This scientific article presents the development and implementation of a community engagement project centered around the creation of "Prehistoric Rain Cookies." The project was undertaken in Desa Lempong, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, situated in the vicinity of Mount Lawu, Indonesia. The primary goals of the project were twofold: first, to incorporate geological inspiration from ancient volcanic rock formations into culinary art, specifically in the form of unique cookies; and second, to foster geotourism combined with ecotourism as a means of empowering the local community socially, culturally, and economically. Through a series of direct interviews with the Lempong community, the most sought-after products by tourists visiting Mount Lawu were identified. Subsequently, the selected product, "Prehistoric Rain Cookies," was developed to resemble the accretionary lapilli rock formations found in the area. The cookies were packaged in two distinct shapes to resemble the original rock formations further. Legal procedures were followed, including copyright registration, to ensure the protection of the cookie creation. The project concluded with the handover of the cookies to the Lempong Village authorities, aiming to inspire local innovation, enhance cultural and economic growth through ecotourism, and serve as a geological educational tool for visitors to Mount Lawu. The implications of this project highlight the potential for incorporating scientific research findings into culinary creations to promote local empowerment and stimulate geotourism initiatives.
Highlight:
Keyword:
Lawu Ancient Rain Cookies, Geological-Inspired Culinary Creation, Geotourism, Socio-Cultural Empowerment, Local Economic Development
Geliat konservasi alam di Indonesia kian marak. Kini, makin banyak nya daerah yang memiliki status sebagai Kawasan Cagar Alam Geologi (KCAG) ataupun sebagai Geoheritage (Warisan Alam) dengan mengepankan potensi yang dimiliki daerah masing-masing. Status tersebut memicu masyarakat berlomba-lomba menggali potensi lokal yang ada khususnya potensi khas daerah yang memiliki nilai ekonomis, baik untuk dikembangkan di bidang geowisata, agrowisata, ekowisata bahkan eduwisata.
Lawu telah lama dikenal menjadi destinasi experience tour yang mengedapankan petualangan dan sensasi dalam menikmati sebuah wisata, khususnya wisata pendakian gunung. Ketika kondisi Lawu tidak terlalu aktif, banyak para pendaki yang datang baik dari lokal, nasional hingga pendaki internasional yang datang berkunjung. Peluang ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk membuat cenderamata atau oleh-oleh khas Lawu bagi wisatawan yang berkunjung.
Penulis melakukan penelitian di bagian barat laut Gunung Lawu. Ketika melakukan eksplorasi di Daerah Lempong, dan sekitarnya, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, Penulis menjumpai batuan piroklastik hasil erupsi dari gunungapi yang berukuran halus dengan struktur yang tidak biasa yakni muncul granule berwarna gelap di antara massa dasar batuan yang berwarna lebih cerah. Saat itu muncul keinginan untuk menuangkan inspirasi batuan di alam ke dalam seni kreasi masakan, dalam hal ini seni kreasi kuliner kue. Selain itu, sebagai wujud pembelajaran geologi (batuan) kepada masyarakat luas dalam konsep geowisata yang dipadukan dengan ekowisata dengan harapan dapat mendukung aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal.
Metode pengabdian kepada masyarakat dengan tema Cookies Hujan Purba mengedapankan hasil penelitian di daerah sekitar Gunung Lawu untuk dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar, khususnya di Desa Lempong. Metode yang dilakukan melalui dalam beberapa tahapan meliputi:
a. Direct Interview
Pada tahapan ini Penulis melakukan komunikasi secara langsung kepada warga masyarakat Lempong terkait trend (pola) ataupun kecenderungan produk yang paling diminati oleh wisatawan berkunjung ke Gunung Lawu Metode ini digunakan untuk menggali informasi lebih dalam mengenai jenis produk yang paling diminati dan paling mudah dikembangkan oleh masyarakat
b. Selection
Tahapan berikutnya Penulis menyeleksi jenis-jenis produk yang cocok untuk dibudidayakan dan tentunya mampu mewakili jati diri Lempong sebagai bagian dari Gunung Lawu. Awalnya Penulis memiliki ide untuk membuat produk sebuah kain batik khas Lempong, namun dikarenakan masyarakat Lempong menilai produk makan lebih mudah untuk diproduksi, bahan nya pun mudah didapatkan bahkan dengan harga bahan baku terjangkau hingga didukung cenderung lebih mudah untuk dipasarkan, sehingga disepakati bahwa produk yang akan dibudidayakan adalah produk makanan untuk mendukung ekowisata Lempong.
c. Legality
Selanjutnya memasuki tahapan pendaftaran Hak Cipta untuk Cookies Hujan Purba ke DJKI (Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual) yang berada di bawah Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia sebagai bentuk legalitas. Sertifikat Cookies Hujan Purba diterbitkan oleh DJKI tertanggal 5 Juli 2021 yang berlaku selama 70 (tujuh puluh) tahun sejak diterbitkan.
d. Legacy
Tahapan akhir dari kegiatan pengabdian masyarakat adalah dengan melakukan penyerahan produk kepada Perangkat Desa Lempong berserta masyarakat sekitar dengan harapan ide dan produk yang diciptakan oleh Penulis dapat menjadi karya yang dapat dikembangkan oleh masyarakat Lempong guna pengembangan aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal melalu ekowisata Lempong ke depan nya, selain juga menjadi sarana edukasi geologi bagi masyarakat dan wisatawan yang berkunjung ke Gunung Lawu.
Inspirasi CookiesHujan Purba diawali ketika menjumpai batuan accretionarylapily(lapili akresi) saat melakukan penelitian di Desa Lempong, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah dan secara geografis berada pada 07o 30’ 00’’ - 07o 35’ 00’’ LS dan 111o 10’ 00’’ – 111o 50’ 00’’ BT. Daerah penelitian sendiri berada di bagian barat laut dari Gunung Lawu dan singkapan batuan accretionary lapily (lapili akresi) merupakan jejak yang tertinggal ketika terjadi hujan purba Gunung Lawu bersamaan dengan aktivitas erupsi vulkanik masa lampau sekitar Kala Pleistosen Tengah atau 780.000 hingga 126.000 tahun yang lalu.
Batuan hujan purba, dalam hal ini adalah accretionary lapily, termasuk jenis batuan piroklastik hasil erupsi gunungapi berupa debu vulkanik membeku di atas udara pada saat terjadinya letusan gunungapi aktif yang disertai dengan terjadinya hujan. Accretionary lapily (lapili akresi) memiliki mineral yang belum membentuk kristal utuh (seperti plagioklas dan hornblende) karena saat mendarat lapili akresi belum membeku sempurna (unconsolidated) dengan ukuran butir berkisar 4 – 32 mm dan struktur batuan masif, hipokristalin, didominasi mineral penyusun gelas dan kristal dengan tekstur fragmental. Singkapan batuan accretionary lapily yang dijumpai melampar di atas batuan karbonat (batugamping) dengan ketebalan berkisar 2 hingga 4 meter baik dalam keadaan lapuk maupun dalam keadaan segar di daerah perbukitan batugamping dengan vegetasi lebat yang didominasi oleh pepohanan non budidaya.
Pada saat erupsi, diperkirakan Gunung Lawu Tua melontarkan uap air, debu dan partikel vulkanik lainnya ke angkasa secara masif hingga membentuk kolom letusan. Di dalam kolom letusan terjadi ionisasi antar partikel dengan memisahkan elektron yang terikat pada partikel tersebut dengan perantara energi potensi suatu massa dimana atom, akibat suhu yang tinggi, memiliki energi yang kuat untuk melempar keluar elektron yang terikat lemah dan di saat yang sama ada atom yang ingin mengambil elektron baru yang dibebaskan. Hasil tersebut menciptakan sejumlah besar ion positif dan ion negatif kemudian memisahkan kedua ion tersebut dengan jarak yang cukup sehingga mendapatkan beda potensial listrik yang akan menyebabkan sambaran petir.
Selain fenomena petir vulkanik, pada kolom erupsi kerap terbentuk bulatan-bulatan kecil abu vulkanik akibat interaksi antara gaya elektrostatis dan kondisi kelembaban. Kelembaban dapat dipengauhi oleh interaksi dengan air (umumnya air kawah) sehingga sering diasosiasikan dengan letusan freatomagmatik. Hal ini pernah terjadi pada 10 Desember 2017 ketika Gunung Agung meletus dan mengeluarkan hujan lapili berukuran seperti lada putih. Kelembaban pun dapat bersumber pada kelembaban meteorologis seperti abu yang disemburkan berinteraksi dengan awan hujan. Ketika kondisi terpenuhi, maka kumpulan abu akan menjadi berbentuk butiran bulat yang disebut lapili akresi (accretionary lapily).
Cookies hujan purba dibuat semirip mungkin dengan batuan lapili akresi yang nampak berwarna abu-abu terang kecoklatan dan dihiasi oleh tekstur titik-titik bulat kecil berwarna abu-abu gelap. Kemudian cookiesdikemas menjadi 2 (dua) bentuk yakni bentuk setengah bulat (spherical) agar memudahkan saat dikonsumsi dan bentuk lempeng / persegi (square) agar visualisasi nya nampak serupa dengan batuan lapili akresi.
FILOSOFI KUE COOKIES HUJAN PURBA adalah “mengikis kesedihan”. Hal itu berangkat dari makna kehadiran hujan itu sendiri yang jatuh dari langit ke bumi memberi kesejukan ketika kemarau melanda. Dianalogikan saat seseorang bersedih atau berduka dengan segudang masalah dalam hidupnya, satu gigitan manis dari kue hujan purba mempu memberikan sedikit kesenangan yang akan menghapus kesedihan tersebut perlahan demi perlahan seperti rintik hujan menyirami bumi.
Cookies Hujan Purba Lawu, hasil dari pengabdian kepada masyarakat berbasis penelitian di Desa Lempong, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, merupakan inovasi makanan yang terinspirasi oleh lingkungan alam setempat. Ide untuk menciptakan cookies ini muncul saat penulis menemukan batuan lapili akresi yang terbentuk selama erupsi Gunung Lawu pada Kala Pleistosen Tengah. Dalam rangka mendukung aspek pemberdayaan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat lokal, cookies ini diharapkan dapat menjadi simbol edukasi geologi yang menyentuh masyarakat luas. Implikasi dari penelitian ini menunjukkan adanya potensi dalam memanfaatkan sumber daya alam lokal untuk menciptakan produk bernilai tambah, sambil menyebarkan pengetahuan geologi kepada masyarakat. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mengeksplorasi dampak sosial, budaya, dan ekonomi dari pengembangan produk berbasis sumber daya alam lokal, serta untuk memperluas pemahaman tentang nilai edukatif dalam konteks geologi.