Cultural Studies and Community Development
DOI: 10.21070/ijccd.v15i3.1111

Bridging Cultures: Javanese and Chinese Community Reconciliation in Krian


Menjembatani Budaya: Rekonsiliasi Komunitas Jawa dan Tionghoa di Krian

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

intercultural communication cultural acculturation social integration ethnic diversity community initiatives

Abstract

Background: Increasing interactions between local communities and newcomers highlight the importance of understanding intercultural communication and its societal impacts. Specific Background: This study examines intercultural communication between local residents and migrants, focusing on how these interactions facilitate cultural acculturation. Knowledge Gap: Despite existing literature, research on specific ethnic interactions and their social integration remains limited. Aims: The research aims to explore the dynamics of intercultural communication and acculturation processes within a particular community through qualitative analysis. Results: Findings reveal that both local residents and migrants demonstrate openness, fostering trust and social cohesion through shared experiences. Local residents adapt to migrant customs, particularly in cuisine, while migrants engage with local traditions. Novelty: This study highlights the role of interpersonal relationships in fostering acceptance and cultural blending. Implications: Results emphasize the need for community initiatives that promote intercultural dialogue to enhance social integration and cultural richness, serving as a model for regions facing cultural diversity challenges.

Highlights :

 

  • Openness and trust between local residents and migrants foster social cohesion.
  • Mutual adaptation in customs, particularly in cuisine, enhances cultural exchange.
  • Community initiatives promoting dialogue can strengthen integration in diverse environments.

Keywords: intercultural communication, cultural acculturation, social integration, ethnic diversity, community initiatives

 

Pendahuluan

Secara umum, mayoritas penduduk yang menetap di Kabupaten Sidoarjo adalah suku Jawa. Sejak 1859, pertumbuhan penduduk di Sidoarjo mengalami peningkatan. Hal ini bukan disebabkan oleh banyaknya angka kelahiran, melainkan banyaknya jumlah perantauan yang datang dan menetap di Sidoarjo[1]. Kelompok perantauan tersebut berasal dari suku Madura, etnis Tionghoa dan etnis India. Pada masa kolonialisme Belanda, Pemerintah Kolonial membagi masyarakat di Indonesia menjadi tiga lapisan, yaitu kelas atas yang terdiri dari orang

– orang Kolonial, kelas menengah yang terdiri dari peranakan Eropa, India, dan Tionghoa, serta kelas bawah yang diisi oleh orang pribumi termasuk untuk orang Jawa. Walaupun suku ini merupakan mayoritas di Kabupaten Sidoarjo, namun Pemerintahan Kolonial tidak menggolongkan orang – orang Jawa ini sebagai sebuah golongan etnis tersendiri, akan tetapi menjadi sebuah kesatuan dengan golongan – golongan yang disebut sebagai Inlander atau Pribumi. Sebutan ini tidak hanya ditujukan untuk orang Jawa saja, melainkan sudah menjadi julukan umum untuk membedakan orang – orang asli Indonesia dengan bangsa – bangsa pendatang seperti Eropa, Arab dan Tionghoa[2].

Belum diketahui secara pasti sejak kapan etnis Tionghoa berada di Kabupaten Sidoarjo, namun diperkirakan tahun kedatangan etnis Tionghoa di Sidoarjo berhubungan dengan sejarah etnis Tionghoa di Surabaya. Hal ini dikarenakan Sidoarjo pernah menjadi bagian dari Surabaya. Pada tahun 1851, Sidoarjo masih bernama Sidokare sebagai bagian dari daerah Kadipaten Surabaya[3]. Perubahan nama Sidokare menjadi Sidoarjo diawali dengan keluarnya keputusan Gubernur Jenderal No. 10 tanggal 28 Mei 1859. Mengacu dari keputusan Gubernur Jenderal tersebut maka dibuatlah Staatsblad van Nederlandsch Indië (Lembaran Negara Hindia Belanda) No. 32 yang diundangkan pada tanggal 2 Juni 1859. Pada lembaran tersebut disebutkan bahwa Regentschap (Kabupaten) Sidhokarie diubah namanya menjadi Sidho – Ardjo. Pada tahun 1970-an, lahirlah EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Sehingga nama Sidhoardjo diganti menjadi Sidoarjo seperti yang dikenal sekarang[4].

Kelompok perantauan ini perlu adanya penyesuaian diri, mulai dari cara bertahan hidup hingga penyesuaian diri terhadap keadaan lingkungan sekitar. Penyesuaian ini salah satu cara supaya mereka dapat diterima dilingkungan sekitar. Sudah menjadi sifat alamiah manusia bahwa tidak dapat hidup sendiri dan memerlukan orang lain. Adanya kehidupan berkelompok pasti memiliki budaya kebiasaan, atau komunikasi yang dilakukan sehari-hari. Sehingga apabila sebuah kelompok berpindah dari satu daerah menuju ke daerah lain akan menimbulkan perbedaan kebudayaan serta kebiasaan yang dilakukan. Tidak sedikit perbedaan ini berujung pada konflik yang cukup serius salah satunya kerusuhan pada era orde baru dimana terjadi pengrusakan, penjarahan toko bahkan kekerasan terhadap Etnis Tionghoa. Adanya peristiwa tersebut membuat Etnis tionghoa belajar dan mencoba adaptasi diri dengan lingkungan supaya terjalin hubungan yang lebih baik. Hal inilah yang menimbulkan sebuah proses akulturasi sebagai upaya rekonsiliasi.

Akulturasi merupakan proses penerimaan unsur-unsur kebudayaan baru dari luar secara lambat dengan tidak menghilangkan sifat asli dari kepribadian tersebut. Contohnya seperti megengan merupakan bentuk akulturasi dari budaya Jawa dan budaya Islam[5]. Akulturasi yaitu proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur- unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur dari kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan itu sendiri[6]. Proses akulturasi melibatkan budaya yang harus diterima oleh kelompok tertentu disebuah wilayah yang memiliki budaya yang berbeda maupun sebaliknya.

Kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi[7]. Kata ini sering diucapkan dalam bahasa Indonesia budi yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Sedangkan menurut perspektif Dewantara menjelaskan bahwa “budaya” atau “kebudayaan (bahasa jawa: kabudayan)” mempunyai persamaan terminologi dengan kata “kultur” (dari bahasa Jerman), “cultuur” (dari bahasa Belanda), dan “culture” (dari bahasa Inggris) yang ke semuanya mempunyai arti hasil/buah dari peradaban manusia. Kata “kultur” tersebut (diadopsi secara utuh dalam bahasa Indonesia) berakar dari bahasa Latin “cultura”, perubahan dari “colere” yang berarti usaha untuk memelihara dan memajukan budi/akal/jiwa[8]. Secara asosiatif dapat dikemukakan bahwa kata “budaya” atau “kultur” mempunyai pengertian dasar usaha budi/akal dalam rangka memperbaiki kualitas dan kuantitas (peradaban) hidup manusia. Usaha ini terwujud dalam tiga sistem dasar, meliputi, 1) Kompleksitas gagasan, konsep, dan pikiran manusia atau yang biasa disebut sistem budaya, 2) Kompleksitas aktivitas interaksional dan transaksional atau yang biasa disebut sistem social, 3) Kompleksitas kebendaan sebagai sarana/alat memenuhi kebutuhan atau yang biasa disebut sistem instrumental.

Rekonsiliasi adalah sebuah bentuk akomodatif dari beberapa pihak yang terlibat dalam konflik agar mampu saling menghargai satu sama lain[9]. Rekonsiliasi merupakan upaya menyelaraskan atau menyelesaikan suatu ketidakcocokan supaya dapat bergabung kembali, berbaik kembali, sependapat kembali, memulihkan persekutuan kembali dan kepercayaan[10]. Peneliti menyimpulkan bahwa rekonsiliasi adalah sebuah proses atau cara untuk menyelesaikan permasalahan atau konflik dengan tujuan membangun hubungan dan persekutuan kembali antara dua entitas secara damai. Terdapat empat inti dari upaya gerakan rekonsiliasi yaitu, 1) Mengembalikan Hakikat kemanusiaan, 2) Upaya menata ulang kembali tatanan moral,

3) Perubahan sikap 4) Pola interaksi harus bersifat saling menguntungkan.

Menurut Linton Masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga dapat terbentuk organisasi yang mengatur setiap individu dalam masyarakat tersebut dan membuat setiap individu

dalam masyarakat dapat mengatur diri sendiri dan berfikir tentang dirinya bagian suatu kesatuan sosial dengan batasan tertentu. Menurut Soerjono Soekanto, masyarakat pada umumnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, 1) Manusia yang hidup bersama, sekurang-kurangnya terdiri atas dua orang, 2) Bercampur/bergaul dalam jangka waktu yang cukup lama, 3) Sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan, 4) Merupakan suatu sistem hidup bersama.

Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya yang pada gilirannya akan tiba saling pengertian yang mendalam[11]. Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang- orang mengatur lingkungannya (1) dengan membangun hubungan antarsesama manusia (2) melalui pertukaran informasi (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain (4) serta berusaha mengubah sikap dan tingkah itu[12]. Konteks komunikasi antar budaya dapat meliputi komunikasi antar pribadi atau lintas pribadi, diantara dua orang (dyad), komunikasi diantara tiga orang (triads), komunikasi gender yakni komunikasi antara atau lintas peserta komunikasi yang berbeda jenis kelamin (antara sesama perempuan, atau antara perempuan dengan laki-laki)[13]. Juga komunikasi antar kelompok atau lintas kelompok, komunikasi antar organisasi atau lintas

organisasi, antar komunikasi massa, termasuk antar khalayak atau lintas khalayak yang berbeda budaya.

Berdasarkan penelitian dari Sindi dengan judul “AKULTURASI BUDAYA MASYARAKAT TRANSMIGRAN DI DESA SURO KAMPUNG BALI KECAMATAN MUARA BELITI KABUPATEN MUSI RAWAS”. Variabel penelitian tersebut yaitu akulturasi, budaya, dan masyarakat transmigran. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa wujud akulturasi budaya yang terjadi antara masyarakat lokal dan masyarakat transmigran berupa bahasa, makanan, dan pakaian. Dimana saling memahami dan menerapkan budaya satu dengan lainnya tanpa menghilangkan budaya lama. Dampak positif dari akulturasi berupa cara pandang tentang kehidupan bermasyarakat, perubahan tata cara pergaulan, terbukanya wawasan masyarakat menuju pengetahuan yang lebih luas, serta perubahan mentalitas. Sedangkan faktor pendukung dalam akulturasi ialah sikap saling menghargai, menghormati, toleransi serta pola fikir yang terbuka. Dan adapula faktor penghambatnya ialah sikap apatis dari masyarakat khususnya generasi muda terhadap keaslian budaya, atau sikap atas budaya tertentu. Sedangkan menurut penelitian dari Dwi Ari Wibowo dengan judul “AKULTURASI BUDAYA SEBAGAI UPAYA REKONSILIASI ETNIS JAWA-CINA DIKAMPUNG BALONG SUDIROPRAJAN SURAKARTA”. Variabel penelitian tersebut yaitu akulturasi, budaya, rekonsiliasi. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Etnis Jawa dan Cina sebenarnya memiliki pandangan hidup yang sama yaitu menjaga hubungan sesama manusia yang damai dan harmonis. Selain itu terdapat ritual dan perayaan yang muncul dari hasil perpaduan budaya dari kedua etnis tersebut, salah satunya berupa perkawinan campur antara Etnis Jawa dan etnis Cina. Dampak positif dari akulturasi ini adalah kedua etnis dapat membaur dan bersikap saling menghargai baik dari latar belakang etnis, kepercayaan dan budaya. Sesuai dengan penelitian yang telah disebutkan, peneliti ingin menggali lebih dalam mengenai akulturasi budaya masyarakat etnis Jawa dan Tionghoa. Yang menjadi perbedaan dalam penelitian ini yaitu tempat dilaksanakannya penelitan, dimana akan dilakukan yaitu di Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo. Selain itu, pebedaan selanjutnya terletak pada inti penelitian yang menitik beratkan pada komunikasi antar budayanya, dimana dari penelitian sebelumnya tidak di bahas secara mendalam.

Kabupaten Sidoarjo merupakan kabupaten terkecil dan terpadat penduduknya di Jawa Timur. Luas wilayah Kabupaten Sidoarjo 714,27 km2, diampit Kali Surabaya (32,5 km) dan Kali Porong (47 Km). Wilayah ini dianggap sebagai salah satu penyangga Kota Surabaya yang disebut Gerbangkertosusilo, karena mengalami perkembangan pesat yang ditandai dengan banyaknya industri di kawasan ini. Tidak heran banyak kelompok Masyarakat dari berbagai etnis tersebar dan mendiami di 18 kecamatan Kabupaten Sidoarjo salah satunya Kecamatan Krian. Selain industri yang cukup padat, daerah tersebut terkenal dengan pusat perdagangan baik pasar tradisional maupun modern. Sehingga tidak heran bagi etnis tionghoa yang mahir dalam bidang berbisnis banyak mendiami wilaya ini. Tentunya mereka hidup berdampingan dengan Masyarakat etnis Jawa yang menjadi kaum pribumi sejak dulu.

Dari latar belakang yang dijelaskan diatas maka rumusan masalah dari penelitian ini yaitu bagaimana komunikasi antar budaya dan akulturasi budaya yang terjadi pada masyarakat etnis Jawa dan Tionghoa. Sehingga tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu untuk menggambarkan bagaimana komunikasi antar budaya dan akulturasi budaya yang terjadi pada masyarakat etnis Jawa dan Tionghoa.

Metode

Penelitian yang akan dilakukan berupa deskriptif kualitatif, hal ini bertujuan untuk menjelaskan data yang diperoleh melalui deskripsi yang menceritakan tentang hasil penelitian. Hasil yang didapatkan dari merangkum wawancara dengan narasumber untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Informasi ini berupa hasil tanya jawab setelah dilakukan proses wawancara sebelumnya. Penelitian ini nantinya akan menjelaskan tentang komunikasi antar

budaya yang terjadi antara masyarakat lokal dan masyrakat pendatang yang terjadi di lingkungan Kecamatan Krian sehingga terjadi proses akulturasi budaya diantara keduanya. Penelitian pendekatan kualitatif didasarkan pada filosofi post-positivis yang digunakan oleh peneliti untuk mempelajari keadaan objek-objek alam (bukan eksperimen). Sarana meliputi pengambilan sampel data yang ditargetkan dari sumber data. Sedangkan metode survei menggunakan triangulasi (kombinasi), analisis data bersifat induktif atau kualitatif, dan temuan kualitatif berarti bukan generalisasi[14]. Terdapat sembilan karakteristik khusus penelitian kualitatif yaitu, 1) Seting natural, interaksi dengan data sangat dekat, 2) Peneliti sebagai instrumen pengumpulan data, 3) Beragam sumber data dalam bentuk kata-kata atau gambar, 4) Analisis data secara induktif, rekursif, dan interktif, 5) Fokus pada perspektif partisipan, maknanya, dan bersifat subjektif, 6) Framing perilaku manusia dan kepercayaannya berikut konteks mendasarinya, 7) Desain tidak bersifat kaku, 8) Penyelidikan interpretatif mendasar (peneliti, pembaca, dan partisipan merefleksikan peran dan posisinya dalam penelitan), 9) Holistik[15].

Subjek penelitian ini adalah masyarakat lokal dan masayarakat pendatang yang bertempat tinggal di Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo. Masyarakat lokal yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu warga asli yang lahir dan bertempat tinggal di kecamatan Krian dengan kriteria sudah bermukim lebih dari 30 tahun di daerah tersebut. Sedangkan masyarakat pendatang yang dimaksud dari penelitian ini yaitu yang berasal dari luar daerah dan menetap dan tinggal di daerah tersebut minimal 20 tahun. Teknik penentuan informan menggunakan Snowball Samplingdimana narasumber atau informan di tentukan sesuai instrument penelitian, jika dirasa peneliti ingin menggali lebih dalam mengenai informasi yang di perlukan, maka narasumber dapat memberikan rekomendasi informan selanjutnya yang relevan dan potensial untuk membahas topik yang dimaksud. Namun jika instrument penelitian atau peneliti sudah merasa cukup terhadap informasi pada satu narasumber maka penelitian dapat dilanjutkan pada tahap pembahasan hasil penelitian. Objek penelitiannya adalah komunkasi antar budaya yang dilakukan oleh masyarakat lokal dan masyarakat pendatang di lingkungan kecamatan tersebut. Informasi diperoleh setelah melakukan wawancara dan observasi dengan kedua belah pihak. Lokasi penelitian ini dilakukan di Dusun Tambak, Tambak kemerakan Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo pada tanggal 19 Desember 2023 sampai dengan tanggal 21 Desember 2023. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik wawancara dan observasi lapangan sesuai kondisinya. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode Miller dan Huberman, analisis data terdiri dari tiga kegiatan yang bersamaan yaitu data reduksi, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi.

Hasil dan Pembahasan

Peneliti perlu melakukan penyesuaian dan pencarian untuk menemukan narasumber yang sesuai berdasarkan kebutuhan untuk penilitan ini. Dari hasil pengamatan sementara bahwa warga yang mendiami Dusun Tambak tidak merasa terganggu dan sangat terbuka kepada orang baru yang masuk diwilayah tersebut. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya wawancara tanggal 19 Desember kepada narasumber pertama yaitu Bapak Sodik yang berprofesi sebagai wiraswasta dan merupakan warga asli yang telah mendiami Dusun Tambak, Kecamatan Krian Kab. Sidoarjo. Beliau lahir dan dibesarkan di dusun ini oleh orang tuanya sehingga mengerti dan mendalami seluk beluk dari wilayah tersebut. Menurut narasumber adanya pendatang dari luar daerah khususnya dengan etnis Tionghoa sebenarnya tidak ada kendala bahkan merasa senang bahwa ada orang asing yang berkenan tinggal dan menetap diwilayahnya. Disisi lain ia juga belajar banyak hal mengenai budaya dan kebiasaan dari warga pendatang yang bisa memperkaya pengetahuannya. Pada dasarnya narasumber juga menyampaikan etika dan perilaku dalam bermasyarakat adalah poin utama, ia tidak keberatan dengan adanya pendatang selama yang bersangkutan mau untuk beradaptasi dan sosialisasi dengan warga setempat. Ia juga menyadari bahwa penduduk asli perlu bergerak lebih dulu untuk membuka jalannya hubungan dengan pihak pendatang, hal ini dilakukan supaya timbul adanya rasa penerimaan dari pribumi kepada yang bersangkutan. Apabila kondisi dibalik dengan berharap pendatang untuk melakukan penyesuaian pasti akan sulit karena rasa “sungkan” dan kurangnya kepercayaan diri untuk memulai. Langkah yang diambil oleh Sodik merupakan salah satu cara supaya pendatang dapat diterima dengan baik dengan harapan kepercayaan dari kedua belah pihak.

Hal Sederhana yang biasa ia lakukan dengan pendatang adalah dengan berbagi makanan dan ngobrol bersama di warung dekat rumahnya. Dari kebiasaan ini akhirnya ditiru oleh yang bersangkutan dengan kembali memberikan makanan masakan halal “chinese food”. Ia baru tahu bahwa masakan Chinese bisa tetap terjaga kuliatas rasa dengan komposisi bahan yang halal. Sehingga tak jarang ketika ada perayaan / momen tertentu dari pihak yang bersangkutan membagikan makanan halal “Chinese food” kepada tetangga sekitar. Kegiatan lainnya yang biasa dilakukan yaitu nongkrong bersama di Warung. Kegiatan yang cukup rutin ini membuat penduduk asli selain narasumber juga ikut senang. Dengan interaksi yang cukup rutin banyak hal baru yang di dapat oleh narasumber, bagaimana pola pikir dan kebiasaan dalam menjalani rutinitas kehidupan. Poin yang paling terlihat adalah etnis Tionghoa ini hidup sederhana

di sehari harinya dan banyak memperkaya investasi untuk generasi penerusnya. Karena bentuk tabungan mereka bukan menyimpan uang di bank, namun prioritas investasi berjalan seperti usaha sampingan berdagang / saham. Menurut mereka sekecil apapun peluangnya jika mau ditekuni pasti akan membuahkan hasil. Dengan memperbanyak relasi dan “melek” terhadap peluang sekitar membuat etnis ini bisa bertahan hidup dan membangun keluarga dengan finansial yang sangat cukup. Sedangkan untuk anaknya akan diarahkan untuk pendidikan yang terbaik hingga kuliah keluar negeri, yang nantinya bukan sebagai pekerja di perusahaan orang lain dalam jangka waktu cukup lama. Melainkan untuk meneruskan usaha atas pecapaian orang tuanya. Karena menurut mereka bekerja di perusahaan orang lain sebagai bahan pembelajaran kepada anaknya, yang nantinya sebagai bekal dan mempersiapkan diri sebelum meneruskan bahkan memperluas usaha yang digeluti orang tuanya. Tak heran kenapa pelaku usaha yang berkembang dan banyak di wilayah Krian adalah etnis Tionghoa. Selain pola pikir, narasumber juga mengalami perubahan dalam pemilihan kata dengan menggabungkan Bahasa Jawa dan Mandarin untuk penyebutan uang seperti “gopek, goceng, goban, cetiaw” pada saat transaksi jual beli / sekedar ngobrol bercerita. Bahasa tersebut ia dapat dari yang bersangkutan dan ketika digunakan sebagai penyampaian transaksi / sekedar imbuhan saat bercerita mendapat respon baik oleh etnis tionghoa. Menurutnya penggunaan Bahasa ini justru mempermudah hubungan kedua belah pihak bisa saling menerima dan akrab.

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat, peneliti mendatangi pihak yang bersangkutan yang sering disebut oleh narasumber untuk mendapatkan perspektif sebagai pihak kedua. Ia bernama Fernanda Yang terlahir dari etnis Tionghoa generasi ke 2 dan telah mendiami wilayah tersebut kurang lebih 25 tahun lamanya. Dari hasil wawancara yang dilakukan tanggal 20 Desember bahwa narasumber sudah belajar Bahasa Jawa dari kecil, walaupun dalam sehari hari orang tuanya masih menggunakan Bahasa Mandarin. Proses pembelajaran ini dilakukan oleh orang tuanya dahulu supaya yang bersangkutan dapat berdaptasi dan berbaur dengan lingkungan setempat. Seiring bertambahnya usia banyak hal yang ia pelajari dari orang tuanya serta teman maupun lingkungan rumahnya. Ia merasa orang – orang disekitarnya sangat terbuka dan mau menerima keluarganya dengan sangat baik diwilayah tersebut. Pola pikir yang diterapkan oleh orang tuanya dapat diteruskan dengan baik, salah satunya adalah membuka usaha toko dirumahnya yang menjual kebutuhan sehari hari. Hal ini dilakukan sudah 10 tahun sebagai sarana investasi berjalan serta sarana menjalin hubungan dengan penduduk pribumi. Tak sedikit orang berkunjung ke toko untuk membeli kebutuhan atau sekedar ngobrol bersama, menurutnya keuntungan tidak harus didapat dari uang melainkan relasi yang dibangun antara dua belah pihak. Diwaktu luang ia juga menyempatkan untuk berinteraksi dengan warga sekitar di warung kopi dekat rumahnya. Pada momen perayaan tertentu seperti Tahun Baru Cina / Imlek juga memberikan bingkisan atau masakan khas Cina dengan komposisi Halal kepada tetangga sekitar. Terkadang ia juga meminta bantuan tetangganya yang etnis jawa untuk memasak makanan / kue untuk kebutuhan perayaan Imlek Hal ini dilakukan atas dasar mempererat hubungan antara etnis Jawa dan Tionghoa. Menurutnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua etnis ini selain makanan dan Bahasa. Kunci utama yang perlu dibangun adalah komunikasi dan etika, ia sangat senang apabila terdapat orang pribumi yang mau menggunakan beberapa kata dari Bahasa mandarin untuk berbicara. Begitupun dengan sebaliknya, saat menyampaikan sesuatu / bercerita menggunakan Bahasa jawa “kromo” ia mendapat respon baik dari orang Jawa.

Di akhir sesi peneliti menyempatkan diri pada tanggal 21 Desember ikut berkumpul bersama pak Sodik dan pak Fernanda di warung yang biasa untuk nongkrong bareng. Tanpa ada janjian dengan pihak-pihak terkait, peneliti langsung menghampiri di lokasi tersebut dan benar adanya yang bersangkutan ada disana. Dari pengamatan dan interaksi yang cukup sering dari dua belah pihak, peneliti mendapati adanya rasa saling percaya yang telah dibangun cukup lama. Komunikasi yang terjalin bukan seperti orang yang membutuhkan sepihak melainkan orang yang sudah kenal akrab. Hal ini dibuktikan bahwa topik yang diangkat cukup bervariatif mulai dari hal yang ringan hingga berbobot seperti politik dan bisnis. Penggunaan kalimat dan pemilihan kata Bahasa Jawa dan Mandarin sudah berbaur menjadi satu, candaan lepas saat merespon lawan bicara sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan di momen tertentu mereka menyelipkan pertukaran bahasa sebagai ajang pembelajaran dua belah pihak. Interaksi dari kebiasaan ini ternyata sudah dibangun oleh kedua belah pihak sejak 7 tahun lamanya sehingga terlihat seperti tidak ada pembatas baik dari etnis Jawa maupun Tionghoa.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian bahwa Akulturasi Budaya sebagai Upaya rekonsiliasi dapat terjadi di etnis Jawa dan Tionghoa yang mendiami di Dusun Tambak, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo. Hal ini dapat dibuktikan dengan data penilitian yang menunjukan adanya interaksi dan hubungan timbal balik dari kedua belah pihak. Bentuk akulturasi yang sangat terlihat adalah penggunaan bahasa sehari hari yang mencampurkan bahasa Jawa dengan Mandarin,

kebiasaan dengan nongkrong bareng, makanan yang diberikan & saling membantu saat momen perayaan. Dua belah pihak juga tidak merasa keberatan ataupun terganggu dengan adanya akulturasi tersebut. Secara sadar mengungkapkan adanya penggabungan dan penerimaan sebagai bentuk toleransi yang terbangun atas dasar kepercayaan satu sama lain. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang signifikan untuk menyulitkan hal ini dapat terjadi, hanya saja perlu adanya pihak yang berusaha untuk mengawali dan pihak yang terbuka untuk menjalankan iteraksi supaya terjalin komunikasi dua arah yang lebih baik.

References

  1. Y. Setiawan and Y. Prasetyo, "Kehidupan Sosial Budaya Etnis Tionghoa di Sidoarjo pada Masa Colonial," Jurnal Sejarah dan Budaya, vol. 2, no. 1, pp. 1-10, 2023. [Online]. Available: http://journal2.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/index. [Accessed: Sep. 15, 2023].
  2. D. Hariyanto, "Pengaruh Komunikasi Interpersonal Pedagang Madura Terhadap Akulturasi Budaya dan Etos Kerja Masyarakat Lokal di Pasar Larangan," 2019. [Online]. Available: https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Pengaruh+Komunikasi+Interpersonal+Pedagang+Madura+Terhadap+Akulturasi+Budaya+dan+Etos+Kerja+Masyarakat+Lokal+di+Pasar+Larangan&btnG=. [Accessed: Sep. 20, 2023].
  3. M. A. Latif, "Cultural Acculturation of Javanese and Madurese Urban Communities: Study of Intercultural Communication in Gedangan District," 2023. [Online]. Available: https://www.researchgate.net/publication/371154697_Cultural_Acculturation_of_Javanese_and_Madurese_Urban_Communities_Study_of_Intercultural_Communication_in_Gedangan_District_Akulturasi_Budaya_Masyarakat_Urban_Etnis_Jawa_dan_Madura_Studi_Komunikasi_An. [Accessed: Sep. 20, 2023].
  4. R. Kusherdyana, "Pengertian Budaya, Lintas Budaya, dan Teori yang Melandasi Lintas Budaya," Pustaka UT, 2020. [Online]. Available: https://pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/SPAR4103-M1.pdf. [Accessed: Sep. 20, 2023].
  5. R. Kalembiro, "Implementasi Kebijakan Penanggulangan Konflik," 2018. [Online]. Available: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/193232/1/Risaldy%20Kalembiro.pdf. [Accessed: Sep. 20, 2023].
  6. P. Maulani, "Diplomasi Haji Agus Salim dalam Upaya Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia," 2020. [Online]. Available: http://repositori.unsil.ac.id/5732/6/13%20BAB%202.pdf. [Accessed: Sep. 24, 2023].
  7. D. Iriani, "Peran Masyarakat dalam Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat di Desa," Publiciana, vol. 2, no. 1, pp. 25-35, 2018. [Online]. Available: https://journal.unita.ac.id/index.php/publiciana/article/view/140. [Accessed: Sep. 24, 2023].
  8. D. Hariyanto, "Buku Ajar Pengantar Ilmu Komunikasi," UMSIDA Press, 2021. [Online]. Available: https://press.umsida.ac.id/index.php/umsidapress/article/view/978-623-6081-32-7. [Accessed: Sep. 24, 2023].
  9. S. Mardilah, "Akulturasi Budaya Masyarakat Transmigran di Desa Suro Kampung Bali Kecamatan Muara Beliti Kabupaten Musi Rawas," 2023. [Online]. Available: http://e-theses.iaincurup.ac.id/3883/#. [Accessed: Sep. 28, 2023].
  10. D. A. Wibowo, "Akulturasi Budaya sebagai Upaya Rekonsiliasi Etnis Jawa-Cina di Kampung Balong Sudiroprajan Surakarta," 2011. [Online]. Available: https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/24243/Akulturasi-budaya-sebagai-upaya-rekonsiliasi-etnis-jawa-cina-di-kampung-Balong-Sudiroprajan-Surakarta. [Accessed: Nov. 10, 2023].
  11. "Profil Kabupaten Sidoarjo," Kompas.com, Aug. 13, 2022. [Online]. Available: https://regional.kompas.com/read/2022/08/13/150620178/profil-kabupaten-sidoarjo?page=all. [Accessed: Nov. 10, 2023].
  12. "Mengenal Sidoarjo," Portal Website Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. [Online]. Available: https://www.sidoarjokab.go.id/tentang/1687247324. [Accessed: Nov. 10, 2023].
  13. D. Gumulya, "Pencampuran Budaya Cina, Jawa, dan Belanda pada Budaya Makan Cina Peranakan," 2017. [Online]. Available: https://publikasi2.dinus.ac.id/index.php/andharupa/article/view/1353/1153. [Accessed: Nov. 11, 2023].
  14. S. A. Septemuryantoro, "Potensi Akulturasi Budaya dalam Menunjang Kunjungan Wisatawan di Kota Semarang," 2020. [Online]. Available: https://core.ac.uk/download/pdf/295522875.pdf. [Accessed: Nov. 12, 2023].
  15. S. Siswoyo, Nuryanto, and R. Mardiana, "Arsitektur Masjid Sunan Gunung Jati Cirebon sebagai Akulturasi Budaya Islam, Jawa, dan Cina," 2019. [Online]. Available: https://iplbijournals.id/index.php/jlbi/article/view/113/91. [Accessed: Nov. 13, 2023].