Essays
DOI: 10.21070/ijccd.v16i1.1191

Empiricism and Rationalism in Islamic View


Empirisme dan Rasionalisme dalam Pandangan Islam

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Subject-object perception sensory limitations epistemology intellect human perception

Abstract

The question of whether an object can inform a subject of its inherent nature reveals complexities in the subject-object relationship in perception. Human perception is inherently limited by the physiological structures of the senses, and thus, reality is interpreted rather than directly experienced. For instance, the color orange is not an inherent trait of an object but a perception shaped by the human eye's capacity to detect certain wavelengths of light. Variations in sensory structures across species highlight that other beings may perceive the same object differently; many animals, for instance, have distinct visual and auditory ranges, allowing them to see ultraviolet light or hear frequencies beyond human capacity. This limitation of human senses, however, is often overcome through technology—such as telescopes, microscopes, and specialized audio equipment—enabling insights beyond natural perception. Philosophically, this emphasizes the role of the intellect in compensating for sensory limitations, facilitating a structured understanding of phenomena that are otherwise inaccessible. Different epistemologies, including empiricism and rationalism, debate whether the senses alone or in conjunction with reason reveal truth, while Islamic perspectives emphasize a harmonious relationship between the two, with both seen as essential yet ultimately limited in understanding metaphysical or divine truths. This interplay between sensory perception and intellectual inference demonstrates the intricate processes humans employ to approximate an understanding of reality and its complexities.

Highlights:

  1. Perception’s Limits: Senses offer partial, not full, reality.

  2. Tech’s Role: Extends perception beyond natural limits.

  3. Philosophy’s Insight: Highlights sensory and perceptual boundaries.

 

Keywords: Subject-object-perception, sensory limitations, epistemology, intellect, human perception

Apakah objek (benda/tanaman/hewan) memberitahu kepada subjek (manusia) tentang siapa dirinya?

Pertanyaan tersebut mengungkap masalah besar terkait hubungan subjek-objek dalam realitas sehari-hari. Bahwa selama ini eksistensi objek ditentukan oleh subjek. Bahwa lingkungan sekitar dikenali secara sepihak. Tidak sebaliknya, objek menentukan dirinya sendiri sebagai apa adanya.

Misalnya sebuah benda berwarna oranye. Mengapa ia berwarna oranye? Hal ini bukan karena si objek mendefinsikan dirinya sebagai oranye, tetapi subjek, yakni manusialah yang menentukan ia berwarna oranye. Mengapa demikian, karena mata manusia mendeteksi itu sebagai oranye dan menyepakatinya secara kolektif sebagai oranye dalam tanda-tanda kolektif.

Dalam hal tersebut, warna oranye itu terjadi karena bentuk mata manusia beserta seluruh struktur di dalamnya membuatnya mendefinisikan itu sebagai oranye. Apakah betul ia oranye? Karena warna tersebut kemudian bisa berbeda dalam kondisi dan situasi pencahayaan tertentu.

Lalu bagaimana dengan mata yang dimiliki hewan yang memiliki struktur/bentuk dan sel mata yang berbeda dengan manusia. Apakah betul dia memiliki kesamaan persepsi atas suatu benda dengan manusia. Secara saintifik, diketahui bahwa tidak semua hewan buta warna, namun banyak yang memiliki persepsi warna berbeda dengan manusia .

Anjing dan kucing memiliki penglihatan dua warna (dichromatic), melihat biru dan kuning, tetapi kesulitan membedakan merah dan hijau. Banyak burung memiliki penglihatan warna yang sangat baik dan bisa melihat ultraviolet, yang tidak bisa dilihat oleh manusia. Ikan disebut sering kali memiliki penglihatan warna yang baik dan bisa melihat spektrum warna yang lebih luas dibandingkan manusia.

Beberapa serangga, seperti lebah, bisa melihat ultraviolet. Dengan menggunakan kemampuan ini lebah mampu untuk menemukan bunga. Beberapa primata memiliki penglihatan warna yang serupa dengan manusia, yaitu trichromatic (merah, hijau, dan biru). Banyak mamalia nokturnal memiliki penglihatan yang lebih sensitif terhadap cahaya rendah dan mungkin memiliki penglihatan warna yang terbatas atau bahkan buta warna. Tidak semua hewan buta warna, tetapi ada variasi yang signifikan dalam bagaimana mereka melihat dan membedakan warna.

Struktur masing-masing indera (penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan) antara manusia dengan makhluk lainnya tidak sama. Salah satu lebih peka dari yang lain. Karenanya dalam menangkap/mencerap objek bisa dipastikan ada ketidaksamaan antara manusia dengan makhluk yang lain. Belum lagi penginderaan oleh makhluk-makhluk super kecil.

Dalam perspektif penglihatan manusia, ada banyak warna yang tidak dapat ditangkap atau dilihat oleh mata manusia, karena keterbatasan mata manusia. Meski manusia mengenal ribuan bahkan jutaan warna, namun mata memiliki keterbatasan. Seperti melihat objek-objek lainnya yang bersifat sangat masif seperti dalam melihat matahari. Mata manusia tidak akan sanggup untuk menatap langsung kepada matahari. Menatap matahari secara langsung tidak akan bisa dilakukan karena itu akan membutakan mata manusia.

Tidak hanya melihat benda super masif, melihat objek super kecil seperti jasad renik/mikroba, manusia tidak sanggaup. Demikian juga untuk melihat dengan objek yang berada sangat jauh. Mata manusia tidak sanggup melihat objek kecil berjarak 1 kilometer misalnya. Ia hanya akan terlihat seperti sebuah titik. Atau pun benda yang sangat dekat, namun secara bersamaan juga terasa sangat jauh ke dalam, seperti melihat mikroba atau jasad renik hingga atom. Mata manusia tidak sanggup melakukan pembesaran, zoom out, baik untuk melihat benda yang jaraknya jauh maupun yang sangat dekat seperti mikroba yang melayang-layang di udara di dekatnya.

Demikian halnya dengan suara. Kemampuan telinga manusia untuk menangkap suara manusia terbatasi dalam rentang frekuensi 20 Hz hingga 20.000 Hz (20 kHz). Hal ini menyesuaikan dengan bentuk telinga luar dan dalam manusia. Rentang frekuensi tersebut dapat bervariasi tergantung pada usia dan kesehatan pendengaran seseorang, dengan orang yang lebih tua biasanya mengalami penurunan kemampuan mendengar frekuensi tinggi. Untuk suara-suara berfrekuensi sangat tinggi maupun berfrekuensi sangat rendah melewati ambang batas kemampuan telinga, manusia tidak sanggup menangkapnya. Demikian halnya dengan suara bervolume keras, akan dapat merusakkan gendang telinga manusia. Sama halnya dengan indera manusia lainnya seperti, penciuman, peraba, dan pengecap. Ada banyak bau, tekstur, dan rasa lainnya yang tidak dapat direngkuh oleh penciuman, perabaan, dan pengecapan.

Di sekitar kita ada banyak bentuk, warna, suara, bau, tekstur, dan rasa yang dapat ditangkap oleh matas, telinga, hidung, kulit, dan lidah manusia. Tetapi, faktanya ada juga hal-hal lain yang tak dapat ditangkap oleh indera manusia di dunia. Hal ini karena indera manusia memang berfungsi untuk mencerap sekitar, menghubungkan antara aku yang ada dalam tubuh dengan lingkungan sekitar, namun juga sekaligus membatasi apa yang bisa ditangkap. Indera memang membuka kemungkinan interaksi aku dengan dunia luar namun ia tidak membuka secara keseluruhan eksistensi dunia luar tersebut

Memang dalam hidup keseharian seorang manusia menangkap berbagai fenomena warna, suara, bau, tekstur, dan rasa yang dapat ditangkap oleh indera, secara default hal ini sudah cukup bagi manusia untuk bisa survive dalam kehidupan sehari-hari, tanpa harus bisa menangkap hal-hal di luar batasan indera. Namun, bagi mereka yang menggeluti dunia pengetahuan untuk mendapatkan insight yang lebih mendalam tentang sesuatu hingga pada level hakikat, baik untuk pendalaman intelektual maupun spritual, maka hal-hal yang di luar batas indera menjadi kebutuhan untuk diketahui dan dipahami.

Untuk dapat memperoleh informasi tentang matahari yang lebih insightful, dengan berbagai keterbatasan mata, bisa diatasi dengan mengurangi intensitas kekuatan matahari yang sampai pada mata dengan menggunakan alat bantu berupa kacamata hitam atau teleskop yang termodifikasi sedemikian rupa agar mata pengamatnya tidak rusak. Demikian juga halnya dengan kemampuan manusia untuk melihat jarak yang sangat jauh. Untuk dapat melihat objek yang tak dapat dipandang mata karena sangat jauhnya, manusia mengembangkan pembesaran jarak jauh berupa teleskop yang mampu memandang hingga melintas cakrawala dan menembus gugusan galaksi dengan teleskop James Webb. Sama juga untuk melihat benda terdekat dengan diri manusia seperti mikroba/jasad renik di sekitarnya dan yang ada dalam tubuh manusia sendiri. Mata manusia tidak memiliki pembesaran mata sampai pada level mikroskopik karena lensa mata manusia sangat terbatas dalam hal pembesaran lensanya. Namun ia bisa dibantu dengan mikroskop, sehingga manusia pun bahkan bisa mengetahui “kehidupan” di bawah sub atomik.

Keterbatasan dan treatment ini juga dialami oleh indera yang lainnya baik itu pendengaran, penciuman, perabaan, pengecapan. Untuk bisa mendengar suara yang berada di bawah atau di atas standar kemampuan pendengaran juga dilakukan dengan perlengkapan yang memadai. Untuk mendeteksi suara yang berada di bawah maupun di atas ambang batas pendengaran manusia, ada beberapa alat yang umum digunakan alat seperti Mikrofon Ultrasonik untuk mendeteksi frekuensi di atas 20 KHz, yang sering disebut sebagai suara ultrasonik untuk memantau suara kelelawar, memeriksa getaran mesin, dsb. Mikrofon Infrasonik digunakan untuk menangkap suara dengan frekuensi di bawah 20 H yang dikenal sebagai infrasonik untuk mendeteksi aktivitas seismik, tsunami, aktivitas vulkanik, dan lainnya yang menghasilkan suara infrasonik. Berikutnya ada Hydrophone, merupakan mikrofon khusus untuk mendeteksi suara di bawah air, yang bisa berada di luar jangkauan pendengaran manusia. Alat ini sangat penting dalam oseanografi, misalnya, untuk mendeteksi suara ikan paus atau suara bawah laut lain. Dan alat bantu indera lainnya.

Indera sendirian tidak akan mampu untuk menangkap realitas sesuatu yang melebihi batas indera, baik batas atas maupun batas bawahnya. Namun rasa ingin tahu yang tinggi mendorong seseorang untuk mengungkap lebih dari sekedar apa yang nampak itu, bahkan di balik itu. Rasa ingin tahu manusia mendorongnya untuk menyingkap “tabir” yang menyelubungi realitas (tabir ini terbentuk karena keterbatasan inderanya). Namun dengan akalnya yang dibantu dengan berbagai pengalaman inderawinya, manusia kemudian menemukan cara dan membangun alat sebagai usaha untuk mengetahui informasi yang melekat pada objek secara mendetail, dan seolah membuka tabir benda untuk kemudian menemukan hakikat dari realitas yang dihadapinya.

Dalam konteks ini, akal memiliki peran yang sangat signifikan untuk mengungkap berbagai hal yang menjadi tabir misteri pengetahuan yang disebabkan oleh keterbatasan indera. Dengan akalnya manusia dapat mencetuskan ide atau gagasan untuk bisa “ngakali” dan juga “getting around the system” atas keterbatasan yang dimiliki indera untuk dapat menangkap objek misterius dimaksud. Dengan akalnya maka kemudian ditemukanlah beragam alat bantu penglihatan (teleskop, mikroskop, radar), pendengaran (stetoskop), pemindaian (sonar), dan sebagainya yang menjadi bekal manusia untuk mengungkap, menyingkap, realitas atau hakikatnya yang informasi tersebut kemudian diolah oleh institusi akal.

Akal memang memiliki cara kerja yang unik, yang sangat berbeda dengan indera. Indera bekerja di ranah konkret yang fenomenal, sedangkan akal bekerja di ranah abstrak-intelektual. Cara kerja akal dapat dipahami melalui kategori kategori pemahaman yang melekat dalam pikiran kita. Setidaknya ada lima kategori utama: kausalitas, kuantitas, kualitas, probabilitas, dan modalitas. Secara keseluruhan berbagai kategori tersebut kemudian menjadi dasar bagi terbentuknya penalaran dalam diri manusia, yakni penarikan kesimpulan melalui cara yang logis, menggunakan konstruksi logika atau ilmu manthiq. Penalaran ini dimiliki setiap manusia yang berakal. Ini memungkinkan orang untuk memiliki pemahaman atau pemikiran yang sama. Sesuatu yang dispakati bersama sebagai masuk akal. Hingga, lebih jauh, orang kemudian membuat standar kewarasan seseorang. Foucault mengungkap bahwa suatu ketika kewarasan ini menjadi standar suatu kaum yang membedakan antara orang yang waras (rasional) dengan orang gila (irrasional) .

Secara operasional, akal manusia bekerja menurut kategori Kausalitas yakni hubungan sebab-akibat. Hubungan ini menentukan bagaimana satu peristiwa atau tindakan menyebabkan peristiwa atau tindakan lain. Akal bekerja cenderung mengurutkan terjadinya suatu peristiwa yang menjadi konstruksi logika formal, sedangkan urutan kejadian yang ajeg atau konsisten ini kemudian menjadi dasar logika material. Kausalitas ini memberikan fungsi Penjelasan dan Prediksi. Yakni menjelaskan mengapa sesuatu terjadi dan memprediksi apa yang mungkin terjadi selanjutnya berdasarkan penjelasan tersebut. Ini kemudian bisa dijadikan sebagai Penyelesaian Masalah dengan menganalisis akar masalah dan mengembangkan solusi dengan mengidentifikasi penyebab utama.

Dari kategori Kuantitas, akal kemudian memiliki kemampuan untuk melakukan pengukuran dan perbandingan, yakni mengukur, menghitung, dan memperkirakan jumlah atau ukuran. Dengan ini kemudian manusia memiliki kemampuan yang disebut prinsip prinsip logika dan matematika berdasakan pada konsep kuantitas. Disamping kuantitas, ada kategori kualitas. Dengan kemampuan kategori kualitas ini, maka manusia memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian sifat yakni menilai sifat atau karakteristik dari objek atau fenomena. Selain itu dengan kategori kualitas, maka akal memiliki kemampuan untuk mengklasifikasikan dan mengategorikan objek atau ide berdasasrkan atribut spesifik.

Pada kategori Probabilitias, dengan ini akal memiliki kemampuan untuk pengambilan keputusan. Dalam hal ini manusia bisa menilai risiko dan membuat keputusan berdasarkan kemungkinan hasil. Secara langsung juga akal memiliki kemampun untuk membuat prediksi dan perencanaan tindakan berdasarkan informasi yang tersedia. Pada kategori Modalitas, maka membuat manusia mampu untuk melakukan penilaian kemungkinan dan keharusan. Yakni menilai apakah sesuatu itu mungkin, nyata, atau perlu dilakukan. Dengan demikian bisa melakukan Evaluasi skenario, mengevaluasi berbagai skenario dan kemungkinan, memungkinkan kontingensi dan rencana alternatif.

Secara keseluruhan, akal memiliki cara kerja yang khas. Cara kerja tersebut yakni melakukan 1) Ogranisasi informasi, mengorganisasi informasi yang diterima dari lingkungan, memudahkan untuk diproses dan dipahami. 2) Pembuatan Argumen, menggunakan kategori-kategori ini untuk mendukung premis dan menarik kesimpulan yang valid. 3) Analitis Kritis, memungkinkan analisis kritis dari situasi atau masalah, membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang relevan dan mengevaluasi bukti.

Dengan berbagai fetaures yang dimiliki akal tersebut, maka akal menjadi pelengkap atas indera yang terbatas dalam mencerap realitas. Sebagian orang ada yang meyakini dan hanya menerima indera sebagai sumber kebenaran, di luar apa yang ditangkap indera adalah tidak ada. Mereka tergolong dalam kelompok berpaham empirisme. Sedangkan mereka yang meyakini akal sebagai sumber kebenaran, mengelompok dalam paham rasionalisme: yang irrasional adalah tidak benar. Dan ada juga yang menerima keduanya. Namun, dalam konteks ini, Islam memiliki pandangannya sendiri. Dalam Islam, antara indera dan akal memiliki fungsi masing-masing yang keduanya tidak bisa dipisahkan bahkan diperhadap-hadapkan karena keduanya saling melengkapi. Namun tidak hanya berhenti disini, masih ada kelanjutannya.

Dalam perspektif Islam, ada banyak objek di dunia ini yang tidak dapat diindera oleh manusia, seperti jin, malaikat, dan yang utama adalah melihat Allah, sang pencipta. Ada kejadian dimana Melihat matahari saja manusia tidak mampu, apalagi melihat Penciptanya. Boleh jadi ketidakmampuan itu adalah karena ujian bagi manusia, karenanya diciptakanlah indera dengan keterbatasannya. Kemudian dilengkapi dengan akal untuk bisa mendpatkan sesuatu di balik itu semua. Akal manusia didesain tentunya agar manusia mampu "melihat" yang tak terlihat dan menjadikannya sebagai hikmah yang menjadikannya lebih bijaksana untuk bisa melihat akhirat sebagai tujuan akhir kehidupan.

Dalam Al-Quran terdapat ayat yang menceritakan keinginan Nabi Musa untuk melihat Allah, namun Allah menunjukkan bahwa manusia tidak mampu melihat-Nya. Ayat ini terdapat dalam Surah Al-A'raf, ayat 143. Maka ketika Allah menampakkan diri kepada gunung, kemudian gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, 'Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.

Demikian juga halnya dengan umat Nabi Musa yang menyaratkan untuk bisa melihat Allah agar beriman. Surah Al-Baqarah ayat 55. Ayat ini mengisahkan kaum Bani Israil yang berkata kepada Nabi Musa bahwa mereka tidak akan beriman kepadanya sampai mereka dapat melihat Allah dengan jelas. Ayat ini menunjukkan sikap keras kepala dan kurangnya keimanan sebagian dari kaum Bani Israil. Mereka menuntut bukti berupa melihat Allah secara langsung, yang menunjukkan keraguan mereka terhadap kenabian Musa. Sebagai akibat dari ketidakpercayaan tersebut, mereka ditimpa azab berupa sambaran petir sebagai peringatan dari Allah. Mereka adalah kaum penganut paham empirisme ketika segala sesuatu harus dapat diindera. Namun Allah mengingatkan bahwa dunia sangat terbatas untuk bisa menerima eksistensi Allah yang Mahabesar dibandingkan dengan eksistensi ciptaanNya yang tidak ada artinya.

Dalam Al-Qur'an, banyak ayat yang mendorong manusia untuk menggunakan akal (misalnya, dalam QS Yunus: 100, Al-Ankabut: 43). Akal dianggap sebagai sarana bagi manusia untuk memahami kebesaran Allah dan beriman kepada-Nya. Akal dianggap sebagai salah satu anugerah terbesar yang Allah, sebagai pencipta segala sesuatu, anugerahkan kepada manusia. Disinilah letak krusial antara Islam dengan kaum atheis yang meyakini kebenaran empirisme dan atau rasionalisme secara mutlak, bahkan dijadikan sebagai sumber pengetahuan. Keyakinan Ini membatasi “dunia” atheis hanya pada ranah duniawi. Islam mengarahkan manusia bahwa indera dan akal hanya berfungsi sebagai sarana, bukan tujuan atau pun sumber dari kebenaran. Namun dalam hal ini, akal dapat melampaui pengetahuan fisik, menuju realitas metafisik, terutama dengan bantuan bimbingan spiritual.

Meski akal memiliki kemampuan besar, dalam Islam diyakini bahwa akal memiliki keterbatasan dan memerlukan wahyu untuk mencapai pemahaman yang benar tentang hal-hal ghaib atau yang metafisik . Dalam hal ini, di dalam Al Quran surat Al Alaq disebutkan bahwa Indera dan akal manusia menjadi mekanisme untuk melakukan “Iqra” yakni pembacaan atau observasi atas realitas dan juga melakukan analisis darinya yang kemudian digunakan untuk menyingkap, mengungkap tabir dari Realitas sebenarnya yakni Allah SWT. Karena segala sesuatu yang ada di dunia ini sangat tergantung eksistensinya kepada Allah SWT. Iqra ini juga selanjutnya digunakan oleh orang beriman untuk untuk memahami ajaran agama, memahami wahyu , mengenal tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta, dan membedakan kebaikan dari keburukan.

Salah satu aspek yang kemudian ditekankan oleh Islam adalah kaitannya dengan Hati (Qalbu). Dalam Islam, akal sering kali tidak dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari hati atau qalb. Qalbu inilah yang menjadi sarana spritualitas Islam. Banyak ayat dalam Al-Qur'an menyebutkan fungsi hati yang "memahami" (lihat QS Al-Hajj: 46), yang menunjukkan bahwa akal dan hati memiliki hubungan erat dalam memahami dan menerima kebenaran yang sejati, Allah SWT. Penggunaan akal untuk merenungkan alam semesta, hukum-hukum Allah, dan ajaran Islam dianggap sebagai bentuk ibadah. Al-Qur’an secara berulang-ulang mendorong manusia untuk berpikir dan merenung sebagai sarana untuk memahami kebesaran Allah (lihat QS Yunus: 100 dan Al-Baqarah: 164).

Dalam Islam, indera dan akal adalah alat yang memungkinkan manusia untuk menjalani kehidupan yang bermakna dengan pengetahuan, termasuk sains; memperdalam iman, dan mengarahkan kehidupan sesuai dengan kehendak Allah. Manfaat akal sangat beragam, mulai dari mengenal Allah hingga membantu menjalankan peran sebagai khalifah di bumi. Namun, Islam juga mengajarkan bahwa akal memiliki keterbatasan, dan untuk mencapai kebenaran sejati, akal harus dipandu oleh qalbu yang menerima wahyu dari Allah melalui RasulNya.

Indera dan akal bisa menjadi sarana untuk menyingkap tabir yang menutupi realitas sejati, Allah SWT. Tabir ini terbentuk karena keterbatasan indera manusia untuk mangaksesnya. Melalui akal manusia bisa mencapai Adanya Eksistensi yang Mutlak. Lantas, dengan qalbu maka hamba dan Khaliq berkomunikasi melalui petunjuk logis yang bisa diakses oleh akal, dan firasat atau ilham melalui qalbunya. Qalbu ini diasah dengan senantiasa mengingat diriNya seperti yang diajarkanNya melalui RasulNya.

Wallahu’alam bi shawab.

References

  1. M. F. L. a. D.-E. Nilsson, Animal Eyes. 2nd ed., Oxford: Oxford University Press, 2012.
  2. K. A. Kusuma, "An Assessment of Empirical Thinking in Islam," Indonesian Journal of Islamic Studies, vol. 12, no. 3, pp. 10-21070, (2024).
  3. I. Kant, Critique of Pure Reason, New York: St. Martin’s Press, 1965.
  4. M. Foucault, . Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason. Translated by Richard Howard, New York: Vintage Books, 2006.
  5. W. S. a. R. Rorty, Empiricism and the Philosophy of Mind, Harvard: Harvard University Press, 1997.
  6. P. Phemister, The Rationalists: Descartes, Spinoza and Leibniz, Malden, MA: Polity , 2006.
  7. I. Sina, The Metaphysics of Healing, Brigham : Brigham Young University Press, 1984.
  8. Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din [The Revival of the Religious Sciences], Jeddah: Dar al-Minhaj, 2004.
  9. S. M. N. Al-Attas, The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul, Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993.
  10. S. H. Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity, SanFrancisco: Harper, 2002.