Village Development Articles
DOI: 10.21070/ijccd.v15i2.1044

Optimizing Village Wealth Through the Transition to BUMDes in Indonesia


Mengoptimalkan Kekayaan Desa Melalui Transisi Menuju BUMDes di Indonesia

Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Village assets BUMDes Village Law Dispute resolution Normative method

Abstract

This research examines the regulation of transitioning village assets to Village-Owned Enterprises (BUMDes) based on Village Law, highlighting shifts in dispute resolution methods. Using a normative method with statutory and historical approaches, the study identifies challenges in optimizing village head authority and effective supervision by regional heads. Key findings show the transition process involves initiation and agreements between BUMDes and village government, with tailored dispute resolution methods including mediation and litigation. Effective regulations and collaboration between officials and asset managers can enhance BUMDes' self-sufficiency, benefiting local economies and village welfare while ensuring transparency and community participation.
Highlight:

 

  1. Transition Process: Village assets to BUMDes via initiation and agreements.
  2. Dispute Resolution: Methods include mediation, village discussions, and litigation.
  3. Regulatory Challenges: Enhance village head authority and regional supervision.

 

Keywoard: Village assets, BUMDes, Village Law, Dispute resolution, Normative method

PENDAHULUAN

Aset desa ialah suatu barang yang dimiliki oleh desa yang asalnya terdapat pada kekayaan asli desa, didapat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD) yang sah. Oleh karena itu asset desa ini harus bisa dikelola dan dikembangkan dengan baik. Dalam menyelenggarakan pemerintahan yang baik di tingkat desa perlu dilakukan pengelolaan asset secara transaparan, partisipatif dan bertanggungjawab seperti dalam UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dimana menjelaskan praktik pengelolaan asset dilakukan melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang mana badan usaha tersebut secara keseluruhan atau sebagian modalnya diperoleh dari desa didalam penyertaan modal yang didapat dari kekayaan desa yang telah dipisahkan yang berguna untuk meningkatkan asset, pelayanan dan juga usaha atau yang lainnya demi mensejahterakan masyarakat di desa[1].

Berdasarkan Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjelaskan Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah. Dengan kata lain, Aset Desa adalah semua barang milik Desa yang berasal dari sumber daya alam atau kekayaan asli Desa, atau barang yang dibeli atau diperoleh oleh Desa melalui anggaran pendapatan dan belanja Desa atau perolehan hak yang sah lainnya[2]. Aset Desa juga dapat beralih untuk keperluan bisnis suatu Desa.

Peralihan aset desa adalah pengalihan kepemilikan aset dari satu pihak ke pihak lain. Dalam konteks pengelolaan aset desa, pemindahtanganan aset desa dapat meliputi tukar menukar, penjualan, dan bentuk pemindahtanganan lainnya yang disepakati oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Pada umumnya peralihan dapat berupa penunjukan pengguna aset desa, proses ini melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan aset desa. Penerbitan surat perjanjian sewa aset, setelah penunjukan pengguna aset desa, kepala desa dapat menerbitkan surat perjanjian sewa aset antara pemerintah desa dengan pihak penyewa. Hal ini bertujuan untuk mengatur penggunaan aset desa

secara jelas dan transparan, dan pemanfaatan aset desa, aset desa dapat dimanfaatkan secara pinjam pakai, sewa, atau bentuk pemanfaatan lainnya yang telah diatur dalam peraturan desa.

Peralihan aset desa dapat dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan dan nilai ekonomi aset desa, serta mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa. Dalam proses pemindahtanganan aset desa, penting untuk memastikan adanya kesepakatan yang jelas dan transparan antara pihak-pihak yang terlibat, serta mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satunya peralihan aset Desa menjadi Aset Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa).

Berdasarkan Pasal 107 Ayat (1) bahwa pemberdayaan potensi desa dalam melakukan peningkatan pendapatan Desa bisa dengan melakukan Pendirian Badan Usaha Milik Desa, Kerjasama dengan melibatkan pihak ketiga dan memiliki kewenangan melakukan pinjaman. Kemudian BUMDes pada Pasal 78 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat, aparat desa mendirikan BUMDes (ayat 1), pembentukan BUMDes terdapat dalam Peraturan Perundang-Undangan (ayat 2) serta bentuk BUMDes haruslah berbadan Hukum (ayat 3).

Terdapat empat tujuan dari proses mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yaitu, melakukan peningkatan perekonomian yang ada di desa, melakukan peningkatan Pendapatan, melakukan peningkatan pengolahan potensi sesuai kebutuhan desa, Sebagai tumpuan dalam meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa. Kooperatif, partisipatif, emansipatif, transparansi, akuntabel dan sustainable menjadi langkah dalam pendirian dan pengelolaan ekonomi produktif suatu desa[3]. Dengan ini perlunya upaya dan kontribusi serius untuk menjadikan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa yang efektif, efesien, professional dan mandiri. Tidak dapat dipungkiri BUMDes dijadikan sebagai wadah desa untuk menjalankan usaha desa yang berupa pelayanan ekonomi desa

Dalam pengelolaan aset desa, terdapat beberapa masalah yang perlu diperhatikan. Berdasarkan fakta masyarakat yang ditemukan, rumusan masalah atas judul artikel ini adalah Problematika pengelolaan aset desa: Beberapa masalah terkait dengan pengelolaan aset desa antara lain perlakukan tanah bengkok atau tanah kas desa, pemeliharaan aset desa, harga perolehan aset, penyusutan, perlakukan aset yang sudah tidak digunakan lagi, pemanfaatan aset oleh pihak lain, pelaporan aset, dan penghapusan aset desa. Peralihan aset desa. Proses pemindahtanganan aset desa dapat meliputi tukar menukar, penjualan, dan penyertaan modal Pemerintah Desa. Dalam konteks ini, permasalahan yang mungkin timbul adalah prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan peralihan aset desa[4].

Permasalah utama yang terjadi dalam peralihan aset Desa di Indonesia adalah tindak pidana korupsi. Perilaku korupsi telah merambat kesemua lapisan masyarakat, salah satunya seperti yang dilakukan oleh Kepala Desa Patimban Subang. Penyelenggaraan pemerintahan desa sudah diatur didalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dalam Pasal 26 Ayat (4) bahwa Desa dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang memiliki kewajiban untuk mengelola Keuangan dan juga Aset Desa[5]. Namun, seiring dengan berjalannya waktu tindakan korupsi ini telah menjadi sebuah ancaman bagi pemerintah desa. Hal ini mengacu pemerintah pusat dalam melakukan pelaksanaan Undang-Undang Desa telah mengeluarkan anggaran Dana Desa yang besar untuk diberikannya terhadap desa.

Dalam konteks pengelolaan keuangan dan aset desa, penting bagi pemerintahan desa untuk menjalankan tugasnya dengan integritas dan akuntabilitas yang tinggi. Namun, seperti yang kita saksikan di berbagai wilayah di Indonesia, masalah korupsi masih menjadi ancaman serius yang dapat merugikan keuangan negara dan masyarakat setempat. Salah satu contohnya adalah kasus yang melibatkan Kepala Desa Patimban dan Bendaharanya[6]. Kepala Desa Patimban yang berinisial (DT) dan Bendaharanya yang berinisial (SL) telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) dalam periode tahun anggaran 2018-2021. Tindakan korupsi ini merugikan keuangan negara sebesar Rp. 800.000.000. Kasus ini telah melalui berbagai tahap peradilan, dan keduanya telah dijatuhi hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Pentingnya pemberantasan korupsi dalam pengelolaan keuangan desa tidak hanya menciptakan keadilan, tetapi juga menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan desa. Oleh karena itu, peran aparat desa, terutama Kepala Desa, dalam mengelola keuangan dan aset desa harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan sesuai dengan aturan yang berlaku, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Tindakan pengurungan terhadap tersangka oleh tim Jaksa Penyidik Kejari Subang merupakan langkah yang diperlukan untuk mencegah pelarian, penghilangan bukti, atau upaya lain yang dapat mengganggu proses peradilan. Hal ini menunjukkan komitmen untuk menjalankan proses hukum dengan adil dan transparan dalam rangka memberantas korupsi di tingkat desa[7].

Kondisi penelitian saat ini Penelitian terdahulu mengenai pengelolaan aset desa telah mencakup beberapa aspek yang relevan. Salah satu penelitian dilakukan di BUMDes Kerto Raharjo, Desa Sanankerto, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, dengan fokus utama pada pengembangan aset dalam konteks pengelolaan wisata. Aset yang ditekankan mencakup aset manusia, struktural, sosial, alam, fisik, dan finansial. Kendala utama yang diidentifikasi dalam pengembangan ini adalah rendahnya pendidikan formal karyawan BUMDes, yang membutuhkan peningkatan pendidikan dan keterampilan. Selain itu, penelitian lainnya berfokus pada penerapan sistem pengelolaan aset desa SIPADES di beberapa desa di Kecamatan Jampangkulon dan Surade, termasuk Desa Nagraksari, Bojonggenteng, Ciparay, Citanglar, Jagamukti, dan Pasiripis. Hasil penelitian menunjukkan variasi dalam tingkat keberhasilan

implementasi SIPADES di berbagai desa, dengan beberapa desa berhasil mengimplementasikannya dengan baik, sementara yang lain masih menghadapi kendala seperti kurangnya ketrampilan pengurus desa dan seringnya terjadi kesalahan dalam aplikasi[8].

Selanjutnya, ada juga penelitian yang bertujuan untuk membandingkan pemanfaatan aset desa di dua desa, yaitu Desa Getas Pejaten dan Ngembal Kulon. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan antara desa yang mengalami keuntungan dan kerugian dalam pemanfaatan asetnya. Desa yang mengalami kerugian cenderung tidak mengikuti mekanisme yang telah diatur oleh pemerintah terkait pengelolaan aset desa dan perjanjian yang sah dengan pihak lain[9]. Secara keseluruhan, penelitian-penelitian ini memberikan wawasan tentang tantangan dan potensi dalam pengelolaan aset desa, serta pentingnya pemahaman hukum dan peraturan terkait dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui pengelolaan aset yang efektif, sehingga belum ada yang meneliti terkait peralihan aset desa menjadi aset BUMDesa dan upaya penyelesaian sengketa dalam hal hubungan perdata.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan pengaturan standar peralihan aset desa ke BUMDes berdasarkan UU Desa serta mengidentifikasi potensi pergeseran dalam prosedur penyelesaian sengketa yang terkait. Dengan penelitian ini, diharapkan kontribusi yang signifikan dapat diberikan terhadap perkembangan hukum terkait dengan pengelolaan aset desa, terutama dalam konteks pengalihan aset ke BUMDes. Hal ini akan membantu para pembuat kebijakan dalam merumuskan atau menyesuaikan regulasi yang lebih relevan dan efektif. Selain itu, penelitian ini juga akan memberikan pemahaman yang lebih baik bagi pihak-pihak terkait, seperti pemerintah desa, BUMDes, dan masyarakat desa, tentang tata cara pengalihan aset desa dan prosedur penyelesaian sengketa yang berlaku. Hasil penelitian ini juga berpotensi menjadi kontribusi penting dalam pengembangan literatur hukum terkait pengelolaan aset desa dan peralihan aset ke BUMDes, yang dapat menjadi referensi bagi peneliti, praktisi hukum, dan pihak terkait lainnya dalam memahami dan mengimplementasikan ketentuan hukum yang berlaku.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approah) dan pendekatan historis (historical approach), bahan hukum primer yang digunakan yakni UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, PP No. 72 Tahun 2005,PP 43 Tahun 2014, PP No. 11 Tahun 2019, PP No. 11 Tahun 2021, dan Permendagri No 1 Tahun 2016, bahan hukum sekunder didapat dengan menelaah jurnal sesuai topik yang sama. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan menarik kesimpulan deduktif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Standart Peralihan Aset Desa ke BUMDesa

Dalam konteks pengelolaan aset Desa, aset Desa mengacu pada barang-barang yang dimiliki oleh sebuah desa dan berasal dari kekayaan asli desa, yang dapat dibeli atau diperoleh melalui anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes) atau melalui perolehan hak lainnya. Pengelolaan aset Desa melibatkan serangkaian kegiatan yang mencakup perencanaan, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pelaporan, penilaian, dan pembinaan.

Aset Desa adalah barang milik desa yang berasal dari kekayaan asli Desa dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDesa) atau perolehan hak lainnya yang sah, sedangkan Aset BUMDes adalah harta atau kekayaan milik BUMDes baik yang berupa uang maupun benda lain yang dapat dinilai dengan uang baik yang terwujud maupun yang tidak berwujud sebagai sumber ekonomi yang diharapkan memberikan manfaat atau hasil. Perbedaan antara keduanya yakni desa pasti memiliki aset, kemudian dari aset desa tersebut diberikan penyertaan modal kepada BUMDes[10].

Penyertaan modal adalah kekayaan desa yang dipisahkan yang dianggarkan dari pengelolaan pembiayaan dalam APBDes lalu dari penyertaan modal tersebut BUMDes sudah memiliki aset yang berupa baik itu uang maupun benda lain yang sudah dibelanja dari alokasi penyertaan modal maka dari harta tersebut disebut sebagai aset BUMDes. Tujuan dari pemisahan aset Desa dengan Aset BUMDes adalah nanti akan ada pencatatan masing-masing yang dilakukan secara terpisah baik aset desa maupun aset BUMDes, sehingga ketika menyebutkan suatu aktiva atau aset maka tidak tercatat di dua jenis aset.

Pada intinya setiap hasil desa yang dikelola oleh BUMDes itu statusnya tetap milik desa meskipun suara dikelola oleh BUMDes, aset adalah sumber-sumber daya yang bernilai ekonomi milik pribadi atau perusahaan dan diharapkan bisa menghasilkan keuntungan di masa mendatang. Contoh aset desa yang dapat dikelola oleh BUMDes seperti pasar desa, pasar desa ini adalah aset desa yang bisa diserah kelolakan ke BUMDes agar dapat lebih maksimal memberikan

kenyamanan keamanan dan juga ketertiban yang tentunya nanti akan bisa menghasilkan pendapatan asli desa dan juga bisa membudayakan BUMDes untuk mengelolanya kemudian misalnya lagi tempat wisata kemudian kendaraan, mesin atau peralatan berat, Tanah Kas Desa (TKD), bangunan atau gudang kemudian, sumber daya alam, dan teknologi tepat guna[11].

Proses tahapan peralihan pertama tentu ada inisiasi baik datang dari pengelola BUMDes ataupun dari pemerintah Desa untuk memberdayakan aset yang dimaksud artinya ada aset desa yang bisa diproduksikan lebih baik lagi dengan hal tersebut maka aset Desa itu dapat menghasilkan pendapatan baik nantinya bisa memberikan keuntungan bagi BUMDes maupun bagi desa. Tahapan selanjutnya yakni membuat kesepahaman atau kesepakatan antara pihak Pemerintah desa dan BUMDes.

Tujuan atau program yang di tuangkan dalam perjanjian kerjasama adalah objek yang dikerjasamakan atau diserahkan kelolakan jadi harus jelas yang menjadi aset yang dimaksud tersebut, sehingga kejelasan ruang lingkup BUMDes untuk mengelolanya. Ruang lingkup sendiri dibedakan secara kewenangan dan ruang lingkup secara area ataupun tergantung dari jenis aset desa kemudian tujuan pemanfaatan aset sehingga aset yang dikelola itu tetap pada tujuan awal. Kemudian rentang perjalanan dari pengelolaan aset tersebut bisa juga nanti akan diperbarui atau diberhentikan tergantung hasil evaluasi dari pengelolaan aset Desa oleh BUMDes.

Dari kesepakatan tersebut timbulah hubungan perdata berupa hak dan kewajiban, hal ini sangat penting, sehingga masing-masing pihak dapat mengetahui kewajiban dan batasan-batasan masing-masing dari pengelolaan aset Desa oleh BUMDes, misalnya hak masing-masing pihak bagi BUMDes maupun bagi desa. Bagi BUMDes diterangkan untuk mengelola, mengatur, menyimpan, dan memodifikasi persentase hasil dan lain sebagainya perlu diterapkan hak-haknya untuk mengelola aset Desa, kemudian bagi Desa juga dapat memiliki hak untuk memberikan masukan nasehat termasuk presentase hasil dari pemanfaatan aset yang produktif.

Kewajiban bagi Desa seperti merawat, menjaga, dan melaporkan, dalam perjanjian kerjasama, sedangkan bagi BUMdesa memiliki kewajiban untuk merenovasi memberi informasi yang dibutuhkan dan lain sebagainya, seperti alur keuangan yang perlu dibahas pengelolaan keuangan hasil pemanfaatan hasil aset Desa harus ada pencatatannya, penggunaan keuangan untuk peruntukan operasional yang artinya kadang-kadang ada satu aset desa yang nanti di sini perlu ada kejelasan kewajiban untuk melakukan perbaikan. Kemudian dari sisi pelaporannya secara periodik setiap bulan dan setiap tahun.

1. Perkembangan Pengaturan Terkait Standard Peralihan Aset Desa Ke BUMDes

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menyaksikan perkembangan yang signifikan dalam pengaturan terkait standard peralihan aset desa ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Perubahan ini menjadi tonggak penting dalam memajukan ekonomi lokal dan memberdayakan masyarakat desa. Melalui inisiatif ini, pemerintah berusaha mendorong desa-desa untuk lebih proaktif dalam mengelola aset mereka dengan efisien dan berkelanjutan, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi disparitas ekonomi antarwilayah. Langkah-langkah yang diambil untuk mendorong transisi peralihan aset desa ke BUMDes menjadi landasan penting bagi kemajuan ekonomi berkelanjutan di tingkat desa. Hal itu dapat secara rinci dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Peralihan Aset Desa Ke BUMDesa

No Produk Hukum Prosedur Peralihan Bentuk Peralihan
1. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Tidak menunjukkan petunjuk yang jelas mengenai prosedur peralihan aset desa ke BUMDes Penyertaan modal, kerjasama, dan memiliki hak mengelola.
2. PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa Belum memberikan panduan yang mendetail tentang mekanisme peralihan aset desa ke BUMDes Penyertaan modal Desa ke BUMDesa Peralihan pengelolaan BUMDes dimulai dengan penetapan pengelola baru, persetujuan dan pengalihan modal sesuai Pasal 79 ayat (2), dilanjutkan penyesuaian struktur dan rencana operasional bersama pengelola baru.
3. UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa Aset Desa Pasal 77 ayat 3 Belum memberikan panduan yang mendalam mengenai tata kelola peralihan asset desa ke BUMDes, tetapi dalam pasal ini sudah menyentuh masalah aset desa namun belum memberikan panduan yang rinci. Memberikan hibah, pemodalan, pendampingan teknis, akses ke pasar, serta memprioritaskan BUMDesa dalam pengelolaan sumber daya alam di desa.
4. PP No. 43 Tahun 2014 tetang desa Bab VIII pasal 135 tentang Modal dan Kekayaan Desa dengan melakukan pelaporan aset Desa kepada Anggaran Pendapatan Belanja Desa melalui Penyertaan modal ke BUMDes Aset desa dapat dialihkan melalui penyertaan modal, hingga beralih menjadi aset bumdes
5. PP No. 11 Tahun 2019 tentang perubahan PPNo. 43 tahun 2014 tentang desa Prosedur Peralihan aset desa ke BUMDes belum dijelaskan Peralihan penghasilan dana APBDesa (presentase Khusus yakni 70% minimal dan 30% maksimal) dan peralihan tanah Bangko
6. PP No. 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa Pasal 45 Sumber aset desa milik BUMDes pasal 47 peraturan desa(pardes) kesepakatan melalui bantuan dari pemodalan pemerintah daerah aset desa dapat beralih kedalam aset BUMDes dengan cara penyertaan modal
7. Permendagri No 1 Tahun 2016 tentang pengelolahan Aset Desa Bentuk peralihan Pasal 7 Pengelolaan asset Desa meliputi,perencanaan, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan pelaporan, penilaian, pembinaan, pengawasan, dan Pengendalian Aset desa yang ditukarkan atau dialihkan didafatarkan inventaris aset Desa dan penggantinya dicatat dalam daftar inventaris aset Desa.
Table 1.Tabel 1. Perkembangan Peralihan Aset Desa Ke BUMDesa

Pengaturan mengenai peralihan aset Desa ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam perundang-undangan Indonesia merupakan isu yang penting namun belum sepenuhnya diatur secara rinci. Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya Bab IX yang mengatur tentang Desa, tidak memberikan petunjuk yang jelas mengenai prosedur peralihan aset Desa ke BUMDes. Namun berdasarkan Pasal 212 Prosedur peralihan keuangan desa dimulai dengan pengumpulan pendapatan dari berbagai sumber, termasuk pendapatan asli desa, bagi hasil pajak dan retribusi daerah, dana perimbangan dari pusat dan daerah, bantuan pemerintah, hibah, serta sumbangan pihak ketiga. Pendapatan tersebut digunakan untuk belanja desa, yang mencakup penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat.

Pengelolaan keuangan desa dilakukan oleh kepala desa sesuai dengan peraturan desa tentang anggaran pendapatan dan belanja desa. Pedoman untuk pengelolaan keuangan desa ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan mengacu pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, pengelolaan dan pengalokasian dana desa disesuaikan dengan kebutuhan dan kebijakan yang diatur secara resmi oleh pemerintah setempat.

Kondisi ini dapat menciptakan kebingungan karena sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam pemerintahan Desa mungkin belum memahami regulasi yang tepat. Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2005, yang merupakan bagian dari pelaksanaan otonomi Desa, juga belum memberikan panduan detail tentang mekanisme peralihan aset Desa ke BUMDes. Prosedur peralihan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dimulai dengan penentuan permodalan yang dapat berasal dari Pemerintah Desa, tabungan masyarakat, bantuan pemerintah, pinjaman, atau penyertaan modal pihak lain atau kerja sama bagi hasil. Setelahnya, kepengurusan BUMDes terbentuk dengan melibatkan Pemerintah Desa dan masyarakat dalam pengelolaan usaha desa tersebut sesuai ketentuan Pasal 79.

Peralihan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dimulai dengan penetapan pihak pengelola baru, seperti Pemerintah Desa atau pihak swasta. Dilanjutkan dengan kesepakatan dan persetujuan antara pihak-pihak terkait, termasuk pengalihan modal dan aset sesuai dengan ketentuan Pasal 79 ayat (2). Selanjutnya, struktur dan kepengurusan BUMDes disesuaikan, dan rencana operasional baru disusun bersama pengelola baru. Proses ini diawasi melalui pemantauan dan evaluasi berkala untuk memastikan kesesuaian dengan rencana operasional dan tujuan yang ditetapkan. Ini adalah prosedur yang mengatur transisi pengelolaan BUMDes sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Untuk mendapatkan panduan lebih lanjut tentang prosedur peralihan aset Desa ke BUMDes, kita perlu merujuk ke Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU ini memberikan arahan lebih lanjut tentang kewenangan Pemerintah Desa dalam mengatur Desa. Pasal 54 ayat (2) huruf (f) dari UU No. 6 Tahun 2014 menjelaskan bahwa aset Desa dapat dilepaskan, dialihkan, atau ditambahkan dengan melibatkan forum musyawarah yang memutuskan hal-hal yang bersifat strategis terlebih dahulu. Namun, perlu dicatat bahwa UU No. 6 Tahun 2014 juga belum memberikan panduan yang mendalam mengenai tata kelola peralihan aset Desa ke BUMDes. Pada Pasal 76, UU ini menyentuh masalah aset Desa, tetapi tidak memberikan panduan yang rinci.

Peralihan pengelolaan kekayaan milik Desa dimulai dengan penilaian aset dan sumber daya yang dimiliki Desa. Langkah selanjutnya melibatkan pembentukan tim evaluasi yang terdiri dari perwakilan Pemerintah Desa dan masyarakat. Tim ini akan mengkaji keefektifan dan efisiensi pengelolaan kekayaan milik Desa sesuai dengan asas yang diatur dalam Pasal 77. Hasil evaluasi dan rekomendasi tim evaluasi akan dibahas bersama Badan Permusyawaratan Desa untuk mendiskusikan kemungkinan perubahan atau peningkatan pengelolaan kekayaan milik Desa demi meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan Desa, selaras dengan ketentuan Peraturan Pemerintah. Setelah mendapatkan persetujuan bersama, perubahan atau peningkatan pengelolaan kekayaan milik Desa akan diimplementasikan.

Pada Bab IX yang mengatur BUMDes, UU No. 6 Tahun 2014 pada Pasal 90 menggarisbawahi peran Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa dalam mendukung perkembangan BUMDes. Mereka dapat memberikan hibah, permodalan, pendampingan teknis, akses ke pasar, serta memprioritaskan BUMDes dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa. Secara keseluruhan, pengaturan mengenai peralihan aset Desa ke BUMDes masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dan rinci dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat menciptakan ketidakjelasan dan perluasan interpretasi yang dapat mengakibatkan ketidakpastian dalam pelaksanaan praktik pemerintahan Desa. Oleh karena itu, perlu adanya langkah-langkah tambahan atau revisi peraturan yang lebih detail untuk memberikan panduan yang jelas tentang prosedur peralihan aset Desa ke BUMDes.

Pengaturan mengenai peralihan aset desa ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) telah mengalami beberapa perubahan seiring dengan berlalunya beberapa peraturan pemerintah. Awalnya, dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2014 tentang Desa, terdapat ketentuan mengenai peralihan aset desa kepada APB Desa melalui penyertaan modal ke BUMDes dalam PP No. 43 Tahun 2014 tentang Desa Bab VIII pasal 135 tentang Modal dan Kekayaan Desa dengan melakukan pelaporan aset Desa kepada APBDesa Aset Desa dapat dialihkan melalui Penyertaan Modal, hingga beralih menjadi Aset BUMdesa

Namun, perubahan terkait hal ini terjadi pada PP No. 11 Tahun 2019, yang hanya memfokuskan pada perubahan pasal 81 terkait Penghasilan Pemerintah Desa, tanpa menjelaskan peralihan aset desa ke BUMDes. Oleh karena itu, untuk memahami ketentuan lebih lanjut mengenai peralihan aset desa ke BUMDes, kita perlu merujuk pada PP No. 11 Tahun 2021 tentang BUMDes. Prosedur peralihan dalam Pasal 81A dimulai dengan penetapan penghasilan tetap kepala Desa, sekretaris Desa, dan perangkat Desa lainnya sesuai dengan ketentuan Pasal 81 ayat (2).

Dalam PP No. 11 Tahun 2021, pasal 45 ayat (1) menguraikan lima cara yang dapat digunakan untuk memperoleh aset desa, yaitu melalui penyertaan modal, bantuan tidak mengikat termasuk hibah, hasil usaha, pinjaman, atau dari sumber lain. Selanjutnya, pasal 47 PP No. 11 Tahun 2021 menjelaskan bahwa BUMDes bisa menerima bantuan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pihak lain yang tidak mengikat. Bantuan tersebut akan menjadi aset BUMDes, dan pemerintah pusat dan daerah akan menyalurkannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Selain itu, bantuan dari pihak lain juga dapat disalurkan kepada BUMDes dengan kesepakatan para pihak.

2. Prosedur Peralihan Aset Desa ke BUMDesa

Pasca lahirnya UU ini dapat menjadi acuan Pemerintah Desa dalam menjalankan kewenangannya. Terlihat dari bagaimana UU ini menjelaskan secara detail mengenai tata cara mengelola Desa beserta sumber dayanya, namun masih terlihat beberapa kekurangan dari UU No. 6 Tahun 2014 yang dimana prosedur terkait bagaimana peralihan Aset Desa ke BUMDes belum tertera secara jelas dalam proses peralihan dan Aset Desa apa saja yang memang boleh dialihkan ke BUMDes.

Dalam konteks ini perlu adanya upaya yang berkelanjutan untuk memperbaiki dan mengembangakan peraturan-peraturan yang mengatur peralihan Aset Desa ke BUMDes serta Aset apa saja yang bisa dialihkan ke BUMDes[12]. Selain itu, dalam merumuskan regulasi yang mendukung pengelolaan Aset Desa ke BUMDes perlu dilakukan analisis mendalam terhadap isu-isu yang muncul dalam praktik nyata. Hal ini penting dilakukan agar regulasi yang dibuat mampu mengatasi tantangan yang dihadapi oleh Desa dan mendorong perkembangan yang berkelanjutan. Sehingga regulasi dapat diubah atau disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dan tuntutan yang muncul di masa depan. Menilik lebih jelas ke dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2016 yang mengatur jelas bagaimana peralihan Aset Desa ke BUMDes.

3. Prosedur Pengaturan Permendagri No. 1 Tahun 2016.

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa. Permendagri ini memiliki dampak signifikan terhadap pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Salah satu dampak penting dalam Permendagri ini ialah pemindahtanganan paragraf VIII tentang Pemindahtanganan Pasal 25 yang dimana jelas terdapat dalam ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi;

(1) Bentuk pemindahtanganan aset desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf h, meliputi:

a. tukar menukar;

b. penjualan;

c. penyertaan modal Pemerintah Desa.

(2) Pemindahtanganan aset desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Tanah dan/atau bangunan milik desa hanya dilakukan dengan tukar menukar dan penyertaan modal.

Lalu berdasarkan pada pasal 1 poin ke (22) tentang Penyertaan Modal Pemerintah Desa adalah Pemindahantangan Aset Desa yng semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal Desa dalam BUMDes. Dengan kata lain prosedur Aset Desa yang dapat dialihkan ke BUMDes berupa kekayaan yang dimiliki oleh Desa melalui penyertaan modal yang dimana dalam penyertaan modal tersebut Aset Desa bisa dipindahtangankan atau dialihkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, namun untuk Aset Desa berupa Tanah dan semacamnya harus memiliki sertifikat atas nama Pemerintah Desa, karena Aset Desa berupa Tanah dan semacamnya merupakan salah satu titik kursial dalam pengelolaan Aset Desa maka perlu dilengkapi dengan status kepemilikan agar bisa ditatausahakan secara lebi tertib. Pada prinsipnya aset desa dapat dialihkan dengan cara tukar menukar penjualan dan penyertaan modal Pemerintah Desa. Penyertaan modal Pemdes yang sangat mungkin dilakukan adalah penyertaan modal Pemdes kepada Bumdes[13]. Namun jika misalnya Pemdes memutuskan untuk melakukan penyertaan modal kepada Bumdes juga dimungkinkan dengan terlebih dahulu ditetapkan dalam peraturan desa.

Pengalihan aset desa dengan cara penjualan atau lebih tepatnya pertukaran terdapat ketentuan dan mekanisme yang lebih rinci. Tukar menukar aset desa dapat dilakukan dengan beberapa tahap sesuai dengan pasal 34 yakni;

a Kepala Desa menyampaikan surat kepada Bupati atau Walikota terkait hasil musyawarah desa tentang pengalihan atau penukaran dengan Pemerintah desa setempat

b Kepala Desa menyampaikan permohonan ijin kepada Bupati atau Walikota, untuk selanjutnya Bupati atau Walikota meneruskan permohonan ijin tersebut kepada Gubernur.

Bentuk peralihan Pasal 7 Pengelolaan aset Desa meliputi, perencanaan, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pelaporan, penilaian, pembinaan, pengawasan, dan Pengendalian, Aset desa yang ditukarkan atau dialihkan didafatarkan inventaris aset Desa dan penggantinya dicatat dalam daftar inventaris aset Desa. Standard peralihan Aset Desa ke BUMDes dapat dialihkan dengan catatan sesuai dengan prosedur yang sudah dijelaskan. Berdasarkan Bab VI pasal 48 tentang Ketentuan Peralihan dijelaskan bahwasanya pengelolaan Aset Desa atau Pengalihan Aset Desa dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini. Dengan kata lain peralihan Aset Desa ke BUMDes dapat dilakukan dengan prosedur yang berlaku.

B. Prosedur Penyelesaian Sengketa Aset Desa terhadap BUMDesa

Prosedur penyelesaian sengketa terkait aset desa yang melibatkan BUMDesa telah mengalami penyempurnaan dalam beberapa tahun terakhir. Langkah-langkah yang jelas dan terstruktur telah diimplementasikan untuk memfasilitasi resolusi yang adil dan transparan. Pertama, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa diharapkan untuk mencoba menyelesaikan secara musyawarah dan mufakat. Apabila tidak tercapai kesepakatan, maka dapat diajukan permohonan mediasi kepada pihak yang berwenang, seperti instansi pemerintah terkait atau lembaga penyelesaian sengketa.

Selain itu, bila mediasi tidak berhasil, langkah selanjutnya adalah pengajuan sengketa ke pengadilan atau lembaga arbitrase yang memiliki kewenangan untuk menangani sengketa perdata. Proses ini dijalani dengan berpedoman pada regulasi yang mengatur penyelesaian sengketa terkait aset desa dan BUMDesa. Kejelasan prosedur ini memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat, sehingga dapat menyelesaikan sengketa dengan efektif dan adil demi kepentingan bersama. Hal itu dapat secara rinci dilihat pada Tabel 2.

No Produk Hukum Litigasi Non-Litigasi
1. PP No. 72 Tahun 2005 tentang desa Dapat melakukan gugatan perdata melakukan mediasi dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. mengadakan perjanjian para pihak
2. UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa Dapat melakukan gugatan perdata(PMH). dan dilihat juga dari bentuk badan usahanya. dapat melakukan musyawarah, melakukan mediasi dengan mempertemukan kedua belah pihak. mengadakan perjanjian para pihak.
3. Paska UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa dapat melakuka gugatan perdata berupa(PMH). dan dilihat juga dari bentuk badan usahanya dan dapat dilakukan upaya hukum restributif berupa pasal 3 undang-undang republik Indonesia nomor 20 tahun 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindakan pidana korupsi. dapat melakukan musyawarah, melakukan medis/negoisasi dengan mempertemukan kedua belah pihak. mengadakan perjanjian para pihak, dan dapat melakukan alternative dispute resolution (medisi penal) terhadap pengolah aset.
Table 2.Prosedur Penyelesaian Sengketa Aset Desa ke Aset BUMDesa

Prosedur penyelesaian sengketa pengalihan aset desa masa UU No. 32 Tahun 2004. Dalam UU ini hanya terdapat peraturan penyelesaian tentang Daerah pada Bab IX dan belum mendetail hingga ke Desa. Tetapi tidak jarang adanya pergesaran sengketa dalam peralihan Aset Desa ke Bumdes yaitu masih adanya perangkat desa yang kurang pemahaman akan sistem regulasi peralihan,proses administrasi yang masih kurang jelas, dan kurangnya transparansi atau musyawarah lebih lanjut. Sehingga memungkinkan timbulnya kecurangan terhadap aset desa yang dialihkan kepada pihak lain atau pihak ketiga. Dalam proses peralihan aset desa ke BUMDes masih sering sekali dijumpai adanya hambatan-hambatan yang kerap sekali muncul. Adapun peran desa dalam mengatasi pergeseran peralihan aset desa ke bumdes yakni;

1. Melakukan koordinasi dengan pihak lain

2. Mengumpulkan berbagai administrasi yang diperlukan

3. Mencermati regulasi yang berlaku

Dan dalam PP No. 72 Tahun 2005 penyelesaian perkara hanya dijelaskan terkait penyelesaian perselisihan kerjasama desa dengan camat maupun bupati/walikota yang terdapat dalam pasal 86 dan pasal 87, yang dimana belum secara rinci dan jelas terkait dengan pengaturan penyelesaian sengketa pengalihan Aset Desa ke BUMDes. Tetapi

didalam PP No. 72 Tahun 2005 menjelaskan tentang sanksi dan apa konsekuensi tersebut yang terdapat dalam Bab ke X tentang Pembinaan dan Pengawasaan pada pasal 99 beberapa butir poin dijelaskan bagaimana peran dalam penyelesaian atau solusi yang diberikan, dan pada pasal 101 terdapat dalam poin (O) dimana disana tertulis sanksi atas penyimpangan. Tetapi memang belum dijelaskan secara detail bagaimana dalam menyelesaikan perkara sengketa tersebut.

1. Prosedur penyelesaian sengketa masa UU No. 6 Tahun 2014

Dalam UU ini tertera pada Bab XIV yakni tentang Pembinaan dan Pengawasan, padal Pasal 113 terdapat 4 ayat yang menjelaskan bagaimana membina dan mengawasi Kepala Desa serta Perangkat Desa agar tidak melanggar norma peraturan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 115 pada huruf (n) dimana dijelaskan apabila aturan yang tidak diberlakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka sanksi yang diperoleh atas penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa sesuai dengan ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka dengan begitu dalam PP No. 11 Tahun 2021 memiliki penjelasan bagaimana prosedur dalam menyelesaikan permasalahan tersebut tertera dalam Bab IV Pasal 17 tentang Musyawarah Desa/Musyawarah Antar Desa yakni dalam poin (s), (t), (u), (v), (w), dan juga (x) yang berbunyi;

s. Membicarakan dan menetapkan cara pertanggungjawaban yang harus dijalankan oleh penasihat, pelaksana operasional, dan/atau pengawas jika terjadi kerugian pada BUM Desa/BUM Desa bersama yang disebabkan oleh tindakan sengaja atau kelalaian;

t. Menetukan opsi penyelesaian melalui jalur hukum dalam situasi di mana penasihat, pelaksana operasional, atau pengawas tidak menunjukkan niat baik dalam memenuhi kewajiban pertanggungjawaban;

u. Memutuskan untuk menghentikan semua aktivitas operasional BUM Desa/BUM Desa bersama dalam keadaan tertentu;

v. Menunjuk solusi untuk mengatur pembagian kewajiban dan harta atau hasil kekayaan setelah kegiatan Usaha BUM Desa/BUM Desa bersama dihentikan;

w. Meminta dan menerima akun tentang penyelesaian kewajiban;

x. Menginstruksikan pengawas atau menunjuk auditor independen untuk melakukan audit investigatif jika ada indikasi kesalahan atau kelalaian dalam pengelolaan BUM Desa/BUM Desa bersama.

Berdasarkan pemaparan diatas maka penyelesaian bisa dilakukan dengan beberapa cara, contohnya seperti musyawarah desa agar permasalahan yang terjadi dapat dituntaskan bersama dengan jelas dan juga transparasi[14]. Adapun berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2019 tentang Desa, dimana peraturan ini ialah perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dimana dalam PP ini tidak terdapat pengaturan terkait tentang bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa. Karena didalam PP No. 11Tahun 2019 hanya mengatur perubahan pasal 81 dari PP No. 43 Tahun 2014 terkait Penghasilan Pemerintah Desa. Sedangkan jalur litigasi dapat melakukan Gugatan Perdata berupa (PMH). Dan dilihat juga dari Bentuk Badan Usahanya. Dan apabila menempuh jalur non-litigasi dapat melakukan musyawarah, Melakukan Mediasi dengan mempertemukan kedua bekah pihak. Mengadakan perjanjian para pihak.

2. Perkembangan Prosedur Penyelesaian Sengketa pasca UU No. 6 Tahun 2014

Setelah hadirnya UU No. 6 Tahun 2014 membawa perubahan yang cukup signifikan, dari perubahan tersebut terlihat beberapa perbedaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terlihat dari diterapkannya UU No. 6 Tahun 2014 ini jelas adanya didalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah lebih detail dan terperinci terkait bagaimana mekanisme Pemerintah Desa dalam mengelola Desa beserta sumber dayanya, namun tidak jarang masih ada beberapa yang memang belum mendetail seperti bagaimana prosedur penyelesaian sengketa. Pada UU No. 32 Tahun 2004 belum ada peraturan yang menjelaskan bagaimana mekanisme prosedur pengelolaan Aset Desa.

Selain memberikan posisi yang kuat kepada Kepala Desa, dalam UU No. 6 Tahun 2014 ini memperkenalkan lembaga baru yang disebut musyawarah desa yang merupakan sebuah forum permusyawaratan yang diikuti oleh BPD, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat desa untuk memusyawaratkan hal yang bersifat strategis yang berarti dimana setiap desa harus menghidupkan forum yang inklusif dimana persoalan strategis dimusyawaratkan bersama. Persoalan lain dalam penyelenggaraan di Desa ialah terkait dengan tugas dan fungsi Kepala Desa serta hak dan kewajiban dari Kepala Desa. Karena Kepala Desa sebagai ujung tombak di Desa yang seringkali dianggap sebagai tokoh yan bisa menyelesaikan berbagai persoalan masyarakatnya. Sebagai contoh seperti sengketa tanah antar warga, pengalihan tanah kas desa, kasus sengekta tersebut pastinya menjadi hambatan bagi Desa sendiri. Penyalahgunaan kekuasaan digunakan untuk melakukan tindak kecurangan dengan mengendalikan Aset Desa, kesempatan yang didapatkan dari lemahnya pengawasan terhadap Distrik dan Kabupaten kepada aparatur desadalam pengelolaan Aset Desa rupanya dimanfaatkan oleh beberapa aparatur desa dan masyarakat untuk memenuhi keinginan pribadi.

Kurangnya monitoring dapat membuat pelaku leluasa melakukan aksinya, sumber daya manusia yang juga belum memadai dalam mengelola aset desa sertamasih minimnya pengetahuan terkait regulasi dapat memberi kesempatan kepada pelaku untuk memanfaatkan dan memperkaya diri. selain itu, desa juga tidak memiliki catatan yang rinci untuk semua aset yang dikuasai karena masih minimnya akan pengetahuan regulasi yang ada. Kurangnya sosialisasi terhadap kebijakan dan penerapan fungsi-fungsi manajemen terhadap pengelolaan, aset desa dan dana desa pada desa tidak optimal dan menimbulkan Kepala Desa terjerat korupsi atas sengketa tanah atau kecurangan lainnya.

Maka dengan adanya Permendagri No. 1 Tahun 2016 guna dapat melakukan pengelolaan Aset Desa yang tepat sasaran, yang dimana dapat memberi peluang bagi desa untuk melakukan peralihan Aset Desa melalui tukar menukar, Penyertaan Modal dan Pemindahtanganan. Sedangkan dalam upaya litigasi dapat melakukan Gugatan Perdata berupa (PMH). Dan dilihat juga dari Bentuk Badan Usahanya. Dan dapat dilakukan upaya Hukum Retributif berupa Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor

31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan dapat menempuh upaya non- litigasi dapat melakukan musyawarah, Melakukan Mediasi/negosiasi dengan mempertemukan kedua bekah pihak. Mengadakan perjanjian para pihak. Dan dapat melakukan Alternative Dispute Resolution (Mediasi Penal) terhadap pengelola aset. [15].

KESIMPULAN

Pengaturan terkait standar peralihan aset desa ke BUMDes telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dan Permendagri Nomor 1 Tahun 2016. Namun, dalam praktiknya, masih terdapat kendala dalam optimalisasi wewenang kepala desa dalam mengelola aset desa. Proses pengawasan oleh bupati/walikota terhadap kepala desa juga belum efektif, yang berpotensi menimbulkan sengketa. Untuk mengatasi masalah ini, kerja sama antara pengelola aset desa dan aparat pemerintah desa diperlukan, dengan pengalokasian dana desa, perbaikan infrastruktur BUMDes, dan peningkatan kemampuan pengelola aset. Dengan peraturan yang jelas, diharapkan BUMDes dapat berkembang mandiri, memberikan dampak positif pada ekonomi lokal, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa secara keseluruhan, dengan tetap menjaga prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi aktif masyarakat. Prosedur penyelesaian sengketa peralihan aset Desa dapat dilakukan berbagai macam cara, jika menggunakan jalur non-litigasi, maka dapat menggunakan mediasi dan musyawarah Desa khusus sengketa perdata, dan dapat melakukan Alternatif Dispute Resolution khusus sengketa pidana. Dan dapat diampuh upaya hukum litigasi yakni berupa gugatan perdata dan retributif pidana berupa pelaporan agar dapat di proses secara semestinya, jika kasus TPPU maka KPK berhak menindaklanjuti.

References

  1. D. Afero, F. Rosalia, and P. Budiono, “Badan Usaha Milik Desa (Bumdesa) dalam Perspektif Desentralisasi Pembangunan,” J. Studi Pemerintahan dan Akuntabilitas, vol. 1, no. 2, pp. 151–159, Jan. 2022, doi: 10.35912/jastaka.v1i2.1136.
  2. I. Kania and R. Raesalat, “Implementasi Kebijakan Pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) Terhadap Manajemen BUMDesa dalam mewujudkan Efektivitas BUMDesa di Kabupaten Garut,” J. Publik, vol. 13, no. 1, pp. 31–37, Aug. 2020, doi: 10.52434/jurnalpublik.v13i1.12.
  3. D. D. Ayuningtyas and S. Wibawani, “Peran Badan Usaha Milik Desa (Bumdesa) Dalam Pemberdayaan Masyarakat,” J. Kebijakan Publik, vol. 13, no. 3, pp. 281–281, Sep. 2022, doi: 10.31258/jkp.v13i3.8095.
  4. I. Susila, A. D. B. Bawono, and H. Purbasari, “Pengembangan Sistem Pengelolaan Keuangan Bumdesa di Desa Sidowayah Kabupaten Klaten,” May 12, 2020. [Online]. Available: https://lens.org/081-554-758-441-778
  5. J. Junaidi, A. Amril, A. Amir, A. Bhakti, and E. Prasetyo, “Peranan Badan Usaha Milik Desa Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa,” Studium: J. Pengabdian kepada Masyarakat, vol. 1, no. 1, pp. 7–10, Aug. 2021, doi: 10.53867/jpm.v1i1.7.
  6. I. Iswanto, “Perlindungan Hukum Tindak Pidana Korupsi Dalam Pemilihan Kepala Daerah,” Legal Standing: J. Ilmu Hukum, vol. 3, no. 2, pp. 203–208, Jan. 2020, doi: 10.24269/ls.v3i2.2313.
  7. S. Saraya and Y. Handayani, “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Tindak Pidana Korupsi Badan Usaha Milik Desa,” JIIP - J. Ilmiah Ilmu Pendidikan, vol. 5, no. 5, pp. 1540–1548, May 2022, doi: 10.54371/jiip.v5i5.601.
  8. A. Amir and A. Wahida, “Analisis Strategi Daya Saing Bumdesa Melalui Pemanfaatan Objek Wisata Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat,” Jesya, vol. 6, no. 1, pp. 447–459, Jan. 2023, doi: 10.36778/jesya.v6i1.952.
  9. S. Faradin and E. H. Fanida, “Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (Bumdesa) Tirto Abadi Melalui Strategi Pengembangan Agrowisata Kebun Belimbing Desa Ngringinrejo Kecamatan Kalitidu Kabupaten Bojonegoro,” Publika, vol. 9, no. 3, pp. 81–96, Apr. 2021, doi: 10.26740/publika.v9n3.p81-96.
  10. H. B. Abdullah, “Implementasi Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) Jatimakmur Dalam Peningkatan Pendapatan Asli Desa (PADes) Di Desa Jatirejoyoso,” J. Governance Innovation, vol. 3, no. 2, pp. 204–222, Sep. 2021, doi: 10.36636/jogiv.v3i2.810.
  11. T. A. Lubis, F. Firmansyah, and R. Willian, “Pelatihan Manajemen Keuangan dan Akuntansi bagi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) di Desa Lapok Aur dan Desa Selat Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari,” J. Inovasi, Teknologi dan Dharma Bagi Masyarakat, vol. 3, no. 1, pp. 17–20, Dec. 2021, doi: 10.22437/jitdm.v3i1.15065.
  12. Z. A. Marasabessy, A. Adam, H. Ngongira, S. Baharuddin, R. L. Ma’a, and S. Lastory, “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pemetaan Aset Desa (Studi Kasus Desa Bale Kec. Oba Kota Tidore Kepulauan),” Empower: J. Pengembangan Masyarakat Islam, vol. 7, no. 2, pp. 262–262, Dec. 2022, doi: 10.24235/empower.v7i2.11428.
  13. M. Martunis, “Peran Badan Milik Usaha Milik Desa (BUMDESA) dalam Meningkatkan Perekonomian Masyarakat di Desa Wonokerto Kecamatan Turi Kabupaten Sleman.” Jan. 08, 2020. [Online]. Available: https://lens.org/041-133-730-766-187
  14. D. Rahmat, A. T. Fuadah, and U. Rosyidin, “Efektivitas Badan Usaha Milik Desa (Bumdesa) Dalam Meningkatkan Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Cireundeu Kecamatan Cilograng,” Mimbar Administrasi Mandiri, vol. 18, no. 2, pp. 135–160, Sep. 2022, doi: 10.37949/mimbar18223.
  15. S. Ngaisah, “Revitalisasi Manajemen BUMDesa dalam Pengembangan UMKM di Desa Watesari Kec Balongbendo Sidoarjo,” J. Pengabdian Masyarakat, vol. 1, no. 1, pp. 50–57, Jun. 2022, doi: 10.30640/abdimas45.v1i1.219.