Abstract. General Background: Social media platforms have transformed into vital spaces for self-expression, particularly for individuals who struggle to articulate their thoughts in face-to-face interactions. Specific Background: This study investigates the self-disclosure strategies of introverted individuals on platform X, employing Alfred Schutz's phenomenology and Erving Goffman's dramaturgical theory to analyze the dynamics of their online interactions. Knowledge Gap: While existing literature has explored self-presentation in social media, the nuanced experiences of introverts and the role of anonymity in facilitating self-disclosure remain under-researched. Aims: The study aims to uncover the motives and meanings behind the online behaviors of introverted individuals who adopt extroverted personas on platform X. Results: Findings from nine informants reveal that anonymity enables a liberating front stage, allowing for greater openness in self-disclosure, even among individuals experiencing gender inversion. Informants report a "Motive of Cause," linked to a lack of understanding peers, and a "Motive of Purpose," highlighting platform X as a vital medium for self-expression. Novelty: This research offers new insights into the intersection of introversion, anonymity, and self-presentation, emphasizing the complexities of online identity construction. Implications: The findings suggest that social media can serve as a crucial outlet for introverted individuals, fostering connections and self-exploration, which may inform future research and mental health initiatives aimed at supporting introverts in both online and offline contexts.
Highlights:
Anonymity as Liberation: The study highlights how anonymity on platform X allows introverted individuals to express themselves more freely.
Motives of Self-Expression: Informants demonstrate specific motives for their online behavior, stemming from a lack of understanding peers in their offline lives.
Implications for Mental Health: Findings indicate that social media can play a significant role in supporting the self-exploration and connection of introverted individuals.
Keywords – self-disclosure, introversion, anonymity, social media, identity construction
Perkembangan teknologi telah merevolusi bagaimana cara kita dalam mendapatkan dan berbagi informasi. Pada masa lalu, akses kita terhadap informasi yang ingin kita terima maupun yang akan disampaikan terbatas hingga prosesnya cenderung tidak efisien. Dengan membaca buku, koran, dan berkomunikasi menggunakan surat atau tatap muka adalah hal utama dalam mendapatkan informasi.
Hingga masuknya abad ke-20, akses informasi mengalami perubahan drastis dengan kemunculan internet yang sudah menjadi kebutuhan wajib setara dengan sandang, pangan, dan papan [1]. Dengan hadirnya internet, semua aspek dapat dipergunakan secara praktis karena hal tersebut merupakan sebuah teknologi yang di mana dapat mempermudah manusia layaknya alat atau perangkat untuk suatu hal, dan jika kita bandingkan dengan masa konvensional semua hal tidak dapat dikelola dengan mudah akan tetapi terdapat banyak aspek harus dioperasikan secara berkala atau manual yang dapat memberikan banyak dampak buruk seperti efisiensi waktu kurang merupakan bentuk fatal terdapat di pengoperasian secara manual ataupun konvensional.
Dari data yang dilansir oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 221.563.479 jiwa yang menyentuh persentase 79,5%, dihitung berawal dari tahun 2018 penetrasi internet di Indonesia mencapai 64,8%, kemudian berkembang mencapai 73,7% di 2020, 77,01% di 2022, dan 78,19% di 2023 [2]. Sedangkan berdasarkan data dari laman We Are Social Maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan internet dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan [3].
Di dunia internet, mereka memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri. Seorang netizen selalu berusaha untuk menunjukkan identitasnya yang unik dan eksistensinya di dunia maya melalui berbagai bentuk komunikasi, baik lisan maupun tertulis. Netizen juga dapat diartikan sebagai individu yang secara aktif berpartisipasi dalam komunitas online atau lingkungan internet [4]. Hadirnya media sosial dari internet inilah memberikan sarana kepada penggunanya dalam berkomunikasi jarak jauh. Media sosial juga memiliki peranan penting yaitu sebagai sarana ekspreksi diri atau aktualisasi diri dari penggunanya, karena mampu mengubah penggunanya baik cara mereka dalam bersosialisasi dan berkomunikasi dengan memberikan kesempatan untuk mengekspreksikan diri serta mengungkapkan pendapatnya [5]. Ekspreksi, emosi, dan pemikiran dapat berbentuk pesan personal maupun yang dapat melibatkan banyak orang. Dengan berbagai bentuk pengekspreksian inilah yang disebut dengan pengungkapan diri atau self disclosure [6].
Pengungkapan diri individu introvert di media sosial dapat memengaruhi kinerja mereka di bidang dramaturgi. Teknologi media berbagi sementara, yang mencegah konten disimpan secara permanen, dapat memperburuk tantangan dalam mengelola tayangan dan menyebabkan peningkatan risiko pengungkapan. Peningkatan pengungkapan ini didorong oleh pengurangan masalah privasi. Namun, kesan pengamat tentang pembagi tidak sensitif terhadap keabadian dan malah didorong oleh disinhibisi yang ditunjukkan dalam pengungkapan diri. Akibatnya, individu introvert yang berbagi pengungkapan diri tanpa hambatan dapat dianggap memiliki penilaian yang lebih buruk, yang dapat berdampak negatif pada kinerja mereka di bidang dramaturgi [7]
Pengungkapan diri di media sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor adalah rasa percaya, keamanan, dan kenyamanan yang dirasakan individu terhadap anggota komunitas online lainnya [8]. Faktor lain adalah keinginan untuk mendapatkan imbalan atau manfaat yang dapat diperoleh individu dari pengungkapan diri, seperti menemukan solusi untuk masalah [9]. Selain itu, karakteristik platform media sosial, seperti kemampuan untuk merespons dan memberikan masukan, juga dapat memengaruhi perilaku pengungkapan diri [10].Selain itu, ciri-ciri kepribadian individu, seperti ekstraversi, keramahan, kesadaran, dan neurotisisme, dapat mempengaruhi kecenderungan pengungkapan diri mereka di media sosial [11]. Penting untuk dicatat bahwa harga diri tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pengungkapan diri di media sosial [12].
Orang mungkin introvert dan terlibat dalam pengungkapan diri di media sosial karena berbagai alasan. Salah satu alasannya adalah rasa percaya, aman, dan kenyamanan yang disediakan platform media sosial, memungkinkan individu untuk mengekspresikan diri dengan lebih bebas [8]. Selain itu, anonimitas yang ditawarkan beberapa platform media sosial memungkinkan individu introvert untuk mengatasi rasa malu mereka dan berbagi informasi pribadi tanpa takut akan penilaian [9]. Faktor lain adalah keinginan untuk koneksi sosial dan kesempatan untuk membangun hubungan. Platform media sosial menyediakan ruang virtual bagi individu untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, yang dapat sangat menarik bagi individu introvert yang mungkin menemukan interaksi tatap muka menantang [13]. Selain itu, sifat adiktif dari situs jejaring sosial dapat berkontribusi pada peningkatan pengungkapan diri secara online, karena individu mungkin merasa terdorong untuk berbagi informasi pribadi dan mencari validasi dari orang lain [14].
Dewasa ini, media sosial bamyak digunakan untuk mencari sebuah pengakuan. Hal ini terjadi karena mereka kesusahan mencari pengakuan di dunia nyata. Media sosial, yang sering digunakan untuk para individu dalam melakukan pengungkapan diri yang terdapat di X dan mereka merasa lebih nyaman ketika bercerita dikarenakan orang yang berada di sosial media tersebut belum tentu mengenalinya secara online serta pengguna bisa menggunakan nama samaran tanpa harus menggunakan identitas aslinya. Berdasarkan hasil perhitungan secara online bahwa X menjadi jejaring sosial tertinggi ketiga dengan banyak pengguna lebih dari 22,8 % pada tahun 2019 silam [15].
Dalam buku karya Erving Goffman yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life, dramaturgi merupakan peristiwa ketika orang membentuk sebuah karakter yang akan mereka tampilkan berdasarkan ruang, waktu, dan audiens tertentu sehingga orang tersebut mendapatkan ketertarikan dari orang yang hendak menerimanya, hal ini ibarat pertunjukan drama diatas panggung yang dipertunjukan terhadap penonton. Karakter yang dibangun justru sangat berbeda dengan karakterna dalam kenyataannya, dari sinilah dibagi menjadi dua yaitu Front Stage dan Back Stage. Front Stage berupa karakter yang dibentuk oleh seseorang, karakter inilah yang dapat memikat ketertarikan audiensnya terhadap karakter yang sudah dibentuk, sebelumnyya karakter ini dibentuk sedemikian rupa. Sedangkan Back Stage adalah karakter asli orang tersebut dan dapat disebutkan sebagai sisi yang berbanding balik dengan Front Stage-nya [16].
Dilansir dari laman datareportal.com, jumlah dari pengguna media sosial di Indonesia yang terhitung dari awal Januari 2023 memiliki perkiraan sekitar 167 juta akun yang terdaftar, 153.7 juta penggunanya berusia 18 tahun yang setara dengan 79.5% [17]. Selain itu diketahui bahwa seluruh penduduk Indonesia yang tak terlepas dari gender, bahwa terdapat 53,2% pengguna media sosial adalah pria, sedangkan 46,8% berupa wanita. Jumlah dan persentase diatas dapat bertambah maupun berkurang berdasarkan kurun waktu. Serta Indonesia menduduki peringkat keenam di dunia dengan persentase data 2,41% dari populasi masyarakat Indonesia yang berjumlah 237.5566.363 orang tercatat sebagai pengguna X [18].
X merupakan platform media sosial dengan format unik, di mana konsepnya melibatkan penyebaran pesan secara singkat, padat, dan real-time dengan batasan kalimat kurang dari 140 karakter kepada pembaca di seluruh dunia [18]. Selain memiliki fungsi komunikasi, X juga berfungsi sebagai sumber tempat untuk mencari berbagai informasi, baik dari berita yang dipublikasikan oleh media massa hingga pesan-pesan yang menjadi viral . Selain itu juga dapat digunakan sebagai tempat untuk mencurahkan isi hati sebagaimana buku harian, bahkan beberapa dari pengguna X menjadikan platform media sosial tersebut sebagai tempat pelarian dunia nyata [1]
Berdasarkan data dari website Databoks yang dihitung dari Januari 2024, tiga sosial media yang dikembangkan oleh Meta mendudukI peringkat pertama hingga ketiga seara berurutan yaitu Whatsapp dengan jumlah 90,9%, Instagram 85,3%, dan Facebook 81,6%. X menduduki peringkat keenam setelah Tiktok dan Telegram dengan jumlah persentase 57,5% [19]. Meski X berada di urutan keenam, akan tetapi X memiliki kesamaan dengan Quora yaitu fitur unggahan pada penggunanya untuk mendapatkan jawaban atas masalah dan pengungkapan diri mereka dengan tujuan baik dalam menyelesaikan masalah, mendapatkan umpan balik, serta dukungan dari apa yang telah diungkapan dalam unggahanmereka, serta dari pengungkapan diri itulah mereka dapat membentuk suatu lingkup sosial [20].
Dramaturgi di media sosial mengacu pada kinerja dan presentasi diri sendiri di platform media sosial. Ini melibatkan pembangunan persona online dan manajemen strategis kehadiran online seseorang [21]. Orang-orang terlibat dalam dramaturgi di media sosial dengan hati-hati mengunggah posting, foto, dan interaksi mereka untuk menciptakan gambar atau kesan yang diinginkan [22]. Ini dapat mencakup menampilkan aspek-aspek tertentu dari kehindupan mereka, menyoroti pencapaian, dan menampilkan diri mereka dalam cahaya positif [23]. Pengguna media sosial sering mempertimbangkan pemirsa yang mereka bayangkan ketika terlibat dalam dramaturgi, menyesuaikan konten mereka untuk menarik kelompok atau individu tertentu [24]. Konsep dramaturgi di media sosial menyoroti sifat performatif interaksi online dan peran presentasi diri dalam membentuk identitas online seseorang [25]
Ada fenomena yang cukup menarik yang bisa dikaji terkait khususnya pada pengguna X mengenai bagaimana mereka membuat serta memberlakukan akun secara berbeda dengan identitas dunia nyata mereka. Yaitu dengan cara menciptakan akun mereka sebagaimana yang mereka inginkan, seperti mengunggah foto, posting, video, menata bahasa dalam berinteraksi, sehingga apa yang berada di akun X mereka berbeda dengan apa yang mereka alami di kehidupan nyatanya. Serta dari situlah mereka dapat mengkurasi baik audiens atau pengikut mereka agar mendapatkan yang satu frekuensi.
Pengungkapan diri dalam studi komunikasi mengacu pada tindakan mengungkapkan informasi pribadi kepada orang lain. Ini adalah praktik umum di platform media sosial seperti Instagram dan TikTok, di mana individu mengekspresikan diri mereka melalui foto, video, dan cerita [26]. Pengungkapan diri pada platform ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ukuran dan topik diskusi, motivasi, akurasi, tujuan, dan keintiman [27]. Hal ini juga dipengaruhi oleh legitimasi sosial, ekspresi, pengembangan hubungan, klarifikasi identitas, dan kontrol sosial [28]. Pengungkapan diri dapat memiliki efek positif, termasuk bantuan kognitif, pemberdayaan diri, koneksi sosial, dan personalisasi. Hal ini dipandang sebagai pendorong utama situs jejaring sosial dan memainkan peran penting dalam ketertarikan interpersonal.
Metode yang akan digunakan berupa metode penelitian kualitatif yang dilakukan dengan cara wawancara kepada sembilan narasumber baik secara online ataupun offline. Kriteria narasumber yang akan menjadi penelitian ini yaitu dengan batasan umur minimal 17 tahun sampai dengan 29 tahun, yang telah menggunakan sosial media X minimal 1 tahun, dan yang terpenting adalah mereka yang memiliki latar belakang introvert di dunia nyata serta identitas diri sosial media mereka Ekstrovert yang berbanding terbalik dengan dunia nyata. Informasi yang akan saya dapatkan dari narasumber akan dicatat dalam sebuah buku catatan.
Penelitian fenomenologi ini menggunakan perspektif Albert Schutz. Fenomenologi Alfred Schutz menjelaskan bahwa dorongan tindakan manusia memiliki dua tipe. Pertama, Motives to Cause atau Because of Motive, bahwa seseorang memiliki alasan dalam melakukan suatu tindakan dalam mencapai seperti apa yang diharapkan. Dalam penelitian ini akan dikaji apa alasan narasumber menggunakan X dengan identitas yang bertolak belakang dengan kehidupan nyata mereka yang introvert. Sedangkan yang kedua Motives of Purpose, merupakan pandangan retrospektif terhadap faktor-faktor seseorang dalam mencapai tujuan tertentu. Secara garis besar, Motives of Purpose berupa faktor-faktor seseorang dalam mencapai tujuan tertentu, kschuhususnya apa yang membuat mereka terdorong dalam melakukan tindakan tersebut [29]. Dalam penelitian ini akan dipaparkan faktor-faktor apa saja yang membuat pengguna X yang introvert membuat akun mereka bertolak belakang yaitu seakan-akan mereka Ekstrovert dan lebih leluasa dalam pengungkapan diri mereka. Sehingga dapat disebutkan bahwa dalam penelitian ini menggunakan metode fenomenologi presfektif Albert Schutz menjelaskan apa saja penyebab dan faktor-faktor pengguna X membuat identitas diri mereka disana jauh berbeda dengan diri mereka yang di dunia nyatanya adalah introvert.
Jika fenomenologi persfektif Albert Schutz dihubungkan dengan Dramaturgi oleh Erving Goffman, ini memiliki makna yang searah mengenai perilaku manusia dan interaksi sosial. Seseorang memiliki alasan dalam bermain peran terutama dari latar belakang mereka dalam dunia nyata, serta adanya faktor-faktor yang membuat mereka yang introvert terdorong membuat akun X-nya mempunyai identitas yang terbalik yaitu Ekstrovert.
Hasil analisis mengenai bagaimana individu introvert menampilkan diri mereka di depan umum (front stage) dan bagaimana mereka mengelola informasi pribadi di belakang layar (back stage). Temuan mengenai jenis informasi yang lebih sering dibagikan di depan umum dibandingkan dengan yang disimpan untuk lingkungan yang lebih privat.
1. Panggung Depan (Front Stage)
Goffman (1956) menyatakan dalam teori Dramaturgi bahwa selama di panggung depan, setiap individu membangun persona yang akan mereka tampilkan, dengan tujuan meciptakan kesan (impression) ketika berhadapan dengan khalayak. Dalam konsep panggung depan, Goffman membaginya menjadi dua bagian, yaitu personal front dan setting. Personal front terdiri dari alat-alat yang dapat dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa individu kedalam setting. Setting merupakan aspek apa saja yang mendukung para individu memainkan persona yang mereka bangun terhadap khalayak [16].
A. Front Personal
Dalam front personal, para informan membuat identitas baru yang sangat berbeda dari kehidupan nyata mereka. Identitas bermula dari pemaknaan dari diri sendiri, dan diri sendirilah yang membangunnya melalui proses dalam diri masing-masing [30]. Dari identitas baru inilah memudahkan mereka untuk membangun kepercayaan diri dalam pengingkapan diri. Hanya saja beberapa dari informasi pribadi dunia nyata ada yang dicantumkan dalam identitas baru mereka yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, dan domisili. Hal ini terungkap dalam wawancara peneliti dengan informan Ai berikut:
”Kalau aku actually i create a new personality yang totally different dari aku di irl. Im actually introvert but in twitter aku ingin jadi beda aja. i want to talk a lot, socialize a lot. and thats why i have this bright personality yang sejujurnya beda jauh dari aku in real life. Kalo soal yang trully myself itu gender, umur, pendidikan, domisili ataupun how i look like juga ga aku tutupin. cuma yang aku bedain tentang persona aku saja. im not being fake (disclaimer) im just trying to show the world my best self.” (Ai, 18 Juli 2024).
Menurut Cooley (1902) manusia menaruh cermin dihadapannya ketika dalam interaksi sosialnya, membayangkan bagaimana tampak mereka dihadapan orang lain, bagaimana orang lain menilai dari penampilan yang telah dibuat, serta bagaimana reaksi orang lain kepada mereka [31]. Maka dapat dikatakan bahwa para individu ingin menyajikan gambar0an diri lainnya yang dapat diterima oleh orang lain dalam proses pengelolaan pesan mereka. Dikaitkan dengan jawaban wawancara dari informan Ai, informan membuat gambaran diri dengan versi terbaiknya yakni sebagai individu yang lebih interaktif dan menarik agar dapat diterima oleh siapapun.
Adapun penemuan lain yang menarik dari informan bernama Gavourn yang menggunakan gender yang keterbalikan dari dunia nyata mereka. Informan Gavourn menggunakan jenis kelamin laki-laki untuk identitasnya di X karena terinspirasi dari bagaimana cara mereka berpakaian di dunia nyata yakni berpakaian seperti laki-laki.
”Kalau post di X pasti reaksinya pada bilang aku ini cogan tanpa tau gender aslik ada yang bilang aku ini cegan ada yang bilang aku ini cowo tulen. Ada yang bilang aku ini cegan ada yang bilang aku ini cowo tulen. Tapi aku denger ini agak ketawa² dikit sih kak, karena aku pake pronounce he/him dan emang lebih suka tampil pake style laki kalau di real life juga.” (Gavourn, 19 Juli 2024)
Menurut Chen (2023) dari fenomena di atas merupakan peristiwa gender inversi yang dimana individu dalam platform media sosial menetapkan gender mereka berlawanan dengan gender mereka yang sebenarnya, adalah fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik untuk melindungi privasi, kebutuhan pekerjaan, dan konflik gender. Penelitian ini menunjukkan kompleksitas peristiwa gender inversi, yang mencerminkan motivasi beragam individu dalam mengelola identitas mereka dalam sosial media. Adapun alasan yang unik dalam penelitian tersebut berupa untuk kebutuhan humor dan entertaiment yaitu melakukan inversi gender dalam sosial media sebagai bahan humor atau bercanda, maupun untuk menciptakan kesan misteri agar para khalayak menebak gender dari pengguna sosial media tersebut [32]. Dari informan Gavourn bahwa ia berjenis kelamin perempuan di dunia nyatanya, tetapi karena cerdasarkan cara berpakaiannya yang cenderung seperti laki-laki, maka informan Gavourn menggunakan jenis kelamin laki-laki di dalam identitas akun X miliknya.
Alfred Schutz (1967) menyatakan setiap manusia memiliki alasan dan tujuan apa saja setiap mereka melakukan sebuah tindakan. Motives of Cause dari informan Gavourn menggunakan jenis kelamin laki-laki dalam identitasnya di X adalah cara berpakaian Gavourn yang menyerupai laki-laki menjadi salah satu alasan utama. Hal ini memungkinkan informan Gavourn untuk menyesuaikan identitas daringnya dengan penampilannya di kehidupan nyata. Sedangkan Motives of Purpose dari informan Gavourn agar orang-orang dapat menebak-tebak sendiri tanpa tahu jenis kelaminnya yang sebenarnya di dunia nyatanya. Selain itu, informan Gavourn berharap dapat mengundang orang-orang di sekitarnya untuk berpikir lebih terbuka dan tidak terikat oleh stereotip gender.
Demi keamanan privasi mereka khususnya mengenai identitas mereka yang sebenarnya, para pengguna X selalu memastikan agar apa yang mereka unggah harus tidak ada hal yang mengandung informasi pribadi atau mereka sensor. Hal ini sangat berkaitan dengan panggung belakang sehingga pengguna X harus menjaga rahasia dibalik identitas yang telah mereka buat, seperti yang diuapkan informan Joy dalam wawancaranya :
”Untuk menjaga identitas agar tetap aman, aku selalu berhati-hati jika aku mau post sesuatu yang berhubungan dengan rl. Misal jika aku mau post sesuatu yang ada nama asli, alamat rumah, nomor telepon, dsb, aku nggak pernah lupa untuk menyensornya. Selain itu bisa juga dengan tidak membicarakannya di Twitter karena takut disalahgunakan.” (Joy, 17 Juli 2024)
Konten yang dibagikan oleh para pengguna sosial media X juga mencerminkan pengungkapan diri mereka, khususnya mengunggah berbagai hal yang mereka sukai maupun hobi. Bahkan hal yang mereka unggah tersebut tidak dapat diucapkan dalam dunia nyata mereka khususnya mengenai LGBT. Hal ini berdasarkan jawaban dari informan Gavourn :
”Lebih nyaman di X sih kak, kayak mereka nerima opini positif apapun itu dan orang twitter lebih asik buat diajak debat/ngomongin lore game. Aku lebih leluasa ngomongin pasangan karakter anime ataupun game juga sih kak, entah pasangan straight, homo, atau lesbi... Kalau real life tuh rata² orangnya pada religi banget, jadi agak-agak males.” (Gavourn, 19 Juli 2024)
Khairani dan Rodiah dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya berpegang teguh pada norma dan budaya yang berlaku di masyarakat, serta legalisasi atas kelompok LGBT di Indonesia sangat sulit direalisasikan walaupun sebagian dari komunitas ini sudah memperjuangkan. Eksistensi pada komunitas LGBT menimbulkan stigma negatif terhadap masyarakat setempat, hal ini menjadi tantangan bagi komunitas LGBT. Dengan adanya media sosial, para individu maupun komunitas LGBT merasa dimudahkan sehingga dalam mengutarakan pendapatnya mereka secara bebas [33]. Dari jawaban wawancara oleh informan Gavourn, informan merasa bebas untuk membicarakan mengenai berbagai pasangan dari karakter anime maupun game yang memiliki hubungan yang berkaitan dengan LGBT yakni lesbian dan homoseksual.
Dalam perspektif Albert Schtuz, informan Gavourn memiliki alasan atau dapat disebut Motives of Cause yaitu informan Gavourn merasa tidak bebas untuk mengungkapkan hal apa yang disenangi yaitu pasangan lesbian dan homoseksual dari karakter anime maupun game yang disukai. Dari keterhalangan dalam kebebasan ekspreksinya itulah disebabkan oleh lingkungannya yang tidak mendukung dan religius. Mengenai Motives of Purpose dari informan Gavourn berupa menjadikan media sosial X sebagai tempat bebas berpendapat dan mengungkapkan sesuatu yang berlawanan dengan norma berupa pasangan LGBT tersebut.
B. Setting
Setting yang digunakan dalam penelitian ini melibatkan adanya fitur-fitur yang mendukung individu dalam pengungkapan diri mereka di X. Fitur yang sangat berpengaruh dalam penelitian ini adalah post dan edit profile. Dengan fitur edit profile, para pengguna X bebas membangun identitas mereka melalui foto profil, foto sampul, biodata, situs web, dan lokasi. Sementara itu, fitur post digunakan untuk mengunggah foto, video, dan tulisan yang sangat berkaitan dengan pengungkapan diri mereka di X.
Post merupakan fitur media sosial X berfungsi untuk mengunggah pesan yang akan dikirim ke beranda, yang berupa foto, video, tautan, serta teks sehingga seluruh khalayak dapat melihatnya. Dalam penelitian ini, para informan cenderung mengunggah segala sesuatu yang berbau hobi ataupun apa yang mereka suka. Seperti yang dikatakan oleh informan Ai :
”Disini aku bakal bahas soal game, interaksi di game, kpop dan juga aku ketika ngegame. aku gabakal keluar konteks dan aku selalu menjaga komitmen itu..” (Ai, 18 Juli 2024)
Kembali lagi bahwa media sosial merupakan tempat untuk berekspreksi dan mengungkapkan diri tanpa ada batasan tertentu, hal ini memungkinkan adanya pengguna yang tidak nyaman dengan topik atau unggahan tertentu yang menurut mereka sensitif. Media sosial X memiliki fitur untuk menghidari akan unggahan atau topik tertentu yang menurut para penggunanyya sensitif yaitu berupa mute words. Mute words merupakan fitur yang dimana para penggunanya dapat menulis satu-persatu berbagai kata yang sensitif sehingga ketika mereka membuka beranda, mereka tidak akan melihat unggahan yang menyetarakan kata-kata sensitif yang tertera dalam daftar mute words mereka. Hal ini terjadi pada informan Rei :
”Kalo topik-topik sensitif kayak SARA dan sebagainya biasanya ga bakal aku share di timeline gitu sih, atau mungkin juga topik-topik yg bisa memicu trauma juga (kalo ini bisa aku pakein trigger warning). Adatuh sebenernya post nya innocent aja sih, ga ada maksud mau ngetrigger juga kaya contoh kek mau share aja, tp jaga jaga biar yang ngemute words nya ga bakal muncul di timeline mutual, kek dulu aku ngepost tangan yg lecet dan agak berdarah karena abis dicakar kucing, mau share aja kaya biasa, tapi tetep aku pakein trigger warning.” (Rei, 16 Juli 2024)
Tyagi dalam penelitiannya membahas mengenai trigger warning atau peringatan pemicu yakni pengaruh konten yang dapat memicu individu. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai pengalaman buruk oleh pengguna media sosial seperti pengalaman traumatik, kasus pembunuhan, gangguan psikologis, narkotika, dan berbagai hal yang dapat menimbulkan picuan terhadap pengguna media sosial. Dengan menambahkan kata-kata dengan peringatan trigger warning, hal ini dapat membantu para pengguna media sosial untuk memoderasi sendiri konten apa saja yang ingin maupun tidak ingin mereka lihat berdasarkan kenyamanan mereka dalam bermain media sosial [34]. Dengan adanya fitur di X berupa mute words, pengguna X dapat menulis kata-kata yang dapat memicu mereka ataupun yang mengganggu kenyamanan mereka.
Motive of Cause Rei yaitu menggunakan trigger warning untuk mengunggah pesan yang mengandung konten sensitif atau dapat memicu khalayak lain agar tidak lewat dalam beranda bagi mereka yang sudah menulis daftar kata-kata apa saja yang sensitif bagi mereka di dalam fitur X mute words. Sedangkan Motives of Purpose dari informan Rei dalam mengunakan trigger warning yaitu untuk menghindari para khalayaknya dari konten apa yang informan unggah.
2. Panggung Belakang (Back Stage)
Panggung belakang berlawanan dengan panggung depan, merupakan tempat yang memiliki tujuan untuk merahasiakan identitas asli maupun maksud dari para aktor. Dalam panggung belakang inilah para individu melakukan kegiatan yang tidak dapat diungkapkan maupun dirahasiakan dari panggung depan berupa identitas dan persona asli dari para individu. Para khalayak tidak diizinkan untuk mengetahui apa saja yang dilakukan individu di panggung belakang. Dalam panggung belakang inilah merupakan ruang para individu berjalan sesuai skenario mereka yang sebenarnya.
Yang dimaksud dari panggung belakang dalam penelitian ini berupa kehidupan nyata para narasumber, khususnya hal-hal apa saja yang membuat mereka lebih nyaman dan membuat persona ekstrovert serta latar belakang mereka. Dari hasil wawancara para narasumber memiliki alasan dalam membuat akun X karena lingkungan kehidupan nyata mereka yang tidak mendukung, sehingga mereka dapat mengungkapkan maupun mengekspreksikan diri mereka secara bebas.
”Aku merasa kesulitan mengekspresikan diri sendiri di dunia nyata karena dulu orang selalu menganggap aku aneh. Setelah beberapa tahun menggunakan aplikasi X, ternyata aku menemukan banyak orang yang sama denganku saat mengekspresikan diri sehingga membuatku nyaman.” (Joy, 17 Juli 2024)
Adapun tujuan atau maksud dari salah satu narasumber bernama Ai melakukan pengungkapan diri dan berekspreksi berupa untuk menjaga reputasi nama baik keluarganya.
”Ah ini agak personal sih tapi akan aku jawab, kebetulan keluargaku terpandang dan lumayan punya social status di kotaku tinggal. aku juga lumayan terpandang secara akademis di sekolah dan kampusku. jadinya aku kurang bisa beropini frontal/berbuat yang macem-macem (kayak gaming, support lgbtq+, suka manga, suka anime, suka kpop) karena takut merusak nama baik keluarga dan aku sendiri. soalnya banyak hal tabu disini. ya jatuhnya aku jaim sih. soalnya kalo salah dikit aja nanti cepet banget nyebar beritanya dan ngerusak marwah keluarga gitu. makanya aku di dunia virtual rasanya bebas banget ketimbang dunia nyata” (Ai, 18 Juli 2024)
Arti dari panggung belakang sendiri adalah hal yang dirahasiakan dari para khalayak, maka dari itulah pengguna sosial media X memisahkan antara apa saja baik yang dapat dibagikan maupun tidak ke dalam beranda mereka yang akan dilihat oleh khalayak nantinya. Mereka cenderung tidak membagikan hal yang intim ataupun yang sangat berhubungan dengan kehidupan nyata mereka, dan lebin menunjukkan sisi positif dari akun mereka yang dibentuk sebaik mungkin.
”Aku udah terbiasa kalo punya masalah tuh dibicarain sendiri. kamu pernah denger meme soal "apapun masalahnya solusinya ngomong sendiri" itu ga? nah aku tipe orang yg seperti itu biasanya ak ngetik di notes, atau record video kaya aku curhat gitu atau ga ngetweet diakun private yang isinya cuma aku. jadi lebih kaya nulis diary, lalu setelah itu aku lega. kenapa ak bilang gada bedanya ya karena its not necessary. dulu ak pernah ngerasa puas bgt abis post baik di socmed real life atau virtual soal problems personal, but nobody cares actually. jadi lebih baik dikeluarin sendiri. i learn from my mistakes.” (Ai, 18 Juli 2024)
Informan Ai mengatakan bahwa ketika sedang mengalami masalah dalam dunia nyata dia lebih memilih untuk menyimpannya sendiri atau mengunggahnya di akunnya yang khusus untuk mengunggah berbagai keluh kesahnya yang ada di dunia nyata. Hal ini sama dengan jawaban dari informan Rei :
”Aku kan emang punya dua akun, yang satu khusus art, yang satu buat random ajalah kaya akun ini. Kalo yang art dicampur-campur bahas yang lain (terutama bnyk bahas tentang real life) atkut nanti followersnya juga ga nyaman kann, begitu juga sebaliknya.”(Rei, 16 Juli 2024)
Dalam pandangan riset yang dilakukan oleh Shinta dan Putri, adanya pembagian kedua akun sangat berpengaruh antara panggung depan dan panggung belakang dari pengguna sosial media. Akun utama (first account) berfungsi sebagai tempat untuk mempresentasikan pemilik akun sebagai individu yang ideal tetapi tetap menggunakan identitas pribadi mereka yang menurut mereka sempurna ataupun baik, dan pengikut atau khalayak dari akun tersebut biasanya lebih umum sehingga apa yang diunggah oleh pemilik akun tersebut dapat diterima secara umum. Sedangkan akun kedua (second account) akan memperlihatkan sisi pemilik akun yang sangat bertolak belakang dengan akun utama mereka. Akun kedua berisi mengenai identitas asli berdasarkan dunia nyata, mengunggah foto, video, dan tulisan yang sangat menyesuaikan isi curahan hati dan kehidupan mereka yang sebenarnya, serta dalam akun kedua ini mereka dapat memilih siapa saja yang mereka izinkan untuk melihat aktivitas didalamnya [35]. Dari penelitian ini, pengguna X memiliki akun kedua sebagai tempat dimana mereka menunjukkan sisi asli yang sesuai dengan dunia nyata mereka baik dari unggahan tulisan, foto, video, serta dalam akun tersebut mereka tidak melakukan pengungkapan diri yang sangat spesifik seperti dalam akun utama mereka. Seakan-akan sosial media X dapat digunakan sebagai tempat untuk mencurahkan isi hati ataupun buku harian [1].
Salah satu informan yang tetap berteman dengan temannya dari dunia nyata dalam akun X yang memiliki identitas yang berbeda dengan dunia nyata sehingga temannya merasakan hal yang sangat berbeda, sehingga teman dunia nyatanya merasakan ada hak yang sangat berbeda tetapi jika hal tersebut terus-menerus dipertanyakan, maka informan merasa tidak nyaman. Seperti yang dibicarakan oleh informan Pichi :
”Sebenarnya kalau ini aku ga terlalu mempersalahin jujur, walaupun mereka bakal sadar kayak 'wah piciw kalo di twitter heboh banget tapi kalo di real life diem banget' mau bagaimana lagi.. tergantung reaksi mereka gimana, kalo mereka ga masalah sama identitas atau image yang kubuat di twitter aku juga ga bakal permasalahin. tetep temenan aja kayak biasa tapi kalo mereka bakal bikin aku ga nyaman (selalu bring up tentang itu) kayaknya akan ku hindarin sih.” (Pichi, 19 Juli 2024)
Pengungkapan mengenai kehidupan nyata mereka tidak hanya dapat dikeluarkan dalam akun kedua mereka, melainkan diceritakan kepada orang yang mereka percaya. Dengan menceritakannya ke orang terdekat diharapkan dapat memberikan sebuah penyelesaian dari suatu masalah atau bisa memberikan sebuah pandangan agar kehidupan nyata. Hal ini terungkap dari jawaban wawancara oleh informan Aero :
“Kalau di twitter justru lebih nonjolin ke hobby atau game sih ketimbang bahas yang hal di dunia nyata karena kalau mau bahas hal atau yang representasikan diri mending aku keep sendiri atau ke orang terdekatku yaitu pacarku. Yang kutakutin kalau bablas tuh terjadi oversharing sehingga informasi pribadi nggak kejaga samsek”(Aero, 19 Juli 2024)
Adapun informan yang memilih mengeluarkan keluh kesahnya di akun X miliknya. Antara kehidupan nyata dan media sosial X memiliki keuntungan yang berbeda, terutama dalam memahami masalah pribadi para penggunanya. Dengan membagikan keluh kesahnya di X, penggunanya merasa lebih lega karena apa yang bagi mereka ganjil sudah diungkapkan dalam akun X milik mereka, bahkan tanpa memperdulikan algoritma yang didapat baik berupa like atau reply. Hal ini seperti yang dijawab oleh informan Joy :
”Semisal udah ngeluarin uneg-uneg, aku merasa lebih baik (lega). Aku nggak peduli ada yang bales atau gak, yang penting aku lega karena udah ngeluarin uneg-uneg sih.” (Joy, 17 Juli 2024)
Alpiah dalam risetnya menyatakan bahwa media sosial juga merupakan tempat untuk mencari pedapat dan mencari perhatian, dan menumbuhkan gambaran dari sebuah topik, tetapi jika menggunakan media sosial dalam jangka waktu yang terus-menerus hingga ketergantungan hal yang dikhawatirkan berupa oversharing. Oversharing merupakan situasi dimana individu sedang menghadapi suatu masalah baik ringan maupun berat, individu tersebut berinisiatif untuk mencari dukungan sosial dari orang-orang sekitarnya agar mereka dihargai, diperhatikan, dan dicintai [36]. Temuan dari artikel tersebut juga mengatakan bahwa meskipun unggahan yang dibagikan tidak mendapatkan respon dari orang lain maka informan tetap merasa lega ataupun puas, karena mereka lebih mementingkan untuk mengeluarkan keluh kesahnya dibanding mendapatkan like maupun reply. Informan Joy mengatakan bahwa dengan mengeluarkan keluh kesahnya di akun X miliknya, lebih merasa lega tanpa memperdulikan apakah mendapatkan like atau reply.
Hasil kesimpulan dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa sembilan informan yang merupakan pengguna akun X saat berinteraksi cendrung menunjukkan sifat ekstrovert yang mendominasi ketimbang sifat aslinya yakni introvert. Hal ini memiliki relasi yang kuat dengan teori dramaturgi oleh Erving Goffman pada tahun 1956 yang terdiri dari dua bagian yaitu panggung depan (front stage) dan panggung panggung belakang (back stage), serta setiap informan memiliki alasan dan tujuan tersendiri. Berdasarkan hasil mereka cenderung kesulitan berekspreksi dalam dunia nyata mereka serta sulit mencari teman yang memiliki pemikiran dan kegemaran yang sama. Maka dari tujuan dan alasan para informan tersebut memiliki hubungan dari pendekatan fenomenologi oleh Albert Schutz pada tahun 1967 yaitu setiap orang memiliki alasan ataupun tujuan dalam melakukan tujuan berupa Motives of Cause dan Motives of Purpose.
Para informan memiliki alasan dan tujuan masing-masing dalam membuat identitas dalam media sosial X yang berbanding terbalik dengan dunia nyata. Motives of Cause dari para informan berupa mereka merupakan introvert yang memiliki kesulitan dalam mengungkapkan segala sesuatu yang mereka gemari maupun keluh kesah mereka, serta memiliki kesuliatn dalam berteman karena menurut informan mereka tidak cocok dengan khalayak di dunia nyata.Sehingga mereka mencari ruang yang menurut mereka yang nyaman dan dapat bertemu dengan orang yang memiliki pendapat yang sama, yaitu media sosial X. Serta Motives of Purpose para informan yaitu untuk mengungkapkan apapun yang tidak dapat diungkapkan mereka dalam dunia nyata
Pada panggung depan, para informan sebagai pengguna sosial media X melakukan segala kegiatan yang dianggap berbeda di dunia nyata. Para informan akan menampilkannya secara totalitas sehingga teman-teman maupun khalayak lainnya dengan spontan akan menganggap mereka sebagai orang dengan berkepribadian extrovert yang dapat memberikan energi terbuka bagi siapapun yang bersosialisasi dengan dirinya. Pada dasarnya mereka sangat kesulitan mengekspreksikan dirinya, maka dari itulah mereka membuat identitas semenarik mungkin, sehingga memiliki kesan yang sangat berbeda dengan dunia nyata mereka. Dengan identitas yang mereka buat, mereka dapat lebih terbuka terhadap khalayak maupun temannya, serta dengan identitas tersebut khalayak dapat menerima dan menikmati apa saja yang berasal dari para informan baik dari unggahan maupun interaksinya. Hal yang biasa informan unggah dalam akun X mereka cenderung yang tidak dapat mereka ungkap di dunia nyata, bahkan ada yang mengunggah hal yang bertolak belakang dengan norma.
Kemudian terdapat berupa panggung belakang di mana para informan yang telah beraktivitas dari panggung depan menjadi ekstrovert di media sosial X. Dalam panggung belakang mereka sudah tidak berada di panggung lagi melainkan para informan menunjukkan sifat asli mereka yang sesuai dengan dunia nyata mereka. Hal tersebut memiliki kesan yang sangat personal dan privasi sehingga mereka lebih memilih menyimpannya sendiri atau menggunakan akun kedua yang berfungsi sebagai tempat mengeluarkan berbagai keluh kesah, akun kedua mereka dapat diibaratkan sebagai buku harian ataupun tempat mengeluarkan curahan hati.