Village Development Articles
DOI: 10.21070/ijccd.v1i2.715

Desain Ulang Program Bantuan Dana Bergulir Di Kabupaten Sampang


Redesign of Revolving Fund Aid Program in Sampang District

Universitas Airlangga
Indonesia

(*) Corresponding Author

microfinance revolving funds household investments

Abstract

The purpose of microcredit is to encourage the growth of small and medium enterprise business and increasing prosperity by expanding public access to credit. Sampang Regency is one of the poorest regions in the East Java, where are very few microfinance institutions which provide the loan. However, 68% of the inhabitants have a loan that originated from informal sources (moneylenders, friends, or family), while only 5% who reported having a loan in the Bank. We are trying to help the local Government of Sampang to increased access of credit by redesigning Revolving Fund program (Dagulir) owned by the Government to increase the income of small and medium enterprise business.  The results show that credit Dagulir can work widely through risk management and investment at the level of the household and not through their efforts as originally targeted.

Pendahuluan

Perbaikan akses terhadap kredit telah lama dianggap sebagai jalan tercepat untuk meningkatkan kesejahteraan orang miskin dan meningkatkan bisnis usaha kecil dan menengah (UMKM)[1](Mazumder and Lu, 2015; Samer et al., 2015). Kabupaten Sampang merupakan salah satu wilayah termiskin di Provinsi Jawa Timur, dimana sangat sedikit lembaga keuangan mikro (LKM) yang memberikan pinjamannya disana[2]. Dari hasil survey awal kami ditemukan bahwa 68% penduduknya memiliki pinjaman yang berasal dari sumber informal (rentenir, teman atau keluarga), sementara hanya 5% yang melaporkan memiliki pinjaman di Bank.

Hal ini dikarenakan untuk dapat mengakses ke Bank, diperlukan sejumlah persyaratan yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh masyarakat miskin. Sehingga jalan keluar terdekat adalah melalui LKM. Namun ada biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat miskin Pamekasan jika meminjam uang pada LKM, yaitu biaya suku bunga yang tinggi mencapai 2,1%/bulan. Terlalu mahal bagi masyarakat miskin dengan suku bunga sebesar itu.

Melihat kondisi ini kami bersama dengan Pemda Sampang mencoba memperbaiki hal tersebut. Pemda Sampang mempunyai program dana bergulir (DAGULIR) yaitu program dana lunak maksimal Rp. 100 juta dengan suku bunga 0,8%/bulan. Masalahnya adalah selama ini mekanisme penyaluran Dagulir melalui bank, sehingga output yang diharapkan dari Dagulir ini kurang memuaskan.

Untuk itu kami mencoba mengubah cara penyaluran yang dulu melalui bank, kami ubah melalui LKM. Motivasi mengubah cara penyaluran ini adalah perluasan akses kredit adalah cara efisien untuk memerangi kemiskinan dan mendorong pertumbuhan. Sasaran kami adalah memberikan dana pinjaman untuk pengembangan usaha dengan pertanggungjawaban individual bukan kelompok. Dana maksimal penyaluran kredit-pun kami turunkan dari Rp. 100 juta menjadi 50 juta dan kami menambah syarat hanya masyarakat miskin yang benar-benar memiliki usaha yang sudah berjalan dan bukan yang “akan” mendirikan usaha. Kebijakan ini memiliki harapan lebih banyak masyarakat miskin pemilik UMKM yang mengakses dan mempercepat pertumbuhan usaha mereka.

Namun seiring berjalannya waktu, kami melihat terdapat perubahan perilaku dari penerima dagulir ini. Kami menemukan bahwa peningkatan akses terhadap kredit mikro (dagulir) menyebabkan debitur lebih sedikit melakukan investasi pada bisnis yang dijalankan, beralih pada pengeluaran rumah tangga, pendidikan dan juga kesehatan. Dari temuan ini, kami berpikir bahwa perlu dilakukan pengukuran evaluasi dampak dari perubahan kebijakan dagulir tersebut. Apakah dengan memberikan batasan akses kredit mikro (dagulir) apakah meniadakan peluang untuk memperbaiki modal manusia pada masyarakat miskin yang akan mendirikan usaha.

Metode

Overview Experimental Design

Kami mulai menyusun desain eksperimen dengan mengambil sampel dari beberapa ribu pelamar. Pemberian pinjaman menggunakan prosedur yang sudah ditetapkan dengan meminta informasi usaha lengkap dan melakukan pengecekan ke lapangan. Hasil dari sampling ini terdapat pada tabel 1 (lampiran). Dari data aplikasi dimana kerangka sampel kami terdiri dari 783 orang pemohon yang layak secara kredit, hampir seluruhnya (683 orang) adalah pemohon pertama kali kepada pemberi pinjaman. Hasil dari tabel tersebut menujukkan bahwa sampel kami memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi dan sebagian besar berbinis peracangan (membuka toko bahan kebutuhan sehari-hari). Sebagian lagi berbisnis makan dan jasa (bengkel, penjahit, tungkang potong rambut).

Pemberi pinjaman menyeleksi pelamar yang layak secara kredit dengan serangkaian perhitungan penilaian kredit (creadit scoring) yang terdiri dari kapasitas bisnis, kekuatan modal sendiri, sumber keuangan dari luar, profil usaha dan karakteristik klien. Creadit scoring berkisar antara 0 sampai 100, dengan pembagian pemohonan yang mendapatkan angka dibawah 31 otomatis ditolak dan pemohon yang mendapatkan angka di atas 59 otomatis disetujui. Sedangkan 783 pemohon kredit dapat dibagi menjadi dua, yaitu pemohon yang memiliki nilai rendah 31-45 dengan probabilitas persetujuan 60% dan pemohon dengan nilai tinggi 46-59 dengan probabilitas disetujui mencapai 85%.

Pengacakan ini murni sistem yang menjalankan sehingga tidak ada campur tangan petugas didalamnya. Sehingga terdapat 783 peminjam kelompok perlakuan (treatment) dan 329 aplikan pada kelompok kontrol (aplikasi ditolak). Tujuan dari eksperimen ini ada dua. Pertama, fokus pada mereka yang ditargetkan untuk memperluas akses kredit. Kedua, (secara acak) menyetujui beberapa pemohon yang secara nilai kredit berada pada ambang batas yang akan memberi masukan pada revisi model penilaian kredit.

Detail Intervensi

Pertama, petugas pinjaman menyaring calon debitur dengan empat persyaratan dasar. Pertama berusia 18 sampai 55 tahun; bisnisnya sudah berjalan minimal 1 tahun; tempat usaha jika milik sendiri sudah dipunyai minimal 1 tahun atau jika sewa setidaknya sudah 2 tahun menyewa; dan penghasilan minimal dari usaha tersebut adalah Rp. 3 juta / hari. Terdapat 1.245 pelamar yang lolos dari hal ini.

Kedua, petugas pinjaman memasukkan informasi tersebut kedalam perangkat lunak yang kemudian memberikan hasil dalam beberapa detik. Hasilnya adalah 46 aplikasi menerima nilai dalam kisaran persetujuan otomatis. 87 aplikasi menerima skor dalam kisaran penolakan otomatis. Sisanya 783 aplikasi menerima nilai dari dua kategori pengacakan ( disetujui dengan probabilitas 60% atau 85%). Sedangkan 329 pelamar berada pada pengacakan “menolak” (kelompok kontrol). Perangkat lunak hanya menghasilkan output menyetujui atau menolak dan tidak menampilkan skor aplikan.

Ketiga, pemohon yang disetuji kemudian menerima pinjaman antara Rp. 8.500.000 sampai dengan Rp. 50.000.000, dengan jumlah proporsional dari pendapatan yang mereka hasilkan selama ini. Jangka waktu pinjaman adalah maksimal 1 tahun dengan tingkat suku bunga 0,8%/bulan plus biaya administrasi. Untuk melengkapi eksperimen, data yang kami kumpulkan meliputi sumber daya rumah tangga, demografi, aset, konsumsi rumah tangga dan tingkat partisipasi politik rumah tangga yang semuanya diambil ketika proses pendaftaran selesai.

Hasil dan Pembahasan

Dampak Terhadap Bisnis Peminjam

Hasil ini secara lengkap dapat dilihat pada tabel 2 (didalam lampiran). Seperti yang dibahas sebelumnya, bahwa praktik pemberian kredit mikro akan berdampak pada peningkatan aktivitas bisnis mereka. Apakah hal ini terjadi untuk kasus ini? Panel A pada tabel 2 menyajikan pengaruh dari program ini terhadap keuntungan yang diterima oleh kreditur. Keuntungan dapat dibilang merupakan hasil yang paling penting, dikarenakan merupakan indikator yang paling dekat tentang kesuksesan suatu bisnis.

Dampak dari suntikan kredit pada program ini kepada debitur pada kelompok treatmen ternyata mengalami kenaikan profit sebesar 10% dari pada kelompok kontrol. Lebih lanjut dari hasil tersebut terlihat bahwa probabilitas peningkatan profit untuk usaha yang diajukan laki-laki memang lebih tinggi daripada wanita. Hal ini tentu menjadi temuan yang menarik, melihat bahwa fakta bahwa LKM sering menargetkan debitur perempuan[3] dan juga hasil penelitian dari (Aggarwal et al., 2015; Buckley, 1997), menunjukkan bahwa penting untuk mengeksplorasi gender dalam profitabilitas[4].

Kolom 2 dan 3 pada tabel 2 juga menunjukkan bukti yang luas bahwa secara statistik meningkatnya keuntungan untuk pria secara statistik signifikan, namun untuk wanita secara statistik tidak signifikan. Namun sayang sekali, kami belum bisa memastikan apa yang menyebabkan perbedaan hal tersebut, apakah dari status sosial, posisi tawar-menawar dalam keluarga atau motivasi kewirausahaan. Hasil ini menunjukkan bahwa efek dari program ini terhadap kelompok treatment memperoleh keuntungan yang lebih besar daripada biaya yang harus mereka keluarkan.

Selain itu hasil dari perhitungan dampak juga memperlihatkan bahwa efek dari pinjaman ini pada kelompok treatment memberikan efek lebih besar kepada rumah tangga berpendapatan rendah. Secara keseluruhan probabilitas pengembalian modal untuk rumah tangga berpenghasilan tinggi memang lebih besar dari pada peminjam dengan rumah tangga berpenghasilan rendah. Dikarenakan modal yang mereka pinjam tidak hanya digunakan untuk usaha tetapi juga mensupport konsumsi sehari-hari.

Kesimpulan

Hasil dari kegiatan ini memberikan beberapa temuan. Pertama, individu yang masuk kedalam kelompok treatment melakukan pengecilan bisnis dari pada kelompok kontrol. Kedua, kami menemukan bukti bahwa memperluas akses modal meningkatkan keuntungan bagi laki-laki daripada usaha UMKM perempuan. Terdapat indikasi bahwa usaha UMKM laki-laki menggunakan keuntungan yang meningkat ini untuk mengirimkan anak mereka ke sekolah (terbukti dari penurunan jumlah anggota keluarga yang dipekerjakan). Ketiga, kami tidak menemukan bukti bahwa, peningkatan akses terhadap kredit meningkatkan kesejahteraan keluarga seperti halnya pendukung kredit mikro. Peningkatan akses terhadap LKM mungkin bukan instrumen terbaik untuk meningkatkan profitabilitas bisnis dan peningkatan individu dari jurang kemiskinan. Namun peningkatan akses terhadap LKM bisa menjadi alat penting untuk meningkatkan pilihan UMKM dalam menentukan pilihan pendanaan usahanya. Dari pada target pengelolaan dagulir untuk meningkatkan profitabilitas UMKM penerimanya, lebih diarahkan untuk meningkatkan kebebasan finansial. Karena dengan kebabasan finansial yang lebih besar, rumah tangga UMKM miskin dapat lebih banyak pilihan untuk dapat memutuskan mengembangkan resiko, memutuskan menyekolahkan anaknya, menahan diri dalam menjual aset pada saat krisis dan mengelola resiko keuangan dengan lebih baik.

Referensi

[1]S. Samer, I. Majid, S. Rizal, M. R. Muhamad, R. Sarah-Halim, and N., “No Title.” 2015.

[2]M. S. U. Mazumder and W. Lu, “What Impact Does Microfinance Have on Rural Livelihood? A Comparison of Governmental and Non-Governmental Microfinance Programs in Bangladesh,” World Dev, vol. 68, pp. 336–354, 2015.

[3]R. Aggarwal, J. W. Goodell, and L. J. Selleck, “Lending to women in microfinance: Role of social trust. Int. Bus Rev. 24, 55–65. doi:10.1016/j.ibusrev.2014.05.008,” Rev, vol. 24, pp. 55–65, 2015.

[4]G. Buckley, “Microfinance in Africa: Is it either the problem or the solution?,” World Dev, vol. 25, pp. 1081–1093, 1997.

References

  1. S. Samer, I. Majid, S. Rizal, M. R. Muhamad, R. Sarah-Halim, and N., “No Title.” 2015.
  2. M. S. U. Mazumder and W. Lu, “What Impact Does Microfinance Have on Rural Livelihood? A Comparison of Governmental and Non-Governmental Microfinance Programs in Bangladesh,” World Dev, vol. 68, pp. 336–354, 2015.
  3. R. Aggarwal, J. W. Goodell, and L. J. Selleck, “Lending to women in microfinance: Role of social trust. Int. Bus Rev. 24, 55–65. doi:10.1016/j.ibusrev.2014.05.008,” Rev, vol. 24, pp. 55–65, 2015.
  4. G. Buckley, “Microfinance in Africa: Is it either the problem or the solution?,” World Dev, vol. 25, pp. 1081–1093, 1997.