Community Education Development Articles
DOI: 10.21070/ijccd.v16i1.1050

Integrating Local and Universal Values in Indonesia's New Criminal Code


Mengintegrasikan Nilai-nilai Lokal dan Universal dalam KUHP Baru Indonesia

Universitas Mercu Buana, Jakarta
Indonesia
Universitas Mercu Buana, Jakarta
Indonesia
https://orcid.org/0000-0001-6765-6694
Universitas Mercu Buana, Jakarta
Indonesia
Universitas Mercu Buana, Jakarta
Indonesia
https://orcid.org/0000-0002-1014-9234
Universitas Mercu Buana, Jakarta
Indonesia
https://orcid.org/0009-0007-7784-8893
Universitas Mercu Buana, Jakarta
Indonesia
Universitas Mercu Buana, Jakarta
Indonesia
https://orcid.org/0009-0003-2866-1636
Universitas Mercu Buana, Jakarta
Indonesia
Universitas Mercu Buana, Jakarta
Indonesia
Universitas Mercu Buana, Jakarta
Indonesia
https://orcid.org/0009-0004-3644-4823
Universitas Mercu Buana, Jakarta
Indonesia
Universitas Mercu Buana, Jakarta
Indonesia
https://orcid.org/0009-0004-3223-5864
Universitas Mercu Buana, Jakarta
Indonesia
https://orcid.org/0009-0007-8123-443X

(*) Corresponding Author

New Criminal Code Local Values Universal Principles Legal Reform Indonesia

Abstract

Background: The Indonesian Criminal Code (KUHP), rooted in colonial law, needed modernization to align with national identity and global standards. Aim: This study examines the integration of local customs and universal principles in the new KUHP under Law Number 1 Year 2023. Findings: The new KUHP incorporates customary norms (living law) to ensure culturally relevant justice while adopting universal principles like legality and human rights. This integration addresses local diversity and international obligations, strengthening Indonesia’s legal framework. Novelty & Implications: By combining local wisdom and global norms, the KUHP creates an inclusive, responsive legal system that upholds national identity and global justice, serving as a model for legal pluralism.

Highlights:

  • The new KUHP integrates customary norms into formal legal frameworks, bridging cultural diversity and modern law.
  • It incorporates universal principles, enhancing compliance with international standards on human rights and justice.
  • The reform fosters a more inclusive and responsive legal system, strengthening Indonesia's global legal identity.

Keywords: New Criminal Code, Local Values, Universal Principles, Legal Reform, Indonesia

Pendahuluan

Pondok pesantren merupakan institusi pendidikan Islam dimana para siswa (santri) belajar dan tinggal bersama dengan para guru (ustad atau kiai) di lingkungan pondok. Karenanya, pesantren memiliki beberapa elemen, seperti asrama, tempat belajar, tempat ibadah (masjid), dan fasilitas-fasilitas lain yang dapat menunjang proses belajar para santri [1]. Berdasarkan kajian sejarah, pondok pesantren di Indonesia merupakan lembaga pendidikan yang memiliki akar murni dari tradisi budaya yang dimulai sejak 1596 [2][3]. Pondok pesantren memiliki peran yang sangat besar, selain sebagai media untuk penyebaran agama Islam, pesantren memberikan kontribusi besar bagi kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam perjalanannya, pondok pesantren telah mengalami banyak dialektika dan perkembangan, baik dari sisi bentuk dan pengelolaan atau pun kurikulum [4].

Pondok pesantren (Ponpes) Riyadhussholihiin adalah lembaga pendidikan yang berlokasi di kampung Rocek, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, Banten yang bergelut di bidang pendidikan islam secara formal dan non formal. Pengasuh dan tim guru (ustad) berasal dari lulusan dalam atau luar negri. Ponpes yang didirikan pada tanggal 1 Juli 2010 tersebut, bertempat di bawah kaki dua gunung yaitu gunung Pulau Sari dan gunung Karang. Pondok ini berdiri di atas tanah seluas 15 hektar yang mempunyai ruang kelas dan asrama yang cukup representatif dan berstatus milik sendiri. Jumlah santri yang ada saat ini mencapai 1.200 santri (hanya khusus untuk laki-laki) dan memiliki rencana pengembangan ke depan untuk ma’had santri perempuan.

Program Pendidikan Ponpes Riyadhussholihiin meliputi PAUD, SD-IT, SMP-IT, SMP Daar Syari’ah, SMP Daarul Huffazh, SMA-IT, SMA Daar Syari’ah, SMA Daarul Huffazh dan STAIRS. Kurikulum Pendidikan formalnya, yaitu SMP dan SMA-IT memiliki komposisi 60% kurikulum pesantren (agama) dan 40% kurikulum umum. Perpaduan dua kurikulum ini ditujukan agar para lulusan bukan hanya cakap dalam bidang ulumul syari’ah namun juga memiliki wawasan dan pengetahuan tentang ilmu-ilmu umum. Para lulusan dari program ini selain akan mendapatkan ijazah dalam negeri dari kemendikbud juga akan diberikan ijazah khusus pondok yang sudah terakreditasi Univeristas Islam Madinah.

Untuk jenjang Pendidikan non-formalnya memuat 90% kurikulum agama dan 10% umum, selain program kejar paket (A dan B) yang menginduk pada PKBM (Program Kegiatan Belajar Mengajar) Ponpes Riyadhussholihiin, terdapat pula program Daarul Huffadz. Program ini dikhususkan bagi para santri yang memiliki kompetensi dan keinginan yang kuat untuk menghafalkan al-Qur’an hingga selesai 30 Juz selama 2 tahun, kemudian diberikan bekal dasar-dasar ilmu syar’i selama 1 (satu) tahun. Para lulusannya akan diberikan ijazah paket dan pondok yang sudah terakreditasi Universitas Islam Madinah.

Rincian kurikulum Ponpes Riyadhussholihiin adalah sebagai berikut, pertama Kurikulum KTSP, kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan dengan memperhatikan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Kedua, Kurikulum Diniyah yang terdiri dari 2 bagian yaitu Pendidikan Agama, yang meliputi Akhlaq, Faraidh, Fiqih, Hadits, Hifdzul Mutun, Manhaj, Qawaa`id Fiqhiyyah, Siroh, Tafsir, Tajwid & Tahsin, Tauhid, Ushul Fiqih, Ushul Tafsir dan Bahasa Arab yang meliputi Al-'Arabiyah Linnasyi'in, Adab, Balagoh, Imla, Khot, Nahwu, Shorof, Ta`bir.

Jika dilihat dari sisi kurikulum, pondok pesantren Riyadhussholihin termasuk pondok pesantren modern yang menerapkan pola boarding school. Pola ini memadukan penerapan kurikulum nasional yang mengutamakan kemampuan kognitif (kecerdasan intelektual/IQ) dan pola tradisional pesantren yang menekankan pada pembentukan karakter dan sistem nilai yang berbasis pada relijiusitas ketuhanan. Pada pola boarding school seperti ini, berusaha untuk memadukan lingkungan formal, nonformal dan informal [5], sebagai basis pengembangan kecerdasan sosial, emosional, dan spiritual. Dalam pola ini membutuhkan dukungan kurikulum yang tepat dalam mendukung integrasi pengembangan anak didik yang ingin dicapai pondok, termasuk life-skill kurikulum dan keberlanjutannya pasca keluluan siswa/santri [3].

Secara geografis, ponpes Riyadhussholihin berada di wilayah dataran tinggi (perbukitan) dengan potensi sumber daya mata air yang melimpah dan memiliki aliran yang deras. Potensi geografis lainnya adalah wilayahnya yang terletak di dataran tinggi gunung berapi, memiliki tanah yang subur dan potensi wisata untuk pengembangan agrobisnis yang baik. Hal ini bisa dilihat dari mata pencaharian masyarakat, khusunya Desa Rocek yang bermatapencaharian sebagai petani, peternak, dan perikanan [6]. Jika melihat potensi luasan lahan yang dimiliki oleh pondok, dan ketersediaan lahan terbuka, pondok memiliki asset penting yang dapat dimanfaatkan secara ekonomi. Sebagai sebuah lembaga pndidikan yang kompleks dalam hal pengelolaan, maka pemberdayaan ekonomi sangat penting bagi pengembangan dan peningkatan layanan pondok pesantren.

Sesuai dengan karakteristiknya, ponpes memiliki elemen-elemen yang secara kohesif merupakan asset dan potensi besar dalam membangun pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia yang penting bagi bangsa dan negara. Ponpes Riyadhussolihin sendiri memiliki potensi santri yang relative besar, yaitu lebih dari 1.200 santri, memiliki guru dengan lulusan pendidikan keagaaman, baik dalam atau luar negri. Ponpes ini juga memiliki relasi kohesif yang luas, antara pondok dengan santri dan wali santri, pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan dalam dan luar negri, serta kohesivitas dengan masyarakat luas dalam upaya penyebaran dakwah Islam.

Mengenai potensi atau asset yang dimiliki pondok pesantren, baik yang bersifat tangible ataupun intangible merupakan modalitas yang dapat dimanfaatkan dalam memberdayakan pengelolaan ponpes secara lebih baik dan maksimal. Penelitian dengan action research dengan menggunakan pendekatan ABCD dalam memenuhi kegiatan pengabdian masyarakat berbasis tridarma perguruan tinggi telah dilakukan oleh beberapa peneliti [7]. Peneliti melihat beberapa potensi yang dapat dikembangkan, diorganisir, dan dimobilisasi melalui dukungan program pemberdayaan.

Sistem pondok membutuhkan pengelolaan yang baik, seperti menangani masalah penyediaan pangan sendiri. Penyediaan pangan sehat mandiri dapat mendorong terjadinya efisiensi biaya dengan memperhatikan nilai gizi seimbang bagi penghuni pondok. Dalam perspektif akuntansi manajerial, pengelolaan yang baik dapat mendorong terjadinya efisiensi biaya, dengan penyediaan alternative pengelolaan, misalnya membuat sendiri akan relatif lebih efisien dalam biaya dibandingkan dengan membeli [8].

Riyadhussholihiin menerapkan biaya pendidikan yang relatif murah, maka diperlukan pengelolaan yang efisien dan efektif. Tidak hanya dukungan manajemen pondok yang baik, namun bagaimana meningkatkan kesejahteraan bagi pengelola atau guru/ustad. Dengan pengelolaan manajerial yang baik akan mendorong tercapainya tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan [9][10].

Pengelola pondok beserta jajaran guru/ustad merupakan aktor yang memiliki peran utama dalam mengembangkan dan meningkatkan kapasitas pondok, sehingga dapat tercapai tujuan yang diharapkan. Dalam mendorong terjadinya efisiensi pengelolaan, tidak hanya berdaya secara ekonomi, namun terjadinya peningkatan kualitas dan pelayanan ponpes yang menjadi indikator dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional, pondok pesantren membutuhkan dukungan dalam memobilisasi potensi yang dimilikinya [11].

Kegiatan ini mendasarkan dari kegiatan pengabdian masyarakat terdahulu yang berbasis pada isu pengembangan usaha agrobisnis hidroponik pada pondok pesantren [12]. Mitra memiliki potensi yang dapat dikembangkan secara berkesinambungan terutama berkaitan dengan pemberdayaan bidang kewirausahaan khususnya agribisnis. Untuk tujuan yang diharapkan ponpes ke depan, dalam usaha penyediaan pangan mandiri dan peningkatan kesejahteraan, tim pengabdian masyarakat melakukan sosialisasi dalam memfasilitasi kegiatan tridarma perguruan tinggi dengan melakukan wawancara, diskusi kelompok, dan melakukan analisis yang penting dalam mendukung pemberdayaan dan peningkatan kapasitas pondok pesantren.

Metode

Rancangan pencapaian tujuan pengabdian masyarakat ini menggunakan pendekatan ABCD. Metode ABCD atau Asset-Based Community Development merupakan sebuat metode pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat yang berfokus pada potensi dan kekuatan komunitas sebagai asset penting yang harus diorganisasi menjadi faktor modal bagi komunitas sehingga dapat berdaya guna secara lebih maksimal untuk mencapai tujuan komunitas [7][11]. Komunitas memiliki peran sebagai aktor utama pengelola setiap potensi sumber daya yang dimiliki [11] [13]. Peran tim pengabdian masyarakat sebagai fasilitator, merangsang pengorganisasian, menghubungkan dan memanfaatkan bantuan dari pihak eksternal [11].

Inti dari metode ABCD adalah berfokus pada asset dan kekuatan (bukan pada masalah) yang harus dikembangkan dan dimobilisasi potensinya melalui proses pengorganisasian dan bukan pemetaan. Tugas tim adalah sebagai fasilitasi dalam memobilisasi dan mengembangkan potensi asset yang ada, dan peran komunitas adalah sebagai aktor sebagai komunitas yang mandiri dan keberlanjutan [11][14]. Self-empowering merupakan fokus dari pendekatan ABCD [11].

Tim pemberdayaan masyarakat adalah berbasis pada kegiatan tridarma perguruan tinggi Universitas Mercu Buana Jakarta. Pihak mitra komunitas adalah Pondok Pesantren Riyadhussholihin Pandeglang Banten Jawa Barat. Terdapat beberapa tahapan yang dilakukan dalam kegiatan ini, antara lain: tahap persiapan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Tahap persiapan memuat pertemuan dan sosialisasi di antara mitra, yang tujuannya adalah untuk memetakan potensi dan asset, harapan, menentukan perencanaan yang tepat untuk mendorong mobilisasi dan pengorganisasian aset. Tahap pelaksanaan memuat kegiatan penyuluhan dan pelatihan kewirausahaan agrobisnis budidaya ikan dalam ember dengan metode RAS sistem. Tahap evaluasi dilakukan dengan penyebaran kuesioner yang memuat harapan dan manfaat dari program yang sedang berjalan. Monitoring dilakukan secara bertahap dan bersifat partisipatif yang ditujukan untuk mengawal progress dan memantau masalah yang muncul pada saat implementasi serta menemukan solusi [11]. Tahapan-tahapan pelaksanaan ABCD dijabarkan dalam Tabel 1 [7].

Tahapan Aktivitas Metode Outcome
Perencanaan Perkenalan dan sosialisasi program Presentasi dan diskusi analisa situasi
Menemukan kekuatan Group discussion peta aset dan potensi
Memahami harapan ke depan (impian) Group discussion
Pemetaan untuk pengorganisasian aset Group discussion
Bagaimana memobilisasi potensi asset Group discussion
Analisa ekonomi Group discussion analisa ekonomi
Action Planning Group discussion Desain dan Action planning
Pelaksanaan Penyediaan Media Pengadaan pendanaan eksternal Pengetahuan dan ketrampilan
Pelatihan Budikdamber sistem RAS Presentasi, diskusi, dan praktik > Budikdamber RAS
Pelatihan dan penyuluhan kewirausahaan Presentasi dan diskusi > Kewirausahaan
Evaluasi Kuesioner kegiatan Olah data statistic Data evaluasi
Monitoring berkala Group discussion Catatan progress dan perubahan
Cek progress, tabulasi masalah dan
problem solving
Table 1.Tahapan-tahapan ABCD dalam Mencapai Tujuan Self-empowerment

Outcome yang dihasilkan dari tahapan-tahapan di atas adalah pemetaan aset, cara pengorganisasian dan mobilisasi asset, desain untuk action planning, evaluasi dan monitoring pencapaian perubahan dan kemandirian yang dijalankan komunitas sebagai aktor.

Hasil dan Pembahasan

Dalam rangka mengembangkan potensi Riyadhussholihiin, pondok pesantren yang berada di kampung Rocek, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, Banten, program ini menggunakan pendekatan ABCD sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Sebagaimana metode yang diharuskan dalam ABCD, maka uraian pembahasan dibagi ke dalam beberapa section. Pertama adalah hasil dari pemetaan potensi pondok pesantren. Kedua, adalah potensi pengembangan yang diharapkan ke depan. Ketiga, memaparkan elemen-elemen dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Keempat, menetapkan aksi yang akan diambil dalam mencapai tujuan pengembangan potensi yang dimiliki pondok pesantren. Paparan kelima adalah evaluasi dan monitoring.

1. Pemetaan Potensi Aset

Ponpes Riyadhusholihiin memiliki potensi asset atau modal yang bersifat intangible dan tangible. Aset yang bersifat intangible antara lain berupa sistem. Sistem yang dimaksud di sini adalah terkait keberadaan pondok itu sendiri. Sebagai sebuah pondok pesantren, lembaga ini merupakan sebuah lembaga pendidikan yang sekaligus menyediakan tempat menginap (asrama) bagi para anak didik, pengelola, atau guru/uztad [9]

Sistem ini merupakan asset dan potensi dari lembaga sosial kemasyarakatan, baik dipandang dari sisi formal atau informal. Jika dilihat dari kajian historis sosial dan budaya, pondok pesantren merupakan elemen sosial yang memiliki peran besar dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan agama Islam. Dengan sistem yang dimiliki pondok, ponpes merupakan penyedia sistem pendidikan bagi anak didik yang tidak hanya memiliki orientasi keagamaan yang kuat, namun juga membangun dan mengembangkan potensi kemandirian melalui pendidikan atau penyediaan kurikulum life-skill melalui aksi-aksi nyata sangat dimungkinkan [15]. Sistem ponpes yang terintegrasi dan kompleks dari sisi kurikulum merupakan bagian dari asset intangible yang penting.

Potensi kedua adalah kohesi. Kohesi sosial yang terbangun dalam lingkungan pondok pesantren antara lain, kohesi internal dan eksternal. Kohesi internal meliputi elemen-elemen, seperti santri – wali santri; uztad/guru; manajemen pondok pesantren; sekolah; ruang dan lingkungan pondok. Kohesi internal ini berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan dengan lingkungan eksternal, seperti masyarakat sekitar, pemerintah sebagai pemangku kebijakan dari sistem pendidikan, serta relasi antar lembaga, baik dalam atau luar negri. Potensi kohesi sosial dapat menjadi support yang baik yang dapat mendorong pengembangan pondok pesantren [16].

Potensi ketiga adalah pengalaman. Pondok pesantren Riyadhussholihin merupakan pondok pesantren yang telah berdiri sejak tanggal 1 Juli 2010. Pengalaman selama 14 tahun dalam dunia pondok pesantren dapat menjadi bekal potensial dalam pengembangan pondok. Ponpes ini dalam beberapa waktu terakhir telah mengembangkan pola manajemen yang berbasis kemandirian melalui pengembangan kewirausahaan dan berorientasi agribisnis [12].

Pengelolaan mandiri yang dimaksud adalah seperti penyediaan laundry mandiri dengan produksi deterjen dan pewangi yang kemudian produksi ini digunakan tidak hanya untuk kebutuhan internal ponpes, namun juga dipasarkan untuk tujuan pengembangan pondok dan dakwah. Pengelolaan lainnya adalah seperti produksi tanaman hidroponik. Pengalaman ini tentunya dapat menjadi potensi ke depan untuk melakukan pengembangan ponpes secara lebih baik dan maju lagi.

Potensi intangible lainnya adalah kualitas sumber daya manusia. Para uztad dan pimpinan ponpes adalah guru-guru yang berasal dari lulusan pendidikan tinggi, baik dalam atau luar negri. Mereka tidak hanya dibekali oleh ilmu pengetahuan umum semata, namun juga wawasan, memiliki dasar aqidah dan akhlak agama yang mendalam. Potensi ini merupakan asset potensial yang berarti dalam pengembangan sumber daya dan pengelolaan ponpes untuk menjadi lebih baik. Para jajaran guru, pengelola ponpes, dan santri merupakan aktor yang memiliki peran penting dalam organisasi asset.

Aset tangible Riyadhussholihiin sebagai salah satu ponpes besar di wilayah Banten, antara lain ketersediaan lahan. Pondok ini berdiri di atas lahan seluas 15 hektar yang mempunyai ruang kelas dan asrama yang cukup representatif dan berstatus milik sendiri. Selain gedung sekolah dan asrama, pondok ini memiliki ruang terbuka hijau yang masih cukup luas. Potensi lahan ini dapat diberdayagunakan sehingga memiliki manfaat lebih, baik manfaat ekonomi atau pun pengembangan ekosistem agribisnis.

Selain keberadaan lahan, potensi sumber daya alam yang dimiliki dapat mendukung pengembangan pondok. Secara geografis, ponpes berada di bawah dua kaki gunung. Gunung Karang merupakan gunung berapi kerucut (istirahat) yang masih memiliki potensi meletus. Terdapat 4 (empat) DAS (Daerah Aliran Sungai) yang berhulu di gunung ini, yaitu DAS Cidanau, Cibanten, Ciujung, dan Cibungur. DAS Ciujung mengalirkan air dari sumber mata air melalui anak-anak sungai dan bergabung bersama aliran utama sungai Ciujung yang bermuara ke wilayah pantai utara Laut Jawa.

Wilayah ini juga merupakan area cagar alam hutan rawa pegunungan satu-satunya yang ada di Pulau Jawa. Maka secara geografis, wilayah ponpes memiliki potensi sumber mata air yang berlimpah dan memiliki aliran yang deras. Potensi geografis lainnya adalah wilayahnya yang terletak di dataran tinggi gunung berapi, memiliki tanah yang subur dan potensi wisata untuk pengembangan agrobisnis. Potensi geografis dan dukungan sumber air yang melimpah dapat dimanfaatkan untuk pengembangan agrobisnis budidaya ikan. Khususnya budidaya ikan dalam ember (Budikdamber) dengan menggunakan Teknik RAS (Recirculating Aquaculture System) yang membutuhkan dukungan suplai air yang cukup dan tekanan tinggi [17].

2. Harapan Pengembangan

Dalam tahapan ini, pondok pesantren menyampaikan dan mendiskusikan harapan ke depan. Harapan pertama adalah perbaikan pengelolaan ponpes secara lebih efisien melalui penyediaan protein yang sangat penting bagi nutrisi santri secara mandiri. Melalui program budidaya ikan ini, memungkinkan ponpes untuk dapat menyediakan protein lauk pauk yang sehat secara mandiri. Bagi pengelolaan pondok, efisiensi biaya dapat dicapai melalui penghematan dapur dengan pengurangan biaya belanja lauk pauk.

Pemeliharaan yang dilakukan dalam budidaya ikan sistem RAS relative lebih mudah. Proses filtrasi empat tahap dalam sistem RAS dapat menjamin tingkat PH air yang seimbang sesuai dengan kebutuhan ikan. Sistem ini menghindari racun dari kotoran dan sisa pakan ikan sehingga kelangsungan hidup ikan lebih terjamin jika dibandingkan dengan budidaya ikan dalam kolam [17]. Faktor-faktor ini dapat mencegah terjadinya biaya maintenance dan kerugian yang besar karena gagal panen. Keberadaan ini selanjutnya dapat mendorong terjadinya efisiensi biaya bagi pengelolaan dapur pondok. Dalam sebuah temuan sistem RAS dinyatakan berhasil meningkatkan produksi pangan [17].

Harapan kedua, pengayaan kurikulum untuk peningkatan life-skill bagi siswa/santri. Pondok pesantren memiliki sistem yang terintegrasi dengan kurikulum yang kompleks. Kurikulum SMA-IT Riyadhussholihiin belum memuat Mata Pelajaran Kewirausahaan. Pengetahuan dan ketrampilan kewirausahaan penting untuk santri. Siswa dapat mempersiapkan dirinya setelah lulus sekolah atas secara lebih baik.

Siswa dapat memiliki wawasan yang lebih luas dan dapat membuat keputusan-keputusan dari pilihan yang beragam, misalnya selain melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau menjadi karyawan, siswa dapat membuat pilihan untuk berwirausaha. Melalui praktik secara langsung, siswa dapat membangun skill dan ketrampilan yang baik dalam bagaimana berwirausaha di bidang agribisnis, budikdamber.

Harapan ketiga adalah terdapat peningkatan kesejahteraan bagi para guru dan pengelola. Budikdamber ini diharapkan dapat memberikan produksi yang maksimal, sehingga selain digunakan untuk penyediaan pangan mandiri, prospek ke depan juga dapat dikembangkan sebagai sumber wirausaha agribisnis budidaya ikan. Dengan bekal kewirausahaan, ketrampilan dan pengalaman dalam budikdamber, para uztad dapat belajar bagaimana cara berwirausaha ke depan.

3. Desain Pemberdayaan

Desain pemberdayaan menggunakan development approach. Sebagaimana tujuan ABCD adalah bagaimana mobilisasi asset dapat dicapai melalui partisipasi aktor [11]. Untuk tujuan ini, peneliti menggunakan development approach sebagai desain pemberdayaan dalam action research ini dapat mengupayakan partisipasi aktor secara baik [13]. Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan proyek pembangunan dalam meningkatkan kemampuan, kemandirian, dan keswadayaan. Pembangunan yang dimaksud sebagaimana potensi yang dimiliki dan harapan ke depan adalah pengembangan pondok pesantren melalui usaha mandiri (self-empowering), khususnya agribisnis budidaya ikan dalam ember.

Ide pembangunan budikdamber ditujukan dalam mencapai kemandirian terutama berkaitan dengan penyediaan pangan atau protein secara mandiri. Keswadayaan dilakukan dengan memberikan materi-materi berguna dalam membangun wawasan dan ketrampilan. Melalui tahapan ini diharapkan setiap elemen-elemen yang terbangun dalam pondok dapat menggunakan dan mengembangkan potensi maksimalnya, sehingga mampu membangun usahanya ke depan.

Desain pemberdayaan ini harus memenuhi prinsip empowerment, sustainability, dan pendekatan teknologi yang tepat. Desain empowerment dalam kegiatan ini adalah support penyediaan media budikdamber, yang ini telah sejalan dengan potensi dan program pondok pesantren sebelumnya. Tim memfasilitasi 6 (enam) unit media budikdamber dengan sistem 5 (lima) filtrasi (Gambar 1).

Filtrasi pertama, filtrasi kotoran ikan dan sisa pangan; kedua, pengendalian ammonia, nitrit dan kandungan lainnya; ketiga degassing; keempat oxygenation; kelima desinfeksi. Sistem RAS sendiri merupakan metode budidaya ikan dengan cara mensirkulasi air yang telah terkontaminasi kotoran atau sisa pakan ke dalam proses filtrasi, sehingga air dapat masuk dan digunakan kembali ke dalam (tangki) budidaya [18]. Sistem budidaya ini juga telah banyak dilakukan di beberapa wilayah pengembangan budidaya ikan [17].

Prinsip sustainability, program pengabdian masyarakat ini memperhitungkan kegiatan bisnis yang berorientasi lingkungan dan sesuai dengan potensi tangible yang dimiliki ponpes. Pembekalan materi untuk ketrampilan dan kewirausahaan, ditujukan untuk memberikan basis kemampuan wirausaha ke depan sebagaimana potensi intangible yang dimiliki. Tujuan pemberian pelatihan dan pembekalan ketrampilan agar ponpes sebagai aktor dapat memobilisasi dan mengembangkan potensi aset yang dimilikinya, sehingga self-empowering dapat berjalan dengan baik [13][11].

Figure 1.Budikdamber Sistem RAS

Desain teknologi yang digunakan di sini adalah budikdamber dengan menggunakan sistem RAS. Kenapa sistem RAS? Hal ini ditujukan pada kapasitas hunian dan kolam yang lebih besar dibandingkan teknik budikdamber biasa yang menggunakan kapasitas ember lebih kecil dan digabungkan dengan tanaman. Penggunaan teknologi ini memiliki dua tujuan, yaitu dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan mandiri pondok pesantren dengan kapasitas lebih dari 1.200 santri, membutuhkan kapasitas tangka (ember) yang lebih besar. Tujuan kedua, untuk tujuan pengembangan wirausaha ke depan.

Teknik RAS sistem memiliki beberapa keunggulan tertentu, yaitu: metode budidayanya yang ramah lingkungan (sustainable) [18]; sistem teknologi budidaya ini dapat meningkatkan tidak hanya proses pengelolaan limbahnya, namun juga dapat meningkatkan produksi pangan [17]. Kelebihan ini menjadi pertimbangan utama bahwa budidaya sistem RAS dapat diandalkan untuk pengembangan usaha ke depan.

4. Penetapan Aksi

Berdasarkan pemetaan potensi, harapan, dan desain pemberdayaan yang diharapkan dapat memungkinkan aktor dalam melakukan pengembangan-pengembangan ke depan. Kegiatan pengabdian masyarakat berbasis tridarma perguruan tinggi ini melakukan beberapa agenda dalam mendukung pengembangan potensi, peningkatan kapasitas, dan menjaga keberlanjutan program. Pertama, memberikan dukungan media budikdamber sistem RAS sebanyak 6 (enam) unit, sebagaimana dijelaskan sebelumnya (Gambar 1). Kedua, memberikan pelatihan dan workshop pemeliharaan ikan dengan sistem RAS oleh seorang ahli perikanan. Ketiga, pelatihan kewirausahaan, baik kepada siswa/santri kelas XII dan para guru/ustad (Gambar 2).

Figure 2.Pelatihan Kewirausahaan Budikdamber Metode RAS

5. Evaluasi dan Monitoring

Hasil kegiatan dievaluasi dengan menyebarkan kuesioner kepada peserta pelatihan. Evaluasi ini ditujukan pula pada pemantapan program yang akan dijalankan aktor ke depan. Selain evaluasi kegiatan dari proses diskusi antar elemen sampai dengan kegiatan pelatihan dilakukan, monitoring juga dilakukan secara berkala. Tujuannya adalah untuk memantau progres, mengidentifikasi masalah dan hambatan yang mungkin muncul selama program budidaya ikan mulai dijalankan, serta memberikan konsultansi yang mungkin dibutuhkan sampai program pemberdayaan bisa berjalan dengan baik. Melalui monitoring ini diharapkan keberlanjutan program bisa dijalankan dan dikembangkan aktor sesuai dengan yang diharapkan atau diimpikan.

Figure 3.Proses, Metode, Hasil dan Outcome Pengabdian Masyarakat

Gambar 3 menjelaskan tentang hasil dari proses wawancara dan discussion group, pemetaan asset dan potensi, pelaksanaan program, outcome, dan dampak dari kegiatan pemberdayaan (pengabdian) masyarakat ini yang sesuai dengan ketentuan metodologi ABCD. Paparan terakhir adalah hasil ringkasan kuesioner evaluasi dapat dilihat dalam Grafik 1 berikut.

Figure 4.Ringkasan Kuesioner Evaluasi

Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui secara rata-rata persepsi peserta akan program sangat baik (tinggi), dengan nilai rata-rata di antara 3,20 sampai 3,80. Skala pengukuran data yang dipakai adalah likert 1 – 4, dengan notasi 1 untuk pernyataan tidak setuju; 2 untuk pernyataan kurang setuju; 3 untuk pernyataan setuju; dan 4 untuk pernyataan sangat setuju. Pernyataan-pernyataan yang dievaluasi adalah penyelesaian masalah yang relevan dengan keahlian civitas akademika dengan nilai rata-rata 3,47. Pernyataan pemanfaatan teknologi tepat guna mendapati nilai rata-rata 3,63. Pernyataan kegunaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki nilai rata-rata 3,70. Pernyataan pengayaan sumber belajar melalui modul pelatihan dengan skor 3,40. Pernyataan harapan peningkatan pendapatan dengan skor rata-rata 3,63. Pencapaian peningkatan pengetahuan mendapati skor rata-rata 3,77. Sedangkan pernyataan peningkatan produksi dengan skor 3,60. Merubah perilaku ke arah yang positif dengan skor rata-rata 3,67. Dan pernyataan peningkatan mutu lingkungan mendapati skor 3,63. Berdasarkan hasil evaluasi ini dapat disimpulkan jika harapan berjalannya program dipandang aktor sebagai langkah yang opmitis pada perubahan.

Simpulan

Kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah untuk mengembangkan potensi pondok pesantren Riyadhusholihin sebagai mitra pemberdayaan. research dengan pendekatan ABCD dilakukan dengan tahapan-tahapan identifikasi asset dan potensi komunitas sebagai Lembaga Pendidikan berbasis pondok pesantren yang memiliki elemen-elemen penting sebagai potensi dalam mengelola asset tangible dalam memenuhi harapan dan pengembangan ponpes secara lebih baik dan mandiri. Berdasarkan analisis situasi dan eksplorasi potensi, ketrampilan dan pembekalan kewirausahaan bidang agribisnis budikdamber sistem RAS diberikan sebagai upaya pengorganisasian dan mobilisasi potensi yang ada.

Metode yang dipilih dalam kegiatan ini ditujukan untuk menjawab harapan ponpes dalam mengoptimalkan pengelolaan pondok melalui penyediaan pangan (protein) mandiri, mendukung kesejahteraan pengelola dan guru/ustad ke depan melalui kemampuan kewirausahaan. Selain itu, kegiatan ini dapat berguna sebagai support kurikulum bagi siswa utamanya kelas XII sehingga memiliki kemampuan life-skill dan kewirausahaan. Proses evaluasi dan monitoring dilakukan secara partisipatif dan berkala untuk memantau progress capaian dan perubahan dapat dijalankan aktor dan dicapai secara baik.

References

  1. A. Nursyarief, "Pendidikan Islam di Indonesia dalam Lintas Sejarah (Perspektif Kerajaan Islam)," Lentera Pendidikan, vol. 17, no. 63, pp. 256–271, 2014.
  2. A. Basyit, "Pembaharuan Model Pesantren: Respon terhadap Modernitas," Kordinat, vol. 16, no. 2, pp. 293–324, 2017.
  3. A. Darwanto, "Studi Perbandingan Tingkat Capaian Pendidikan pada Model Boarding School dan Sekolah Umum Reguler," Cilacap Research Community, Cilacap, Indonesia, 2022.
  4. Y. Shara and Haidir, "Eksistensi Pesantren: Antara Mencetak Ulama dengan Tarikan Modernitas dan Kebutuhan Ekonomis," Cendekia, vol. 14, no. 1, pp. 134–146, 2022.
  5. N. Maesaroh and Y. Achdiani, "Tugas dan Fungsi Pesantren di Era Modern," Sosietas, vol. 7, no. 1, pp. 346–352, 2017.
  6. Badan Pusat Statistik Pandeglang, Kecamatan Cimanuk dalam Angka. Pandeglang, Banten, Indonesia: Percetakan Rajawali, 2019.
  7. G. H. Kusuma, A. D. Kurniawati, S. M. F. Junaedi, and T. D. Widiastuti, "The Artpreneurship: Innovate to Overcome the Challenge," ASEAN Journal of Community Engagement, vol. 7, no. 2, pp. 226–240, 2023.
  8. R. Garrison, E. Noreen, and B. Peter, Managerial Accounting. McGraw Hill, 2011.
  9. F. Mansir, "Manajemen Pondok Pesantren di Indonesia dalam Perspektif Pendidikan Islam Era Modern," Qalamuna: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama, vol. 12, no. 2, pp. 207–216, 2020.
  10. Astuti and Sukataman, "Dasar-Dasar Manajemen Pesantren," Cakrawala: Jurnal Kajian Studi Manajemen Pendidikan Islam dan Studi Sosial, vol. 7, no. 1, pp. 23–32, 2023. DOI: 10.33507/cakrawala.v7i1.1068.
  11. W. H. Setyawan et al., Asset-Based Community Development. Samarinda, Indonesia: PT. Gaptek Media Pustaka, 2022.
  12. I. Arwati et al., "Counseling and Making Environment-Friendly Cleansing Using Fruit and Flower Extracts in the Framework of Increasing the Welfare of Teachers and Preparing Independent Entrepreneurship for SMA-IT Students Riyadhussholihiin Islamic Cimanuk Pandegelang," International Journal of Community Service, vol. 3, no. 4, pp. 289–293, 2023. DOI: 10.51601/ijcs.v3i4.225.
  13. K. D. T. Maani, "Teori Actors dalam Pemberdayaan Masyarakat," Demokrasi, vol. X, no. 1, pp. 53–66, 2011.
  14. Affandi et al., Metodologi Pengabdian Masyarakat. Jakarta, Indonesia: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI, 2022.
  15. H. Muzakki and K. M. Nisa’, "Basis Transformasi Tradisi Pesantren Salaf di Era Modern (Kajian Semiotika Barthes dan Dekonstruksi Derrida)," Qalamuna: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama, vol. 12, no. 1, pp. 91–105, 2020. DOI: 10.37680/qalamuna.v12i01.304.
  16. Nurhilaliati, "Kohesi Sosial Warga Pondok Pesantren Al-Aziziyah dengan Masyarakat Kapek Gunung Sari," Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, 2017.
  17. Y. A. D. Susanti et al., "Peningkatan Produksi Pangan Melalui Sistem Integrasi Teknologi Aquaponic-Recirculating Aquaculture System (A-RAS) pada Budidaya Ikan Lele di Desa Kaliuntu Kabupaten Tuban," Rekayasa: Journal of Science and Technology, vol. 14, no. 1, pp. 121–127, 2021. DOI: 10.21107/rekayasa.v14i1.10254.
  18. A. K. Jacinda, "Recirculating Aquaculture System (RAS) Technology Applications in Indonesia: A Review," Jurnal Kelautan dan Perikanan, vol. 11, no. 1, pp. 43–59, 2021.