Arts and Heritage Development Articles
DOI: 10.21070/ijccd.v11i0.773

John Fiske’s Semiotic Analysis About Body Shaming in Imperfect Film


Analisis Semiotika John Fiske Tentang Body Shaming dalam Film Imperfect

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Body Shaming Film Imperfect Teori Semiotika John Fiske

Abstract

There are phenomena and cases of body shaming actions that occur in Indonesia in everyday life, especially for women who often experience it and become victims of body shaming. Some people regard this act as just a common joke. However, the act of body shaming is an action that can affect a person's mental and psychic. The film Imperfect is the best film in 2019 which presents a story about the body shaming act experienced by a woman. This study aims to identify and describe John Fiske's semiotic analysis of body shaming in the film Imperfect. This research method uses qualitative descriptive analysis with John Fiske's semiotic analysis, namely the level of reality, representation and ideology. The results of this study indicate the form of body shaming in the film Imperfect, from the level of reality, namely in appearance, in terms of behavior, dialogue, and make-up of players. The reality here is that there is an assessment of beauty standards against women and jealousy and envy of Rara. At the level of representation, taking pictures of the object as a whole. The ideological level in the film Imperfect is patriarchal culture.

Pendahuluan

Body shaming merupakan suatu tindakan mengkritik atau memberikan komentar negatif terhadap bentuk fisik dan penampilan seseorang yang dilakukan secara sengaja maupun tidak. Menurut survei dari artikel Body Peace Resolution yang dilakukan oleh Yahoo, didapatkan sebanyak 94 persen remaja perempuan mengalami tindakan body shaming dibandingkan dengan remaja laki-laki yang hanya 64 persen. Dapat dikatakan bahwa perempuan yang lebih banyak mengalami tindakan body shaming[1]. Body shaming juga menyebabkan seseorang atau korban yang mengalaminya menjadi lebih sensitif dan tidak percaya terhadap tindakan komentar negatif terhadap tubuhnya karena tidak sesuai dengan standar ideal dari pemikiran masyarakat.

Mungkin bagi beberapa orang berpikir bahwa tindakan body shaming merupakan tindakan yang biasa dan dianggap hanya sebuah candaan, tetapi apabila dilakukan dengan terus-menerus dan menyakiti hati maka korban yang mengalaminya akan merasa dampak buruknya yang dapat mempengaruhi mental dan psikisnya. Yang dimana korban merasa tersindir, tersinggung, tidak terima, setres, merasa minder, insecure (rasa percaya diri yang hilang), setres, depresi serta merasa dikucilkan. Body shaming mempunyai peran yang penting dalam hubungan sosial, karena tindakan tersebut dialami dengan rasa malu yang muncul akibat dari beberapa aspek dari tubuh. Body shaming juga merupakan perasaan malu yang muncul dari ketidakpuasan individu akan tubuhnya, perasaan yang negatif dan penilaian terhadap tubuhnya[2].

Menurut [3]terdapat dua bentuk body shaming beserta jenis-jenisnya, diantaranya yaitu:

Bentuk-bentuk body shaming secara verbal adalah:

  1. Fat Shaming, yaitu istilah yang digunakan untuk tindakan mempermalukan tubuh manusia yang dianggap gemuk, berisi atau besar.
  2. Thin Shaming, merupakan kebalikan dari fat shaming tetapi juga memiliki dampak negatif yang sama, dimana thin shaming adalah sebuah tindakan untuk mempermalukan tubuh seseorang atau manusia yang kurus, terlalu kurus atau tubuh yang kekurangan berat badan.
  3. Warna kulit shaming, yaitu bentuk body shaming ini dilakukan dengan mengomentari warna kulit manusia atau perbedaan warna kulit yang dianggap tidak sesuai standar kecantikan manusia, seperti warna kulit yang gelap dan warna kulit yang terlalu pucat.

Body shaming tidak hanya dilakukan dengan ucapan, namun juga dilakukan langsung ke dalam bentuk tindakan-tindakan yang kurang baik serta kurang menyenangkan bagi orang lain. Tindakan body shaming dalam bentuk ucapan ini, lebih mudah dilupakan daripada tindakan body shaming dalam bentuk tindakan (non verbal).

Adapun penelitian ini di dukung oleh penelitian terdahulu dengan judul “Dampak Body Shaming sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan” oleh Surya Ananda Fitriana, menyatakan bahwa tindakan body shaming merupakan tindakan kekerasan verbal yang terjadi pada perempuan. Berdasarkan survei dan wawancara terhadap delapan informan, bahwa kedelapan informan tersebut pernah mengalami tindakan body shaming dimana dapat menyebabkan kurang percaya diri, setres dan lebih menutup diri atau tidak pernah bersosialisasi sehingga tindakan body shaming dapat berpengaruh dalam mental seseorang yang mengalaminya[4].

Di akhir tahun 2019, Indonesia dihebohkan dengan munculnya film bioskop terbaru yang dapat menarik perhatian lebih para pecinta film dan masyarakat Indonesia. Film tersebut berjudul “Imperfect” karya sutradara Indonesia terkenal yaitu Ernest Prakarsa. Film Imperfect dirilis tanggal 19 Desember 2019 dengan genre drama, romantis dan diadaptasi dari karya novel Meira Anastasia yang ditulis berdasarkan kisah nyata tindakan body shaming yang telah dialaminya, kemudian sang suami yaitu Ernest Prakarsa mengadaptasi novel tersebut tersebut ke dalam film[5]. Film ini menceritakan tentang tindakan body shaming atau mengejek bentuk tubuh yang dialami seorang perempuan bernama Rara yang memiliki masalah terhadap bentuk tubuhnya. Rara terlahir dengan bentuk tubuh yang gemuk, rambut ngembang ikal dan kulit sawo matang yang mengikuti gen dari ayahnya. Berbeda jauh dengan adiknya yang bernama Lulu yang mempunyai tubuh ideal, ramping, rambut lurus, kulit putih yang mengikuti gen dari ibunya. Dari kekurangan dan perbedaan itulah Rara mempunyai keresahan terhadap penyimpangan sosial dan selalu mendapatkan tindakan body shaming yang dilakukan orang-orang disekitarnya dan ibunya sendiri terhadap dirinya

Film adalah sebuah rangkaian gambar statis dimana direpresentasikan di hadapan mata secara berturut-turut dalam kecepatan tinggi. Film sebagai media komunikasi massa yang disebutkan dalam UU nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman, diartikan bahwa film adalah karya seni budaya dalam pranata sosial dan media komunikasi masa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi atau tanpa suara yang kemudian dipertunjukkan atay dipertontonkan ke masyarakat melalui media. Menurut[6], jenis-jenis film yaitu film cerita (Story Film), Film Dokumenter (Dokumentary Film), Film Berita (News Reel), Film Kartun (Cartoon Film) dan sebagainya[6].

Teknik pengambilan gambar merupakan aspek yang penting dalam memproduksi film. Maka terdapat jenis shot dan pemaknaan gambar, diantaranya yaitu:

  1. Long Shot: digunakan untuk pengambilan gambar dengan cara menyeluruh dengan menggambarkan pergerakan sebuah objek, baik manusia, binatang atau benda bergerak lainnya.
  2. Wide Shot: hasil pengambilan gambar seperti Long Shot. Dimana bedanya di bagian tepinya yang berkesan melengkung.
  3. Medium Long Shot: Pengambilan gambar ini dimana jarak dari tubuh manusia yang terlihat yaitu hanya dari kepala sampai lutut.
  4. Medium Shot: Teknik pengambilan gambar dengan jarak tubuh manusia terlihat dari atas kepala sampai pinggang.
  5. Medium Close up: Memperlihatkan tubuh manusia dari atas kepala hingga dada.
  6. Close up: Objek orang hanya memperlihatkan tampak wajahnya, sedangkan objek benda tampak jelas bagian-bagiannya.
  7. Big Close-up: Apabila objeknya orang, maka hanya yang tampak adalah bagian tertentu, seperti mata, bibir dan bagian lainnya yang terlihat jelas.

Teori Semiotika John Fiske

Analisis semiotika merupakan suatu metode atau cara untuk menganalisis serta memberikan makna terhadap lambang-lambang teks atau pesan. semua model-model tentang makna secara luas mempunyai bentuk yang hampir sama, dimana masing-masing berfokus terhadap tiga elemen dengan cara tertentu dalam semua kajian makna [7].

Dalam kode-kode televisi yang telah diungkapkan dalam teori John Fiske, yaitu bahwa peristiwa yang ditayangkan melalui dunia televisi telah di enkode oleh kode-kode sosial yang dimana dibagi dalam tiga level diantaranya sebagai berikut: [8].

Pada level ini, kode yang termasuk didalamnya yaitu penampilan(appearance),riasan (make-up) dan pakaian atau kostum (dress) yang digunakan oleh pemain, perilaku(behavior), ucapan(speech) ,gerakan(gesture), ekspresi(expression), dialog(dialogue), lingkungan(environment) dan sebagainya.

Pada level ini mecakupi kode teknis mengenai kamera(camera),perevisian (editing), pencahayaan(lighting), musik(music) dan suara(sound). Serta pada level representasi konvensional terdiri dari konflik (conflict), naratif (narative), karakter (character), layar (setting) dan pemilihan pemain (casting).

  1. Level Realitas (Reality)
  2. Level Representasi(Representation)
  3. Level Ideologi(Ideology)

Kode sosial dari level ini merupakan hasil dari level realitas dan level representasi yang dikategorikan pada penerimaan dan hubungan sosial oleh kode-kode ideologi, seperti kapitalisme, individualisme, ras, patriarki dan sebagainya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif analisis teks media dengan menggunakan pendekatan analisis semiotika John Fiske. Teori semiotika John Fiske menyatakan sesuatu yang ditampilkan di media televisi yang biasanya berupa film maupun iklan, dimana hal itu merupakan adanya suatu kenyataan, fakta yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat (realitas sosial) dengan maksud bahwa realitas merupakan suatu produk yang tercipta dari masyarakat atau manusia itu sendiri[9].

Subyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Film Imperfect. Subyek penelitian ini akan dibagi dengan menjadi beberapa potongan atau scene yang dimana untuk dianalisis oleh penulis.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu observasi (mengamati langsung dan menonton film Imperfect, pengamatan dilakukan dengan cara menggunakan scene atau potongan pada film tersebut), tinjauan pustaka dan dokumentasi.

Data primer penelitian ini didapatkan secara langsung dalam penelitian ini dengan cara observasi atau pengamatan pada obyek penelitian. Pada penelitian ini tidak hanya menggunakan dengan observasi langsung saja. Tetapi pengamatan dilakukan melalui cara menonton serta menyimak isi atau cerita film Imperfect dengan cara mengunduh film melalui internet. Data sekunder didapatkan dari berbagai sumber lain yang diambil melalui beberapa sumber[10].

Analisis data dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan analisis semiotika John Fiske tiga level diantaranya level realitas, level representasi dan level ideologi. Peneliti hanya menggunakan tiga aspek level tersebut untuk meneliti scene-scene atau potongan adegan pada film yang mengacu dalam rumusan masalah yaitu representasi body shaming dalam film Imperfect. Pada level realitas, peneliti akan berusaha menjelaskan realitas yang terdapat dalam film tersebut, mulai dari pakaian, penampilan, riasanyang digunakan oleh tokoh pemain Rara yang mengalami tindakan body shaming di dalam film Imperfect. Pada aspek level kedua yaitu representasi, akan menganalisa tentang elemen-elemen teknis tentang kamera, pencahayaan atau lighting, musik dan suara. Di level ideologi meliputi individualisme, kapitalisme, ras, kelas, patriarki dan sebagainya.

Hasil dan Pembahasan

Scene pada durasi 4.35-5.20, teman-teman ibu Rara sedang mengomentari tubuh Rara.

Di level realitas yang menunjukkan adanya bentuk atau Tindakan body shaming dalam film “Imperfect” dari segi penampilan yaitu terlihat teman-teman ibu Rara menggunakan pakaian atau dress yang bagus dan seksi berbeda dengan Rara yang menggunakan kaos lengan panjang biasa. Perempuan yang suka pakai dres biasanya punya karakter yang lembut dan manis. Sifatnya yang ramah dan menyenangkan membuatnya disukai banyak orang. Perempuan yang suka pakai dress adalah perempuan yang suka dengan kecantikan dan mudah berteman dengan siapa saja. Perempuan yang suka pakai dress adalah perempuan yang suka dengan kecantikan, kebersihan dan kerapian. Terlihat pada teman-teman ibu Rara yang selalu mengutamakan penampilan dan selalu ingin terlihat cantik. Umumnya, perempuan yang suka pakai dress dan blus adalah perempuan yang cantik, anggun dan menawan. Sedangkan baju yang digunakan Rara yaitu kaos lengan panjang biasa melambangkan bahwa Rara tidak pernah memakai dress atau pakaian feminim dikarenakan dia mempunyai badan yang gemuk dan dianggap tidak pantas memakai pakaian layaknya yang dipakai perempuan biasanya.

Dari segi perilaku, teman ibu Rara melihat Rara dengan ekspresi yang sedikit kaget melihat penampilan Rara yang akan pergi bekerja kemudian mereka juga melihat perbedaan antara Rara dan Lulu dengan ekspresi heran, bingung dan sedikit menertawakannya.

Dialog yang menujukkan tindakan body shaming dalam film “Imperfect” yang terdapat dalam scene ini adalah:

Monik (teman Ibu Rara): “Rara, kamu kayaknya gendutan ya? Hemm gak papa seger, seger”( dengan nada yang sedikit mengejek).

Nora (teman ibu Rara): “Kamu punya pacar gak sih?”

Rara: “Ada tante”.

Monik (teman ibu Rara): “Ada lho”. (sambil melihat ke arah temannya dengan ekspresi mengejek)

Magda (teman ibu Rara): “kalian beda ya padahal adik kakak, Lulu kamu putih ya cantik banget”.

Kalimat “Rara, kamu kayaknya gendutan ya?”, menunjukkan bahwa sikap teman-teman ibu Rara yang mengomentari bentuk tubuh Rara dengan melihat tubuh Rara yang gendut dan hi tidak seperti adiknya. Teman ibu Rara seperti meledek bahwa perempuan itu harus cantik, langsing, tidak gendut. Pada masa sekarang, kriteria perempuan yang bertubuh ideal adalah perempuan yang memiliki tubuh langsing, rambut panjang dan perut yang rata.

Pada scene ini level representasi yang menujukkan bntuk Tindakan body shaming dalam film “Imperfect” dari segi pengambilan gambar pada scene pertama yaitu medium shot.

Scene pada durasi 14.20-14.30, Ibu Rara sedang mengomentari getaran kaki Rara ketika berjalan.

Level realitas dari segi perilaku, Rara yang berjalan turun dari tangga dengan eskpresi yang heran takjub ketika sang ibu bertanya kepadanya dan mengetahui bahwa yang berjalan dari tangga adalah dirinya. Dan ibu Rara yang sedang sibuk menyiapkan makanan di dapur sambil berbicara dengan ekspresi santai dan biasa saja (posisi membelakangi Rara) tanpa melihat Rara seolah-olah ia sudah hafal dengan getaran berjalannya anaknya. Dari segi riasan, seperti biasa Rara yang tanpa make up menunjukkan kesederhanaan dan tidak terlalu mengistimewakan diri sendiri dibandingkan dengan ibu yang menggunakan make up dan tampil sempurna karena mantan seorang model.

Dialog atau percakapan yang menunjukkan body shaming yang terdapat dalam film ini adalah:

Ibu Rara: “Kamu gak telat kak?”

Rara: “kok tau ini aku?”

Ibu Rara: “Getaran tangganya beda!”

Kalimat terebut menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki bentuk tubuh yang gemuk ketika berjalan dapat didengar karena dianggap bergetar, sama halnya yang dialami oleh Rara yang mendapat sindiran tersebut dari sang ibu.

Pada scene ini level representasi yang menunjukkan bentuk body shaming dalam film “Imperfect” dalam teknik pengambilan gambar dari segi kamera, pada scene yang pertama menggunakan medium shot. gambar tersebut pengambilan gambar diambil secara blur untuk memfokuskan pada gambar yang di shot. Dan dalam adegan tersebut terdapat backsound atau suara langkah kaki untuk menekankan suara getaran langkah kaki pada fokus objek.

Scene pada durasi 19.35-19.46, Marsha mengomentari sepatu yang digunakan Rara

Level realitas yang menunjukkan adanya tindakan body shaming, dari segi penampilan yaitu Marsha terlihat menggunakan baju jas berwarna ungu, warna ungu melambangkan warna feminim yang memberi kesan keanggunan, elegan dan dikaitkan dengan Wanita kaya dan berkelas. Baju yang berwarna ungu memunculkan sifat-sifat mudah tersinggung, tidak sabar dan sombong. Hal tersebut menunjukkan bahwa Marsha sesorang perempuan yang cantik dan kaya dan sosok yang percaya diri dengan penampilannya. sedangkan Rara hanya menggunakan kaos biasa dengan cara berpakaian “conventional dresser”, dimana menggunakan baju berwarna gelap (hitam, abu-abu, pastel atau warna pucat lainnya) yang terlihat sederhana. Seseorang yang suka menggunakan baju kaos memiliki kepribadian yang tertutup, introvert dan konservatif.

Dialog atau percakapan yang menunjukkan body shaming dalam scene tersebut adalah:

Marsha: “Hai Ra”.

Rara: “Hai”.

Marsha: “Sepatu loh lucu juga”.

Rara: “Thanks”.

Marsha: “Tapi....coba deh pakai heels! Pasti lebih keren.. hahaha”.

Kalimat tersebut menunjukkan bahwa wanita yang menggunakan sepatu sneakers kurang cocok dan kurang terlihat cantik dan terlihat tomboy dibandingkan wanita yang mengggunakan sepatu heels dinilai sebagai wanita yang cantik dan lebih feminim. Dari situ memperlihatkan bahwa Marsha suka mengejek penampilan Rara yang sederhana dan apa adanya karena dinilai kurang pantas dan tidak cocok.

Level Representasi yang menunjukkan adanya bentuk body shaming dalam film Imperfect. Dari segi kamera, teknik pengambilan gambar pada adegan tersebut menggunakan close up.

Scene pada durasi 3.45-4.10, Ibu Rara menyebut tubuh Rara seperti ikan paus yang terdampar.

Level Realitas dari segi riasan Rara yang tanpa make up dan rambut berantakan menunjukkan bahwa Rara sedang tidur atau belum mandi dan ibu Rara menggunakan make up meninjukkan bahwa dirinya sudah rapi dan mandi. Perempuan yang sudah menikah atau ibu rumah tangga digambarkan bahwa pada saat pagi, mereka harus sudah cantik, bersih dan rapi. Dari segi dialog:

Ibu Rara: “Pusing mama ngelihat kamu kayak paus terdampar gini. Bangun! Mandi terus dandan.”

Rara: “Hemm ahh (menjawab sambal mengantuk).”

Kalimat ikan paus terdampar yang dilontarkan ibunya terhadap Rara memiliki arti bahwa ikan paus terdampar merupakan hewan yang besar, diam, tidak bisa bergerak dan tidak dapat melakukan aktivitas apapun, sama halnya dengan Rara yang terlihat tidur posisi tengkurap dengan badan yang besar, terlihat malas dan tidak dapat bergerak. Intonasi yang ducapkan ibu Rara sedikit tegas menandakan dia kesal melihat Rara.

Level representasi yang menunjukkan adanya bentuk body shaming dalam film “Imperfect” dari segi pengambilan gambar pada adegan pertama menggunakan long shot.

Scene pada durasi 28.30-29.00, Marsha yang sedang menyinggung Rara dan meminta untuk belajar berdandan.

Level realitas yang menunjukkan adanya bentuk body shaming dalam film “Imperfect” dari segi penampilan yaitu: Marsha, Irene, Wiwid (teman-teman kantor Rara) menggunakan baju kemeja yang bagus dan rapi dan berwarna terang. Pakaian tersebut melambangkan sifat feminim dan kelompok orang-orang yang mampu dan suka bergaya. Sedangkan Rara menggunakan kaos polos berwarna gelap, menujukkan bahwa Rara seorang yang sederhana, apa adanya dan tidak memperdulikan tentang penampilan. Dari segi perilaku, teman-teman kantor Rara sedang berdandan depan kaca di kamar mandi sambil mengobrol asyik dengan tertawa.

Dialog atau percakapan yang menujukkan bentuk body shaming dama scene tersebut yaitu:

Irene: “Mas Kelvin bilang apa?”.

Marsha: “Dia bilang campaign kita sudah bagus”.

Irene: “Nice”.

Wiwid: “Bijaksana, pinter lagi, iya iyalah mana mungkin kalau gak pinter jadi bos”.

Irene: “Kan ini perusahaan emaknya! Sha loh itu baru tapi langsung meroket. Gue yakin loh bisa gantiin mbak Sheila. Rara mana pantes mimpin kita”.

Marsha: “Mimpin? Belajar dandan dulu gimana? Hahahahaha”.

Kalimat tersebut menunjukkan bahwa sikap Marsha dan Irene yang tidak suka dengan Rara dan merendahkannya apabila Rara terpilih menjadi seorang manager karena penampilan Rara yang dianggap polos dan tidak menarik.

Pada scene ini level representasi yang menunjukkan bentuk atau tindakan body shaming di dalam film “Imperfect”dari sei kamera, teknik pengambilan gambar pada adegan pertama menggunakan medium long shot.

Scene pada durasi 27.38-28.10, Bos Kelvin membandingkan penampilan Rara dan Marsha (teman Rara).

Level realitas dari segi penampilan yaitu: Rara menggunakan kaos polos berwarna coklat dan abu-abu melambangkan kepolosan seorang Rara dan tidak terlalu memikirkan tentang penampilan. Sedangkan Bos Kelvin menggunakan jas dan kemja yang rapi melambangkan seorang pemimpin perusahaan. Dialog atau percakapan yang menunjukkan bentuk body shaming yang terdapat dalam scene tersebut yaitu:

Kelvin: “Kita sama-sama tau lah, loh yang paling mampu. Tapi....masalahnya di industri kita kali ini, isi kepala aja nggak cukup, penampilan juga penting. Karena kan kita harus mewakili brand Melati pas kita bertemu investor, media. Yaaa… macem-macem lah”.

Rara: “Huh” (tarik nafas dan menunduk)

Kelvin: “Gue kan ngajuin Marsha ke nyokap, yaa memang dia belum sesenior elu. Tapi... kayaknya bisa lah dibimbing. Huhh kalian berdua bisa gak dipindah, isi kepalanya elu, casingnya dia”.

Kalimat tersebut menunjukkan bahwa persepsilLaki-laki memandang perempuan cantik merupakan perempuan yang bertubuh kurus, langsing, rambut panjang dan lurus. Gambar tersebut menunjukkan bahwa sikap Bos Kelvin yang menyinggung penampilan Rara yang sederhana yang memiliki bentuk badan gemuk, berkulit gelap yang dianggap cocok untuk menjadi seorang manager.

Pada scene ini level representasi yang menunjukkan adanya bentuk atau tindakan dalam film “Imperfect” dari segi kamera, teknik pengambilan gambar pada kedua adegan tersebut menggunakan close up.

Scene pada durasi 15.28-15.45, Irene dan Wiwid mengomentari makanan yang dibawa Rara.

Level realitas yang menunjukkan adanya bentuk atau tindakan body shaming, dari segi penampilan yaitu Rara memakai kaos lengan panjang serta cardigan berwarna abu-abu, menggambarkan bahwa Rara seeorang yang sederhana dan tidak terlalu memikirkan tentang penampilan, sedangkan teman-temannya menggunakan baju kemeja yang rapi seperti orang pada umumnya yang sedang bekerja di kantor.Perempuan yang suka pakai kemeja biasanya taat pada peraturan. Mereka memiliki hidup yang rapi dan terorganisir dengan baik.

Dari segi perilaku, Irene dan Wiwid merasa senang dan menertawakan karena menyindir Rara yang selalu membawa bubur ayam, sedangkan Rara merasa kesal atas ucapan teman-temannya yang menyinggung serta menyindir dirinya. Dari segi dialog atau percakapan:

Irene (teman kantor Rara): “Morning”.

Wiwid (teman kantor Rara): Uwihhh... Bubur lagi ya?”

Irene: “Ra inget lemak! Ehh tapi gak papa deh nutrisi buat ibu hamil”.

Fey (sahabat Rara): “Loh diem aja dikatain ibu hamil?”

Rara: “entar kalau gue protes dikira serba salah”. (dengan nada yang sedikit tegas dan merendah).

Kalimat tersebut menunjukkan sikap Irene dan Wiwid mengomentari makanan yang dibawa oleh Rara dan menyinggung bentuk tubuh dan penampilannya dengan mengejek dan menertawakannya. Dan Rara dianggap seperti ibu hamil karena badannya yang berisi dan gemuk.

Pada scene ini level representasi yang menunjukkan body shaming dalam film “Imperfect” dari segi kamera, teknik pengambilan gambar pada adegan yang pertama menggunakan log shot.

Level Ideologi

Level ideologi bentuk atau tindakan body shaming yang terdapat di dalam film Imperfect, temasuk ke dalam ideologi patriarki. Budaya patriarki adalah sebuah sistem social yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama. Posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan dalam aspek kehidupan. Perempuan selalu digambarkan sebagai symbol keanggunan, kelembutan, atau segala sesuatu yang bergerak lamban. Pada film Imperfect, level ideologi yang ditampilkan adalah patriarki dimana adanya penilaian standar kecantikan perempuan dan tindakan body shaming terhadap pemeran utama yang bernama Rara, dimana Rara selalu mendapat pelecehan dan diskriminasi dari lingkungan sekitarnya mengenai penampilan dan bentuk fisiknya. Rara selalu mendapat ejekan tentang bentuk badannya yang gemuk serta kulitnya yang gelap.

Pembahasan

Dari hasil olah data peneliti, ditemukan beberapa scene yang menggambarkan tentang adanya bentuk-bentuk tindakan body shaming dalam film Imperfect. Body shaming dalam film ini, disampaikan melalui simbol-simbol seperti kostum, riasan, lingkungan, pengambilan gambar, dialog dalam adegan-adegan film ini. Gambaran body shaming dalam film ini yaitu Tindakan yang dialami oleh pemeran utama yang bernama Rara yang selalu mendapat tindakan body shaming secara verbal maupun non verbal.

Bentuk-bentuk body shaming secara verbal yang terdapat di dalam film Imperfect adalah:

Fat Shaming

Fat shaming yaitu istilah yang digunakan untuk tindakan mempermalukan tubuh manusia yang dianggap gemuk, berisi atau besar. Di dalam film Imperfect, pemeran utama bernama yang selalu mendapat tindakan body shaming dari lingkungan sekitarnya digambarkan dengan bentuk badan yang berisi atau gemuk, berbeda dengan pemain-pemain lainnya yang digambarkan dengan postur tubuh yang lebih ideal.

Warna kulit shaming

Tindakan body shaming yang terdapat di dalam film Imperfect yaitu mengacu pada warna kulit shamming, dimana seorang tokoh yang bernama Rara digambarkan dengan perempuan yang mempunyai kulit gelap atau sawo matang berbeda dengan pemain-pemain lainnya yang berdominan berkulit putih atau terang. Sehingga Rara dianggap tidak memenuhi standar kecantikan dan selalu mendapat komentar yang buruk terhadap penampilannya.

Body shaming tidak hanya dilakukan dengan ucapan, namun juga dilakukan langsung ke dalam bentuk tindakan-tindakan yang kurang baik serta kurang menyenangkan bagi orang lain. Tindakan body shaming dalam bentuk ucapan ini, lebih mudah dilupakan daripada tindakan body shaming dalam bentuk tindakan (non verbal). Dalam tindakan non verbal, body shaming yang terdapat di dalam film Imperfect yaitu berupa ekpresi menertawakan seseorang, menatap sinis, sikap yang tidak enak, dan sebagainya.

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan mengenai bagaimana analisis semiotika John Fike tentang body shaming dalam film Imperfect adalah:

  1. Dari segi level realitas yang menggambarkan bentuk tindakan body shaming dalam film Imperfect tersebut tergambar pada gaya berpakaian dan penampilan Rara dengan pemain lainnya. Jadi realitas disini adanya penilaian standar kecantikan terhadap perempuan dan adanya kecemburuan dan keirian terhadap pemain Bernama Rara atau korban body shaming. Dan dari segi percakapan atau dialog juga memperlihatkan representasi atau gambaran berupa kalimat yang mengandung unsur body shaming di dalam film Imperfect seperti: “lho gendutan ya?, inget paha!, kayak paus terdampar, inget lemak!, nutrisi buat ibu hamil, isi kepala aja nggak cukup, penampilan juga penting!”.
  2. Level representasi menggambarkan pengambilan gambar yang terdapat adegan yang mengandung body shaming untuk menunjukkan ekspresi dan situasi kondisi dari objek secara jelas dengan pengambilan gambar secara medium shot, medium close up, close up, dan log shot.
  3. Level ideologi yang ditampilkan dalam film Imperfect adalah ideologi patriarki. Dimana budaya patriarki merupakan sebuah sistem social yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama. Posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan dalam aspek kehidupan. Perempuan selalu digambarkan sebagai symbol keanggunan, kelembutan, atau segala sesuatu yang bergerak lamban. Perempuan yang gemuk dianggap jelek dan kurang sempurna.

References

  1. Rahmani, S. (2019, 12 31). Siapa pun Bisa Menjadi Pelaku dan Korban Body Shaming. Retrieved 3 15, 2020, from yousay.suara.com: https://www.google.com/amp/s/yoursay.suara.com/amp/news/2019/12/31/130104/siapa-pun-bisa-menjadi-pelaku-dan-korban-body-shaming
  2. Rahmawati, P. A. (2019). Upaya Menanggulangi Agresi Verbal terhadap Body Shaming Melalui Konseling Feminis. Tegal: Universitas Pancasakti.
  3. Yarni, D. (2019). Analisis Semiotika Body Shaming dalam Film Greatest Showman. Riau: UIN Sultan Syarif Kasim.
  4. Fitriana, S. A. (2019). Dampak Body Shaming Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah .
  5. Atika, F. N. (2020). Representasi Bullying dalam Film Joker (Analisis Semiotika Model Roland Barthes). Surabaya: UIN Sunan Ampel.
  6. Mubaraq, D. F. (2020). Analisis Teks Media "Sebuah Pengantar Riset Jurnalistik". Parepare,Sulawesi Selatan: IAIN Parepare Nusantara Press.
  7. Fiske. (2020). Model-Model Semiotika. In F. D. Mubaraq, Analisis teks Media "Sebuah Pengantar Riset Jurnalistik" (p. 81). Parepare, Sulawesi Selatan,91132: IAIN Parepare Nusantara Press.
  8. Setiawan, H., Aziz, A., & Kurniadi, D. (2020). Ideologi Patriarki dalam Film (Semiotika John Fiske Pada Interaksi Ayah dan Anak dalam Film Chef). Andharupa:Jurnal Desain Komunikasi Visual dan Multimedia, Vol. 06 No.2.
  9. Simanullang, E. P. (2018). Representasi Poligami dalam Film Athirah (Studi Analisis Semiotika John Fiske). JOM FISIP, Vol.5 Edisi 1.
  10. Kriyantono, R. (2006). Riset Komunikasi "Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Kencana (Divisi dari Prenada Media Group).