Film is one of the electronic mass communication media in the form of audio-visual and mass in nature. Films are able to have a significant effect in conveying messages so that they affect people's mindsets. Film as a form of representation of social reality is packaged with various kinds of symbols and signs through each scene that can indirectly manipulate reality or commonly known as hyperreality. This study uses the film Satu Suro as the object of research. The purpose of this research is to describe and explain the mystical form of kejawen in Satu Suro film. Satu Suro film was chosen because it has a horror genre that carries the form of Javanese mysticism and is presented with a picture that exceeds the actual reality. This study uses a qualitative-descriptive approach. The method of data analysis in this study uses the mystical theory of kejawen which is associated with the semiotic theory of Charles Sanders Peirce. The results of this study indicate that the Satu Suro film contains elements of Javanese mysticism which are presented through six scenes. In this study, it is also concluded that the results of the analysis of the forms of Sign, Object, and Interpretant from Charles Sanders Peirce's semiotic model give rise to a form of kejawen mystical hyperreality which is very clearly depicted, how the reality of kejawen mysticism in real life is manipulated and constructed through signs and symbols that go beyond the real reality shown in this film.
Film sebagai gambar bergerak sekaligus bentuk dari representasi realita sosial, diproduksi dengan menggunakan berbagai macam simbol dan tanda yang berwujud visual dan digunakan untuk menyampaikan pesan. Film yang bagus secara garis besar dapat dilihat dari jalan ceritanya, berbagai adegan di dalamnya, maupun karakter tokoh yang di tonjolkan oleh sutradara, sering kali menonjolkan sisi yang mana bisa dikatakan jauh dari kenyataan atau realitas yang sebenarnya dan terlalu di lebih-lebihkan, atau yang biasa kita kenal dengan istilah hiperrealitas [1].
Diantara berbagai macam genre film yang muncul di tanah air, film horror adalah jenis film paling populer dan diminati oleh masyarakat Indonesia. Dilansir dari [2] tahun 2018, Wi Suryadi sebagai salah satu sutradara film layar lebar Indonesia, menegaskan bahwa meningkatnya jumlah penonton film dikarenakan sutradara lebih serius dalam mengemas film horor karena konsep yang telah dipikirkan dengan matang. Kini genre film horor di Indonesia mulai berbenah diri, tidak lagi menampilkan sisi sensualitas melainkan fokus dalam penyajian unsur seram dan menonjolkan sisi mistis. Dilansir dari [2], terhitung sejak Januari hingga akhir Oktober 2019, daftar film horor yang berhasil dibuat mencapai 20 film, dan salah satu genre film horror yang menonjolkan sisi mistiknya pada kuartil pertama di tahun 2019 ini adalah film “Satu Suro”.
Istilah Satu Suro dalam penanggalan Jawa pertama kali diperkenalkan oleh Raja Mataram Islam, yakni Hanyokrokusumo, yang berarti mulai masuknya bulan Muharam dalam penanggalan Hijriah. Penanggalan Jawa terbentuk karena adanya akulturasi antara budaya Jawa dan putihan (Islam), dihitung berdasarkan penggabungan kalender lunar (Islam), kalender matahari (Masehi) dan Hindu.
Sebagian masyarakat Jawa kuno (kejawen) menganggap Satu Suro sebagai hari keramat dan penuh akan nuansa mistis, terlebih bila jatuh pada Jumat Legi. Dikutip dari [3], hal-hal mistik pada bulan Suro yang sebagian besar masih dipercayai dan seakan sudah mendarah daging adalah tentang pantangan mengadakan hajatan atau pesta, larangan untuk keluar rumah tanpa sebab dan tujuan yang jelas, karena jika hal tersebut dilanggar, mereka percaya akan ada kesialan dan hal buruk yang bisa saja menimpa. Selain itu, melakukan pindahan rumah juga tidak diperbolehkan karena orang Jawa percaya dalam setiap melakukan kegiatan selalu dikaitkan dengan primbon dalam mencari dan menentukan hari baik. Pola pikir masyarakat Jawa yang didominasi oleh mitos ataupun hal yang berbau mistis membuat segala perilaku orang jawa sulit untuk terlepas dari aspek kepercayaan terhadap hal-hal tertentu akibat dari kepercayaan yang begitu kental terhadap mistik kejawen.
Sedangkan dalam film Satu Suro, meskipun alur cerita tidak sepenuhnya menggambarkan hal-hal mistik kejawen yang lumrah terjadi pada bulan Satu Suro, namun dalam film ini syarat akan makna yang dikemas dalam simbol-simbol mistik kejawen yang terbilang jauh dari realita ritual adat masyarakat Jawa pada umumnya dan terkesan di lebih-lebihkan, sehingga perlu di interpretasikan lebih lanjut dengan kondisi serta situasi dalam kehidupan masyarakat pada umumnya agar pesan yang tersirat mampu diserap dengan mudah.
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, peneliti menyusun sebuah rumusan masalah yaitu: Bagaimana Bentuk Mistik Kejawen dalam Film Satu Suro? dan tujuan dalam penelitian yang ingin peneliti capai adalah untuk mendeskripsikan dan memaparkan bentuk mistik kejawen dalam film Satu Suro.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif-deskriptif. Objek penelitian ini terfokus pada film Satu Suro sebagai bahan untuk dianalisis lebih lanjut. Teknik pengumpulan data terdiri dari : Data primer, berupa dokumentasi tiap adegan yang merujuk pada bentuk mistik kejawen, dan data sekunder yang berupa buku, jurnal dan skripsi penelitian terdahulu serta situs-situs internet sebagai penunjang referensi. Unit penganalisaan data yakni berupa gambar visualisasi gerak tubuh maupun latar tempat yang merujuk pada konsep mistik kejawen dalam film Satu Suro. Sedangkan teknik analisis data menggunakan teori mistik kejawen dari Suwardi Endraswara yang terbagi kedalam dua unsur, 1) Religiulitas Mistik Kejawen, terbagi dalam kategori Laku Spiritual dan/atau percaya terhadap roh gaib atau makhluk astral, percaya akan sasmita gaib atau petunjuk dari mimpi, dan percaya terhadap wangsit, 2) Simbolisme Mistik Kejawen, terbagi dalam kategori Interpretasi Simbol dan/atau Simbolik Sesaji Spiritual. Selanjutnya akan dianalisis lebih lanjut menggunakan teori semiotika dari Charles Sanders Peirce yang terdiri dari Sign/Representament(kategori:Qualisign, Sinsign, dan Legisign), Object(kategori: Ikon, Indeks, dan Simbol), dan Interpretant (kategori: Rheme, Dicisign, dan Argument).
Mistik Kejawen Berdasarkan “Religiulitas Penganut Mistik Kejawen”
Kategori “Percaya Terhadap Roh Gaib (Arwah Makhluk Astral)
a. Pisau yang berpindah posisi dan berdiri dengan sendirinya akibat dari ulah makhluk halus dalam scene pertama. Hal tersebut termasuk dalam kategori religiulitas mistik kejawen percaya akan adanya roh gaib dari makhluk halus atau yang kita kenal dengan istilah animisme [4]. Selain unsur animisme, scene tersebut juga menunjukkan bentuk dinamisme yang merujuk pada konsep hiperrealitas dikarenakan dalam pandangan mistik kejawen, dinamisme mewujudkan adanya kekuatan dari arwah leluhur yang menempati benda-benda pusaka (gaman) tertentu sehingga muncul istilah adanya “penunggu” dalam benda tersebut [5]. Sedangkan pisau dapur bukanlah benda pusaka karena tidak termasuk kedalam barang peninggalan yang dianggap keramat sehingga tidak ada arwah maupun kekuatan mistis yang mengisi ataupun menjaga pisau tersebut.dan bahkan pisau tersebut digunakan dalam aktifitas sehari-hari.
b. Kemunculan sosok hantu Lastri yang mampu menerbangkan benda-benda berat disekitarnya seperti tiang besi dan papan informasi Rumah Sakit dalam scene ketigadan termasuk kategori percaya akan adanya roh gaib (makhluk halus). Makhluk halus merupakan makhluk tak kasat mata dan makhluk halus yang diceritakan dalam film tersebut termasuk dalam kategori lelembut[5]. Dalam pandangan Sains, sebuah benda dapat dikatakan bergerak apabila dipengaruhi oleh gaya, sedangkan gaya sendiri merupakan tarikan, dorongan, tendangan ataupun hal-hal lain yang berasal dari energi makhluk hidup yang menyebabkan benda mati dapat bergerak atau berhenti dari gerakan tersebut [6]. Merujuk pada bentuk hiperrealitas mistik kejawen dikarenakan hantu merupakan sosok yang tidak berwujud dan berupa roh atau arwah, tidak memiliki daya untuk menerbangkan benda-benda berat tanpa bantuan alat maupun tenaga dari manusia. Sehingga mustahil untuk benda-benda berat dapat berterbangan dan melayang dengan sendirinya.
c. Jenazah didalam Rumah Sakit yang terbangun dan duduk layaknya hidup kembali pada scene keempat. Meskipun dalam scene tersebut diceritakan bangunnya para mayat karena adanya kekuatan mistis dari arwah makhluk halus, jika dikaitkan dengan bentuk mistik kejawen, makhluk halus yang bertugas untuk mengganggu dan menakut-nakuti termasuk dalam kategori memedi[5]. Sedangkan dalam kacamata medis, dikutip dari [6], ciri-ciri tubuh seseorang dikatakan meninggal dunia yakni tidak adanya aktifitas atau terhentinya kinerja pada organ-organ dalam tubuh, terhentinya pernafasan, suhu tubuh menurun dan tubuh nampak kaku dari biasanya. Sehingga kecil kemungkinan untuk dapat hidup kembali tanpa ada campur tangan dari Allah SWT. Hal tersebut tidak menunjukkan bentuk mistik kejawen yang lumrah terjadi pada realitas sebenarnya sehingga termasuk dalam hiperrealitas mistik kejawen, selain itu scene yang menampilkan mayat atau jenazah tersebut terlihat menggunakan diapers atau popok dewasa sebagai bentuk kebutuhan dalam film, yang mana hal tersebut berlawanan dengan kondisi mayat atau jenazah yang pada umumnya telanjang tanpa sehelai benang.
d. Tubuh tokoh utama yang melayang-layang di udara karena kerasukan oleh roh dari arwah hantu penasaran dalam scene keenam. Hal tersebut termasuk dalam kategori religiulitas mistik kejawen karena melibatkan roh dari makhluk halus. Seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya bahwa terdapat 2 (dua) tingkatan makhluk halus dalam pandangan orang kejawen [5], yang pertama adalah makhluk halus yang murni ciptaan dari Tuhan, yang kedua adalah makhluk halus yang berasal dari roh atau arwah orang yang sudah meninggal dunia (wong alus) dan dalam scene tersebut termask kedalam kategori makhluk halus yang kedua. Hiperrealitas dalam scene tersebut nampak dengan jelas dengan ditunjukkannya tubuh manusia yang mampu melayang dengan sendirinya di udara. Tubuh orang yang kerasukan dikendalikan oleh makhluk gaib, efek dari alih kendali tubuh tersebut hanya sebatas perubahan dari ekspresi wajah, tingkah laku, dan suara yang menggambarkan sosok dari makhluk halus yang merasuki, bukan berarti kendali tersebut mampu menerbangkan tubuh seseorang yang dirasuki.
Kategori “Percaya Terhadap Sasmita Gaib (Isyarat Gaib dari Mimpi)
Tokoh utama Dinda yang bermimpi memuntahkan barang-barang yang tidak lazim dari dalam mulutnya, seperti rambut, paku, silet, dan juga seorang bayi dalam scene kedua. Hal tersebut termasuk dalam kategori religiulitas mistik kejawen percaya terhadap sasmita gaib yang berupa tanda atau isyarat yang datangnya dari mimpi, suara-suara hewan (misal: suara burung gagak menandakan akan ada orang yang meninggal, dsb…), mata yang kedutan, dan sebagainya [4]. Kejadian dalam mimpi tersebut jika disangkut pautkan dengan pandangan mistik kejawen berkaitan dengan ilmu santet yang menggunakan ilmu hitam (magi hitam) [5]. Magi hitam sering dikaitkan dengan klenik dan perdukunan dari segi yang negatif.
Muntah yang mengeluarkan benda-benda tak lazim berdasarkan kepercayaan gaib dan kejawen, termasuk dalam ilmu santet, yakni ngelmu yang dilakukan dengan bantuan dari makhluk gaib dengan tujuan untuk mencelakai seseorang. Namun karena dalam adegan muntahtersebut terjadi dalam mimpi tokoh utama dan ditambahkan dengan keluarnya seorang bayi dari dalam mulut serta didukung dengan kondisi mulut yang robek, maka kejadian tersebut tidak termasuk dalam bentuk santet seperti pada kepercayaan orang kejawen. Sehingga dapat diinterpretasikan bahwa pada part tokoh utama yang memuntahkan seorang bayi merujuk pada bentuk hiperrealitas mistik kejawen, karena tidak ada rujukan yang pasti mengenai hal tersebut dan tidak sesuai dengan konsep praktik mistik kejawen yang sudah dijabarkan sebelumnya. Scene tersebut dinilai terlalu berlebihan melebihi realitas sesungguhnya, karena sudah sepatutnya bayi dapat keluar melalui jalan lahir yang semestinya (melalui vagina) dan melalui beberapa proses bukaan hingga lengkap, bukan melalui mulut dan dengan melalui proses memuntahkan seperti yang terdapat dalam scene kedua.
Mistik Kejawen Berdasarkan “Simbolisme Mistik Kejawen”
Ritual pemujaan yang dilakukan oleh sekelompok orang dihadapan wanita yang tengah melahirkan untuk meyambut kelahiran anak titisan iblis pada scene kelima. Dalam tradisi masyarakat kejawen, ritual pemujaan dilakukan dengan menyiapkan sesaji lengkap beserta bunga-bunga juga tumbal sebagai sesembahan untuk menolak bala’. Hal tersebut termasuk dalam kategori simbolisme mistik kejawen berupa simbolik sesaji spiritual. Sesaji muncul atas dasar kesadaran kosmis, yakni hubungan antara manusia dengan alam semesta, dan falsafah memayu hayuning bawana yang menjunjung nilai keselarasan, keselamatan, dan keseimbangan hidup [5].
Dalam scene tersebut sesaji yang digunakan dalam ritual pemujaan ditujukan bukan untuk tujuan hidup yang baik dan terebih lagi menyesatkan, karena sesaji ritual tersebut dilakukan oleh sekelompok orang penganut sekte yang bersifat sesat, dan dengan tujuan untuk menyambut kelahiran anak titisan iblis, maka ritual pemujaan tersebut termasuk dalam bentuk hiperrealitas mistik kejawen karena tidak sesuai dengan ritual pemujaan yang biasa diselenggarakan oleh masyarakat Jawa pada hari-hari besar tertentu dan dengan tujuan untuk menolak bala (musibah) dan dalam scene tersebut nampak diselewengkan jauh dari realitas sebenarnya yang menimbulkan pergeseran makna dan tujuan yang terlalu melebihi realitas adat ritual pemujaan masyarakat kejawen pada umumnya.
Berdasarkan hasil analisis penelitian dengan objek film Satu Suro, dapat disimpulkan bahwa didalam film Satu Suro mengandung unsur mistik kejawen yang disajikan melalui 6 (enam) scene lengkap dengan tabel dalam setiap adegan. Didalam penelitian ini juga disimpulkan bahwa hasil dari analisis bentuk Tanda (Sign), Object, dan Interpretant dari model semiotika Charles Sanders Peirce memunculkan bentuk hiperrealitas mistik kejawen yang sudah tergambar jelas setelah mengetahui dari berbagai macam tanda yang tidak lagi mengacu pada realitas sesuai nalar dan menciptakan realitas baru yang tidak ada keterkaitannya dengan wujud realitas yang sebenarnya.
Unsur hiperrealitas mistik kejawen dalam film Satu Suro ini di dominasi oleh kategori religiulitas kepercayaan terhadap roh gaib atau arwah makhluk halus, dan sisanya unsur hiperrealitas mistik kejawen ditunjukkan dalam kategori religiulitas isyarat gaib dan kategori simbolik sesaji spiritual. Mengingat bahwa masyarakat Indonesia saat ini khususnya suku Jawa yang sebagian besar masih mempertahankan budaya kejawen dari para leluhur, percaya akan mitos-mitos yang berkembang dan mengaitkannya dengan budaya Jawa sehingga religiulitas mistik kejawen teraasa begitu kental. Salah satunya seperti acara hajatan maupun pindah rumah yang harus dikaitkan dengan primbon (perhitungan Jawa) guna mencari hari baik agar terhindar dari hal-hal buruk, masih banyaknya masyarakat yang selalu mengkaitkan fenomena alam terhadap hal-hal gaib, serta masih menjalankannya ritual keagamaan yang ditujukan untuk para sesepuh atau leluhur yang sudah meninggal seperti acara slametan sebagai bentuk rasa hormat dan untuk menghindari musibah atau bala’.