang kosong yaitu derajat kedekatan hubungan individu akan mempengaruhi munculnya sindrom tersebut. Semakin dekat hubungan dengan seorang individu dengan individu lainnya, maka semakin besar pula mengalami sindrom sarang kosong.
Mbaeze & Ukhwandu [4] berpendapat pada fase syndrome sarang kosong memiliki beberapa gejala yang pada umumnya tampat saat fase tersebut di alami oleh para orang tua. Gejala-gejaa tersebut antara yaitu perasaan kehilangan ketika orang tua tidak lagi dapat menjalankan perannya untuk menjaga dan merawat anaknya karena anak tersebut sudah tidak tinggal serumah dengan mereka, perasaan tersebut terjadi pada umumnya kepada orang tua yang hubungannya sangat erat dengan anaknya. Perasaan kesedihan kepada orang tua yang terjadi pada saat empty nest syndrome merupakan gabungan dari beberapa peristiwa hidup yang lain, seperti menopause, masa pensiun, dan sebagainya. Kekosongan dalam kehidupan pada diri seorang lansia yang mengalami empty nest syndrome disebabkan oleh berkurangnya aktifitas atau rutinitas ketika anak sudah mampu hidup secara mandiri, serta masalah yang di hadapi oleh keluarga.
Fakta dalam Republika.co.id [5], menemukan bahwa dari waktu ke waktu, epidemi kesepian dilaporkan melanda warga lanjut usia (lansia) diberbagai belahan dunia. Laman Daily Mail melaporkan, satu dari 10 lansia berusia di atas 65 tahun di Inggris mengalami kesepian kronis. Sindrom sarang kosong (emptynestsyndrome) dianggap suatu yang tidak menyenangkan, baik dari sisi psikologis ataupun dari sisi fisik. Hal ini juga didukung oleh hasil interview yang dilakukan oleh peneliti, pada individu A, B dan C :
“Iya Mas, semenjak anak saya menikah, kemudian tinggal sama suaminya, saya merasa tidak tenang, apalagi saya di rumah sendiri, terkadang saya ya kangen sama anak saya, biasanya saya suka nangis-nangis sendiri mas”.
“Saya sering merasa pusing, terutama ketika sendiri. Awal ditinggal anak terakhir saya langsung stres dan sakit parah,
“Iya dulu waktu awal ditinggal sama anak saya yang laki-laki, saya merasa sangat sedih, kacau, dan sangat kehilangan berat.
Kesimpulan dari hasil wawancara bahwa mereka memiliki indikasi merasa kehilangan tujuan hidup, kecemasan yang berlebihan terhadap keadaan anak, dan sering menangis diam-diam.
Senada dengan hal tersebut, Vera dalam detik Health [6] jika gejala empty nest syndrome biasanya disertai dengan beberapa gejala seperti: merasa dirinya sudah tidak bermanfaat lagi dan hidupnya telah berakhir, menangis secara berlebihan, merasa begitu sedih sehingga tidak mau lagi bergaul dengan teman- temannya atau bekerja kembali. Dampak yang terjadi pada usia lanjut dengan adanya empty nest syndromeadalah kesedihan yang dialami usia lanjut dapat terus berlanjut, sering menangis sendirian karena merasa bahwa hidupnya tidak berguna lagi setelah anaknya tidak serumah. Muncul keiginan untuk menyendiri, menjauhi pergaulan dan tidak ingin bekerja lagi. Ini berarti emptynestsyndrometelah mengakibatkan depresi.
Empty nest syndrome dapat diukur menggunakan tes BDI di mana tes ini dapat mengukur gejala dimulai dari orang normal, orang yang mengalami depresi ringan sampai depresi tinggi. Penelitian yang berjudul “test-retest reliability and minimal detectable change of the beck depression inventory and the taiwan geriatric depression scale in patients with parkinson’s disease” yang di lakukan oleh Huang, Hsieh, Wu, Lu [7] di dapatkan hasil bahwa tes BDI dapat di andalkan dalam mengukur gejala depresi dari orang yang menderita parkinson didease dengan angka reabilitas 0,89. Penelitian lain yang di lakukan oleh Wasis Basuki [8] dengan judul “faktor – faktor penyebab kesepian terhadap tingkat depresi pada lansia penghuni panti sosial tresna werdha nirwana puri kota samarinda” dalam penelitian ini untuk mengungkapkan faktor- faktor penyebab kesepian terhadap tingkat depresi pada lansia menggunakan tes BDI sehingga di dapatkan hasil bahwa faktor – faktor yang menyebabkan rasa kesepian pada lansia dikarenakan tidak adanya hubungan yang intim antara subjek dengan suami dan antara subjek dengan anak, dengan kata lain subjek mengalami kesepian secara emosional, jika secara sosial subjek merasa tidak terlalu merasakan hal kesepian dikarenakan subjek mempunyai cukup banyak teman didalam panti. Kemudian faktor – faktor yang menyebabkan depresi tingkat ringan pada lansia yang tinggal di panti sosial adalah dikarenakan beberapa faktor yang kemudian menimbulkan beberapa gejala depresi, faktor-faktor tersebut antara lain berkurangnya interaksi sosial, kesepian, masalah sosial ekonomi dan masalah kepribadian, sedangkan gejala yang timbul adalah seperti adanya gejala secara fisik seperti sedikit kehilangan selera makan, kurangnya tidur, kecemasan, kurangnya aktivitas atau aktivitas yang menurun dan gejala secara psikis seperti hilangnya rasa percaya diri dan sensitif. Sehingga dapat di simpulkan dari penelitian yang di lakukan oleh Wasis Basuki bahwa tes BDI dapat di gunakan untuk mengukur emptynestsyndrome.
Faktor yang mempengaruhi empty nest syndrome pada usia lanjut menurut Stevens Et Al [9] yaitu, a) perpisahan. Usia lanjut kadang-kadang mendapatkan perasaan bahwa seakan-akan kehidupan didunia ini jauh mendahului mereka, b) masa pensiun. Orang yang berhenti bekerja sebelum mereka pensiun, dapat mengalami empty nest syndrome yang dapat diartikan bahwa usia lanjut belum siap meninggalkan pekerjaan mereka, c) situasi tempat tinggal usia lanjut. Situasi tempat tinggal yang baru dapat menyulitkan usia lanjut karena harus membiasakan diri dengan orang lain, d) hubungan. Orang yang menjadi usia lanjut secara perlahan-lahan akan kehilangan hubungan atau relasi dengan keadaan sekitarnya, e) posisi finansial. Banyak usia lanjut yang tidak dapat mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada dalam masyarakat karena kekurangan dana dan keuangan, f) posisi sosial. Perasaan kesepian dan isolasi sosial merupakan akibat yang sering dialami usia lanjut dalam kehidupan bersama.
Menurut Notoadmojo [10], bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor biologis, faktor social psikologis (sikap, emosi, kepercayaan, kepribadian dan lain-lain), sedangkan faktor eksternal meliputi fator ekologi, faktor desain dan arsitektur, faktor temporal, faktor suasana perilaku, faktor teknologi dan social. Adversity quotientmerupakan salah satu aspek kepribadian individu.
Menurut Stoltz [11], adversity quotient merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengamati kesulitan dan mengolah kesulitan tersebut dengan kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk diselesaikan. Dampak adversity quotient menurut Stoltz [11], mengatakan bahwa orang-orang yang memiliki adversity quotientyang rendah dapat mengalami aspek kesehatan fisik, daya tahan tubuh terhadap penyakit-penyakit yang fatal kemampuan untuk menyelesaikan tanggung jawab, kemampuan untuk memberikan respon yang tepat sesuai dengan situasi, menahan tekanan sehari- hari, kemampuan untuk tetap berharap, bahkan kesedihan untuk bertahan hidup.
Aspek AQ seseorang, diantaranya Stoltz [11] : a) faktor internal berupa genetika, keyakinan, bakat, hasrat atau kemauan, karakter, kinerja, kecerdasan, kesehatan, b) faktor eksternal berupa pendidikan dan lingkungan. Seseorang yang memandang dan mampu mengubah kesulitan atau hambatan sebagai suatu tantangan dan peluang adalah seseorang yang akan mampu terus berjuang dalam situasi apapun hingga mencapai kesuksesan, Stoltz [11]. Seseorang yang terus berjuang dan berkembang pesat adalah seseorang yang memiliki adversityquotientyang tinggi. Seseorang dengan adversity quotient tinggi ini adalah individu yang merasa berdaya, optimis, tabah, teguh, dan memiliki kemampuan bertahan terhadap kesulitan.
Stoltz [11] juga menambahkan bahwa individu yang selalu tak berdaya, merupakan individu yang memiliki adversity quotientrendah atau quitters. Quitters merupakan individu yang memiliki kewajiban untuk berputus asa, dan selalu menolak akan perubahan. Berbeda dengan yang memiliki adversity quotientsedang (campers)yang terlihat sedikit berusaha ataupun berjuang untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi, meskipun penuh pertimbangan dan kurang mengerahkan kemampuan secara optimal seperti apa yang dilakukan oleh para lansia yang memiliki adversityquotienttinggi (climbers).
Individu yang mempunyai adversity quotient tinggi (climbers)adalah individu yang mempunyai ciri-ciri lain yaitu tangguh. Individu yang tangguh cenderung memandang perubahan sebagai keuntungan atau kesempatan untuk berkembang dan bukan sebagai ancaman keamanan, Stoltz [11]. Sedangkan individu yang mengalami empty nest syndrome cenderung memandang perubahan dari masa dewasa madya ke masa lansia sebagai ancaman atas reaksi kehilangan anak-anak mereka [12].
Berdasarkan fenomena masalah empty nest syndrome, data lansia perempuan di Desa Larangan [13] yaitu 424 orang serta dinamika kajian teori antara adversity quotient (AQ) dan empty nest syndrome menggugah peneliti untuk membuktikan kajian teori diatas dengan judul “Hubungan antara adversity quotient (AQ) dengan empty nest syndrome pada perempuan lanjut usia di Desa Larangan Sidoarjo.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode korelasional, karena pendekatan kuantitatif menggunakan data berupa angka dan angka yang diperoleh oleh peneliti dinalisis menggunakan perhitungan statistik, Azwar [14]. Penelitian korelasional adalah metode untuk mengetahui bagaimana kekuatan dan arah dari suatu hubungan yang berada pada variabel-variabel penelitian, Azwar [14]. Sehingga dapat di simpulkan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara adversity quotient dengan empty nestsyndrome pada perempuan lanjut usia di Desa Larangan Sidoarjo.
Variabel penelitian merupakan konsep yang mempunyai bermacam-macam nilai Nazir [15], sedangkan menurut Hadi [16] bahwa variabel adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran penyelidikan dan menunjukkan variasi, baik dalam jenis maupun dalam tingkatan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini identifikasi variabel-variabel sebagai berikut : kecenderungan emptynestsyndrome sebagai variabel tergantung (Y), sedangkan adversity quotient sebagai variabel bebas (X). Definisi operasional dari emptynest syndrome adalah sindrom yang muncul pada sejumlah orang tua akibat adanya perasaan kehilangan dan krisis identitas yang mereka alami setelah anak-anak meninggalkan rumah dan hidup memisahkan diri dari orang tua, Gunarsa [17]. Definisi operasional dari adversity quotient (AQ) adalah seberapa tinggi tingkat kecerdasan seseorang dalam merespon kesulitan- kesulitan dalam hidupnya dan merubah kesulitan-kesulitan tersebut menjadi sebuah peluang kesuksesan.
Sampel penelitian adalah bagian dari suatu populasi, Sugiyono [18]. Penentuan sampel menggunakan tabel yang dikembangkan oleh Isaac dan Michael dengan tingkat kesalahan 5% dengan populasi 424 orang. Maka di dalam tabel Isaac dan Michael jumlah populasi 424 berada di antara angka 440 dan didapat jumlah sampel sebesar 195 orang.
Pada penelitian ini pengambilan datanya menggunakan skala. Skala adalah daftar yang berisi sejumlah pertanyaan yang di berikan kepada subjek penelitian untuk mengungkap kondisi dalam diri subjek yang inin di ketahui, Hadi [16]. Menurut Arikunto [19], keuntungan metode skala yaitu tidak memerlukan hadirnya peneliti, dapat di bagikan secara serentak kepada banyak responden, dapat di jawab oleh responden menurut kecepatannya masing-masing dan menurut waktu yang senggang responden, dapat dibuat anonim sehingga responden bebas, jujur, dan tidak malu-malu menjawab, dan dapat di buat terstandar yang benar-benar sama. Pada variabel emptynestsyndromemenggunakan tes psikologi dengan model tes BDI yang mencakup 21 pernyataan yang mengidentifkasi intensitas tanda-tanda depresi dan gejala tertentu. Robinson [20]mencatat bahwa BDI memiliki reliabilitas konsistensi internal yang baik yaitu 0,93 dengan reliabilitas tes-retest 0,70. Reliabilitas versi Indonesia sebesar 0,775 sedangkan Prabandari [21] menemukan angka reabilitas 0,93. Pada variabel Adversity quotientmenggunakan skala psikologi dengan model skala Likert yang sudah dimodifikasi dengan pernyataan- pernyataan lewat 4 alternatif pilihan jawaban, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Skala yang dipergunakan berisi pernyataan-pernyataan yang mendukung variabel yang akan diungkap (favourable) dan pernyataan-pernyataan yang tidak mendukung variabel yang hendak diungkap (unfavourable) dan setiap pernyataan akan diberi nilai. Pada skala adversity quotient, item dibuat dengan menggunakan dimensi adversity quotientbeserta indikatornya. Jumlah soal sebelum dilakukan tryout berjumlah 48 butir sola sedangkan setelah di lakukan tryout jumlah soal menjadi 27 soal aitem. Hasil uji coba pada skala adversity quotient menunjukkan bahwa dari 48 aitem terdapat 27 aitem yang valid dan 21 aitem yang gugur. Dari 27 aitem yang valid memiliki nilai validitas di atas standart yaitu berkisar dari 0,309 sampai 0,638, sedangkan dari 21 aitem yang gugur memiliki nilai di bawah standart yang berkisar dari -0,26 sampai 0,282 Damawanti [22]. Untuk mengukur Empty Nest Syndrome menggunakan alat ukur tes BDI (BeckDepressionInventory) dengan menggunakan 21 pernyataan yang dikembangkan untuk mengetahui tingkat keparahan, tanda serta gejala depresi. Pernyataan dari tes BDI mengarah pada gejala psikologis seperti bunuh diri, penyesalan, pesimisme, suasana hati dan perasaan marah sedangkan pernyataan dalam tes BDI mempertimbangkan gejala fisik, seperti gangguan tidur, nafsu makan, kelemahan dan penurunan berat badan. Uji reliabilitas BDI menggunakan analisis Alpha Cronbach menunjukkan reliabilitas sebesar 0,90 untuk keseluruhan (21 aitem); 0,80 untuk faktor kognitif (7 aitem); 0,81 untuk faktor somatik (9 aitem); dan 0,74 untuk faktor afektif (5 aitem).Untuk tes BDI ( 1985 ) telah melakukan evaluasi validitas terhadap tes ini yaitu menggunakan validitas konkuren. Validitas konkuren dievaluasi dengan menunjukkan seberapa baik nilai tes sesuai dengan pengukuran tingkat depresi yang lain seperti evaluasi klinis dan nilai tes psikometri lain dari depresi. Beck [23] menemukan bahwa BDI berkorelasi signifikan dengan berbagai tes lain, depression adjective, check list dan minnesota multiphasic personality inventory. Hal ini didukung Robinson [20] mencatat bahwa BDI memiliki validitas berkisar 0,6-0,9.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara adversity quotient dengan kecenderungan mengalami empty nest syndrome pada perempuan lanjut usia, maka untuk uji korelasi dengan menggunakan product moment pearson, untuk estimasi reliabilitas menggunakan teknik alpha Cronbach, untuk uji normalitas menggunakan Kolmogorof-Smirnovdan Shapiro-Wilk. Seluruh perhitungan tersebut menggunakan program SPSS 20.0for windows.
A. Hasil Penelitian
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test | ||
Unstandardized Residual | ||
N | 199 | |
Normal Parametersa | Mean | .0000000 |
Std.Deviati on | 747.724.189 | |
Most ExtremeDifferences | Absolute | .046 |
Positiv e | .046 | |
Negative | -.034 | |
Kolmogorov- Smirnov Z | .651 | |
Asymp. Sig. (2-tailed) | .791 | |
a. Test distribution isNormal. |
Berdasarkan uji normalitas diatas dapat diketahui hasil uji Kolmogorov-Smirnov dari variabel Adversity Quotient dan empty nest syndrome diatas, dapat diketahui bahwa nilai signifikansi pada tabel sebesar sig = 0,791 sehingga dapat dikatakan bahwa dikatakan normal, dikarenakan diatas 0,05. Maka, uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis korelasi dengan menggunakan uji korelasi product moment pearson.
ANOVA Table | ||||
Sum of Squares | df | MeanSquare | F | Sig. |
4.658.499 | 36 | 129.403 | 2.308 | .000 |
2.670.160 | 1 | 2.670.160 | 47.631 | .000 |
1.988.339 | 35 | 56.810 | 1.013 | .457 |
9.081.672 | 162 | 56.060 | ||
13.740.171 | 198 |
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa hasil uji linieritas memiliki nilai signifikansi Deviation From Linierityyaitu sebesar Sig = 0, 457 > 0,05. Hasil ini menjelaskan bahwa terdapat hubungan linier antara Adversity Quotientdengan emptynestsyndrome.
Correlations | |||
AQ | BDI | ||
AQ | Pearsonorrelation | 1 | -.441** |
g. (2-tailed) | .000 | ||
N | 199 | 199 | |
BDI | Pearsonorrelation | -.441** | 1 |
g. (2-tailed) | .000 | ||
N | 199 | 199 | |
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). |
Berdasarkan pada tabel 3 diatas dapat diketahui dari hasil perhitungan analisis tersebut diperoleh hasil koefisien korelasi (rxy) = -0.441 dengan taraf signifikansi p = 0,000 < 0.05. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara Adversity Quotientdengan empty nest syndrome pada perempuan lanjut usia di Desa Larangan Sidoarjo. Hal ini memiliki arti semakin tinggi AdversityQuotient pada perempuan lanjut usia, maka semakin rendah tingkat empty nest syndrome pada perempuan lanjut usia tersebut, begitupun sebaliknya jika semakin rendah Adversity Quotient pada perempuan lanjut usia maka semakin tinggi emptynestsyndromepada perempuan lanjut usia di Desa Larangan Sidoarjo.
Penelitian ini juga menghitung efektif Variabel Adversity Quotient mempengaruhi Empty Nest Syndrome dengan Uji R2 atau koefisien Determinasi, dan hasilnya sebagai berikut :
Model | R | R Square | Adjusted R Square | Std. Error of the Estimate |
1 | .441a | .194 | .190 | 7.33092 |
a. Predictors: (Constant), BDI |
Berdasarkan hasil uji koefisien determinasi pada tabel 4 diatas menunjukkan 0,194 (adjusted R Square) yang menunjukkan bahwa dalam penelitian ini variabel Adversity Quotient sedikit pengaruhnya sebesar 19% terhadap variabel Empty nest syndrome.
B. Pembahasan
Menurut hasil analisis yang telah telah dilakukan, mendapatkan hasil bahwa AdversityQuotientmemiliki hubungan yang signifikan terhadap Empty Nest Syndrome pada perempuan lansia di Desa Larangan Sidoarjo.Hubungan antara AdversityQuotientdengan EmptyNestSyndrome pada perempuan lansia yaitu hubungan yang negatif. Hasil yang didapat menyebutkan bahwa tingginya Adversity Quotient yang ada dalam diri perempuan lansia,memberikan dampak terhadap Empty Nest Syndrome yang semakin rendah. Begitupun sebaliknya perempuan lansia yang memiliki tingkat Empty Nest Syndromeyang tinggi, memberikan dampak rendah pada diri perempuan lansia.
Penelitian ini juga mendukung yang dilakukan oleh Muna Inas Mabruroh [24] yang berjudul “Shalat berjamaah dalam mengurangi empy nest syndrome pada lansia di yayasan al-jenderami Selangor Malaysia” yang hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang negatif antara sholat berjamaah dan Empty Nest Syndrome. Hal ini menunjukkan bahwa sholat berjamaah menjadi salah satu cara yang dipilih oleh para lansia untuk mengatasi rasa Empty Nest Syndrome yang dimiliki oleh para lansia.
Begitu juga dengan para lansia yang memiliki kontrol tinggi yang mempunyai kendali terhadap sebuah peristiwa yang menghadirkan kesulitan, tanpa adanya kendali terhadap kesulitan harapan dan tindakan akan hancur. Begitu sebaliknya dengan adanya kendali terhadap kesulitan, maka perubahan hidup akan dapat diubah dan tujuan yang ingin dicapai akan terwujud.
Begitu dengan para lansia yang mempunyai jangkauan yang tinggi mereka mampu mengetahui sejauh mana kesulitan akan menjangkau ranah-ranah yang lain dalam kehidupan individu, dengan begitu akan menimbulkan penilaian diri yang positif.Pada orang tua yang selalu memberikan waktu secara penuh untuk anak-anaknya sehingga terbawa dan terbiasa dengan kehidupan anaknya, namun saat anak sudah beranjak dewasa mereka akan memutuskan untuk memilih pergi meninggalkan rumah hal ini akan menyebabkan orang tua merasakan kesedihan yang presisten. Akan tetapi seseorang yang memiliki endurance atau daya tahan yang tinggi, maka akan mempebesar kemungkinan seseorang menganggap bahwa kesulitan yang dihadapinya akan berlangsung dalam waktu singkat atau sementara. Terdapat hubungan yang signifikan antara Adversity Quotient dan Empty Nest Syndrome memperlihatkan bahwa para lansia yang mempunyai Adversity Quotient yang tinggi menjadi suatu hal yang penting bagi kehidupan para lansia untuk menghadapi Empty Nest Syndrome. Adversity Quotient yang tinggi juga berdampak pada kehidupan yang dijalani, maka hidupnya akan semakin terarah dan lebih bahagia. Seseorang yang mempunyai Adversity Quotient yang tinggi ketika mereka mendapatkan masalah mereka tidak langsung menanggapi secara negatif, mereka akan melakukan tindakan-tindakan yang positif seperti bercerita bertukar pengalaman dengan masyarakan yang lain dan melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat sehingga ia tidak mengalami Empty Nest Syndrome dengan menanggapi permasalahan yang dihadapi dengan sikap negatif seperti stres dan depresi.
AdversityQuotientadalah daya juangan seseorang dalam menghadapi rintangan dan kesulitan, individu semakin memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari- hari. Diketahui bahwa seseorang yang berhasil erat kaitannya dengan kemampuannya dalam menghadapi tantangan, mampu mengubah tantangan menjadi sebuah peluang, Stoltz [11].
Hasil keseluruhan penelitian yang telah dilakukan telah menjawab hipotesis penelitian yang telah diajukan dibagian sebelumnya. Namun dalam pelaksanaannya, penelitian ini memiliki batasan, dalam hal ini kurangnya teori yang membahas mengenai Empty Nest Syndrome yang menyebabkan peneliti mengalami kesulitan dalam pembuatan instrumen penelitian sehingga harus menggunakan instrumen yang sudah diuji coba oleh peneliti sebelumnya yang membahas tentang sindrom sarang kosong. Efek dari pendemi Covid-19 ini juga menyebabkan keterbatasan peneliti untuk melakukan pengambilan data yang dikumpulkan menjadi satu, yang pada akhirnya peneliti harus melakukan satu persatu. Dan keterbatasan dalam pengambilan tempat tempat yang dilakukan dalam satu desa dengan corak budaya yang sama. Maka dari itu untuk peneliti selanjutnya di harapkan agar melakukan penelitian di beberapa Desa yang memiliki corak budaya yang berbeda.
Terdapat hubungan negatif antara adversity quotient dengan emptynest syndrome pada perempuan lanjut usia yang berdomisili dan tercatat sebagai warga di Desa Larangan Sidoarjo. Dalam penelitian ini di peroleh hasil koefisien korelasi = -0.441**dengan signifikansi 0,000 <0,05. Dan hasil uji koefisien determinasi menunjukkan 0,194 (adjusted R Square) yang menunjukkan bahwa dalam penelitian ini variabel adversity quotient sedikit pengaruhnya sebesar 19% terhadap variabel empty nest syndrome. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif antara adversityquotientdengan emptynestsyndrome. Yang artinya semakin tinggi adversity quotient pada perempuan lanjut usia, maka semakin rendah pula empty nestsyndrome. Begitupun sebaliknya, semakin rendah adversityquotient pada perempuan lanjut usia, maka semakin tinggi pula empty nest syndrome pada perempuan lanjut usia yang berdomisili dan tercatat sebagai warga di Desa Larangan Sidoarjo.