Village Development Articles
DOI: 10.21070/ijccd.v7i0.688

Self-acceptance of Mothers who have Children with Special Needs


Penerimaan Diri Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Self acceptance Mother Expectional children

Abstract

This study aims to describe students who have children with special needs and describe what factors affect mothers who have expectional children. The method used in this study is qualitative with case study desig. Research subjects were mothers of expectional children with the type of mental retardation,  hearing impairment and cerebral palsy. Determination  of research  subjects using purposive sampling. Data collection method used are interview and observation techniques. The results of this study indicated that the description of acceptance of self  from  the  three  mothers  has  expectional  children,  namely  accepting  the  conditions  experienced,  still ditions experienced. Factors  that influense the formation of self acceptanse are education, social support, family and religious parenting.

Pendahuluan

Anak yang terlahir sempurna merupakan harapan bagi semua ibu. Ibu sangat mengharapkan anaknya memiliki jiwa yang sehat secara fisik maupun psikologis. Beberapa diantaranya memiliki kekurangan fisik maupun psikis, yang penyebabnya dimulai awal masa perkembangannya maupun disaat perkembangannya berlangsung.

Data statistik populasi anak berkelainan dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional berbeda dengan data statistik anak berkebutuhan khusus yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial. Menurut catatan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial, populasi penyandang berkebutuhan khusus hingga tahun 1991 diketahui sebanyak 5.576.815 orang (tanpa menyebut usia), dengan asumsi pendudukan Indonesia pada tahun yang sama berjumlah 179.576.914 orang. Penyebab terjadinya kelainan seseorang sangat beragam jenisnya, na mun secara umum dilihat dari masa terjadinya kelainan itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi : sebelum kelahiran (prenatal), pada saat kelahiran (neonatal), dan setelah kelahiran (posnatal) [1].

Anak keterbelakangan mental sering dikatakan dengan ia yang memiliki kekurangan segi psikologis yang nampak maupun tak kasat mata. Istilah berkelainan dalam percakapan sehari-hari dikonotasikan sebagai suatu kondisi yang menyimpang dari rata-rata umumnya. Penyimpangan tersebut memiliki nilai lebih atau kurang. Merawat anak keterbelakangan mental menjadi proses yang berat. Beban fisik mulai dari kelelahan dalam merawat, pasti diperlukan aktivitas yang lebih ketika memiliki anak berkebutuhan khusus, akan beda dengan anak pada umumnya. Selanjutnya yaitu beban mental, menghadapi komentar-komentar orang lain atau masyarakat yang kurang menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus. [2]

Respon ibu yang memiliki anak dengan kekurangan atau bisa disebut dengan anak berkebutuhan khusus reaksinya bermacam-macam, ada yang shock, sedih, ketidakadilan, kehilangan, marah, lega, tidak percaya, duka, orang tua (58,86%) merasa malu dengan kehadiran anak berkebutuhan khusus. Sebanyak 10 orang tua (34,48%) merasa sangat kecewa karena anaknya tergolong ABK dan tidak memenuhi apa yang diharapkan. Tidak mudah bagi orang tua menerima anaknya dengan ikhlas, banyak fase yang dilalui sebelum pada akhirnya mencap at tahap penerimaan. [3]

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan kepala sekolah SLB Al Chusnaini pada bulan Oktober 2017 mengungkap bahwa terdapat fenomena salah satu murid baru yang awalnya dia bersekolah di sekolah pada umumnya dan gurunya menyarankan untuk dipindahkan ke SLB dengan beberapa alasan. Ibu nya pun tersinggung dan langsung menolak. Seiring berjalannya waktu anaknya semakin tertekan dan tidak mau sekolah lagi. Pada akhirnya ibunya mencoba mendatangi SLB dan sedikit berkonsultasi tentang keadaan anaknya meski dengan rasa berat hati untuk bercerita.

Peneliti juga berwawancara dengan orang tua anak yang sedang bersekolah di SLB tersebut, mereka mengungkapkan perasaan yang sebenarnya memiliki anak berkebutuhan itu malu, marah, kecewa, merasa gagal menjadi orang tuanya terlebih lagi ibu, terlebih lagi disalahkan oleh suami karena sudah melahirkan anak yang tidak sempurna. Maka fenomena yang muncul ialah sang ibu kurang bisa menerima keadaan anaknya yang keterbelakangan mental. Dan kurang bisa menerima bahwa anaknya berbeda dengan anak lain pada umumnya. Namun hasil penelitian yang menyebut beberapa subjek bepikir positif, karena subjek pasrah dengan keadaan anaknya namun berusaha untuk memahami kondisi anaknya dan tidak malu dengan yang kekurangan yang dimiliki oleh anaknya. [4]

Penjelasan dalam teorinya bahwa terdapat banyak faktor yang mendukung orang tua dalam menerima kondisi anaknya. Diantaranya dukungan sosial, kemampuan keuangan keluarga yang terbilang kekurangan sehingga itu menjadi salah satu faktor penghambat dalam keluarga, terpuruk. Pendidikan akhir juga menjadi wawasan ibu untuk keterbukaannya dalam menerima informasi yang diterima. Selanjutnya yaitu hubungan pernikahan yang saling mendukung satu sama lain. Tidak banyak juga di luar sana para suami menyalahkan istrinya karena sudah melahirkan anak yang tidak sempurna. Semakin memperparah keadaan dimana seorang ibu menjadi semakin terpukul.[5]

Oleh karena itu, maka inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai gambaran penerimaan diri pada ibu yang memiliki anak berkebutuhkan khusus serta untuk mngetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan diri pada ibu kandung yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

Metode

Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif denfan desain studi kasus [6]. Subyek pada penelitian ini merupakan ibu kandung dari anak berkebutuhan khusus sejumlah 3 orang yang ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan karakteristik : Ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus dengan jenis Tunagrahita, Tunarungu, dan Cerebral Palsy di Sidoarjo dan ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus yang bersekolah tingkat sekolah dasar di SLB Yayasan Al Chusnaini Sukodono.

Pada penelitian kali ini, peneliti menggunakan alat pengumpulan data melalui wawancara semiterstruktur dan observasi partisipasi pasif yang telah disesuaikan berdasarkan aspek-aspek dan faktor penerimaan diri. wawancara dilakukan secara mendalam dengan metode wawancara semiterstruktur kepada subyek penelitian dan masing-masing 2 significant others dengan pedoman yang telah dibuat berdasarkan aspek-aspek dan faktor penerimaan diri.

Untuk mendapatkan kreadibilitas pada data penelitian, peneliti menggunakan teknik triangulasi sumber dan teknik. Triangulasi sumber digunakan untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. [7] Triangulasi sumber pada penelitian kali ini dilakukan pada wawancara semiterstruktur kepada subyek dan significant others. Triangulasi teknik digunakan untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Teknik yang dimaksutkan dalam triangulasi ini adalah teknik wawancara, dan observasi.

Teknik analisa data yang digunakan penulis yaitu menggunakan model Miles and Huberman. Kegiatan selama analisis data, yaitu dengan melakukan reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan conclusion drawing/ penarikan kesimpulan. Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif sudah dimulai dari awal penulis turun ke lapangan. Setelah itu penulis mulai mereduksi data dengan cara merangkum seluruh data yang telah diperoleh dari lapangan, lalu menyajikan data dengan uraian singkat atau pengkodean data, kemudia yang terakhir menyimpulkan data penting berdasarkan data yang telah di beri kode atau uraian singkat serta membuang data yang tidak didukung oleh bukti-bukti valid di lapangan.

Hasil dan Pembahasan

Penerimaan diri adalah kesediaan untuk menerima dirinya yang mencakup keadaan fisik, psikologi sosial dan pencapaian dirinya, baik kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki., sehingga penerimaan diri yang terbangun pada setiap individu akan berbeda dengan individu lainnya. Seperti hal yang dialami ketiga subyek penelitian kali ini. Mereka di hadapkan dengan kondisi yang memiliki anak berkebutuhan khusus. [8] Terdapat empat aspek penerimaan ibu yaitu :

Merupakan kemampuan diri ibu yang dapat dirasakan oleh anak untuk dapat bertutur manis, meliputi sikap terbuka, mendengarkan cerita, dan tidak mencela kesalahan yang dilakukan oleh anak. Pada ketiga subyek mampu membangun komunikasi dengan sang meski pembicaraan sang anak sulit di mengerti, tetapi mereka tetap membangun komunikasi dengan berbagai cara agar komunikasi dengan sang anak dapat terbangun dengan baik,. Dalam hal tidak mencela kesalahan nampak pada subyek 2 yang mengerti akan kondisi sang anak dan menerima kekurangan sang anak.

1) Komunikasi

Kemampuan ibu yang dirasakan oleh anak dalam hal memberi perlindungan dan kasih sayang, memperhatikan kemajuan prestasi belajar, memberikan nasihat yang bijaksana, dan memberikan dorongan pada anak. Pada ketiga subyek sepakat dalam meberikan perhatian dan kasih sayang, hanya saja bentuk yang diberikan kepada anak yaitu berbeda-beda. Pada subyek 1 mampu memberikan perhatian dan kasih sayangnya terhadap anak dalam hal sekolahnya. Pada subyek 2 mampu memberikan perhatian dengan memberikan pengobatan terapi untuk sang anak, mendukung prestasi belajar sang anak dengan tetap melatih kognitif sang anak. Sedangkan pada subyek 3 yaitu subyek mampu menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya pada sang anak dalam hal kesembuhan, dan dapat mendukung prestasi belajarnya dengan melatih dirumah.

2) Perhatian dan Kasih Sayang

3) Aspek keterlibatan orang tua

Orang tua khususnya ibu dapat senantiasa ikut serta untuk berpartisipasi dalam hal yang disukai anak, melakukan perjalanan bersama-sama. Dan juga melibatkan anak dalam pekerjaan orang tua. Pada subyek 2 dan 3 menunjukkan keterlibatannya dalam hal/ kegiatan yang disukai anak seperti bermain dan mereka tidak hanya sekedar mendampingi tetapi juga turut terlibat dalam kegiatan tersebut. Berbeda dengan subyek 1 yang kurang menunjukkan keterlibatannya dalam hal yang disukai anak dengan membiarkan anak terlibat dalam hal yang disukainya sendiri.

4) Aspek kepercayaan pada anak

Kemampuan orang tua dalam melatih tanggung jawab, melatih mandiri, memberikan kepercayaan, dan tidak berharap terlalu banyak pada anak. Pada subyek 1, 2 maupun 3 mereka mampu melatih kemandirian dan tanggung jawab kepada anak dengan terus melatih agar menjadi terbiasa untuk sang anak. Mereka juga menyadari akan kondisi yang dialami oleh anak mereka masing-masing. Sehingga mereka menghargai usaha yang dilakukan sang anak. [9] Penerimaan ibu dapat diliat dari penerimaan kondisi dan sebagian perhatian yang tercurahkan Terdapat beberapa faktor yang mendukung terciptanya penerimaan diri ialah diantaranya :

1) Pendidikan

Individu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki tingkat kesadaran yang lebih baik akan keadaan yang dia miliki dan segera mencari upaya untuk mengatasi keadaan tersebut. Pada subyek 1 dengan pendidikan akhir Sekolah Dasar membuatnya tidak memiliki kesadaran terhadap kondisi yang dialami yaitu memiliki anak berkebutuhan khusus dan membuat subyek tidak mencari upaya untuk mengatasi keadaannya. Berbeda dengan subyek 2 dan 3 yakni dengan pendidikan akhir Strata Satu (S1) dan Sekolah Menengan Atas (SMA) membuat mereka sadar akan kondisi yang dialami dan mencari upaya dalam menanganinya.

2) Dukungan sosial

Penerimaan diri akan semakin baik apabila ada dukungan sosial yang muncul dari lingkungan disekitar individu tersebut. Pada ketiga subyek menunjukkan kwsamaan dalam faktor dukungan sosial yang datangnya dari suami dan keluarga yang membuat mereka dapat memiliki penerimaan diri yang baik mengenai kondisi yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

3) Pola asuh keluarga

Individu yang diasuh secara demokratis akan cenderung berkembang sebagai individu yang dapat menghargai dirinya sendiri. Pada subyek 1 yang semasa dulu tidak di beri kesempatan untuk memilih apa yang akan dijalani membuat subyek menjadi pribadi tidak berkembang akan kondisi yang dialaminya. Berbeda dengan subyek 2 yaitu Pola asuh semasa dulu yang diterapkan untuk subyek merupakan pola asuh yang disiplin, tetap mendukung tindakan apa yang diambil oleh subyek jika itu merupakan tindakan yang positif. Sedangkan pola asuh yang diterapkan pada subyek 3 ialah mendukung dan mengajarkan subyek bebas memiliki tindakan apa yang akan dipilih. Pengawasan juga tetap dilakukan oleh sang ibu.

Terdapat faktor baru yang muncul pada subyek 3 yaitu faktor agama, dimana kesalahan masa lalu yang membuat subyek lebih dekat dengan Tuhan dan mulai melakukan praktik agama dalam kehidupannya.

Figure 1.Analisis Tematik Penerimaan Diri pada Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus

Berdasarkan hasil penelitian, ketiga subyek merasa kesulitan saat berkomunikasi dengan sang anak. Hal ini disebabkan karena adanya keterbatasan yang dimiliki oleh sang anak. Tetapi ketiga subyek memi liki cara tersendiri agar komunikasi dengan sang anak tetap terbangun, meski cara yang diterapkan oleh masing -masing subyek berbeda-beda. Berdasarkan hasil penelitian, juga mengungkapkan orang tua merupakan lembaga dan pribadi yang pertama dan utama dalam membina tumbuh kembang anak. Maka penanganan yang baik dan terencana akan sangat bermanfaat dalam membantu anak dapat berkomunikasi dengan baik.

Selain orang tua yang mampu memberikan perhatian dan kasih sayang, [10] mengungkapkan bahwa ada empat aspek penerimaan diri. Salah satunya yaitu keterlibatan orang tua yang senantiasa berpartisipasi dalam hal yang disukai oleh anak. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa ketiga subyek tidak sepenuhnya terlibat dalam hal yang disukai anak. Akan tetapi ada dua subyek yang mendukung hal yang disukai oleh anak, yaitu pada subyek kedua dan subyek ketiga. Dimana bentuk terlibatnya berupa partisipasi dalam kegiatan sang anak, baik saat di rumah seperti bermain bersama dan turt terlibta maupun ketika melakukan perjalanan secara bersama-sama.

Kemampuan orang tua, khususnya ibu, dalam melatih tanggung jawab maupun kamandirian juga ditunjukkan oleh ketiga subyek. Meski kemampuan yang dimiliki oleh sang anak terbatas, hal tersebut tidak menghalangi ketiga subyek untuk terus melatih dan membiasakan sang anak dalam melakukan aktivitas. Selain itu, subyek juga mengapresiasi segala aktivitas sang anak. Hal ini ditunjukkan dengan menghargai kemajuan perkembangan yang dialami oleh anak mereka tanpa menuntut kemajuan perkembangan sesuai usianya.

Terciptanya penerimaan diri pada seorang ibu juga tidak terlepas dari faktor-faktor yang mendukung. Faktor-faktor tersebut ialah faktor pendidikan, dukungan sosial, dan pola asuh keluarga. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan adanya persamaan dan perbedaan faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan penerimaan diri pada ketiga subyek tersebut. Persamaan terletak pada faktor dukungan sosial.

Sedangkan perbedaan terletak pada faktor pendidikan. Pendidikan ketiga subyek beragam. Hingga akhirnya mampu mempengaruhi kesadaran individu tersebut mengenai keadaan yang dimiliki. Selain itu, pola asuh keluarga juga membuat individu cenderung berkembang. Hal ini dapat dilihat pada subyek kedua dan subyek ketiga, dimana tidak ditemukan pada subyek pertama.

Pada subyek pertama, faktor yang mempengaruhi proses pembentukan penerimaan diri pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus adalah faktor dukungan sosial. Subyek pertama mendapat dukungan dari suaminya dalam pengasuhan sang anak. Adanya dukungan tersebut mampu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terbentuknya penerimaan diri yang baik. Khususnya pada seorang ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

Berdasarkan teori, terdapat beberapa faktor yang tidak mempengaruhi penerimaan diri subyek pertama yakni pendidikan dan pola asuh keluarga. Subyek yang tamatan sekolah dasar membuatnya tidak memiliki kesadaran akan kondisi yang dialami, dan membuat subyek tidak ada upaya untuk mengatasi keadaan yang dialaminya saat ini. Selanjutnya yaitu pola asuh keluarga, pola asuh keluarga yang keras dan mengekang membuat subyek menjadi pribadi yang kurang berkembang.

Pada subyek kedua, faktor yang mempengaruhi proses pembentukan penerimaan diri pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus ialah faktor pendidikan, dukungan sosial dan pola asuh keluarga. Subyek kedua memiliki latar pendidikan S1 (sarjana). Hal ini mampu membuatnya sadar terhadap kondisi yang dialaminya.

Subyek kedua memiliki anak berkebutuhan khusus jenis Cerebral Palsy. Dalam hal ini, subyek kedua bisa berkonsentrasi dalam pengobatan yang dijalani oleh sang anak. Subyek mampu bergabung dengan komunitas Cerebral Palsy dan bertemu dengan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dengan jenis yang sama. Subyek menghadiri acara Cerebral Palsy dengan sang anak dan memiliki grup Whatsapp yang menjadikan wadah untuk berbagi informasi terkait kebutuhan khusus yang dialami sang anak.

Faktor selanjutnya yaitu dukungan sosial yang didapatkan dari anak pertama dan suami. Mereka sepakat dengan subyek untuk menerima keadaan anak terakhirnya dan mengusahakan pengobatannya. Selain pendidikan dan dukungan sosial, pola asuh dari keluarga subyek yang membiarkan subyek memilih apa yang akan dijalani sehingga membuat subyek menjadi individu yang berkembang, mampu berusaha dengan mengusahakan segala pengobatan untuk sang anak demi kemajuan perkembangan anak terakhirnya.

Pada subyek tiga, faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan penerimaan diri pada subyek yaitu pendidikan, dukungan sosial, pola asuh keluarga dan agama. Subyek yang memiliki pendidikan akhir SMA mampu mengembangkan pengetahuan dan teknologi dengan memanfaatkan internet untuk mencari informasi yang terkait kebutuhan khusus yang dialami oleh sang anak. Selain itu subyek juga mendapat dukungan dari keluarga yang bersedia memberikan informasi terkait sang anak, dan dukungan suami yang mampu menerima keadaan sang anak dan mendukung pengobatan yang dipilih oleh subyek.

Selanjutnya pola asuh keluarga yang membuat subyek dapat berkembang untuk mengusahakan terapi ke berbagai tempat agar sang anak mampu menunjukkan kemajuan perkembangan yang lebih baik. Kemudian faktor yang mempengaruhi dalam penerimaan diri subyek yaitu agama, dimana dengan keadaan yang subyek subyek menyadari akan kesalahan masa lalu terhadap orang tua membuat subyek lebih dekat dengan Tuhan dan dengan kondisi anaknya ada kemajuan perkembangan membuat subyek juga telah mampu melakukan praktik agama seperti sholat setiap waktunya.

Limitasi dari penelitian ini adalah Ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus membutuhkan penerimaan diri dan Penelitian dilakukan dengan beberapa partisipan yang memiliki anak berkebutuhan dengan jenis Tunagrahita, Tunarungu, & Cerebral Palsy.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan bahwa gambaran penerimaan diri ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus bervariasi. Ketiga subyek dapat menerima keadaan dirinya yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Dengan keterbatasan sang anak dalam berkomunikasi, subyek tetap berusaha unt uk mengerti agar tercipta komunikasi yang baik dengan anak. Selain itu dalam pemberian perhatian dan kasih sayang ketiga subyek menunjukkan bentuk yang berbeda yaitu mendukung prestasi belajar dan mendukung dalam proses penyembuhan sang anak dengan harapan mencapai kemampuan perkembangan yang lebih baik. Mampu terlibat dalam hal yang disukai anak dan melatih kemandirian dan tanggung jawab sang anak dengan menerima kekurangan akan kondisi anak mereka. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketiga subyek dalam pembentukan penerimaan diri ialah dukungan sosial. Sedangkan faktor-faktor yang membedakan antar ketiga subyek ialah faktor pendidikan, pola asuh dan agama.

References

  1. Hidayat and Suharlina, Seri bahan dan media Pembelajaran Kelompok Bermain Bagi Calon Pelatih PAUD.Yogyakarta, 2010.
  2. Afin, Ratih, and Pratiwi, Kiat Sukses Mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: AR - Ruzz Media,2013.
  3. Rima dan anggraini, Persepsi orang ta terhadap anak berkebutuhan khusus, Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus Vol. 1, 2018
  4. Faradina, Penerimaan diri pada orang tua yang memilii anak berkebutuhan khusus, Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus Vol 4 2016
  5. Sarasvati, Meniti pelangi: Perjalanan seorang ibu yang tak kenal menyerah dalam membimbing putranya keluar dari belenggu ADHD dan autisme. Jakarta: PT. Elex Media Kompetindo, 2004.
  6. Creswell, Research Design. Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar, 2010.
  7. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: alfabeta, 2015.
  8. Melinda, Hubungan antara penerimaan dian konformitas terhadap intervensi merokok pada remaja di ensi Merokok pada Remaja di SMK,e journal Psikologi. Vo. 1 2013