Migration, Displacement, and Community Development
DOI: 10.21070/ijccd.v15i2.1046

Ethical Resolution of Customary Land Disputes Through Harmonizing Tradition and Law


Penyelesaian Sengketa Tanah Adat yang Beretika Melalui Harmonisasi Tradisi dan Hukum

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Land disputes Customary land Mediation Traditional customs Legal frameworks

Abstract

This research examines the customary land disputes between the Tiwu Kondo sub-district government and the Ndoko tribe in East Manggarai, NTT Province. It aims to identify the resolution efforts involving mediation and deliberation with traditional and religious leaders, emphasizing ethical values, local customs, and applicable laws. Using a juridical-empirical approach, data were collected through literature studies, observations, and interviews. Findings reveal that integrating traditional customs and modern legal frameworks, guided by UUPA No.5/1960 and PERDA Manggarai No.1/2018, can effectively resolve disputes, offering a model for fair and sustainable outcomes.

Highlights:

 

  1. Integrating Traditions and Laws: Combining customs with modern legal frameworks.
  2. Mediation and Deliberation: Involving traditional and religious leaders.
  3. Fair and Sustainable Outcomes: Emphasizing ethical values and local norms.

 

Keywords: Land disputes, Customary land, Mediation, Traditional customs, Legal frameworks

Pendahuluan

Pada saat ini, masyarakat menganggap tanah sebagai objek yang memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya dilihat dari segi faktor finansial saja, namun peranan penting ini juga dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan dan penghidupan manusia. [1] Dalam hal ini dapat dipahami bahwa tanah merupakan sebuah objek yang Multi Value. Pada dasarnya wilayah negara Indonesia ini terdiri atas tanah, air dan wilayah yang berdaulat yang mana diperuntukkan guna kepentingaan bangsa Indonesia. [2] Dalam konstitusi negara Indonesia yaitu UUD 1945, khususnya pada bunyi Pasal 33 (3) telah disebutkan tentang arti penting dari tanah, pasal tersebut berbunyi “Bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang berada dan terkandung didalamnya dipergunakan serta dikuasai oleh negara serta dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. [3]

Kendati bunyi Pasal 33 (3) UUD 1945 telah secara jelas memaparkan terkait peruntukkan bumi, air dan kekayaan alam yang ada didalamnya, pada praktiknya masih banyak sengketa penguasaan tanah yang terjadi di nusantara dan beberapa diantaranya adalah sengketa tanah ulayat. [4] Tanah ulayat pada dasarnya merupakan sebidang tanah yang dikuasai dan dikelola oleh kepala suku, serta tedapat pengalihan kekuasaan pada tanah didalamnya. [5] Penguasaan dan pemanfaatan tanah yang dilakukan oleh kepala suku dapat menghasilkan suatu manfaat yang nantinya dapat diperutukkan bagi tiap-tiap (anggota) sukunya. Hal ini diatur dalam hukum adat yang berlaku dan dillaksanakan secara turun temurun. [6] Dengan demikian tanah ulayat memiliki kedudukan yang cukup kuat ditengah-tengah masyarakat adat, mengingat fungsinya yang vital guna mewujudkan kepentingan bersama. [7] Adapun di Kabupaten Manggarai Timur, NTT, hasil pemanfaatan tanah ulayat di daerah tersebut dipergunakan untuk menyokong kehidupan masyarakat Manggarai Timur. Dari adanya ketidakteraturan yang ada dalam peraturan yang dibentuk dan diterapkan oleh suatu negara menyebabkan hal tersebut menjadi dasar atas marginalisasi keberadaan tanah ulayat tersebut. Pemberian berbagai tanda sebagai pembatas tanah ulayat yang diketahui oleh para penguasa didaerah tersebut, kerap kali menjadi sumber permasalahan yang terjadi dan semakin menimbulkan kerumitan dalam perkara tanah ulayat. [8]

Dari adanya hal tersebut, menyebabkan pembagian batas-batas tanah ulayat menjadi persoalan dalam berbagai aturan yang ada dimasyarakat dan pemerintah. [9] sebagai salah satu contohnya, di Kecamatan Elari, Manggarai timur, Provinsi NTT, kerap kali terjadi suatu permasalahan hukum berupa permasalahan sengketa tanah tiap tahunnya, permasalahan yang timbulkan juga disebabkan oleh berbagai macam penyebab, salah satu permasalahan yang terjadi di daerah tersebut adalah permasalahan sengketa tanah ulayat yang terjadi di Desa tiwu kondo, Kec.Elari, Kab.Manggarai Timur, Propinsi NTT, yang dialami oleh pihak suku kondo Kec. Elari dengan pihak pemerintah di daerah Tiwu Kondo yang mana hingga saat ini belum menemukan titik kesepakatan. Permasalahan sengketa tanah ulayat ini pada dasarnya telah terjadi sejak tahun 1998 lalu, kedua belah pihak yang terlibat dalam perkara ini sebelumnya juga sempat bersepakat untuk menghibahkan tanah tersebut. Akan tetapi pada tahun 2018, tanah ulayat ini dipermasalahkan kembali oleh keturunan dari Dami Saro, yang merupakan ketua adat suku ndoko yang telah terpilih. Sengketa tanah ulayat ini, akhirnya juga turut melibatkan pemerintah kelurahan Tiwu Kondo sebagai lawan.

Dari adanya konflik sengketa tanah ulayat ini, cukup banyak kerugian yang telah dialami oleh masyarakat setempat, baik kerugian dalam bidang pertanian maupun pembangunan. Dalam bidang pertanian, masyarakat setempat memahami bahwa tanah ulayat yang menjadi objek sengketa memiliki nilai yang cukup menguntungkan apabila dikuasai, dikelola dan dimanfaatkan, sebab pada tanah ulayat tersebut terdapat banyak tanaman berumur panjang seperti kopi, merica, coklat, vanili dan cengkeh yang sejatinya dapat dipanen guna memberikan manfaat bagi masyarakat setempat apabila sengketa ini tidak pernah terjadi. Adapun kerugian dalam bidang pembangunan, diketahui bahwa akibat dari adanya sengketa tanah ulayat ini menyebabkan pemberhentian pembangunan menara telekomunikasi dan penutupan pelayanan kantor kelurahan dalam jangka waktu yang belum ditentukan, hal ini tentu merugikan masyarakat setempat khususnya dalam hal pembangunan fasilitas serta pelayanan administartif kependudukan.

Dari permasalahan hukum yang dibahas secara singkat diatas, maka diperlukan penjelasan serta kajian lebih lanjut dengan mengacu pada sstud-studi atau penelitian-penelitian terdahulu yang tidak hanya berperan sebagai acuan namun juga sebagai pembeda antara penelitian ini dan dengan penelitian terdahulu. Adapun penelitian pertamayang sejenis dengan penelitian ini dilakukan oleh Nasrun Hifan, Nirwana Moh. Nur dan Hardianto dengan Judul “Permasalahan Sengketa Tanah dan Penyelesaiannya yang berlokasi di Tanjungsari Kabupaten Banggai” pada Tahun 2018, yang ditulis dalam Jurnal Reformasi Hukum, Vol.14, No.2. Tujuan dari penelitian tersebut adalah agar mengetahui upaya-upaya yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan sengketa tanah yang ada di Tanjungsari Kab.Banggai. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah jenis penelitian yuridis-empiris. Hasil kesimpulan dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa objek sengketa yang berada diwilayah Banggai yang dipermasalahkan oleh para pihak telah diputus dan hasilnya telah tercantum pada putusan Pengadilan Negeri Luwuk No.02/pdt.g/1996/PN.Lwk Jo.Putusan MA Sulawesi tengah No.81/Pdt/1996/PT Palu. Penelitian kedua, dilakukan oleh Dian Agung W dan Anandan prima J. Keduanya mengangkat judul penelitian “Inisiatif Pemerintah Daerah dalam mengatur Tanah Adat di Kab.Manggarai” pada tahun 2018. Penelitian ini ditulis dalam jurnal penelitian hukum, Vol.2. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui macam-macam upaya yang dilakukan dalam dalam menyelesaikan tanah adat yang ada di kabupaten Manggarai. Penelitian hukum ini menggunakan metode penelitian normatif-empiris. Dari hasil penelitian tersebut, dapat diperoleh kesimpulan bahwa bentuk upaya yang dilakukan oleh pemerintah ketika terjadi suatu permasalahan atau konflik yang terjadi di Kab. Manggarai telah tertuang dalam Perda No.7 Tahun 2016 tentang perancangan pembangunan jangka menengah yang ada di Kab. Manggarai, periode Tahun 2016-2021. Hal ini dilakukan guna menjamin kepastian hukum bagi para pemilik hak serta sebagai bentuk kejelasan upaya yang ditempuh dalam menyelasikan sengketa tersebut oleh pemerintah setempat. Adapun penelitian ketiga dilakukan oleh Sarina A, Samin dengan Judul “Penyelesaian pada Tanah Sengketa yang terjadi pada Kec.Kajang pada Tahun 2020”, penelitin ini ditulis dalam Siyasatuna Vol.3, No.1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya penyelesaian sengketa tanah yang ada di Kec. Kajang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris, berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa terkait upaya penyelesaian sengketa tanah yang terjadi di Kab.Kajang dapat dilakukan dan diselesaikan melalui alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dibanding dengan ketiga penelitian tersebut, Penelitian ini sejatinya lebih berfokus pada keterlibatan para tokoh-tokoh penting dalam menangani permasalahan sengketa tanah ulayat ini, tokoh yang dimaksud berasal dari tokoh agama, tetua adat dan masyarakat adat suku ndoko bahkan pemerintah setempat termasuk pihak kelurahan tiwu kondo. Dari hal-hal yang dijabarkan tersebut dapat diketahui perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini menampillkan sebuah kebaruan dari penelitian-penelitian sebelumnya.

Tidak hanya berpedoman dari jurnal-jurnal penelitian terdahulu, penulis juga turut berpedoman pada putusan-putusan pengadilan yang memiliki kesamaan dengan kasus yang diteliti, beberapa putusan yang dimaksud pertama ada Putusan Nomor 25/Pdt.G/2018/PN.PLW Tentang Sengketa peralihan fungsi tanah ulayat menjadi perkebunan kelapa sawit tanpa sepengetahuan pemangku adat dan masyarakat setempat. Dalam perkara ini, hakim dalam putusannya memutuskan untuk tidak mengabulkan gugatan yang diajukan oleh penggugat. Hal ini disebabkan hakim berpandangan bahwa penggugat dinilai tidak memiliki legal standing. Putusan kedua yang dimaksud adalah Putusan Nomor 33/Pdt.G/2019/DPU Tentang sengketa tanah adat yang diperjualbelikan dan dimiliki oleh perorangan di wilayah So Lakey, Desa Hu’u, Kecamatan Hu’u.

Dalam putusan ini, Hakim mengabulkan gugatan yang diajukan oleh penggugat terkait sengketa tanah ulayat tersebut alasan hakim mengabulkan gugatan penggugat disebabkan berdasarkan undang-undang yang berlaku, tanah ulayat sejatinya tidak dapat untuk diperjual belikan. Lalu putussan ketiga yang menjadi acuan penelitian ini adalah Putusan Nomor 15/Pdt.G/2022/PN Mrk Tentang sengketa kepemilikan tanah milik adat TOT PALE. Pada perkara ini hakim dalam putusannya memutuskan untuk menolak eksepsi tergugat. Penolakan tersebut tentunya didasarkan pada penilaian hakim terkait kesesuaian gugatan dengan ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga putusan tersebut adalah beberapa contoh putusan terkait sengketa hak ulayat yang ketiganya adalah putusan-putusan yang telah dinyatakan inkracht.

Berdasarkan latar belakang tersebut, dengan ini peneliti tertarik untuk mengangkat isu hukum yang berkaitan dengan tanah ulayat. Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya penyelesaian sengketa tanah adat yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa yaitu pemerintah kelurahan tiwu kondo dan suku ndoko, serta untuk memahami peranan dan pendapat tokoh adat, agama dan pemerintah setempat dalam menyelesaikan perkara ini. adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana upaya penyelesaian sengketa tanah adat yang dilakukan oleh pemerintah kelurahan tiwu kondo dan suku ndoko berdasarkan konteks adat dan agama?

Metode

Penelitian ini merupakan jenis penelitian Yuridis-Empiris, yang keseluruhan datanya diperoleh menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan, observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap pemangku adat, pemuka agama dan pemerintah sebagai bahan dalam penelitian. Guna menjawab segala permasalahan yang dihadapi selama penelitian, maka diperlukan beberapa data/bahan hukum yang dalam hal ini bahan hukum tersebut diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan termasuk bahan hukum yang diperoleh melalui studi pustaka, seperti pada peraturan, buku, artikel atau referensi yang berkaitan dengan penelitian, yang nantinya akan dikaji lebih lanjut. [10] Adapun peraturan yang dimaksud sebagai bahan hukum dalam penelitian ini dapat berupa peraturan yang ada dalam UUPA No.5/1960 dan PERDA Kabupaten Manggarai tentang penyelesaian sengketa berbasis adat No.1/2018. Data-data yang telah terkumpul dan telah dikaji tersebut, kemudian akan dijabarkan secara dekriptif. Dengan demikian teknik analisis data ynag digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif. Berkaitan dengan lokasi penelitian, titik lokasi yang dari penelitian ini berada di daerah kabupaten ManggaraiTimur, NTT.

Hasil dan Pembahasan

A. Upaya P enyelesaian S engketa T anah Adat Dalam Konteks Pemerintah

Penyelesaian kasus sengketa tanah ulayat yang terjadi di Desa Tiwu Kondo, Kecamatan Elari, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi NTT, Dilakukan dengan mempertimbangkan ketentuan hukum yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Agraria merupakan Undang-Undang yang mengatur hal hal yang berkaitan pada pengaturan tanah di Indonesia. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria menjelaskan bahwa penerapan hak ulayat dalam masyarakat adat harus berdasar pada ketentuan hukum formal yang berlaku. Kemudian untuk penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi sehingga nantinya dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah ulayat tetap berada pada hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Menjelaskan bahwa hukum agraria diberlakukan atas bumi, air, dan ruang angkasa serta hukum adat, selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berpedoman pada persatuan bangsa, kebudayaan sosial serta hierarki perundangan.

Selain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. PERDA Kabupaten Manggarai tentang Penyelesaian Sengketa Berbasis Adat No.1/2018 yang juga mengakui bahwa hukum adat merupakan sarana dalam penyelesaian sengketa kasus di wilayah Kabupaten Manggarai. PERDA ini memberikan keleluasaan terhadap tokoh adat untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan adat yang berlaku yang didasarkan pada kebiasaan masyarakat adat.

Proses penyelesaian sengketa tanah ulayat di Desa Tiwu Kondo, Kecamatan Elari, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi NTT, berpedoman pada PERDA Kabupaten Manggarai No. 1/2018 tentang penyelesaian sengketa berbasis adat, Ada beberapa hal yang dilakukan dalam penyelesaiannya siantaranya adalah sebagai berikut:

1. Mediasi yang dilakukan oleh peranagkat desa yakni Camat, Penyelesaian ini dilakukan apabila penyelesaian melalui lonto leok tidak berhasil, Nantinya Tua Adat akan menyerahkan kepada kepala desa/lurah yang nantinya akan diserahkan ke kepada Camat untuk dimediasi. Camat dapat mendelegasikan mediasi kepada perangkat kecamatan yang ditunjuk. Nantinya hasil yang diperoleh oleh Tua Adat akan dipertimbangkan untuk mendapatkan keputusan tetap yang nantinya akan ditulis di Berita Hasil Penyelesaian Sengketa (BHPS).

2. Mediasi yang dilakukan oleh Bupati, Nantinya apabila mediasi yang dilakukan pada tingkat kecamatan tidak berhasil, sengketa akan diserahkan ke Bupati untuk dilakukan mediasi. Dalam hal ini bupati menunjuk perangkat daerah yang ditugaskan untuk membantu jalannya mediasi. Nantinya, Hasil mediasi dituangkan dalam BHPS tingkat kabupaten [11].

Banyaknya upaya yang dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa tanah adat memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat, Meski demikian penyelesaian sengketa tanah adat diharuskan untuk memperhatikan kepentingan sosial, adat budaya dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Upaya Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Dalam Konteks Adat Dan Agama

Sengketa hak atas tanah sejatinya bukanlah sebuah permasalahan hukum yang jarang terjadi, Hal ini juga turut dikemukakan oleh Rusmadi Murad. Beliau berpendapat bahwa sengketa hak atas tanah kerap kali bermula dari adanya pengaduan dari pihak yang memiliki rasa keberatan, tuntutan terhadap status kepemilikan tanah. Pihak-pihak yang merasa dirugikan dan memiliki rasa keberatan itulah yang berharap dapat memperoleh penyelesaian administratif sesuai dengan bunyi ketentuan yang ada didalam beberapa peraturan yang berlaku [12].

Di Indonesia terdapat beberapa upaya penyelesaian sengketa tanah, Adapun yang dimaksud sebagai upaya penyelesaian sengketa tanah ialah usaha atau langkah-langkah yang perlu untuk dilakukan guna menyelesaikan permasalahan (sengketa) yang timbul terkait kepemilikan, pemanfaatan atau hak-hak atas tanah lainnya yang dipermasalahkan oleh pihak-pihak terkait [13] . Sengketa tanah ini sejatinya tidak hanya mampu melibatkan antar orang perorangan saja, melainkan juga dapat melibatkan kelompok-kelompok tertentu dengan subjek hukum berupa perusahaan atau pemerintah. Penyelesaian sengketa tanah sejatinya merupakan suatu tindakan yang penting untuk dilakukan, hal ini berguna untuk menjaga ketertiban di lingkungan masyarakat dan agar dapat memberi keadilan bagi masyarakat, serta memfasilitasi pembangunan dan investasi [14].

Upaya penyelesaian sengketa tanah khususnya tanah adat didasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai adat serta kebudayaan dan kepercayaan yang berlaku dikalangan masyarakat adat setempat. Di beberapa daerah yang ada di Indonesia norma-norma adat dan agama yang berlaku dikalangan masyarakat adat dalam menyelesaikan permasalahan hukum dan sosial yang dialami oleh masyarakat adat diberlakukan dalam penyelesaian sengketa tanah adat. Dalam proses penyelesaian sengketa terdapat suatu cara yang dapat ditempuh dalam upaya penyelesaian sengketa tanah adat dengan dilakukan menggunakan berbagai macam cara tergantung bagaimana pihak-pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa tanah adat dilakukan bersamaan dengan penerapan hukum formal dengan melalui pengadilan, hal ini dilakukan untuk mendapatkan keputusan yang memberikan keputusan yang berkeadilan. Hal-hal yang dapat dilakukan berdasarkan ketentuan adat adalah :

a. Lonto leok (Musyawarah/Mediasi). Kegiatan ini merupakan suatu tata cara yang dilakukan dengan menghadirkan tokoh agama, tokoh adat serta pemerintah didaerah terjadinya sengketa untuk mencari titik temu permasalahan dengan pihak yang bersengketa.

b. Elakn taun (Tradisi Tahun Baru) Kegiatan ini merupakan kegiatan yang dilakukan pada saat panen oleh masyarakat setempat, Elakn taun dalam pelaksanaannya melibatkan beberapa peran dari masyarakat. Dalam sengketa yang terjadi dalam proses lonto leok kasus sengketa tanah antara suku ndoko dan pemerintah kelurahan tiwu kondo. Elakn taun dilakukan di rumah adat setempat yang bertempat di Puran Wara, Kel Tiwu Kondo, Kab Manggarai Timur. Adapun tahapan proses pelaksanaan kegiatan ini diantaranya:

1. Kepok Kapu, Kepok kapu merupakan tradisi penyambutan kepada tokoh tertentu baik dari tokoh Agama, Adat, dan Pemerintah.

2. Pange Manuk (Sesajen), Tradisi ini merupakan penghormatan kepada leluhur dan alam dengan tujuan agar diberikan kedamaian dan kemakmuran.

3. Lonto leok (Musyawarah), Tradisi ini merupakan perundingan untuk menemukan titik temu untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.

4. Caci, Tradisi ini merupakan pertunjukan beberapa tarian khas dalam memeriahkan acara elakn tahun.

Dalam hal ini penulis menganalisa kasus sengketa tanah ulayat yang terjadi di Desa Tiwu Kondo, Kecamatan Elari, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi NTT. Dengan melakukan wawancara yang dilakukan secara lisan kepada narasumber yakni bapak Abdul Tuju. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap narasumber, penyelesaian sengketa tanah ulayat yang terjadi di Desa Tiwu Kondo, Kecamatan Elari, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi NTT dilakukan dengan mediasi, Dalam hal ini yang berperan sebagai pemimpin mediasi adalah bapak Muhammad Tajudin sebagai tokoh adat dan pemuka agama, Kegiatan mediasi berlangsung pada tanggal14 Mei 2021 di rumah adat suku ndoko yang berlokasi di puran wara, kelurahan tiwu kondo sekitar pukul 09.00 sampai dengan 16.00 waktu setempat. Dalam mediasi ini dari pihak suku ndoko terdapat beberapa pihak yang mewakili diantaranya adalah Nabas lias, Lius natu, adom sembong, ahmad idrus, haman dan kawan-kawan, Kemudian dari pihak pemerintah kelurahan tiwu kondo yakni bapak sipri darusalim, siprianus lagas dan juga beberapa prangkat kelurahan yang lain.

Dalam proses mediasi terhadap penyelesaian sengketa kasus tanah ulayat turut melibatkan pemuka agama setempat yakin yang diwakili oleh Bapak Alias lendang selaku pemuka agama islam dan Bapak Pdt Emanuel selaku pemuka agama kristen, selaku pihak ketiga dalam proses mediasi ini. Proses mediasi melibatkan beberapa pemuka agama dengan beberapa agama yang berbeda disesuaikan dengan agama yang dianut oleh para pihak sehingga nantinya dapat memberikan gambaran yang luas mengenai penyelesaian kasus berdasar dengan ketentuan dari agama yang dianut.

Upaya mediasi dilakukan dengan tujuan untuk menemukan titik temu permasalahan antar para pihak yang bersengketa karena pada dasarnya ketika mengalami suatu permasalahan, tidak jarang masyarakat adat di Indonesia meminta bantuan beberapa tokoh adat maupun pemuka agama agar berperan sebagai mediator guna menyelesaikan permasalahan mereka dengan pihak lain. Hal ini dikarenakan baik tokoh adat maupun pemuka agama dianggap memiliki pengetahuan lebih terkait hukum adat ataupun hukum agama yang berlaku bagi masyarakat tersebut. Mediasi ini tentu dilaksanakan dengan mempertimbangkan norma-norma adat dan agama serta nilai nilai budaya yang berkaitan dengan hal kepemilikan tanah. Tokoh adat atau pemimpin agama membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan yang adil dan sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat.

Proses mediasi yang dilakukan melalui musyawarah adat atau forum kearifan local yang didukung dengan lembaga adat atau forum kearifan local seperti mediasi secara adat dan agama sejatinya memiliki fungsi sebagai sarana dalam melakukan proses penyelesaian sengketa tanah sebab melalui mediasi pihak-pihak yang bersengketa dapat berdiskusi dan mencari solusi yang dapat diterima dan memuaskankan seluruh pihak. Dalam mediasi atau forum kearifan lokal ini tidak hanya pihak yang bersengketa saja yang hadir melainkan juga para sesepuh atau tokoh adat yang memiliki otoritas dalam pengambilan keputusan nilai-nilai adat, tradisi, dan kearifan lokal yang menjadi pedoman dalam mencapai kesepakatan yang menghormati kedua belah pihak. Nantinya setelah melakukan mediasi para pihak dapat melakukan upaya perdamaian terkait sengketa tanah adat yang dialami.

Upaya perdamaian diharapkan dapat melerai kesalahpahaman yang terjadi antar para pihak melalui jalur damai. Pencapaian kesepakatan antar para pihak tentunya dapat dicapai dengan pengaplikasian nilai-nilai adat melalui nilai etika dan moral sehingga dapat memberikan pijakan untuk para pihak yang bersengketa dalam mencapai kesepakatan. [15]

Dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat di Desa Tiwu Kondo, Kecamatan Elari, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi NTT. Upaya perdamaian dilakukan oleh camat elar bapak romanus rasi di balai kelurahan tiwu kondo upaya perdamaian ini dilakukan pada tanggal 27 oktober 2022 pukul 10.00 waktu setempat dengan dihadiri oleh pihak keamanan yaitu babinsa kecamatan elar bapak ahmad aminudin. Dalam upaya perdamaian ini pihak suku ndoko diwakili oleh bapak nabas lias dan kawan-kawan dan dari pihak kelurahan tiwu kondo dihadiri oleh bapak sipri darusalim dan seluruh perangkat kelurahan. Upaya perdamaian ini berlangsung secara sederhana. Namun, Dalam pelaksanaan upaya perdamaian yang dilakukan mendapatkan hasil yang masih belum dapat memberikan titik temu antara dua pihak. Berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan penulis dengan mengambil data wawancara dari narasumber, Dari beberapa upaya dalam penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan dalam proses penyelesaian sengketa tanah adat terdapat kendala yang ditemukan antara kelurahan tiwu kondo dan suku ndoko sehingga proses penyelesaian sengketa tanah yang dilakukan tidak memberikan hasil keputusan yang diinginkan. Hal ini merupakan penyebab sengketa yang terjadi terus berulang hingga saat ini dan tidak memiliki hasil akhir yang pasti.

Adanya ketidakpastian hasil mediasi antar para pihak menyebabkan munculnya beberapa tindakan yang ditempuh oleh masyarakat dan pemerintah sebagai para pihak yang bersengketa, Diantaranya adalah pemindahan sementara kantor pelayanan masyarakat kelurahan tiwu kondo ke kontrakan dengan jangka waktu yang belum ditentukan hal ini dilakukan karena tanah yang ditempati kelurahan tiwu kondo sebelumnya merupakan tanah sengketa yang mana masyarakat suku ndoko tidak mengizinkan pihak pemerintah untuk menggunakan fasilitas apapun ditanah sengketa tersebut.

Simpulan

Penyelesaian sengketa tanah antara kelurahan tiwu kondo dengan suku ndoko melibatkan beberapa prinsip serta upaya yang memiliki peran penting dalam proses penyelesaiannya, Ada beberapa hal yang dilakukan, Diantaranya adalah berdasar pada konteks adat dan agama antara lain mediasi serta musyawarah yang dilakukan dengan konsultasi dengan tokoh adat, agama dengan para pihak yang bersengketa. Dalam pelaksanaannya upaya perdamaian dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat yang terjadi di Desa Tiwu Kondo, Kecamatan Elari, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi NTT. menggunakan nilai etika dan moral serta norma yang berlaku dalam adat setempat. Hal ini diperkuat dengan adanya peraturan yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa adat diantaranya adalah UUPA No.5/1960 dan PERDA Kabupaten Manggarai tentang penyelesaian sengketa berbasis adat No.1/2018. Penyelesaian sengketa adat dilakukan dengan berbagai macam upaya dengan harapan dapat mencapai titik temu dari sengketa yang dipermasalahkan sehingga dapat memberikan hasil yang adil dan berkelanjutan bagi para pihak dengan tetap mempertimbangkan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku.

References

  1. A. Hamid, "Pilihan hukum adat dalam penyelesaian sengketa di tanah Papua," J. Ilmu Hukum, vol. 1, no. 1, 2016.
  2. A. I. L., "Penyelesaian sengketa hak atas tanah masyarakat hukum adat," J. Ilmu Fak. Huk. Univ. Pattimura Ambon, vol. 22, no. 2, 2016.
  3. C. J. Welerubun, "Perlindungan hukum hak atas tanah ulayat masyarakat hukum adat di Kabupaten Maluku Tenggara," J. Media Huk. dan Peradilan, vol. 5, no. 1, 2019.
  4. D. T. J. Rongalaha and J. Y. Palenewen, "Penerapan IPTEKS tentang penyelesaian sengketa tanah ulayat pada masyarakat hukum adat melalui jalur non litigasi di Kampung Asei Besar Distrik Sentani Kabupaten Jayapura," J. Pengabd. Masy., vol. 1, no. 4, 2022.
  5. D. A. W. A. Prima, "Inisiatif dimiliki oleh pemerintah daerah dalam mengatur tanah adat di Kab. Manggarai," J. Penelit. Huk., vol. 2, 2018.
  6. E. N. S. Muh. Yamin and E. Ikhsan, "Peran dalihan Natolu dalam penyelesaian sengketa tanah hak ulayat untuk pengadaan kepentingan umum di Kabupaten Humbang Hasundutan," J. Kemsyarakatan Huk. dan Al-Hikmah, vol. 3, no. 2, 2022.
  7. H. Firmanda, "Penyelesaian sengketa tanah soko pada Suku Bendang Kampar Riau dengan corak hukum Islam," FIKRI: J. Kaji. Agama, Sos. dan Bud., vol. 289, 2018.
  8. G. Gadion, "Penyelesaian sengketa tanah adat di Desa Ulak Muid Kecamatan Tanah Pinoh Barat Kabupaten Melawi," Perahu (Penerangan Huk.), vol. 3, no. 2, 2020.
  9. I. Z. N. Zakiah and F. F. M. J. Ruslan, "Upaya non litigasi dalam penyelesaian sengketa penyerobotan tanah," J. Multid. Madani, vol. 2, no. 3, 2020.
  10. J. Jenny, "Peranan kepala adat dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat di Kecamatan Sungai Boh Kabupaten Malinau," E-J. Ilmu Pemerint., vol. 2, no. 4, 2014.
  11. S. S. Silmi, "Upaya penyelesaian sengketa jual beli tanah melalui putusan lembaga adat Depati IV Kumun Debai," Notarius, vol. 14, no. 1, pp. 14-28, 2020.
  12. M. Kaban, "Penyelesaian sengketa waris tanah adat pada masyarakat adat Karo," Mimbar Huk., vol. 28, no. 3, 2016.
  13. H. A. M. Djanggih, "Penyelesaian sengketa tanah ulayat yang telah bersertifikat berdasarkan hukum adat Malind-Anim," Arena Huk., vol. 14, no. 1, 2021.
  14. N. H. N. M. Nur and Hardianto, "Permasalahan sengketa dan penyelesaiannya yang berlokasi di Tanjungsari Kabupaten Banggai," J. Reformasi Huk., vol. 14, no. 2, 2018.
  15. "Penyelesaian sengketa tanah ulayat pada proyek pembangunan jalan di Papua Barat (Studi kasus di Kabupaten Sorong, Papua Barat)," J. Huk. Jatiswara, vol. 33, no. 3, 2018.