The Village Head Election is a form of village-level democracy, the Village Head Election in 2020 is very important to note its implementation by implementing the Health protocol. In particular, the village head election in Sidoarjo which was held in the midst of the Covid 19 Pandemic this year was not only an implementation of political rights, but also included the community's right to life which was threatened. The purpose of this study is to analyze the implementation of the Pilkades during the COVID-19 pandemic in villages in the Sidoarjo district from the perspective of Human Rights and also to analyze the pattern of implementation of the Pilkades during the pandemic in Sidoarjo district villages according to human rights. This type of research is sociological juridical, where this research serves to see the law in a real sense and also to see how the law works in society. From the results of the study, it was found that from the four samples of villages that had implemented health protocols in the Pilkades on December 20, 2020, so that the application of a health protocol that guaranteed political rights and the right to life simultaneously could be used as a pattern for implementing the Pilkades in the perspective of human rights in the future which would not only be applied to the Pilkades. but also in the E Voting Pilkades.
Tahun 2020 telah mengakibatkan kekhawatiran bagi dunia tanpa terkecuali negara indonesia. Hal ini diakibatkan dengan banyaknya korban jiwa yang terjangkit ataupun meningggal karena Covid 19, hal ini juga berimbas tidak hanya pada ekonomi indonesia. Namun, juga berimbas pada aktivitas politik indonesia yang berupa pemilihan umum dibeberapa wilayah harus mengundur pelaksanaan pemilihan umum. Pemilu merupakan perwujudan dari pelaksanaan kedaulatan masyarakat indonesia, dalam hal ini khususnya kabupaten sidoarjo yang harus menunda pelaksanaan pemilihan kepala desa karena menimbulkan polemik yaitu terkait kemunculan klaster dari pilkades. Akibatkannya, tahapan pelaksanaan pilkades di sidoarjo harus ditunda dari 30 maret sampai 26 oktober 2020 karena Pandemi Covid 19. Penundaan tersebut dilakukan agar mencegah timbulnya klaster baru Covid 19 dan juga mengantisipasi apabila terjadi la nina di sidoarjo.[1] Kekhawatiran munculnya klaster pilkades di sidoarjo merupakan hal yang dapat dikatakan sebagai hal yang lumrah mengingat Virus Covid 19 sudah memakan banyak korban. Apabila pelaksanaan pemilihan kepala desa tetap dilaksanakan dan menimbulkan semakin banyaknya kasus Covid 19 Pemerintah dapat dikatakan mempertaruhkan Hak Hidup masyarakatnya demi menjalankan Hak Politik sehingga menimbulkan potensi melanggar Hak Asasi Manusia. Akan tetapi apabila peleksanaan pemilihan kepala desa yang awalnya ditunda menjadi tidak dilaksanakan, maka pemerintah dapat dikatakan tidak menjalankan Hak Politik sehingga berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia juga.[2] Hal itu merupakan prinsip indivisibility yang berarti suatu hak tidak ada yang lebih utama dari hak lainnya, karena suatu hak juga tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hal ini dapat diartikan Hak Hidup dan juga Hak Politik harus tetap dijalankan dalam pemilihan kepala desa di sidoarjo walaupun di tengah kondisi pandemi virus Covid 19.
Secara teori Hak hidup merupakan Hak Non Derogable right yang berarti suatu hak yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apapun.[3] Sehingga seharusnya pelaksanaan pilkades harus ditunda sampai pandemi virus covid 19 tidak membahayakan nyawa dari masyarakat, sedangkan Hak Politik merupakan Hak Derogable Right yang artinya hak tersebut masih bisa dikurangi. Dengan demikian Hak Hidup lebih diutamakan daripada Hak Politik. Akan tetapi, pada pelaksanaan pilkades sidoarjo pada tanggal 20 desember 2020 pemerintah telah membuat sebuah terobosan baru agar hak hidup dan hak politik dapat dijalankan secara bersamaan yaitu dengan membuat beberapa regulasi pilkades di tengah pandemi covid 19. Beberapa regulasi tersebut adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.6 Tahun 2020 tentang pilkada dalam kondisi pandemi covid 19,Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 141/5483/BPD tertanggal 10 Desember 2020, Peraturan Bupati Sidoarjo No.5 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Perda No.8 tahun 2015 tentang Pilkades, dan Perbub No.92 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Desa.
Beberapa regulasi diataslah yang menjadi landasan penyelenggaraan pilkades di tengah pandemi. Sekaligus dapat dilihat sebagai bentuk perlindungan hukum dan kemajuan dalam implementasi Hak Asasi Manusia di indonesia. Secara garis besar regulasi - regulasi tersebut mengatur terkait teknis pelaksanaan protokol kesehatan yang dilakukan pada saat pilkades di sidoarjo dilaksanakan. Melalui protokol kesehatan antara hak hidup dan hak politik dapat dijalankan secara bersamaan dalam pelaksanaan pilkades di sidoarjo. Implementasi dari regulasi diatas salah satunya berupa bentuk perlindungan hukum berupa tindakan preventif terhadap virus covid 19 dan juga pemerintah dari regulasi tersebut juga menyediakan penanganan apabila terdapat korban. Sedangkan dari implementasi hak politiknya yaitu masyarakat tetap dapat menyalurkan hak suara mereka walaupun di tengah pandemi covid 19 dalam pilkades.[4]
Pada jurnal- jurnal terdahulu juga ditemukan penelitian yang menjadi kajian pada artikel ini yaitu Penelitian H.P.Wiratraman,Herlambang dkk dan Penelitian MOH.HAQIQIT TAUFIQ. Pada Penelitian H.P.Wiratraman,Herlambang dkk, berbentuk jurnal berjudul “Dilema Konstitusional: Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19”. Dengan hasil penelitian terkait Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada yang menjadi delima karena dilakukan di tengah pandemi Covid 19, tidak hanya memerlukan berbagai persiapan yang matang akan tetapi juga memerlukan biaya yang mahal karena terjadinya pembengkakan biaya terkait protokol kesehatan.Selain itu terdapat resiko akan munculnya kasus Covid 19 dari klaster pilkada,selain itu juga mempengaruhi angka partisipasi dari masyarakat yang tentunya akan berpengaruh pada hasil pilkada tersebut.Apabila Pilkada di tengah pandemi Covid 19 tetap dilaksanakan kekhawatiran yang paling besar adalah dengan semakin banyaknya kasus Covid 19 dari klaster Pilkada sehingga menimbulkan pandangan bahwa pemerintah telah abai dan sengaja untuk tidak melindungi dan memberi keselamatan terhadap warga negaranya.Hal tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban secara hukum oleh warganya karena pemerintah dapat dipandang tidak dapat mengendalikan pandemi tetapi juga menghilangkan hak hidup masyarakatnya.[5]
Penelitian kedua yang menjadi kajian yaitu penelitian MOH.HAQIQIT TAUFIQ jurnal penelitiannya “Partisipasi Masyarakat Dalam Electronic Voting Pada Pemilihan Kepala Desa (Studi Kasus Desa Klantingsari,Kecamatan Tarik,Kabupaten Sidoarjo). Dengan hasil penelitian terkait Pilkades di desa Klantingsari yang menerapkan E voting yaitu perangkat pemberian suara secara elektronik yang unggul dalam percepatan tabulasi data,biaya yang terjangkau,dan mencegah untuk pemilih yang tidak punya hak,akan tetapi dalam Evoting tersebut masih sering terjadi sistem eror pada saat pemilihan berlangsung.Selain itu dalam penelitian ini juga disebutkan partisipasi masyarakat yang antusias,sayangnya keantusiasan tersebut tidak terlepas dari keterlibatan aktor elite yang memobilisasi para calon pemilih serta pendoktrinan terhadap calon pemilih,kemudian selain itu penelitian ini juga menjelaskan terkait kendala dalam pelaksanaan E Voting selain kendala eror,banyak masyarakat yang tidak dapat menerima hasil dari pemilihan tersebut dan juga terjadi demonstrasi besar besaran di kantor Kades Klantingsari serta teror - teror terhadap rumah warga yang menjadi panitia.[6]
Perbedaan dari penelitian terdahulu adalah pertama tidak ditemukan terkait pelaksanaan pilkadesnya, dan tidak melibatkan bahasan terkait protokol kesehatan. Serta bagaimana implementasinya apakah terjadi pelanggaran atau tidak terhadap penerapan protokol kesehatan sehingga dapat diketahui polo pelaksanaan pilkades dari pespektif HAM di masa mendatang. Sedangkan perbedaan pada penelitian kedua hanya tidak ditemukan adanya pembahasan terkait pilkades E voting dengan protokol kesehatan. Tujuan dibuatnya penelitian ini adalah Untuk menganalisis pelaksanaan Pilkades pada masa pandemi covid 19 di desa yang ada pada wilayah kabupaten sidoarjo dari perspektif Hak Asasi Manusia dan Untuk menganalisis pola pelaksanaan pilkades di masa pandemi pada desa kabupaten sidoarjo menurut HAM. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemerintah agar menjadikan hasil penelitian ini sebagai pola pelaksanaan pilkades dari perspektif HAM di masa mendatang dan dapat diaplikasikan di seluruh indonesia. Motivasi peneliti melakukan penelitian terkait pelaksanaan pilkades di tengah pandemi pada tanggal 20 desember 2020 adalah dikarenakan polemik yang timbul antara Hak Hidup atau Hak Politik mana yang harus di dahulukan melalui pelaksanaan pilkades yang lingkup wilayahnya lebih kecil daripada pilkada. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan Pilkades pada masa pandemi covid 19 di desa yang ada pada wilayah kabupaten sidoarjo dapat dikaji melalui perspektif Hak Asasi Manusia sehingga dapat dikatakan layak. Selain itu tujuan kedua adalah untuk mengkaji terkait bagaimana pola pelaksanaan pilkades apabila di masa yang mendatang masih terjadi pilkades. Adapun manfaatnya yaitu untuk memberikan sumbangsih pemikiran secara teori dan praktik pada masyarakat terkait pelaksanaan Pilkades di Desa wilayah sidoarjo bagus untuk dilaksanakan atau tidak bagus dilaksanakan pada masa pandemi covid 19 dilihat dari perspektif Hak Asasi Manusia.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian empiris atau metode penelitian hukum sosiologis. Sedangkan Jenis dari penelitian ini yaitu yuridis sosiologis, dimana penelitian ini berfungsi untuk melihat hukum dalam arti yang nyata dan juga melihat cara kerja hukum dalam masyarakat. Penelitian ini memiliki sifat Deskriptif analisis. Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu pendekatan Normatif untuk rumusan masalah yang pertama dan Pendekatan Empiris untuk rumusan masalah yang kedua. Teknik mengumpulkan Data yang dipakai pada penelitian ini menggunakan studi lapangan yaitu dengan menggunakan teknik wawancara tidak tersetruktur narasumber seperti KPPS dan juga masyarakat. Selain itu penelitian ini juga menggunakan teknik pengumpulan data yang dikaji dari perundang undangan, buku, jurnal,dan tulisan terkait. Cara menganalisa dalam tulisan ini menggunakan jenis metode kualitatif, yaitu suatu penelitian yang hasil temuannya tidak bisa diperoleh dengan menggunakan prosedur statistik atau cara pengukuran yang lain.Penelitian kualitatif ini bisa juga merujuk pada studi tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, dan fungsi sosial lainnya.[7]
Pelaksanaan pemilihan kepala desa pada masa pandemi covid 19 di sidoarjo menggunakan dasar regulasi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.6 Tahun 2020 tentang pilkada dalam kondisi pandemi covid 19,Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 141/5483/BPD tertanggal 10 Desember 2020, Peraturan Bupati Sidoarjo No.5 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Perda No.8 tahun 2015 tentang Pilkades, dan Perbub No.92 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Desa.Mengingat pemilihan kepala desa merupakan salah satu Aspek penting dalam Pemerintahan Desa, hal ini dikarenakan Kepala Desa lah yang memiliki peran dalam menentukan pelaksanaan pembangunan desa.[8] Dimana regulasi-regulasi tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 71 undang- undang No.39 tahun 1999 tentang HAM.setelah itu berdasarkan dari keterangan narasumber yang diambil dari desa Candi Pari,Keboguyang,Kalitengah,dan Kedondong diperoleh hasil yang berupa keterangan yang menyatakan bahwa pelaksanaan pilkades di desa mereka berjalan lancar dan menerapkan protokol kesehatan. Selain itu diluar keempat desa sampel ditemukan bahwa ada desa yang juga melaksanakan pilkades dengan cara E voting yang menerapkan protokol kesehatan.
Regulasi Pilkades Di Tengah Pandemi
Beberapa regulasi seperti Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.6 Tahun 2020 tentang pilkada dalam kondisi pandemi covid 19,Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 141/5483/BPD tertanggal 10 Desember 2020, Peraturan Bupati Sidoarjo No.5 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Perda No.8 tahun 2015 tentang Pilkades, dan Perbub No.92 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Desa. Poin utamanya adalah agar menerapkan protokol kesehatan pada pelaksanaan pilkades di sidoarjo. Korelasi antara PKPU No.6 Tahun 2020,SE Mendagri Nomor 141/5483/BPD,dan Perbub Nomor 92 Tahun 2020 yaitu sebagai dasarnya adalah pasal 5 ayat (2) PKPU No.6 Tahun 2020, kemudian ketentuan pasal 5 ayat (2) tersebut diterapkan pada pemilihan kepala desa melalui SE Mendagri Nomor 141/5483/BPD tertanggal 10 Desember 2020 yang kemudian lebih dikhususkan lagi untuk wilayah sidoarjo dengan Perbub Nomor 92 Tahun 2020. Regulasi – regulasi diatas membuktikan bahwa pemerintah berperan dalam menjamin Hak Hidup masyarakatnya, khususnya masyarakat sidoarjo. Adanya regulasi – regulasi diatas juga dapat diartikan sebagai bentuk dari implementasi Prinsip Responsibility (tanggungjawab) negara dalam melindungi Hak Hidup dari masyarakat sidoarjo dari virus covid 19. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan pilkades kemarin prinsip Responsibility telah dipenuhi, kemudian terlaksananya pilkades dengan protokol kesehatan yang merupakan implementasi dari regulasi – regulasi yang dibuat oleh pemerintah prinsip indivisibility juga telah terpenuhi.[9]
Pilk ades Di Tengah Pandemi Dari Perspektif HAM
Prinsip responsibility dan prinsip invisibility yang ada pada pelaksanaan pilkades di tengah pandemi covid 19 tidak cukup membuktikan bila pemerintah tidak mempertaruhkan Hak Hidup masyarakatnya demi menjalankan Hak Politik. Prinsip responsibility dan prinsip invisibility sebenarnya merupakan kewajiban pemerintah untuk menjalankannya hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 71 Undang No.39 Tahun 1999 Tentang HAM yang berbunyi “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundnag-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Kesesuaian ini dapat dilihat melalui praktek pilkades kemarin, adanya Protokol Kesehatan yang diterapkan melalui Regulasi-regulasi diatas, menjadi bukti pemerintah melindungi Hak Hidup masyarakat dalam Pemilihan Kepala Desa di tengah pandemi Covid 19. Sehingga Prinsip Responsibility (Tanggung Jawab Negara) juga terkandung pada regulasi-regulasi tersebut,kemudian dengan tetap dilaksanakannya Pemilihan Kepala Desa walaupun dimasa pandemi seperti ini menjadi bukti bahwa pemerintah indonesia telah menegakkan Hak Politik,[10] dan terlaksananya Pemilihan Kepala Desa kemarin yang menerapkan Protokol Kesehatan, dapat dilihat sebagai bentuk untuk memajukan HAM guna menyeimbangkan Hak Hidup dan Hak Politik (prinsip invdivisibility). Dengan diseimbangkannya kedua Hak tersebut. Ini menjadi bukti bahwa pemerintah indonesia menghormati HAM karena tidak mementingkan salah satu dari Hak Hidup atau Hak Politik. Sehingga anggapan bahwa pemerintah yang mempertaruhkan hak Hidup masyarakat dapat dipatahkan dengan adanya regulasi – regulasi diatas yang menjadi landasan dilaksanakan pilkades di sidoarjo di tengah pandemi coivd 19. Karena pilkades di tengah pandemi covid 19 tidak menyalahi pasal 71 undang – undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM maka dapat dikatakan pilkades pada tanggal 20 desember 2020 kemarin adalah layak dilaksanakan.
Realita Pilkades Sidoarjo Di Tengah Pandemi
Setelah pilkades dikatakan layak maka penting bagi kita untuk mengetahui terkait implementasi dari regulasinya berjalan baik atau tidak. Beberapa keterangan yang diperoleh dari empat desa sampel yang terdiri dari perwakilan KPPS dan juga Perwakilan masyarakat desa yang melaksanakan pilkades di tengah pandemi yaitu Desa Candi Pari, Desa Kalitengah, Desa Keboguyang, dan Desa Kedondong. Para narasumber memberi keterangan bahwa pelaksanaan pilkades berjalan lancar dan menerapkan protokol kesehatan dengan tertib. Dari keterangan para narasumber mengatakan untuk pemberlakuan giliran mencoblos yaitu diberlakukan giliran per Kartu Keluarga (KK) sehingga setiap keluarga memiliki waktunya tersendiri setelah mencoblos penetesan tintanya pun juga menggunakan pipet dan diwajibkan harus langsung pulang. Alat dan juga sarana yang digunakan dalam pilkades juga sering dibersikan, lalu sebelum mencoblos para pemilih juga di cek alat kelengkapan protokol kesehatannya termasuk masker dan melalui pengecekan suhu tubuh dengan thermogun. Dari ringkasan keterangan para narasumber diatas dapat disimpulkan bahwa pilkades telah sesuai dengan beberapa regulasi – regulasi yang berlaku.[11] Di sidoarjo pelaksanaan pilkades ada juga yang melaksanakan dengan sistem E Voting yang hampir sama dengan sistem manual dan tetap melaksanakan Prokes. Akan tetapi, pilkades E Voting tidak mencoblos namun menggunakan komputer untuk memilih calon kades yaitu dengan mengklik gambar calon kades.
Regulasi seperti Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.6 Tahun 2020, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 141/5483/BPD tertanggal 10 Desember 2020, Peraturan Bupati Sidoarjo No.5 Tahun 2020 dan Perbub No.92 Tahun 2020. Merupakan landasan diadakannya pilkades di tengah pandemi dapat dibandingkan dengan ketentuan pasal 71 undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM untuk mengetahui bahwa pemerintah tidak mempertaruhkan Hak Hidup masyarakat sidoarjo. Hal ini dikarenakan regulasi – regulasi tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 71 tersebut, yang dimana pasal 71 tersebut juga memiliki relasi dengan ICCPR dan juga DUHAM. Selain itu dengan adanya regulasi – regulasi tersebut pemerintah juga bisa menjalankan Hak Hidup dan Hak Politik secara bersmaaan dan telah memenuhi prinsip indivisibility. Sehingga dengan ketentuan – ketentuan regulasi diatas tidak bertentangan dengan undang – undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM khususnya pasal 71. Maka dapat disimpulkan bahwa pilkades pada tanggal 20 desember tahun 2020 adalah layak dilaksanakan. Sedangkan dengan adanya model pilkades manual yang menerapkan prokes karena dibuatnya beberapa regulasi diatas merupakan pola pelaksanaan pilkades yang bisa digunakan di masa mendatang apabila pandemi masih terjadi. Selain model pilkades manual di sidoarjo juga melaksanakan dengan model E Voting atau komputerisasi pilkades dengan bantuan perangkat elektronik. Pelaksanaan pilkades Evoting ini juga wajib menerapkan prokes hanya saja cara pemilihannya dibantu dengan komputer atau perangkat elektronik.