At the end of 2016, Muslim religious leaders are under the spotlight in relation to the success of 411 and 212 action calls that demand a judgment on Basuki Cahaya Purnama. This event shows that in this era of digital media, Muslim religious leaders still have an influence to mobilize the masses. Therefore, scholars need to be considered to participate to successing the development programs and become agents of change in the diffusion of innovation. Rural communities need ulama as opinion leaders or information legitimators, especially in the era of digital media that is developing today. Ulama is important to increase knowledge of rural communities including the field of finance and banking.Our Public Service Programme performed in Desa Cikondang, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. In this location there are financial problems in the form of "mobile bank" which is the camouflage of moneylender activity. The program is done in three stages, mapping the digital media access of ulama, mapping the moneylender problem, and mapping the role of ulama in overcoming the problem by utilizing digital media.
Pada akhir tahun 2016, tokoh agama Islam Indonesia mendapat sorotan dari masyarakat. Mereka menjadi pemberitaan di berbagai media terutama setelah adanya aksi 411 dan 212. Aksi 411 dan 212 adalah demonstrasi yang dilakukan oleh umat Islam untuk menuntut diadilinya Basuki Cahaya Purnama atas kasus penistaan agama. Meski tidak ada angka yang pasti tentang jumlah peserta aksi tersebut, namun kedua aksi ini dipastikan sebagai aksi dengan jumlah massa terbanyak di Indonesia, bahkan sholat Jumat pada 212 dinyatakan sebagai Sholat Jumat dengan jamaah yang serupa dengan wukuf di padang Arafah (Fakhrizal, 2016). Banyaknya jumlah massa tersebut salah satunya menunjukkan bahwa seruan para pemuka agama masih diikuti oleh umat (Sudiaman, 2016)[1].
Secara etimologis, istilah ulama yang berasal dari bahasa Arab merupakan bentuk jama’ dari kata ‘alim yang berarti orang yang mengetahui, orang yang memiliki ilmu atau orang pandai atau “orang yang berilmu” atau ilmuwan, baik di bidang agama maupun non-agama. Di tengah masyarakat, ulama biasanya akrab dengan tugas-tugas keagamaan yang terjadi masyarakat. Itu dapat dimaklumi karena ulama dikenal sebagai orang yang ahli tentang agama Islam dan pembimbing umat. Penguasaan tentang ilmu agama merupakan anggapan umum tentang figur seorang ulama, meskipun sesungguhnya pengertian ulama tidak sebatas itu. Ukuran keulamaan dan ketokohan yang diberikan masyarakat atau umat kepada seseorang tokoh pada umum dan dominannya ditentukan oleh bidang keilmuannya, pemikiran, gerakan dan kegiatan serta lingkup komunikasi dan sosialnya. Ketokohan seorang ulama dapat juga ditentukan oleh peran dan fungsinya sebagai pengayom, panutan dan pembimbing di tengah umat atau masyarakat.
Penelitian Hiroko Horikoshi di Jawa Barat (Zuhrah, 2015) mengungkapkan bahwa peran ulama pada era orde baru yang paling bernilai sebagaimana telah berlangsung adalah peran tradisional mereka sebagai penanggung jawab dalam mempertahankan keyakinan[2]. Melalui pengajaran ilmu-ilmu agama, para ulama melestarikan praktik-praktik ortodoksi keagamaan para penganutnya. Sementara peran sekunder mereka adalah keterlibatan dan keprihatinan politik mereka dalam memikirkan nasib masyarakat.
Peran menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 2002:243) adalah aspek dinamis sebuah kedudukan atau status seseorang. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan[3]. Sementara itu, fungsi merupakan sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan sifatnya, pelaksanaannya, ataupun pertimbangan lainnya. Fungsi erat hubungannya satu sama lain untuk dilakukan oleh seseorang dengan peran tertentu yang masing-masing berdasarkan sekelompok aktifitas sejenis menurut sifat atau pelaksanaannya. Dengan kata lain, fungsi merupakan sebuah aspek yang lebih khusus dari sebuah peran tertentu (Sutarto, 1998:26)[4].
Ada dua jenis peranan menurut Soekanto (2002:220)[3], yakni peran normatif dan peran ideal. Peran normatif adalah peran yang telah ditetapkan sebelumnya, sedangkan peran ideal merupakan peran yang diharapkan oleh masyarakat dilakukan oleh seseorang yang memegang peranan. Kemampuan seseorang untuk melaksanakan sebuah peran ideal sangat penting berkaitan dengan pemecahan masalah-masalah atau perubahan keadaan selama ia memegang sebuah jabatan atau status tertentu.
M. Quraish Shihab mengatakan ada empat peran yang melekat dan harus diemban oleh ulama sebagai pewaris nabi, peran tersebut adalah: tabli̅gh, tabayyun, tahki̅m dan uswah. Melalui peran tabli̅gh ulama menyampaikan dakwah Islam, mengajarakan ajaran agama, menyampaikan syariat Islam kepada masyarakat. Melalui peran tabayyun ulama menafsirkan dan menjelaskan al-Qur’an, menafsirkan al-Hadis nabi S.A.W kemudian untuk di ajarkan kepada masyarakat. Melalui peran tahki̅m ulama menggali sumber-sumber hukum Islam untuk melahirkan keputusan dan kepastian hukum. Melalui uswah ulama memberikan contoh teladan dan menjadikan dirinya sebagai teladan yang diwariskan oleh nabi S.A.W (Shihab, 1992:83)[5].
Berbagai penelitian, seperti yang dilakukan oleh Sudarwati (2010), Hafiduddin (2013) dan Zuhra (2015), di lokasi yang berbeda, yakni di Langkat dan Aceh, menunjukkan peran dan fungsi ulama yang berbeda pula. Peran tersebut juga bergeser mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu, adalah penting untuk mengetahui bagaimana peran dan fungsi ulama di Jawa Barat terutama sebagai legitimator informasi pada era digital ini. Ini karena, ulama adalah opinion leader atau agent of change yang dapat turut serta dalam difusi inovasi dan komunikasi pembangunan.
Penelitian sebelumnya yang tim peneliti ini lakukan, berjudul “Pemanfaatan Media Digital pada Masyarakat Agraris di Kabupaten Sumedang” (Mirawati & Karimah, 2015), menunjukkan bahwa masyarakat agraris yang berdiam di pedesaan ternyata telah melek teknologi digital[6]. Dari empat jenis petani, mulai dari petani besar, petani kecil, pengolah tanah, hingga buruh tani, telah memiliki akses terhadap teknologi digital, meskipun dalam kadar yang berbeda-beda. Bahkan media digital telah mempermudah proses memperdagangkan hasil pertanian mereka. Ini menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat pedesaan telah terpengaruh oleh media digital. Dari penelitian ini tim peneliti mengasumsikan bahwa ulama di perdesaan juga memiliki akses terhadap media digital, demikian juga peran dan fungsi mereka sebagai opinion leader yang melegitimasi informasi tidak terlepas dari kemajuan teknologi informasi yang turut menerpa pedesaan.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa peran ulama di setiap daerah ternyata tidak sepenuhnya sama. Penelitian yang dilakukan oleh Fatimah Zuhra, yang berjudul “Pergeseran Posisi Dan Peran Ulama Di Tengah Perkembangan Sosial Budaya Masyarakat” yang dilakukan di Kabupaten Langkat (Zuhrah, 2015) menunjukkan bahwa peran ulama cukup besar dalam menginternalisasi nilai-nilai Islam ke dalam adat masyarakat Melayu[2]. Sebagian dari adat-adat Melayu diatur oleh pihak kesultanan dan ulama, diantaranya mengaji al-Qur’an, tepian mandi, syair dan hikayat, hiburan dan kesenian, pakaian dalam pergaulan, mengirik padi, mendirikan rumah dan lain sebagainya.
Perbedaan peran dan fungsi ulama di setiap daerah salah satunya dikarenakan permasalahan yang berbeda pada setiap daerah tersebut. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di mana ulama merupakan sosok panutan. Hal ini diperkuat dengan adanya Cirebon sebagai kota wali, Tasikmalaya sebagai kota santri, bahkan kini Cianjur juga telah mentasbihkan diri sebagai kota Santri.
Di Cianjur, saat ini di Perdesaan salah satu permasalahan yang sedang marak adalah beredarnya “bank keliling” yang sebenarnya merupakan praktik rentenir. Mereka menggunakan istilah-istilah popular untuk menarik targetnya yang mayoritas adalah ibu rumah tangga. Misalnya mereka menamakan dirinya Bank Hello Kitty, Bank Dhafa, dan nama-nama lain yang dianggap akan familiar dengan Ibu rumah tangga.
Berdasarkan paparan tersebut, maka yang menjadi permasalahan utama adalah “Bagaimana meningkatkan peran dan fungsi ulama dalam melegitimasi informasi yang beredar melalui media digital?” Dari rumusan masalah tersebut diidentifikasi beberapa langkah yang perlu dilakukan:
a. Memetakan akses para ulama di perdesaan Provinsi Jawa Barat terhadap media digital.
b. Memetakan permasalahan keuangan berkaitan dengan maraknya rentenir di perdesaan.
c. Merumuskan peran ulama sebagai opinion leader untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan memanfaatkan media digital.
Kegiatan pengabdian ini dilakukan di Desa Cikondang Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Kegiatan melibatkan delapan ulama yakni ustadz dan ustadzah pada tiga majelis taklim terbesar yang ada di desa ini. Tiga majelis taklim tersebut adalah Majelis Taklim Al Fatima, Majelis Taklim Al Hikmah, dan Majelis Taklim Al Masfu’ah. Selain melibatkan ustadz dan ustadzah, kegiatan pengabdian ini juga melibatkan 30 ibu-ibu anggota majelis taklim. Ibu-ibu ini dilibatkan untuk merumuskan peran ulama dalam mensosialisasikan pengetahuan mengenai keuangan dan perbankan karena ibu-ibu ini adalah target/korban utama dari bank keliling atau rentenir.
Peran dalam mensosialisasikan pengetahuan tentang bank keliling ini perlu memanfaatkan media digital, karena ulama (ustadz/ustadzah) tersebut tidak dapat 24 jam berjaga untuk menerima aduan dan konsultasi langsung, namun mereka dapat memanfaatkan grup-grup percakapan (whatsapp dan bbm) majelis taklim untuk menyampaikan informasi seputar rentenir dan mempersuasi masyarakat agar tidak terbujuk rayu.
Terdapat delapan Ustadz/Ustadzah yang menjadi informan program ini:
1.Ustadzah Aisyah
Ustadzah Aisyah berusia 40 tahun, ia mengajar mengaji sejak duduk di bangku SMA. Selain menjadi guru mengaji secara cuma-cuma di sekolah agama yang didirikan Ayahnya, Ia juga merupakan guru tetap di sebuah SMP negeri di Kecamatan tersebut. Pendidikan terakhir yang ditempuh Ustadzah Aisyah adalah S1 Bahasa Inggris dari Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon.
Ustadzah Aisyah menggunakan smartphone berbasis android. Media ini digunakan terutama untuk koordinasi kerja dengan sesama guru di SMP tempat dia mengajar juga untuk berkoordinasi dengan pengurus majelis taklim.
2.Ustadz Bunjamin
Ustadz Bunjamin berusia 61 tahun. Merupakan salah satu pelopor sekolah agama di desa Purwawinangun. Beliau berprofesi formal sebagai guru Sekolah Dasar Negeri. Ustadz Bunjamin saat kecil menempuh pendidikan di pesantren, dan menamatkan beragam kitab. Beliau pula yang mendirikan DKM di masjid yang ada di desanya.
Ustadz Bunjamin hanya memiliki telepon rumah untuk berkomunikasi. Ia memilih tidak menggunakan smartphone selain merasa tidak membutuhkan juga merasa sudah terlalu tua untuk mempelajari teknologi pintar tersebut. Selama ini, untuk koordinasi kerja di sekolah ia mengandalkan ustadzah Aisyah yang merupakan anaknya untuk menyampaikan apabila informasi penting di grup whatsapp.
3.Ustadzah Karnimah
Ustadzah Karnimah awalnya tidak mengira bahwa dia akan menjadi guru ngaji bagi ibu-ibu, karena pendidikan formalnya hanya tamat Sekolah Dasar. Pendidikan agama yang ditempuhnya adalah mengaji di kampungnya di Sumedang. Namun, sebagai istri seorang polisi, Ia diminta oleh Kepala Desa untuk menjadi kader penggerak PKK.
Memanfaatkan bekal ilmu agama yang diperolehnya dari pendidikan informal, Ibu Karnimah mengajar ibu-ibu mengaji dasar. Selanjutnya, beliau terus belajar dengan cara membaca buku-buku agama agar pengetahuan agamanya terus bertambah. Ustadzah Karnimah menggunakan smartphone berbasis android. Ia membentuk group whatsapp yang berisi ibu-ibu majelis taklim.
4.Ustadzah Astuti
Ustadzah Astuti berusia 43 tahun. Waktunya mayoritas digunakan untuk mengajar TK Yayasan Al Fatimah. Ia juga mengajar mengaji ibu-ibu di Majelis Taklim Al Fatimah. Yayasan Al Fatimah merupakan yayasan yang telah berdiri sejak tahun 1980. Selain menyenggarakan pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Majelis Taklim ibu-ibu, yayasan ini juga mendirikan perpustakaan desa sebagai sumber belajar ibu-ibu, koperasi produk lokal desa Cibeber Cianjur.
Ustadzah Astuti memiliki smartphone. Ia memanfaatkan aplikasi whatsapp dan bbm untuk berkoordinasi dengan anggota majelis taklim dan mengelola kegiatan-kegiatan di yayasan Al Fatimah.
5.Ustadzah Emilia
Ustadzah Emilia berusia 54 tahun, sering di panggil sebagai ibu RT karena suaminya yang menjabat sebagai ketua RT. Ustadzah Emilia yang merupakan tamatan SD mendapatkan pendidikan agamanya dari orang tuanya yang merupakan salah satu pendiri Yayasan Al Fatimah. Yayasan Al Fatimah telah memiliki bangunan permanen untuk TK, majelis taklim, dan koperasi. Bahkan saat ini mereka sedang mengembangkan bangunannya untuk menjadi gedung pertemuan yang dapat disewakan.
Ustadzah Emilia memiliki smartphone berbasis android pemberian anaknya. Ia memiliki group majelis taklim dan group keluarga. Namun karena merasa sudah tidak muda lagi, ia malas untuk menggunakannya. Biasanya ia meminta bantuan anak atau cucunya untuk membacakan pesan-pesan yang masuk.
6.Ustadzah Ema
Ustadzah Ema berusia 42 tahun. Ustadzah yang pekerjaan formalnya sebagai guru TK ini merupakan sarjana pendidikan Islam dari Universitas Syamsul Ulum Sukabumi. Ia merupakan penggerak muda di majelis taklim Al Hikmah dan Al Masfiah Cibeber Cianjur. Majelis taklim ini merupakan majelis taklim yang didirikan oleh kakeknya. Saat ini telah memiliki bangunan permanen hasil wakaf warga desa.
Ustadzah Ema menggunakan smartphone berbasis android. Media ini digunakan terutama untuk koordinasi kerja dengan sesama guru di TK tempat dia mengajar. Koordinasi kerja dilakukan melalui group whatsapp. Ustadzah Ema memiliki akun facebook namun tidak terlalu sering mengaksesnya. Alasannya jarang mengakses facebook adalah karena tidak memiliki banyak waktu luang.
7.Ustadzah Kokom
Ustadzah Kokom baru berusia 35 tahun, merupakan adik dari Ustadzah Ema. Ia menamatkan pendidikan dan mengajar di tempat yang sama dengan kakaknya. Demikian pula, ia bergiat di majelis taklim Al Hikmah dan Al Masfiah Cibeber Cianjur.
Seperti halnya Ustadzah Ema, Ustadzah Kokom menggunakan smartphone berbasis android. Media ini digunakan terutama untuk koordinasi kerja dengan sesama guru di TK tempat dia mengajar. Koordinasi kerja dilakukan melalui group whatsapp. Ustadzah Kokom memiliki akun facebook namun tidak terlalu sering mengaksesnya. Alasannya jarang mengakses facebook adalah karena tidak memiliki banyak waktu luang.
8.Ustadz Rahmat
Ustadz Rahmat berusia 40 tahun. ia merupakan lulusan sarjana pendidikan Islam di Universitas Syamsul Ulum Sukabumi. Selain pekerjaan formalnya sebagai guru SDN Tegal Sari, beliau aktif mengajar sekolah agama Desa Cikondang Cibeber juga mengajar mengaji ibu-ibu di Majelis taklim Al Hikmah, Al Fatimah dan Al Masfiah.
Ustadz Rahmat menggunakan smartphone berbasis android. Media ini digunakan terutama untuk koordinasi kerja dengan sesama guru di SD tempat dia mengajar. Koordinasi kerja dilakukan melalui group whatsapp. Ustadz Rahmat memiliki akun facebook namun tidak terlalu sering mengaksesnya. Alasannya jarang mengakses facebook adalah karena tidak memiliki banyak waktu luang dan merasa tidak perlu.
No | Tipe Kepemilikan | Deskripsi |
1 | Tidak Memiliki Smartphone | Ustadz di atas 60 tahun, sebenarnya mampu untuk memiliki namun merasa tidak memerlukan |
2 | Memiliki Smartphone namun tidak dapat menggunakannya | Ustadz/ustadzah di atas 50 tahun, biasanya handphone pemberian anak/keluarga atau bekas anak karena anak membeli tipe terbaru |
3 | Memiliki Smartphone dan Memanfaatkan Aplikasi Percakapan Online saja | Ustadz/ustadzah di bawah 50 tahun, memanfaatkan aplikasi percakapan (whatsapp) untuk koordinasi kerja formal dan untuk group majelis taklim |
4 | Memiliki Smartphone, memanfaatkan aplikasi percakapan online dan media sosial | Ustadz/ustadzah di bawah 50 tahun, memanfaatkan aplikasi percakapan (whatsapp) untuk koordinasi kerja formal dan untuk group majelis taklim. Media sosial, terutama facebook hanya sambil lalu dan jarang diakses karena keterbatasan waktu dan dirasa tidak penting |
Sementara itu, berikut pengkategorian tinggi rendahnya akses media digital:
Sementara itu, bagi anggota majelis taklim, apabila dilihat dari segi pemanfaatan fitur dan aplikasi yang bisa digunakan dalam smartphone-nya, mereka mayoritas menggunakan fitur telepon, sms, kamera, game, internet, musik, dan media sosial. Mereka sudah familiar dengan media sosial dan percakapan online seperti WhatsApp, Facebook, dan BBM. Sebanyak 73.3% diantara mereka yang sudah mempunyai akun WhatsApp dan Facebook. Meski sedikit, 6,7%, anggota majelis taklim telah aktif menggunakan media sosial lainnya yaitu Instagram, Line, dan Path.
Ibu-ibu mengakui bahwa grup Majlis Ta’lim mempunyai beberapa grup aplikasi percakapan online, terutama grup yang terdapat di WhatsApp, Facebook, dan Blackberry Messenger. Selain menggunakan media sosial sebagai media berkomunikasi, ibu-ibu Majlis Ta’lim juga menggunakan media sosial sebagai media untuk mencari, menambah, dan mendapatkan informasi – walaupun, masih banyak juga ibu-ibu yang mengandalkan televisi sebagai media dimana mereka mendapatkan informasi.
Ibu-ibu majelis taklim bahkan mengetahui Isu-isu terkini yang beredar di media sosial, misalnya isu mengenai beras plastik, isu vaksin MMR tidak halal, isu First Travel, dan isu-isu lain yang berkaitan dengan ibu rumah tangga dan juga dunia selebritis.
Peran ustad/ustadzah sebagai pemuka agama di Majlis Ta’lim masih diakui sangat kuat oleh penduduk setempat, terutama oleh ibu-ibu Majlis Ta’lim.. Hal ini dibuktikan dengan ibu-ibu Majlis Ta’lim Al-Hikmah yang masih berkonsultasi kepada ustadz / ustadzah di daerahnya seputar permasalahan sehari-hari baik yang terjadi nyata di lingkungan mereka maupun tentang isu-isu terkini yang beredar di media sosial.
Beberapa topik pembicaraan yang dibahas dan dikonsultasikan biasanya seputar cara mendidik anak, kenakalan remaja, hukumnya meminjam pada koperasi maupun kepada rentenir, dan juga tentang muslim Rohingnya. Biasanya ustad / ustadzah setempat tidak langsung membenarkan ataupun menyalahkan isu yang beredar tersebut, namun beliau memberikan tanggapan dengan menerangkan hadist maupun dalil yang berkaitan dengan isu yang sedang dibahas. Kemudian ustad / ustadzah akan memberi pengarahan serta saran mengenai apa yang harus dilakukan dalam menanggapi masalah yang sedang dihadapi atau isu yang sedang beredar. Ibu-ibu Majlis Ta’lim Al-Hikmah juga cenderung lebih mempercayai perkataan yang diberikan oleh Ustad / ustadzah dibandingkan dengan informasi yang didapat melalui media sosial, mereka mengatakan bahwa ustad/ustadzah dianggap lebih kompeten dalam menyampaikan informasi karena semua informasi didapat melalui Al-Quran, Hadist, maupun Dalil. Sedangkan internet dianggap tidak selalu valid karena banyaknya informasi yang tidak benar terpampang melalui internet / media sosial.
Selain ustad/ustadzah, ibu-ibu Majlis Ta’lim juga biasa berkonsultasi dengan keluarga, teman, bidan, guru, juga kepada kader posyandu. Mereka akan memilih siapa yang lebih kompeten untuk menyampaikan pendapat sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Seperti misalnya mereka akan memilih bidan untuk dijadikan tempat berkonsultasi seputar kesehatan, mereka akan berkonsultasi kepada guru mengenai masalah pendidikan anaknya, dan lain-lain.
Beredarnya isu-isu terkini, mereka dapat melalui beberapa informasi dari WhatsApp dan Google yang dibaca oleh satu orang kemudian disampaikan secara langsung kepada warga lain. Contohnya isu pencurian dan penipuan terbaru dengan cara menarik perhatian warga sehingga mereka keluar rumah dan pelaku kejahatan pun masuk ke dalam rumah. Terkait informasi yang telah didapat dari berbagai sumber, ibu-ibu Majelis Ta’lim ini bertanya dan berkonsultasi lagi kepada ustad yang ada disana. Seperti pandangan mereka tentang kenakalan remaja yang terjadi di lingkungan sekitar, rentenir yang menyediakan jasa pinjam uang, serta cara mendidik anak dan membatasinya dalam penggunaan handphone agar tidak menjadi kegiatan yang negatif.
Ustad/ Ustadzah yang ada di Majelis Ta’lim ini cukup inisiatif karena memulai diskusi serta membahas mengenai kasus terkini yang terjadi di masyarakat. Sehingga ibu-ibu yang memiliki kebingungan pun mendapat pernyataan benar atau salah mengenai isu yang terjadi. Benar atau tidaknya isu yang terjadi berpatok kepada Al-Quran. Yang sempat menjadi bahasan terakhir di Majelis Ta’lim ini ialah mengenai warga Islam yang ada di Rohingnya. Tidak jarang pula ibu-ibu menanyakan hal-hal yang terjadi selain kasus nyata seperti kejadian-kejadian yang ada di televisi sebagai contoh peristiwa yang ada di serial Dunia Terbalik dapat menjadi bahasan ibu-ibu serta ustad di Majelis Ta’lim ini.
Saat ditanya mengenai pentingnya peran ustad sebagai penyampai informasi di kalangan ibu-ibu majelis ta’lim, mereka mengatakan bahwa ustad/ ustadzah disana memegang peran penting dan masih sangat dibutuhkan sebagai ‘penyambung lidah masyarakat’, dari sini dapat dilihat bahwa ustad sebagai saluran informasi dari berbagai pihak dan bermuara kepada masyarakat masih berpengaruh besar kepada masyarakat. Mereka pun mengatakan bahwa penyampaian informasi langsung oleh pemerintah dirasa perlu tetapi tetap dengan andil ustad didalamnya.
Fitur aplikasi yang digunakan ibu-ibu pengajian sangat beragam. Ada yang menggunakan handphone mereka untuk selfie, mendengarkan musik, membaca Al-Quran, internetan, dan lain-lain. Lima fitur yang paling banyak digunakan adalah telepon (80%), kamera (75%), dan SMS (75%). Kemudian diikuti oleh internet (40%) dan mendengarkan musik (35%). Selain lima fitur yang paling banyak digunakan, peneliti juga menemukan bahwa ibu-ibu pengajian di kedua desa juga suka bermain games, menggunakan kamus online, dan mendengar radio melalui smartphone mereka.
Media Sosial | Persentase |
70% | |
40% | |
BBM | 35% |
Line Messenger | 15% |
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, Whatsapp (70%), menjadi media yang paling banyak digunakan untuk menjalin koneksi dengan keluarga, alumni, atau grup PKK. Selanjutnya, 40% ibu-ibu menggunakan Facebook, sementara 35% menggunakan Blackberry Messenger, dan 15% sisanya menggunakan Line Messenger. Menarik untuk diketahui bahwa sebagai pengguna media sosial yang cukup aktif, responden juga sering membagikan informasi yang mereka peroleh dari internet kepada peer group mereka melalui WhatsApp group atau Facebook group.
Permasalahan keuangan dan perbankan yang sedang marak terjadi di Kecamatan Cibeber adalah “bank keliling”. Bank keliling ini sebenarnya tak lain adalah rentenir. Biasanya bank keliling beroperasi dengan cara seorang atau dua orang pelaku menggunakan sepeda motor berkeling di desa. Mereka mendatangi ibu-ibu yang sedang berkerumun di warung, di depan sekolah dasar, atau di rumah warga.
Mereka menawarkan kepada ibu-ibu untuk meminjam uang yang dapat dicicil “murah” per hari. Jumlah pinjaman tidak besar, biasanya cukup untuk membeli alat rumah tangga, baju, atau handphone, yakni berkisar Rp 200.000 hingga Rp 1.000.000. Pinjaman diterima setelah dipotong administrasi 10%. Sementara itu pengembaliannya adalah sekitar 10% perbulan. Cicilan harian memang dirasa murah yakni mulai 10.000 per hari. Namun demikian, biasanya sebelum hutang pertama lunas mereka sudah akan menawari lagi untuk menambah pinjaman.
Masyarakat rata-rata kesulitan mengembalikan karena yang meminjam adalah ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan dan hanya mengandalkan nafkah dari suami. Hutang tersebut akan terus menumpuk dari waktu ke waktu. Dari Rp 200.000 dalam tiga bulan menjadi sekitar Rp 300.000, dari Rp 1.000.000 menjadi 1.331.000 atau bahkan lebih. Dalam setahun hutang Rp 1.000.000 bisa menjadi sekitar Rp 3.137.000. Jumlahnya menjadi berlipat ganda karena sistem bunga berbunga. Pada akhirnya, mereka terkadang terpaksa harus merelakan barang berharga mereka digunakan untuk membayar, bahkan ada 3 warga desa yang harus menjual rumahnya untuk menutupi hutang yang terus bertumpuk.
Para ustad dan ustadzah sangat bersedia untuk membantu menyadarkan masyarakat akan bahaya rentenir. Mereka telah mencoba menjelaskan dari sisi agama. Namun demikian, mereka merasa bahwa permasalahan keuangan dan perbankan kontemporer tidak bisa diselesaikan hanya berdasarkan dalil Al Quran dan Hadist.
Para ustadz dan ustadzah merasa bahwa mereka dapat maksimal melakukan penyadaran terhadap masyarakat apabila memiliki kredibilitas atau pengetahuan yang mapan dalam hal keuangan dan perbankan. Oleh karena itu, mereka berharap pemerintah atau perbankan dapat mengundang mereka atau memberikan pelatihan pada mereka sebagai bekal untuk menyadarkan masyarakat.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan angota majelis taklim yang menyatakan bahwa warga desa yang meminjam kepada rentenir adalah rata-rata bukan anggota majelis taklim. Mendekati mereka tidak cukup dengan dalil Al Quran, namun dengan pengetahuan yang mapan dan kredibel mengenai perbankan. Bahkan, biasanya orang-orang yang berhutang ini “menantang” ustadz/ustadzah untuk menunjukkan jalan lain selain berhutang pada rentenir. Seperti dipaparkan oleh Ibu Mimih: “Kasian itu Ustadzah Emilia, waktu itu nasehatin Ibu-ibu eh malah dibalikin gini: emangnya bu Ustadzah bisa ngasi kita pinjaman. Sama aja kan bank biasa juga pakai bunga”
Ustadzah Emilia sebenarnya tahu bahwa sistem bunga rentenir berbeda dengan bunga perbankan, namun pengetahuan perbankannya yang tidak tinggi membuat ia kesulitan dalam menjelaskan. Oleh karena itu, para ustadz dan ustadzah berharap pemerintah dan perbankan dapat melatih mereka agar mereka dapat menjelaskan dengan benar kepada masyarakat.
Para ustadz dan ustadzah berpendapat bahwa tindakan kuratif harus dilakukan tatap muka, namun tindakan preventif dapat dilakukan dengan memanfaatkan media digital. Pemberian pengetahuan dan pemahaman tentang keuangan dan perbankan dalam menghindari rentenir dapat dilakukan secara intensif dengan memanfaatkan grup-grup media sosial dan percakapan online, baik itu facebook, whatsapp, maupun BBM messanger.
Akses terhadap media digital/smartphone terdiri dari: 1) Ustadz/ustadzah usia lebih dari 55 tahun, akses rendah. Mereka memiliki namun meminta bantuan orang lain untuk mengoperasikan aplikasi chatting, terutama whatsapp, tidak mengakses media sosial. 2) Ustadz/ustadzah kurang dari 55 tahun, akses tinggi. Mereka memiliki, dapat mengoperasikan, aktif menggunakan media aplikasi chatting (whatsapp, bbm), memanfaatkan media sosial (facebook). Ulama di perdesaan bukan hanya menjalani peran normatif, juga peran ideal. Peran ideal diharapkan oleh masyarakat dilakukan oleh seseorang yang menyandang status sebagai Ustadz/Ustadzah berkaitan dengan pemecahan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat desa. Kepada Ustadz/Ustadzah, Masyarakat mempercayakan pemecahan masalah-masalah keagamaan. Namun apabila Ustad/Ustadzah tersebut memiliki pekerjaan formal atau keahlian lain maka kepercayaan masyarakat semakin tinggi. Ustadz yang guru SMP menjadi tempat bertanya pula masalah dan isu-isu pendidikan. Ustazah yang juga kader PKK dan kader posyandu dipercaya untuk bertanya tentang isu-isu kesehatan (contohnya isu-isu tentang vaksin yang beredar di facebook dan whatsapp). Ustadz/Ustadzah merasa perlu/sangat bersedia untuk mendapatkan pembekalan formal mengenai berbagai permasalahan yang ada di masyarakat, agar mereka kredibel dan dipercaya masyarakat selain aspek keagamaan. Contohnya: Di Lokasi Cianjur, ustadz/ustadzah merasa perlu dan bersedia mendapatkan pelatihan tentang perbankan karena banyak warga desa yang terjerat hutang piutang pada bank keliling, bahkan ada 4 warga yang harus menjual rumah padahal awal hutangnya hanya untuk beli HP. Ketika Ustadz/Ustadzah memberikan nasehat, warga tidak menggubris karena menganggap ustadz/ustadzah tersebut tidak kredibel dibidang keuangan.
[1]M. Sudiaman, “Aksi Umat dan Catatan dalam Sejarah,” 2016. [Online]. Available: http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/12/02/ohk9yp319-aksi-umat-dan-qcatatan-dalam-sejarah. [Accessed: 10-Jan-2017].
[2]F. Zuhrah, “Pergeseran Posisi Dan Peran Ulama Di Tengah Perkembangan Sosial Budaya Masyarakat,” J. Penelit. Medan Agama, vol. 7, no. 1, pp. 31–47, 2015.
[3]S. Soekanto, Teori Peranan Jakarta: Bumi Aksara. Jakarta: Bumi Aksara, 2002.
[4]Sutarto, Dasar-Dasar Kepemimpinan Administrasi, Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1998.
[5]M. Q. Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat Bandung: Mizan. Bandung: Mizan, 1992.
[6]I. Mirawati and K. E. Karimah, Pemanfaatan Media Digital Oleh Masyarakat Perdesaan di Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat. 2015.