Village Development Articles
DOI: 10.21070/ijccd.v3i0.213

Seeing Nature and the Philosophy of Banjar Through Banjar Traditional Pantun


Melihat Alam dan Falsafah Banjar Melaui Pantun Tradisional Banjar

Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
Indonesia

(*) Corresponding Author

Traditional Pantun Contemporary Pantun Banjar Philosophy

Abstract

Banjar traditional rhymes are rhymes that lived and prospered around 1900 and below. The calculation from 1900 down refers to the theory that traditional literature lived and developed two generations ago and below. Traditional Banjar rhymes are expressed only in spoken language. If traditional Banjar rhymes are expressed only in spoken language, then the contemporary Banjar rhymes, in addition to being expressed in spoken language, are also expressed in written language, even expressed through cyberspace, such as whats up, facebook, and other virtual worlds (digital literature). The Banjar Pantun is supported by traditional Banjar people, who are mostly illiterate. Therefore, the content of rhymes is very vulgar (to be honest, revealing things as they are) and reflects the natural condition at the time the rhymes were made, and reflects the original philosophy of Banjar, which has not been contaminated by foreign cultures. Research on the Banjar traditional pantun is very important and very urgent. Banjar rhymes which are verbal are stored in the memory of informants, most of which are elderly. Therefore, various Banjar rhymes must be immediately recorded and analyzed in accordance with the explanation of the informant. The results of this study conclude that the natural atmosphere reflected from the Banjar rhyme is a calm, peaceful atmosphere, fresh wind blowing, deep rivers and clear water, a sense of family, shady trees, community activities back and forth from village to village, and prosperity and the happiness of life. Some of the philosophy of life of the Banjar people reflected in the traditional Banjar rhyme are: (i) regard the teaching profession as the noblest profession outperforming other professions, (ii) Appreciation to Mr. Tuan Haji (someone who has performed the hajj) and submit to his advice, (iii ) ideal women for Banjar people are white women and like to smile, (iv) true longing and jealousy will not be able to be cured, (v) people who love each other are people who remember each other, (vi) new people remember and appreciate his family and hometown when afflicted by unfortunate overseas, (vii) contemplate fate and accept destiny if fate has been determined by the Almighty.

PENDAHULUAN

Pertama, saya ingin mengajak hadirin peserta konferensi untuk menyepakati dua istilah yang sering digunakan dalam makalah ini, yakni pantun tradisional Banjar dan pantun kontemporer Banjar. Pantun tradisional Banjar adalah pantun yang disampaikan dan diturun-temurunkan murni secara lisan. Di samping bersifat lisan, ciri pantun tradisional Banjar yang lain adalah (i) tidak mencantumkan nama yang mengarang, (ii) telah ada sejak ratusan tahun yang lalu, (iii) terikat dengan aturan-aturan pantun, (iv) menggunakan bahasa Banjar, dan (iv) isinya merefleksikan kondisi sosial-kemayarakatan Banjar pada masa lalu (bandingkan dengan1 ;2 ;3 ). Keberadaan pantun tradisional yang lisan disebabkan oleh kondisi sosial masyarakat Banjar masa lalu yang sangat jauh dari literasi. Penjajahan yang ratusan tahun menjadikan masyarakat Banjar banyak yang buta aksara. Penjajahan juga menjadikan ekonomi kemasyarakatan di tanah Banjar menjadi murat-marit sehingga melahirkan banyak penduduk miskin. Buta aksara dan kemiskinan inilah yang memicu lahirnya sastra tradisional Banjar yang bersifat lisan4. Seni (termasuk sastra) merupakan sifat yang melekat pada diri manusia. Oleh karena itu, bagaimanapun sederhananya kebudayaan manusia, seni selalu ada. Hanya saja, saluran untuk melahirkan seni itu yang membedakannya antara satu zaman ke zaman lain, antara budaya tradisional dan budaya kontemporer. Kebanyakan masyarakat Banjar masa lalu tidak mengenal aksara sehingga mereka tidak meninggalkan naskah sastra yang berupa pantun ataupun bentuk sastra tulis lainnya. Eksistensi masyarakat Banjar masa lalu dapat dilihat dan direka melalui (di antaranya) sastra lisan yang mereka tinggalkan. Salah satu sastra lisan Banjar yang sangat berkesan bagi masyarakat Banjar sejak dahulu hingga sekarang adalah pantun Banjar. Pantun menjadi satu-satunya peninggalan sastra tradisional yang hidup dan berjaya hingga sekarang. Masyarakat Banjar, seperti juga masyarakat melayu lainnya, tidak memiliki aksara atau huruf atau simbol lain yang dapat digunakan untuk menuliskan karya-karya budaya mereka. Untuk menulis, mereka tergantung dengan dua macam aksara, yakni aksara latin dan aksara Arab5. Penguasaan terhadap aksara latin harus diperoleh dari bangku sekolah. Pada zaman penjajahan tidak banyak orang Banjar yang dapat masuk sekolah. Di samping syarat untuk masuk sekolah yang sangat ketat, juga penjajah tidak menginginkan masyarakat yang dijajah itu menjadi pintar dan kelak akan menantang penjajahan. Aksara Arab lebih mudah dikenal dan dipelajari oleh masyarakat Banjar tradisional karena untuk menguasai aksara itu, orang Banjar tidak perlu masuk sekolah Belanda, tetapi cukup mengikuti pengajian di surau-surau atau di tempat-tempat pengajian seorang guru atau ustad6 ;7. Aksara Arab mulai banyak dikenali oleh masyarakat Banjar setelah Syekh Arsyad Al-Banjar kembali ke tanah Banjar setelah 35 tahun menimba ilmu di tanah suci Mekah dan Madinah. Syekh Arsad membuka pengajiannya di desa Dalam Pagar Martapura dan selanjutnya, murid-muridnya menyebar ke berbagai daerah di tanah Banjar guna menyebarkan agama Islam. Buku agama yang diajarkan beliau ditulis oleh beliau sendiri dengan menggunakan huruf Jawi atau huruf Arab Melayu5 . Syekh Arsyad Al Banjari mengarang puluhan buku yang semuanya menggunakan bahasa Melayu dan ditulis dengan huruf Jawi. Salah satu buku beliau yang terkenal berjudul Sabil al- Muhtadin li Tafaqub fi Amri al-Din (jalan yang beroleh petunjuk untuk mendalami ilmu agama). Buku Sabilal Muhtadin ditulis beliau 1779 M dan selesai 1780 serta diterbitkan untuk pertama kalinya di Istambul (Turki). Buku Sabilal terdiri dari dua jilid. Jilid I 252 halaman dan jilid II 272 halaman serta menggunakan 31 buku rujukan 8 . Di Malaysia, Sabilal Muhtadin dikategorikan sebagai salah satu Karya Tulis Agung. yakni karya tulis yang berjaya menyampaikan pemikiran yang dianggap luar biasa dalam tamaddun atau tradisi suatu bangsa (bangsa Melayu). Hasan Ahmad mengemukakan Karya Agung adalah karya yang mampu mencetuskan sistem nilai dan kepercayaan, falsafah atau pandangan hidup bangsa Melayu turun-temurun9. Siddiq Fadzil, mengemukakan bahwa karya tulis agung adalah karya yang memiliki pengaruh yang kuat dan merakyat serta membentuk cara hidup umat Islam Melayu9. Harun Mat Piah, dkk., mengemukakan, “Pada abad 17 telah muncul pula seorang ulama dan pujangga yang amat terkenal penulisannya dalam bidang sastra kitab. Tokoh itu adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Walaupun dia dilahirkan daripada kalangan suku Banjar tetapi sumbangannya dalam bidang penulisan dilakukan dalam bahasa Melayu. Tulisan-tulisannya amat bermutu sehingga karyanya terus disalin dan dicetak serta dibaca oleh penduduk di seluruh Kepulauan Melayu, Malah sehingga hari ini karyanya menjadi rujukan atau bacaan di pondok dan pesantren di Malaysia.” Berkat tulisan-tulisan dan dakwah Arsyad Al-Banjari dan murid-muridnya, masyarakat Banjar dapat membaca dan menulis walau bukan melalui huruf latin melainkan dengan huruf Jawi. Sampai tahun 1960-an huruf Jawi masih diajarkan di sekolah dasar negeri, namun setelah itu, huruf Jawi tidak terdapat lagi di dalam kurikulum sekolah dasar negeri. Huruf jawi sedikit-demi sedikit hilang dan digantikan oleh huruf latin. Akibat dihapusnya pelajaran huruf Jawi di sekolah-sekolah negeri, maka pada saat ini, banyak orang Banjar yang tidak dapat lagi membaca tulisan Jawi10.

Kondisi masyarakat Banjar tradisional dapat kita bandingkan dengan kondisi masyarakat Banjar di masa sekarang. Pada masa sekarang, sastra berkembang sangat pesat. Mayarakat Banjar semakin terpelajar. Mereka, anak-anak muda tidak hanya menguasai aksara latin yang diperolehnya dari bangku sekolah, juga telah memahami dan menggunakan internet sebagai ajang aktivitas literasi mereka. Dengan demikian, media yang digunakan untuk mengekspresikan kesastraan tidak hanya melalui komunikasi lisan, tetapi juga disalurkan secara tertulis melalui lembaran-lembaran kertas, bahkan juga disalurkan melalui dunia maya, seperti facebook, twiter, dan lain-lain (sastra eradigital). Sastra Banjar yang ditulis di atas kertas dengan huruf latin dan atau disebarluaskan melalui dunia maya, dalam makalah ini disebut sebagai sastra kontemporer. Perlu diingat, sastra lisan memang sangat mendominasi masyarakat tradisional yang sebagian buta aksara. Namun, sastra lisan juga masih berkembang pada saat manusia telah menguasai lambang-lambang tulisan. Sastra lisan Banjar, misalnya, hingga saat ini masih dipertunjukkan di panggung-panggung untuk mengisi acara-acara hiburan. Di antara sastra lisan Banjar yang masih dipertunjukkan adalah madihin, wayang Banjar, dan mamanda. Pantun Banjar juga tetap hidup pada masa sekarang dan semakin hidup dan berkembang berkat adanya siaran telelevisi yang khusus menggemakan pantun Banjar. Setiap minggu televisi Banjarmasin meyiarkan sebuah acara yang bernama “Baturai Pantun,” yang dipandu oleh seniman senior Banjar yang bernama Adjim Aryadi. Acara Baturai Pantun adalah acara memilih pantun-pantun terbaik yang dibuat dan diucapkan secara langsung oleh si pembuat pantun. Puisi Banjar memiliki tiga bentuk, yakni pantun, syair, dan mantra. Mungkin ada bentuk puisi yang lain, seperti gurindam, seloka, bidal, dan lain-lain, namun, bentuk-bentuk itu tidak terlalu populer dalam sastra Banjar. Dari tiga bentuk puisi yang disebutkan di atas, hanya pantun yang tetap berjaya hingga sekarang. Syair, misalnya, boleh dikatakan telah mendekati kepunahan. Memang ada beberapa seniman Banjar yang mencoba menghidupkan kembali syair Banjar, namun usaha itu tampaknya tidak berhasil. Usaha menghidupkan kembali syair kurang mendapat sambutan dan apresiasi seniman yang lain maupun masyarakat Banjar yang lain. Di antara seniman Banjar yang mencoba menghidupkan syair adalah Sapri Kadir. Tulisan syair Sapri Kadir berjudul, Syair Syekh Arsyad Al-Banjar. Begitu juga gurindam, Imbramsyah Barbary seorang seniman Banjar pernah membuat gurindam yang berjudul 1001 Gurindam. Sama halnya dengan upaya Sapri Kadir, upaya Ibramsyah Barbary juga kandas karena kurang mendapat dukungan dan apresiasi seniman dan masyarakat Banjar.

PANTUN BANJAR

Pantun adalah sastra Banjar genre puisi yang hidup dan berkembang sejak masyarakat tradisional hingga sampai pada masyarakat sekarang. Pantun Banjar yang bersifat lisan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tradisional (bermula pada dua generasi yang lalu hingga ke generasi di bawahnya) disebut pantun tradisional dibandingkan dengan 10 ;11 . Pantun Banjar sebagai produk sastra masyarakat tradisioanal ternyata masih tetap hidup dan berkembang pada masa sekarang. Pantun Banjar sekarang tidak hanya menggunakan bahasa lisan tetapi juga dengan bahasa tulis, dan di antaranya ada yang disalurkan melalui dunia maya. Pantun Banjar yang hidup dan berkembang pada masyarakat Banjar sesudah masyarakat tradisional hingga sekarang disebut pantun Banjar kontemporer. Telah dijelaskan pada bahagian pendahuluan bahwa tidak ada produk atau genre sastra Banjar tradisional yang mampu hidup dan berkembang hingga sekarang seperti halnya pantun. Peribahasa, syair, mantra, misalnya, adalah genre sastra Banjar yang hanya mengalami masa keemasannya pada masa tradisional. Kalaupun masih ada peribahasa, syair, atau mantra pada masa sekarang, maka peribahasa, syair, mantra, itu hanyalah karya-karya yang lama yang diucapkan pada masa sekarang. Peribahasa, syair, mantra, gurindam, dan lain-lain yang diolah oleh masyarakat Banjar sekarang hampir tidak ada. Peribahasa, syair, mantra, gurindam, dan bentuk-bentuk yang lain-lain telah terhenti perkembangannya seiring dengan tidak adanya lagi masyarakatnya karena pergantian generasi dan pergantian budaya bersastra. Pergantian generasi dari masyarakat tradisional berpindah ke masyarakat kontemporer menyebabkan pergantian budaya bersastra. Punahnya dan atau redupnya bentuk sastra karena pergantian generasi merupakan fakta yang jelas dan dapat dikatakan sebagai aksioma atau hukum eksitensi bersastra. Semua bentuk sastra tradisional telah dilupakan atau hampir dilupakan oleh masyarakat kontemporer. Hanya ada satu bentuk kekecualiaan terhadap hukum bersastra yang saya sebutkan di atas. Pengecualiaan terhadap hukum bersastra itu adalah eksisnya sebuah bentuk sastra tradisional hingga sekarang, yakni pantun Banjar. Pantun Banjar tidak hanya tetap hidup dan berkembang pada masyarakat Banjar sekarang tetapi juga kehidupan dan perkembangannya semakin menjadi-jadi karena genre pantun ini dapat masuk ke dalam siaran televisi dan dunia maya. Pantun Banjar dapat eksis hingga sekarang disebabkan oleh empat hal. Pertama, pantun adalah genre puisi yang singkat, mudah diolah oleh siapapun. Kedua, untuk membuat pantun seseorang tidak perlu belajar lama, cukup dengan rajin mendengar pantun yang disiarkan oleh radio atau televisi, Ketiga, bagi masyarakat yang tidak senang menulis, maka pantun merupakan genre sastra yang menjadi pilihannya. Keempat, pantun adalah genre sastra puisi yang lebih efektif bila diperdengarkan (diucapkan atau dilisankan) sehingga proses mengapresiasi dan atau mempelajarinya lebih banyak melalui peristiwa pendengaran atau pengucapan. Kelima, masyarakat Banjar lebih senang mendengar karya sastra daripada membaca karya sastra, Keenam, proses apresiasi dan atau mempelajari pantun secara lisan dimungkinkan karena genre ini merupakan genre yang pendek. Ketujuh, pantun adalah genre sastra puisi yang pendek karena permasalahan atau tema pada pantun dapat diselesaikan hanya dalam beberapa bait (tidak perlu ratusan bait seperti pada syair). Kedelapan, pantun berisi refleksi tentang kondisi kehidupan dan atau kondisi kejiwaan masyarakat pada suatu saat tertentu sehingga daya hidup dan berkembangannya sangat, Kesembilan, keberadaan pantun memang dikehendaki oleh masyarakat Banjar; masyarakat Banjar merasakan pentingnya pantun dalam hidup mereka. Karena masyarakat yang merasa berkepentingan dengan pantun, maka dengan sendirinya pantun selalu hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat Banjar. Perbedaan pantun tradisional dengan pantun kontemporer terlihat dari segi isi. Pantun tradisional merefleksikan hal kondisi fisik dan kejiwaan masyarakat tradisional sedangkan pantun kontemporer merefleksikan hal dan atau kondisi kejiwaan masyarakat kontemporer bandingkan dengan1 ; 12 .

GAMBARAN ALAM DAN PIKIRAN MASYARAKAT DALAM PANTUN TRADISIONAL BANJAR

Masyarakat tradisional boleh sudah tidak ada lagi karena pergantian waktu dan zaman, namun, bagaimana kondisi fisik (alam dan manusia) dan kondisi kejiwaan (pikiran) mereka tetap dapat diketahui hingga sekarang berkat pantun yang mereka tinggalkan13

Coba kita lihat pantun Banjar di bawah ini.

Hayam putih tarabang ka jambu ‘ayam putih terbang ke jambu’

Imbah ka jambu ka jamban pulang ‘setelah dari jambu ke jamban lagi’

Awak putih balaki guru ‘Badan putih bersuamikan guru’

Imbah guru kumandan pulang ‘setelah guru komandan lagi’

Pantun di atas melukiskan alam Banjar pada masa lalu dan melukiskan cara berpikir (nilai budaya) masyarakatnya. Dilukiskan oleh puisi ini tentang satu sudut alam Banjar yang dipenuhi unggas (hayam ‘ayam’), pepohonan (diwakili oleh pohon jambu), dan jamban (toilet yang didirikan di tepi-tepi sungai. Pada masa dahulu, ayam berkeliaran di kampung-kampung tanpa ada orang yang terlalu menghiraukannya dan merasa terganggu dengan kehadiran ayam yang berkeliaran di sekitar rumah dan bahkan masuk ke dalam rumah. Bagi mereka, ayam adalah sahabat sehari-hari. Hampir sebagian besar masyarakat Banjar memelihara ayam. Biasanya ayam dipelihara di bawah kolong rumah. Kolong rumah diberi pagar sebagai tempat perlindungan ternak itu dari bahaya, seperti terkaman musang, ular piton, dan lain-lain binatang pemangsa. Kolong rumah juga menjadi tempat ayam beristirahat, tidur, bertelur, berkembang biak, dan bahkan membuang kotorannya. Ayam berkeliaran mencari makan ke mana-mana di sekitar kampung. Kenakalan ayam, seperti naik ke dalam rumah tidak membuat pemiliknya dan atau tetangganya marah. Ayam-ayam yang nakal itu hanya diburu agar ke luar dari rumah. Bagi masyarakat, ayam paling tidak memiliki empat manfaat. Pertama, dagingnya yang enak menjadi lauk yang membuat makan menjadi sangat berselera. Pada umumnya, ayam baru disembelih apabila ada kenduri, seperti kenduri maulid nabi, kenduri perkawinan anak, kenduri manyaratus (memperingati seratus hari kematian anggota keluarga), dan mahaul (memperingati satu tahun kematian anggota keluarga). Kedua, kokok ayam menjadi petunjuk waktu. Pada masa lalu, kokok ayam pertama terjadi sekitar pukul tiga malam (sebelum sembahyang subuh) dan kokok kedua terjadi pada saat waktu sembahyang subuh. Perlu diketahui, pada masa lalu, jam sebagai petunjuk waktu sangat jarang dimiliki oleh masyarakat. Jam adalah barang mewah pada masa dahulu. Di kampung saya, pada tahun 1965-an, hanya ada satu orang yang memiliki jam. Apabila bulan puasa, orang sekampung menunggu kentongan bambu yang dipukul beliau pada setiap pergantian jam sejak jam 01 hingga 03 dinihari. Untuk jam berikutnya, pukul 04 dan 05, masyarakat dapat mendengar kokok ayam sebagai penanda jam. Ketiga, ayam digunakan untuk memenuhi permintaan paranormal untuk mengusir makhluk halus yang ada di dalam tubuh atau di dalam rumah. Ayam untuk mengusir makhluk halus biasanya ayam yang berwarna putih dan atau hitam. Keempat, ayam menjadi lauk yang menunjukkan status sosial yang tinggi dan terhormat. Ayam disembelih apabila ada tamu yang dihormati dan atau melaksanakan kenduri besar yang mengundang banyak tetangga, seperti, kenduri perkawinan, maulid nabi, mahaul, dan lain-lain. Kondisi alam lain yang dilukiskan dalam puisi ini adalah tentang pohon jambu. Tentu pohon jambu hanyalah mewakili pohon-pohon yang lain yang banyak tumbuh di sekitar rumah. Pohon jambu digunakan dalam pantun ini terutama untuk menyesuaikan sajak akhir pantun. Tetapi nama-nama apapun (binatang, pohon, dan sebagainya) bukan nama-nama sembarang. Nama-nama itu terpilih karena akrab dengan kehidupan dan mempunyai manfaat khusus bagi masyarakat. Pohon jambu (dan juga pepohonan lain) tumbuh secara liar di hutan belantara Banjar tanpa ada yang menanam atau membudidayakannya. Pohon rambutan, langsat, kopi, mangga, enaw, dan lain-lain tumbuh secara liar dan besar tanpa ditanam dan dipelihara. Tanah Banjar pada masa lalu adalah tanah yang subur. Batang dan atau dahan jambu yang keras dan liat sering dijadikan bahan membuat gasing. Dalam permainan gasing, gasing yang satu dipantaw (dibenturkan) ke gasing yang lainnya. Gasing yang terbuat dari batang/dahan jambu yang kuat, mampu bertahan dan tidak terkoyak karena hantaman gasing lawannya. Ada satu lagi yang khas pada masyarakat Banjar pada masa lalu (tidak ada lagi atau jarang ditemukan pada masa sekarang) yang dilukiskan dalam pantun ini. Hal yang khas itu adalah adalah keberadaan jamban (toilet) yang berdiri di tepi-tepi sungai. Pada masa dahulu, orang-orang buang hajat (air besar dan air kecil) selalu berjalan ke luar rumah menuju sungai. Di tepi sungai telah ada berderet-deret jamban sebagai tempat buang hajat. Seingat saya, pada tahun 1970-an, sepanjang sungat Teluk Dalam Banjarmasin, puluhan jamban berderet-deret di tepi sungai. Jamban-jamban itu dibangun oleh beberapa kepala keluarga. Sebagai pengingat bahwa jamban itu adalah milik keluarga si Pulan, misalnya, maka jamban itu diberi nomor (1, 2, 3 dan seterusnya). Keluarga lain di kampung itu tidak akan memasuki jamban yang bukan dibangunnya. Nomor jamban juga menjadi petunjuk alamat rumah seseorang (khusus di Teluk Dalam masa lalu), misalnya, rumah si Pulan terletak di sekitar jamban nomor 15. Pantun di atas juga melukiskan cara berpikir atau cara pandang orang Banjar terhadap wanita cantik dan lelaki ideal. Wanita cantik adalah wanita yang berkulit putih bersih (awak putih). Wanita cantik yang berkulit putih menjadi rebutan banyak lelaki. Lelaki ideal adalah lelaki yang telah memiliki pekerjaan tetap dan yang paling ideal adalah seorang guru atau seorang komandan polisi. Kedua lelaki ini sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat. Seorang guru sangat dihargai karena dipandang sebagai orang yang pintar, cerdas, dan mencerdaskan anak-anak di sekolah. Karena kecerdasan dan kepintaran itu, guru tampak berwibawa dan sangat dihormati. Begitu juga seorang komandan polisi, dia dipandang sebagai orang yang disegani di masyarakat. Pekerjaan seorang polisi adalah menjaga keamanan masyarakat sehingga karakternya tampak sedikit keras dibanding dengan seorang guru. Bagi wanita Banjar (tempoe dulu), apabila boleh memilih di antara guru dan komandan polisi, yang keduanya merupakan lelaki ideal, mereka lebih memilih seorang guru. Hal itu tampak pada larik ketiga dan keempat pantun di atas.

Awak putih balaki guru ‘badan putih bersuamikan guru’

Imbah guru kumandan pulang ‘setelah guru komandan lagi’

Larik-larik di atas menyiratkan bahwa seorang wanita yang berkulit putih (lambang wanita yang cantik) memilih suami seorang guru. Di kemudian hari, andai nasib harus bercerai dengan seorang guru yang dicintai itu, wanita Banjar menunggu pinangan lelaki berikutnya. Pinangan berikut yang ditunggu masih pada seorang guru, namun kalau seorang guru tidak pun juga datang meminangnya, maka seorang komandan polisi yang menjadi idamannya.

Satu pantun tradisional lagi sebagai berikut.

Riang-riut punduk di hutan ‘bergoyang-goyang pondok di sawah’

Karabahan pisang timbatu ‘tertimpa pisang timbatu’

Rimut-rimut muntung Pa Tuan ‘komat-kamit mulut Pak Tuan’

Mamadahi anak minantu ‘menasihati anak menantu’

Kondisi alam yang dilukiskan dalam puisi ini adalah tentang punduk di hutan dan pisang timbatu. Punduk di hutan (pondok di sawah) dijadikan sebuah memori atau kenangan yang kuat dan berkesan sehingga terpilih untuk memulai sebuah pantun. Punduk di hutan sangat akrab dengan masyarakat tradisional Banjar, apalagi pada masyarakat desa. Pondok di sawah biasanya didirikan di tempat/tanah yang agak tinggi di area persawahannya sehingga di samping kiri dan kanan pondok itu petani dapat menanam sayur-sayuran dan pohon buah-buahan. Pergi ke sawah menjadi kegiatan sehari-hari masyarakat yang hampir seluruhnya adalah petani. Pondok di sawah tentu dibuat dengan tonggak dan dinding seadanya. Angin sepoi dan terkadang ribut disertai guntur dapat membuat pondok tersebut terayun-ayun ‘riang-riut’ seperti mau ambruk. Memori lain adalah tentang pisang timbatu. Pisang timbatu adalah pisang yang banyak berbiji. Pisang ini ditebang atau diambil buahnya selagi masih muda untuk sayur. Buah dan biji-biji pisang yang masih muda sangat lezat dimakan dan membangkitkan selera makan. Biasanya, para petani Banjar menanam pisang timbatu ini di samping pondoknya yang ada di hutan itu. Dua hal ini (punduk dan pisang timbatu) diabadikan oleh sastrawan guna memulai pantunnya (sampiran pantun). Isi pantun yang dikehendaki adalah meyampaikan sebuah tanggung jawab dari seorang yang dituakan (patuan ‘Pak Tuan’) kepada keluarga-keluarganya (anak minantu). Patuan biasanya bermakna Pak Tuan Haji. Pada masa lalu, seorang yang telah berumur (tua) di dalam sebuah keluarga, terlebih orang itu telah berhaji, maka nasihat-nasihatnya sangat didengar dan ditaati.

Pantun lain yang patut saya perlihatkan dalam makalah ini berbunyi sebagai berikut.

Sungai Tabuk banyunya dalam ‘Sungai Tabuk airnya dalam’

Pacah buih di pipiringan ‘Pecah buih di piring-piringan’

Asa malibuk hati di dalam ‘Rasa berdegup hati di dalam’

Malihat inya nang pangurihingan ‘Melihat dia yang suka tersenyum’

Sungai Tabuk adalah sebuah perkampungan yang dikelilingi oleh anak sungai yang bermuara ke sungai Martapura. Pada masa lalu, daerah ini sangat indah karena sungai-sungainya yang jernih airnya dan banyak ikannya. Transportasi yang digunakan masyarakat di kampung ini adalah jukung atau biduk/sampan kecil. Masyarakat Banjar sangat ahli membuat jukung dan sangat terampil mengayuhnya di tengah gelombang air sungai. Para pedagang sayur, ikan, beras, menjajakan dagangannya dengan jukung menyusuri anak-anak sungai. Apabila air laut pasang naik, maka air sungainya melimpah sehingga sangai menjadi dalam dan bergelombang, bahkan terkadang air sungai itu sampai memasuki ke lantai-lantai rumah. Perkampungan Sungai Tabuk yang indah ini diabadikan oleh pengarang pantun dalam pantun di atas. Isi pantun ini adalah tentang seseorang yang terpesona dengan seorang wanita yang suka menebar senyum. Apabila pada pantun yang pertama disebutkan bahwa wanita yang cantik menurut masyarakat Banjar adalah wanita yang berkulit putih maka pada pantun ini disebutkan pula bahwa perilaku yang sangat disukai dari seorang wanita adalah perilaku yang suka menebar senyum.

Contoh pantun yang lain yang sarat dengan lingkungan dan falsafah Banjar adalah sebagai berikut.

Tabang bamban kuricih-ricih ‘tebang bamban ku belah-belah’

Imbah kuricih kubabat pulang ‘Setelah ku belah kuikat lagi’

Hati dandam bamula ampih ‘hati yang rindu mulai reda’

Imbah ampih baumpat pulang ‘setelah reda kembali kumat’

Ada dua hal yang dilukiskan oleh pantun ini, yakni pohon bamban dan perasaan dandam (rindu) seorang anak muda terhadap lawan jenisnya seorang wanita. Pohon bamban adalah pohon yang tumbuh di rawa atau di sawah. Pohon bamban sangat akrab bagi masyarakat Banjar. Di samping banyak tumbuh di lingkungan Banjar, pohon bamban sangat banyak mengandung manfaat bagi kehidupan orang Banjar. Manfaat bamban yang pertama adalah untuk membuat bakul kecil maupun bakul yang agak besar. Bakul kecil digunakan untuk manjajah baras (mencuci beras sebelum dimasak), bakul besar untuk mengumpulkan tangkai-tangkai padi yang dipotong dengan ani-ani. Bakul besar biasanya diikatkan di pinggang seorang yang sedang mengetam padi. Manfaat bamban yang kedua adalah untuk mahambit (membuat atap dari daun rumbia). Daun rumbia diikat dan disatukan dengan tali bamban sehingga karena ikatan itu daun rumbia itu menjadi sehelai atap. Bamban yang akan digunakan untuk mahambit, membuat bakul, dan atau untuk tali pengikat, terlebih dahulu diricih-ricih (dipilah-pilah menjadi beberapa bagian kecil). Hal yang kedua yang dilukiskan dalam pantun ini adalah perihal hati yang dandam (hati yang bergejolak karena rindu). Hati yang dandam adalah emosi yang sangat manusiawi, namun harus dapat dikendalikan. Seorang pria Banjar harus mengendalikan emosinya apabila angan-angannya terhadap seorang wanita ternyata tidak boleh diteruskan, mungkin karena wanita itu telah bersuami atau telah dipinang orang, atau wanita itu adalah seorang yang kaya sedangkan dia adalah seorang yang papa. Pengendalian emosi itu terlihat dari bait pantun yang berbunyi, “hati dandam bamula ampih (hati yang rindu kasmaran mulai reda.”

Walaupun demikian, pengendalian emosi ternyata ada batasnya. Hati yang rindu karena gairah cinta akan kembali berkobar apabila wanita yang dimimpikan itu kembali tampak di angan-angannya atau terlihat secara tidak sengaja di suatu tempat. Rindu dendam yang kembali berkobar terlukis dalam bait pantun yang berbunyi, “Imbah ampih baumpat pulang (setelah reda kembali berkobar lagi)”.

Pantun selanjutnya yang ingin saya ketengahkan dalam makalah ini adalah pantun yang berbunyi:

Asam pauh dalima pauh ‘asam pauh delima pauh’

Rama-rama batali banang ‘rama-rama bertali benang’

Ading jauh kaka pun jauh ‘adinda jauh kakanda jauh’

Sama-sama pada mangganang ‘sama-sama saling terkenang’

Ada tiga hal yang berkenaan dengan lingkungan Banjar yang terefleksi pada pantun ini. Tiga hal itu adalah asam pauh, dalima (bua delima) pauh. Pauh adalah nama sebuah kampung yang terletak jauh dari kota Banjarmasin. Kampung pauh dikelilingi oleh hutan belantara dan pohon buah-buahan tumbuh sangat rindang karena tanahnya yang sangat subur. Salah satu pohon dan buah yang dilukiskan dalam pantun ini adalah buah asam (sejenis mangga hutan). Karena tumbuhnya di kampung pauh, maka buah asam itu disebut asam pauh. Selain buah asam pauh, ada lagi buah dalima pauh. Buah dalima adalah buah yang sering ditemukan dalam cerita legenda atau dongeng. Di dalam cerita, buah ini disebutkan sangat lezat dan menjadi buah yang dicari-cari oleh putri raja. Buah dalima tidak ada yang tumbuh di kampung Pauh. Jadi, buah dalima merupakan buah fiktif atau buah yang hidup di angan-angan masyarakat Banjar. Buah dalima masuk ke dalam pantun karena keterpesonaan pengarang pantun terhadap buah yang menjadi makanan para putri dan kalangan istana raja. Untuk menghormati nama sebuah kampung, maka pengarang pantun menyebut nama kampung teringat olehnya. Kampung itu bernama kampung Pauh dan buah dalima yang lezat ini oleh pengarang disebut dalima pauh. Pantun ini juga menyebutkan tentang seekor rama-rama. Rama-rama adalah sejenis kupu-kupu yang badanya agak gemuk dan sayapnya lebih kecil dari kupu-kupu. Rama-rama sering berterbangan di sekitar rumah penduduk. Bagi masyarakat Banjar, rama-rama merupakan jenis kupu-kupu yang bernuansa sakral. Ada kepercayaan masyarakat tradisional Banjar bahwa kupu-kupu yang masuk ke dalam rumah menandakan akan kedatangan tamu istimewa. Bagi seorang gadis yang sedang dilanda asmara, tamu yang diharapkan datang itu adalah seorang lelaki pujaan. Rama-rama juga mungkin adalah jelmaan dari seorang pahlawan sakti. Pahlawan yang sakti itu mengubah dirinya menjadi rama-rama untuk tujuan tertentu. Tujuan itu bisa untuk mengintai musuh atau menjaga mahligai putri agar tidak diganggu oleh siapapun.

Sampiran pantun yang memuat lukisan alam lingkungan Banjar dipergunakan untuk mengantarkan isi pantun. Isi pantun ini ternyata adalah lukisan perasaan seorang pria yang merindukan seorang wanita kekasihnya. Kerinduan yang memilukan karena sang kekasih berada jauh dari dirinya. Bagi dua sejoli yang sungguh-sungguh saling mencintai maka selayaknya mempunyai perasaan yang sama. Perasaan yang sama itu adalah saling merasakan kerinduan dan merasakan kesepian. Pikiran dan perasaan itu dilukiskan oleh isi pantun yang berbunyi:

Ading jauh kaka pun jauh ‘Adinda jauh kakanda jauh’

Sama-sama pada mangganang ‘Sama-sama saling mengenang’

Pantun Banjar lainnya yang berisi masalah lingkungan dan falsafah Banjar adalah sebagai berikut.

Matan Ulin ka Palaihari “Dari Ulin ke Pelaihari”

Liwat jalan ka Lianganggang “Lewat jalan ke Lianganggang”

Nasib miskin nang ditangisi “Nasib miskin yang ditangisi”

Diri jauh di banua urang “Diri jauh di negeri orang”

Sampiran pantun ini berisi tiga nama kampung yang ada di Banjarmasin, yakni kampung Ulin, kampung Pelaihari, dan kampung Lianganggang. Tiga kampung ini saling berdekatan. Untuk menuju kampung Pelaihari, seseorang harus melewati kampung Ulin dan kampung Lianganggang. Tiga kampung ini dianggap memiliki kesan yang dalam oleh si pembuat pantun. Karena itu, tiga kampung ini diabadikan oleh pengarang pantung ke dalam pantun yang dibuatnya. Kampung Ulin adalah kampung yang sepi, teduh karena rimbunan pohon-pohon. Masyarakatnya sangat santun dan saling sapa di antara mereka. Di kampung Ulin ini pula terdapat lapangan terbang. Dahulu, lapangan terbang ini dinamakan landasan ulin. Lapangan terbang atau landasan pesawat ini dinamakan landasan ulin karena kayu ulin (kayu besi) menjadi bahan yang digunakan untuk menguatkan tanah yang akan diturini pesawat. Dahulu, kampung ulin adalah kawasan rawa-rawa yang tanahnya berair dan becek. Kampung Lianganggang adalah kampung yang dikenal memiliki banyak pohon buah-buahan. Buah-buahan itu dipetik dan dijual di tepi-tepi jalan. Di antara buah yang dijual penduduk Lianganggang adalah buah durian. Bermacam buah yang dijual di tepi jalan, terutama buah durian, menyebabkan kampung Lianganggang banyak dikenali oleh masyarakat Banjar. Kampung Pelaihari adalah kampung yang menjadi ibu kota sebuah kabupaten. Sebagai ibu kota, tentunya kampung ini adalah kampung yang paling ramai dan banyak didatangi oleh para pedagang. Orang-orang di pelbagai pelosok datang ke Pelaihari guna membeli keperluan hidup, baik berupa makanan, pakaian, dan keperluan hidup lainnya. Pantun ini berisi ratapan seseorang yang hidup miskin dan hidup terdampar di negeri yang jauh. Nasib adalah takdir yang telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Seseorang boleh berusaha meraih keinginan namun usaha itu hanyalah ikhtiar yang keberhasilannya sepenuhnya ditentukan oleh Yang Kuasa. Bagi masyarakat Banjar, nasib itu diterima setelah segala usaha tidak membuahkan hasil. Ungkapan Banjar, “dalas hangit (biarpun hangit); dalas batapung tali salawar (walapun tersisa tali celana); dalas guling batang (walaupun berguling-gulig seperti batang)”, adalah ungkapan yang menyiratkan bahwa usaha dan kerja keras itu wajib dan setelah berbagai usaha dan kerja keras itu tidak membuahkan hasil baru boleh dikatakan nasib. Pantun ini dimulai dengan sampiran yang menyebutkan nama-nama kampung yang cukup dikenal masyarakat. Kampung Ulin merupakan kampung yang populer pada masa lalu. Kata ulin diambil dari nama pokok kayu yang bernama ulin yang banyak tumbuh di hutan Banjar. Pohon itu sangat kuat dan tidak akan dimakan rayap dan tidak lapuk karena hujan dan panas. Kayu ulin sangat akrab dengan kehidupan masyarakat Banjar sehingga karena itu nama pokok kayu ini dijadikan nama lapangan terbang pertama di Kalimantan Selatan. Pada era pemerintahan orde baru, nama lapangan terbang ulin diubah dengan nama lapangan terbang Syamsuddin Noor. Kata ulin juga menjadi nama rumah sakit pertama dan terbesar di Kalimantan Selatan, yakni Rumah Sakit Ulin. Kata Lianganggang adalah nama kampung yang juga cukup dikenal oleh masyarakat Kalimantan Selatan. Kampung Lianganggang merupakan kampung yang harus dilewati apabila seseorang mau ke Pelaihari. Dahulu, kampung Lianganggang merupakan tempat persinggahan orang-orang yang mau ke Plelaihari. Di sepanjang jalan kampung Lianganggang tumbuh pepohonan yang hijau dan rindang. Di bawah pepohonan yang teduh itu banyak warga setempat yang berjualan buah-buahan seperti duren, pepaya, nenas, dan lain-lain.

Perhatikan lagi pantun Banjar berikut ini.

Kaya ilung bataut di batang ‘bagai ilung bertaut di pokok kayu

Satumat-satumat ditunjul urang ‘sebentar-sebentar didorong orang’

Napa untung dipingkut urang ‘bagaimana untung ditangan orang’

Panat hidup baguling batang ‘lelah hidup berguling batang’

Dalam pantun di atas terdapat tiga kosakata yang berhubungan dengan lingkungan dan falsafah Banjar. Tiga kosakata itu adalah ilung, batang, baguling batang, dan untung dipingkut urang.

Pantun ini dimulai dengan sebuah perumpamaan, “Kaya ilung bataut di batang (bagai ilung bertaut di pokok kayu).” Perumpamaan ini ditujukan kepada nasib seseorang yang hidupnya tergantung dari orang lain. Nasib ini harus dijalani karena sudah menjadi takdir dari Yang Mahakuasa. Ilung yang berada di pokok-pokok kayu bernasib tidak menentu. Terkadang pokok kayu itu ditunjul urang “didorong orang” maka ilung itu akan hanyut di bawa arus air entah ke mana. Bagaikan ilung inilah nasin seseorang yang tidak beruntung. Di sepanjang sungai sering terlihat pokok-pokok kayu. Di pokok-pokok kayu itu banyak terlihat rumput ilung melekatkan akarnya. Pokok kayu yang ada mengapung di sungai biasanya adalah pokok-pokok kayu yang akarnya tercerabut karena erosi pantai atau bisa juga kayu gelondongan milik pengusaha kayu yang sengaja diapungkan di sungai untuk menunggu pembeli datang membelinya.

Ilung sangat suka hidup bertaut di pokok-pokok kayu itu. Padahal pokok-pokok kayu itu hanyalah tempat bertaut yang tidak mungkin lama. Sewaktu-waktu ada orang yang mendorong pokok-pokok kayu itu karena sesuatu keperluan. Mungkin di dorong dengan galah penanjak jukung agar jukung yang digunakan oleh seseorang dapat dengan mudah berada di tengah sungai. Mungkin juga kayu itu harus dibawa ke tempat lain untuk dijual. Kehidupan yang tergantung pada seseorang dilukiskan bagai ilung yang bertaut di pokok kayu. Setiap hari harus siap terserak berhamburan dan berpindah mencari tempat perlindungan yang lain. Sesuai dengan sampiran pantun yang melukiskan rumput ilung yang bernasib malang, maka isi pantun juga melukiskan nasib manusia yang malang. Orang yang malang karena dia harus bekerja keras dengan majikannya. Orang bernasib malang karena harus siap sedia setiap saat menjalankan perintah majikannya. Orang yang bernasib malang dilukiskan dengan ungkapan Banjar bekerja baguling batang. Ungkapan ini melukiskan seseorang yang bekerja keras tidak mengenal lelah, siang maupun malam demi sesuap nasi. Seseorang yang bekerja dengan majikan yang gajinya tidak seberapa namun sang majikan mendapat keuntungan yang besar. Nasib malang seperti ini ibarat “untungnya dipingkut (dibawah kuasa) orang. Dengan demikian, kalau sudah mendapat nasib yang demikian, sesorang hendaknya sabar dan bahkan harus siap menahan kecewa dan nista. Masyarakat Banjar percaya bahwa dengan kesabaran dan menerima takdir maka pada suatu saat Yang Mahakuasa akan menolongnya dan hidupnya akan menjadi lebih baik.

PENUTUP

Berdasarkan uraian ini maka dapat disimpulkan bahwa pantun tradisional Banjar sarat dengan deskripsi lingkungan dan falsafah hidup masyarakat Banjar. Lingkungan alam yang mendapat tempat di dalam pantun adalah lingkungan yang akrab dengan masyarakat Banjar. Lingkungan alam itu memiliki kenangan yang berkesan bagi kehidupan masyarakat. Beberapa falsafah hidup masyarakat Banjar yang tercermin dalam pantun adalah (i) menganggap profesi guru sebagai profesi yang termulia melebihi profesi yang lain, (ii) penghargaan terhadap Pak Tuan Haji (tetuha masyarakat) serta mengikuti petuah-petuahnya, (iii) perempuan yang ideal bagi orang Banjar adalah perempuan yang berkulit putih dan suka tersenyum, (iv) kerinduan dan kecemburuan sejati tidak akan dapat terobati, (v) orang yang saling cinta mencintai adalah orang yang saling kenang-mengenang, (vi) orang baru ingat dan dapat menghargai keluarga dan kampung halaman apabila bernasib sial diperantauan, (vii) merenungi nasib dan menerima takdir apabila nasib telah ditentukan oleh yang Mahakuasa.

References

  1. S. Alisjahbana and Takdir, “Puisi Lama. Jakarta: Dian Rakyat.” 2004.
  2. J. Danandjaya, Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Don- geng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti, 1982.
  3. R. Effendi, “Sastra Banjar: Teori dan Interpretasi. Banjarbaru: Scripta Cendikia.” 2011.
  4. ——, “Semantic Analysis of River Fauna in Ban- jarese Proverbs,” Mediterranean Journal of Social Sciences, 2017.
  5. ——, Eksistensi Sastra Lisan Mahalabiu (Fungsi dn Makna Budaya), Yogyakarta, 2013, vol. 13.
  6. ——, “Peribahasa Banjar (Menampilkan karakter negatif untuk pendidikan karakter positif),” Jantera Jurnal Kajian Sastra, vol. 3, 2014.
  7. Undang-Undang Sultan Adam (Analisis Makna dengan Pendekatan Hermeneutik), Kuala Lumpur, 2014, vol. 2.
  8. Jumalie, Zulva, and S. A. A.-W. Billah, “Sejarah Penerapan Islam di Tanah Banjar. Jurnal Al-Jami. Vol. 8. No. 15. 121—132. Banjarmasin: Al-Jami.” J. ., Z. ., and . S. A. A.-W. B. dan Sejarah Penerapan Islam di Tanah Banjar. Jurnal Al-Jami ., Eds., vol. 8. Banjarmasin: Al-Jami, 2012, pp. 121–132.
  9. Sunarti, “Pantun Banjar Bentuk & Fungsinya. Ban- jarbaru: Scripta Cendekia.” 2012.
  10. M. Piah and Harun, Kesusasteraan Melayu Tradi- sional, 2006.
  11. T. Ganie and Noor, Sastra Banjar Genre Lama Bercorak Puisi. Banjarmasin: Rumah Pustaka Karya Sastra, 2011.
  12. E. Jumadi, Tema dan Amanat Legenda Banjar, Yogyakarta: Ombak, 2016.
  13. R. Effendi, “Sastra Banjar Pengaruh India-Hindu: Syair Burung Simbangan. Yogyakarta: Pustaka Pela- jar.” 2017.