General Background: Film serves as a powerful medium that reflects societal issues and functions as an informational tool, conveying messages across various domains such as entertainment, politics, and propaganda. Specific Background: "Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso" presents a true story intertwined with significant propagandistic elements that captivated public attention. Knowledge Gap: Despite the film's popularity, there is limited scholarly analysis focusing on the propagandistic elements and their implications within the narrative. Aims: This study aims to explore the propagandistic elements within "Ice Cold," examining how these elements engage with public discourse and perception. Results: Employing a qualitative approach alongside Roland Barthes' semiotic analysis, the findings indicate that the film incorporates white, black, and gray propaganda, which collectively foster scapegoating and attempt to shift public opinion as evidenced throughout the storyline. Novelty: This research contributes to the understanding of how film narratives can perpetuate propagandistic themes and influence societal perceptions. Implications: The results highlight the film's role in shaping public discourse, suggesting the need for critical engagement with cinematic portrayals of real-life events and their potential to manipulate audience perspectives.
Highlights:
Keywords: Film, Propaganda, Public Discourse, Semiotic Analysis, Scapegoating
Film adalah salah satu media modern yang banyak digunakan untuk mengkomunikasikan sebuah ide, cerita, kisah, serta simbol-simbol yang memiliki makna didalamnya. Film merupakan salah satu media masa untuk sarana komunikasi dan penyampaian informasi. Film merupakan hasil dari ekspresi seni yang kreatif dan merupakan sarana komunikasi audiovisual yang dihasilkan dengan memperhatikan aturan-aturan sinematografi. Penggarapan film ini melibatkan penggunaan berbagai macam media seperti seluloid, pita video, atau teknologi elektronik modern lainnya. Film dapat mencakup unsur audio atau tidak, dan bisa diputar melalui berbagai sistem proyeksi seperti mekanik, elektronik, dan sistem lainnya. Film memiliki potensi sebagai alat pendidikan yang mampu memberikan wawasan dan pengalaman yang berharga bagi perkembangan jiwa dan pola pikir masyarakat. Film yang menggambarkan tempat kejadian perkara (TKP), demonstrasi, politik, dan lain-lain juga dapat menarik perhatian publik. Karena sebuah film yang diproduksi seringkali menampilkan nilai-nilai, norma serta gaya hidup yang ada dalam suatu masyarakat sehingga penonton dapat belajar mengenai budaya yang ditampilkan sekalipun belum pernah bertemu budaya secara langsung. Selain itu, film merupakan integral dari komunikasi massa dan tujuannya adalah film itu sendiri pesan dalam menyampaikan dan menyajikan pesan yang bermaksa melalui gambar dan suara ditampilkan. Berbagai media untuk mengkomunikasikan makna dan pesan yang disampaikan yang ingin disampaikan komunikator kepada masyarakat luas adalah film.
Selain sebagai hiburan, film juga berfungsi sebagai media propaganda dan penyebaran informasi. Pengertian propaganda menurut James E. Combs dan Dan Nimmo adalah upaya untuk mempengaruhi kepribadian dan mengarahkan perilaku individu menuju tujuan yang dianggap tidak ilmiah atau dipertanyakan dalam masyarakat. Melalui penggunaannya dalam propaganda, sinema tidak hanya menarik khalayak luas tetapi juga menyampaikan esensi realitas dan peristiwa melalui visual storytelling. Dalam film ini, terdapat dua teknik propaganda yang digunakan untuk memengaruhi khalayak, yaitu teknik seleksi (selection technique) dan Teknik frustration scapegoat. Teknik seleksi adalah teknik propaganda yang dilakukan dengan menggunakan sistem fakta secara selektif. Dalam hal ini, propagandis hanya memilih dan menggunakan fakta-fakta yang mendukung narasi atau tujuan mereka, sehingga dapat "membuktikan" sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Fakta-fakta yang tidak mendukung atau yang bertentangan dengan narasi tersebut diabaikan atau disembunyikan. Frustration scapegoat technique, di sisi lain, adalah salah satu cara yang digunakan untuk menciptakan kebencian atau menyalurkan frustrasi masyarakat dengan menciptakan kambing hitam, yaitu pihak yang disalahkan atas berbagai masalah yang ada. Teknik ini memanfaatkan emosi negatif, seperti frustrasi dan kemarahan, yang dialami oleh masyarakat untuk mengarahkan kebencian mereka terhadap individu atau kelompok tertentu, sehingga masyarakat merasa bahwa masalah mereka disebabkan oleh kambing hitam tersebut.
Film dokumenter adalah jenis film yang menggambarkan realitas dengan menggunakan data dan fakta nyata. Film ini tidak boleh bersifat fiksi karena ciri film dokumenter adalah menghadirkan gambar kebenaran atau kenyataan yang sebenarnya. Film dokumenter sering kali diinterpretasikan sebagai sebuah penggambaran visual yang memukau dengan adegan-adegan menarik, sementara perspektif lain melihatnya sebagai sebuah narasi yang teliti dalam mengungkap fakta-fakta. Beberapa orang bahkan memandang film dokumenter sebagai rekaman kehidupan hewan liar dan komunitas pedalaman. Film Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso merupakan sebuah karya sinematik yang mendalam dan kompleks, mengandung pesan-pesan propaganda yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat, serta menggambarkan dinamika sosial dan psikologis yang memengaruhi individu dalam lingkungan mereka.
Ice Cold: Murder, Coffee dan Jessica Wongso yang disutradarai Rob Sixsmith yang menceritakan kisah pembunuhannya dengan menggunakan kopi sianida. Pada penayangan hari keempat, berdasarkan data Netflix. Ice Cold dari Netflix telah ditonton selama 3 juta jam.Pada serial 25/09/2023 hingga 10/1/20 23 (Databox), Ice Cold menduduki peringkat ketujuh film terlaris di Netflix. Film dokumenter ini menampilkan cuplikan sebelum kejadian, saat kejadian, dan saat persidangan kasus kopi sianida. meninggal secara tragis di sebuah kedai kopi pada Januari 2016 karena kopi yang mengandung sianida. Jessica diduga membunuh mendiang Wayan Mirna Salihin. Berdasarkan gambar CCTV, Mirna pingsan usai meminum kopi Vietnam yang dipesan Jessica tadi. Saat dibawa ke rumah sakit dan dilakukan otopsi, ditemukan sianida di perut Mirna, dan Jessica diduga mencampurkan sianida ke dalam kopi Mirna. Dia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Film ini juga memperlihatkan kepada publik saat persidangan kasus mendiang Mirna Salihin, dan film dokumenter ini berhasil menganalisis hasil forensik dan menjadi bukti kuat dalam kasus tersebut. Sebagaimana propaganda ditampilkan di layar, demikian pula penggambarannya di film. Artinya, merupakan Upaya terorganisir untuk memengaruhi pihak lain agar mengikuti intruksi guna menciptakan kondisi yang diinginkan oleh pelaku propaganda, menurut James E. Combs dan Nimmo, adalah suatu usaha yang terencana dan terstruktur dengan tujuan mencapai tanggapan yang lebih mendalam, yang merupakan hasil yang diinginkan oleh para praktisi propagandis. Ini menyoroti pendekatan sistematis yang digunakan dalam menyebarkan pesan-pesan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi opini dan sikap orang. Dengan demikian, propaganda memengaruhi pola pikir, keyakinan dan Tindakan individu, masyarakat atau bangsa. Sehingga mereka secara sadar menerima dan melaksanakan suatu kegiatan tanpa paksaan atau tekanan dari pihak lain.
Menurut Stephen Crane, media adalah sebuah pasar di mana kebijaksanaan diperjualbelikan secara bebas, sebuah permainan yang dapat membawa pada kematian. Crane berpendapat bahwa surat kabar bukanlah sumber kebenaran yang mutlak. Informasi yang disampaikan oleh media sangat tergantung pada sudut pandang dan pemilihan fakta. Bahaya terbesarnya adalah "kematian" akibat efek dari pesan yang disampaikan. Meskipun, media massa sering kali dimanfaatkan sebagai alat advokasi dalam konteks pemilu untuk memperoleh kekuasaan. Sering kali, penyajian berita dan informasi dapat menjadi bentuk propaganda yang tidak disadari oleh masyarakat. Salah satu sarana yang sering digunakan adalah film. Seiring dengan kemajuan teknologi, propagandis memanfaatkan media film untuk menyampaikan pesan-pesan mereka.
Dalam semiotika Roland Barthes, dikenal istilah signifier(penanda) dan signified (pertanda), yang kemudian dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dengan dua sistem signifikasi, yaitu makna denotasi dan konotasi. Makna denotasi adalah level makna deskriptif yang bersifat tertutup dan literal, yang secara virtual dimiliki oleh semua anggota suatu kebudayaan. Makna denotasi merupakan makna yang sebenar-benarnya, yang telah disepakati bersama secara sosial, dan rujukannya adalah pada realitas sosial. Dengan kata lain, makna denotasi adalah interpretasi langsung yang dapat dipahami oleh setiap individu dalam suatu masyarakat tanpa memerlukan interpretasi lebih lanjut, karena makna ini telah menjadi bagian dari pengetahuan kolektif budaya tersebut. Sedangkan makna konotasi terbentuk dengan mengaitkan penanda dengan aspek-aspek kultural yang lebih luas, seperti keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi suatu formasi sosial. Makna konotasi melampaui makna literal atau denotatif dengan menambahkan lapisan interpretasi yang dipengaruhi oleh konteks budaya, pengalaman pribadi, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut. Oleh karena itu, makna konotasi sering kali bersifat subjektif dan bervariasi antara individu atau kelompok yang berbeda, mencerminkan kompleksitas dan keragaman makna dalam komunikasi dan representasi sosial.
Film adalah bidang kajian yang sangat relevan untuk analisis semiotika karena dibangun dari berbagai tanda. Tanda-tanda tersebut mencakup berbagai sistem tanda yang bekerja sama untuk mencapai efek yang diinginkan. Seperti yang dikemukakan oleh Roland Barthes, film biasanya memiliki makna yang terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified). Pada umumnya, penonton hanya memahami makna film secara keseluruhan, tetapi saat film dianalisis secara mendalam, banyak ditemukan makna denotasi, konotasi, dan mitos. Penelitian ini berfokus pada upaya menafsirkan makna denotasi, konotasi serta ideologi yang terkandung dalam film Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso, penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes untuk mengungkap secara gambling perluasan denotasi, konotasi dan ideologi dari film Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso. Data untuk penelitian ini diperoleh dari rekaman video asli yang merupakan bagian dari film Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso, yang diakses melalui platform Netflix. Kemudian penulis memilih gambar dari adegan-adegan film yang relevan dengan penelitian. Penelitian ini juga didasarkan pada konsep semiotika Charles Sanders Pierce, yang telah menjadi fokus penelitian oleh berbagai peneliti sebelumnya.
Berikut beberapa penelitian terdahulu yang sesuai dengan studi kasus penelitian ini yaitu Representasi Rekayasa Sosial dalam Film Unlocked (Analisis Semiotika Roland Barthes) oleh Irvanti Auliana dan Azwar pada tahun 2024. Hasil dari penelitian tersebut, peniliti menemukan beberapa makna denotasi, konotasi dan mitos yang merujuk pada budaya tindak kejahatan dunia maya. Makna denotasi rekayasa social dalam film Unlockedmempresentasikan rekayasa social sebagai tindak kejahatan yang dilakukan tanpa memerlukan motif tertentu. Makna konotasi film Unlocked mempresentasikan rekayasa sosial sebagai tindak kejahatan dilakukan dengan rangkaian pola bertahap mulai dari mengumpulkan informasi korban. Mitos dalam film unlocked mempresentasikan rekaya sosisal dilakukan perlu dengan etos kerja seperti disiplin, konsisten dan pantang menyerang dalam mencapai tujuannya. Kajian lain yang menjadi refrensi penulis adalah kajian yang berjudul “Kajian Semiotika Roland Barthes pada Poster Unicef” karya Junisti Tamara pada tahun 2020. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna denotasi, konotasi dan ideologi poster UNICEF. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan teknik analisis semiotika dapat membuat poster yang cukup membingungkan sekalipun menjadi lebih mudah dipahami. Kajian lain yang menjadi referensi penulis adalah penelitian berjudul "Pesan Moral dalam Film Anak Lanang: Analisis Semiotika Roland Barthes" karya Reza Abineri yang diterbitkan pada tahun 2023. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan memahami bagaimana representasi pesan moral mengenai pentingnya peran seorang ibu dalam mendidik dan membesarkan anak diungkapkan melalui elemen-elemen semiotik dalam film tersebut, serta bagaimana pesan tersebut dapat mempengaruhi persepsi dan pemahaman audiens terhadap nilai-nilai keluarga dan peran keibuan. Dengan beberapa penelitian yang dijadikan referensi oleh penulis, terlihat adanya kesamaan dalam teori yang digunakan, yaitu menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Metode ini diterapkan untuk mencari dan menginterpretasikan tanda-tanda yang terdapat dalam film, sehingga dapat menggali makna lebih dalam dari pesan-pesan yang disampaikan melalui elemen-elemen visual dan naratif dalam karya tersebut.
Alasan peneliti meneliti film “Ice Cold” adalah karena film ini merupakan film terpopuler. Berdasarkan data Netfilx, film tersebut ditonton selama 3 juta jam. Hal ini menjadikan Ice Cold sebagai film Netfilxterpopuler ke-7 di dunia selama periode 25 Septermber - 1 Oktober 2023. Di sisi lain Ice Cold sebagai film terpopuler ke7, film tersebut menampilkan salah satu peristiwa besar yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, peniliti tertarik untuk mengkaji apakah Film Ice Cold mengandung unsur propaganda.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan format deskriptif. Menurut Yusuf, penelitian kualitatif fokus pada mencari makna, pengertian, dan penjelasan tentang fenomena. Pendekatan ini mengutamakan kualitas, menggunakan berbagai metode, dan hasilnya disajikan secara naratif. Penelitian kualiatif deskriptif memiliki tujuan untuk merespons pertanyaan penelitian dengan cara yang rinci, sistematis, dan mendalam dengan fokus pada eksplorasi dan pemahaman fenomena yang dialami oleh subjek penelitian, seperti perilaku, pandangan, dorongan, dan tindakan melalui deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa yang sesuai dengan konteks alamiah tertentu.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan fokus penelitiannya adalah pada film Ice Cold:Murder, Coffe and Jessica Wongso. Menurut konsep Barthes, ada dua jenis makna: denotasi (arti sebenarnya dalam kamus) dan konotasi (makna dari pengalaman budaya dan personal). Penelitian ini bertujuan menganalisis makna dalam film melalui tanda-tanda yang digunakan dan bagaimana makna tersebut dipengaruhi oleh budaya dan sosial. Pada akhirnya, Barthes melihat kehidupan social itu sendiri sebagai suatu bentuk makna. Dengan kata lain, kehidupan sosial bagaimanapun kelihatannya merupakan suatu sistem tanda yang independen. Tayangan film seringkali menggambarkan kehidupan sosial. Oleh karena itu, simbol-simbol yang dikemukakan dalam film dapat dipahami oleh penonton dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian tanda-tanda propaganda dalam film Ice Cold dengan semiotika Roland Barthes dilakukan peneliti dengan menganalisis scene yang memiliki tanda propaganda dalam film Ice Cold. Film Ice Cold berdurasi satu jam dua puluh enam menit dengan genre dokumenter. Berdasarkan hasil analisis, peniliti menemukan 9 unit analisis. Setiap adegan-adegan yang memiliki tanda-tanda propaganda. Peneliti menggunakan teori semiotika Roland Barthes untuk membahas analisis film Ice Cold. Teori Semiotika Roland Barthes menjelaskan bahwa dalam suatu tanda yang dihadirkan terdapat makna berupa makna denotasi, konotasi dan mitos.
Figure 1.CCTV dari kejadian mirna mengalami kejang-kejang.
Denotasi
Rekaman CCTV saat kejadian menunjukkan momen ketika Mirna mengalami kejang-kejang setelah meminum Vietnam drip yang dipesannya. Dalam narasinya, Devi Siagian mengungkapkan perasaan curiga yang sangat kuat pada saat itu, menyatakan, "Saya sangat curiga dengannya pada saat itu" dan menambahkan, "Sehingga saya curiga dengannya pada saat itu" Komentar tersebut menyoroti keraguan yang muncul dalam pikiran Devi terhadap situasi tersebut, mengindikasikan adanya kecurigaan terhadap kejadian yang terjadi pada Mirna.
Konotasi
Di dalam adegan ini, konotasi yang tersirat adalah bahwa Devi Siagian memiliki kecurigaan bahwa Jessica adalah pelaku pembunuhan Mirna, didasarkan pada dugaan-dugaan yang muncul dari kejadian yang terjadi serta bukti yang terekam dalam rekaman CCTV. Kesimpulan tersebut menyiratkan bahwa Devi Siagian merasa bahwa ada keterkaitan antara perilaku Jessica dengan kejadian tragis tersebut, meskipun belum ada bukti konkret yang menunjukkan keterlibatannya. Hal ini menciptakan ketegangan dan ketidakpercayaan di antara karakter-karakter dalam cerita, serta menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang motivasi dan alasan di balik tindakan yang terjadi.
Mitos
Penggambaran persepsi narasi dari Devi Siagian dalam film ini secara tidak langsung mengarahkan penonton untuk melihat Jessica sebagai tersangka pembunuh Mirna. Melalui penyajian cerita yang konsisten dan detail-detail tertentu yang ditonjolkan, film ini membentuk persepsi penonton sehingga mereka cenderung menyimpulkan bahwa Jessica adalah pelaku kejahatan tersebut. Karena dalam scene tersebut terdapat komponen propaganda, yaitu; terdapat proses penyampaian gagasan, ide/kepercayaan atau doktrin & mempunyai tujuan untuk mengubah opini, sikap dan perilaku individu/kelompok, dengan teknik-teknik memengaruhi. Sehingga tanpa disadari, penonton dibimbing untuk percaya pada kesalahan Jessica.
Figure 2.Edi Darmawan Salihin, menyatakan dugaannya kepada media.
Denotasi
Dalam adegan ketika Edi Darmawan Salihin diwawancarai oleh wartawan, ia menyatakan dengan tegas, "Ya, anak saya mati. Yang beli kopi dia." Saat wartawan bertanya, "Dia siapa, Pak?" Edi menjawab, "Ya, tahu sendirilah. Semua juga tahu!"
Konotasi
Konotasi dari pernyataan ini menunjukkan ketegasan dan keyakinan Edi tentang siapa yang ia curigai bertanggung jawab atas kematian anaknya, meskipun ia tidak menyebutkan nama secara langsung. Responnya mencerminkan kekecewaan dan kemarahan, serta menekankan bahwa kecurigaannya sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan orang-orang yang terlibat dalam kasus tersebut.
Mitos
Dalam adegan tersebut terdapat unsur propaganda karena pernyataan dari Edi Darmawan Salihin yang menyiratkan bahwa yang membunuh Mirna adalah Jessica, seperti yang disampaikan kepada media. Pernyataan ini didasarkan pada dugaan bahwa kopi Mirna dimasukkan sianida oleh Jessica. Scene ini menggambarkan propagandis menggunakan teknik frustrastion scapegoat, salah satu teknik cara untuk menciptakan kebencian atau menyalurkan frustasi dengan menciptakan kambing hitam. Dengan kekuatan media dalam menyebarkan informasi tersebut dapat membentuk opini publik dan mengarahkan pandangan masyarakat terhadap keterlibatan Jessica dalam kejadian tersebut, meskipun belum ada bukti yang konklusif. Ini menunjukkan bagaimana media dapat digunakan untuk menyebarkan propaganda yang mempengaruhi persepsi publik terhadap individu tertentu dalam kasus kriminal.
Figure 3.Sesi wawancara Edi Darmawan Salihin.
Denotasi
Terdapat adegan di mana Edi Darmawan Salihin sedang diwawancarai oleh salah satu stasiun televisi. Dalam wawancara tersebut, Edi dengan tegas menyatakan, "Dia sekarang berbohong," merujuk pada seseorang yang diduga telah memberikan keterangan palsu. Kemudian, dilanjut dengan narasi Edi Darmawan yang mengatakan, "Baru orang lebih banyak yang mengkristal," mengisyaratkan bahwa semakin banyak orang yang mulai memahami dan menerima kebenaran dari situasi yang sedang dibicarakan. Kemudian, Edi Darmawan melanjutkan pernyataannya dengan lebih tegas lagi, mengatakan, "bahwa Jessica adalah pembunuhnya," menuding secara langsung bahwa Jessica adalah pelaku dari tindakan kriminal yang sedang dibahas.
Konotasi
Dengan cara mendoktrin masyarakat, pernyataan bahwa Jessica adalah pembunuhnya dapat diulang secara terus-menerus. Proses ini melibatkan penyampaian pesan yang sama secara berulang kali melalui berbagai media dan platform, sehingga pesan tersebut tertanam dalam pikiran masyarakat. Dengan pengulangan yang konsisten, masyarakat mungkin mulai menerima pernyataan tersebut sebagai kebenaran, meskipun pada awalnya mungkin ada keraguan atau ketidakpercayaan.
Mitos
Salah satu cara untuk menciptakan kebencian di masyarakat adalah dengan menciptakan kambing hitam. Dalam konteks ini, Edi Darmawan secara sengaja menyebarkan narasi tertentu untuk menjadikan Jessica sebagai kambing hitam. Dengan terus-menerus menuduh dan menyalahkan Jessica, Edi Darmawan berharap masyarakat akan turut membenci Jessica. Dengan menyalurkan kebencian, menciptakan kambing hitam, dan dilakukan secara terus-menerus, tujuan utamanya adalah mengubah opini, sikap, dan perilaku individu atau kelompok menggunakan teknik-teknik memengaruhi. Tindakan ini merupakan upaya yang disengaja untuk mengarahkan perhatian dan kemarahan masyarakat kepada satu individu, sehingga kebencian tersebut dapat ditanamkan dan diperkuat melalui narasi yang berulang-ulang.
Figure 4.Adegan menampilkan berita di koran terkait Jessica.
Denotasi
Makna denotasi dalam film ini, terdapat adegan yang menampilkan media cetak berupa koran yang memperlihatkan sebuah berita dengan judul utama "Jessica Masih Bisa Menebar Senyum" pada halaman depan salah satu edisinya. Berita tersebut menjadi sorotan utama, menekankan pada kenyataan bahwa meskipun Jessica sedang menghadapi tuduhan serius terkait kasus pembunuhan Mirna dengan kopi sianida, ia masih mampu menampilkan senyum di hadapan publik. Headline ini tidak hanya menarik perhatian pembaca tetapi juga mengandung pesan implisit yang berpotensi mempengaruhi opini masyarakat tentang sikap dan kondisi psikologis Jessica selama proses hukum berlangsung.
Konotasi
Makna konotasi dalam film ini, salah satu media cetak berupa koran secara jelas bertujuan untuk memusatkan perhatian dan membentuk opini masyarakat terhadap kasus pembunuhan yang melibatkan kopi sianida, di mana Jessica diduga sebagai pelaku pembunuhan terhadap Mirna. Koran tersebut menampilkan headline provokatif “Jessica Masih Bisa Menebar Senyum” di halaman depannya. Dengan headline ini, media tersebut ingin menyampaikan pesan bahwa meskipun Jessica sedang berada dalam posisi sulit dan dituduh melakukan pembunuhan, dia masih terlihat tenang dan mampu tersenyum di hadapan publik. Pesan ini seolah-olah menekankan ketenangan dan penampilan luar Jessica, yang mungkin di luar ekspektasi banyak orang dalam situasi seperti itu. Akibatnya, hal ini bisa mempengaruhi persepsi masyarakat, membuat mereka melihat Jessica sebagai seseorang yang mampu menghadapi tekanan besar dengan sikap tenang. Dengan demikian, koran tersebut tidak hanya menyampaikan berita tetapi juga membentuk narasi yang kuat yang dapat mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap kasus dan individu yang terlibat di dalamnya.
Mitos
Makna mitos dalam film ini, disoroti bahwa pembentukan opini masyarakat sering kali sangat dipengaruhi oleh informasi pertama yang mereka terima. Media cetak, khususnya, memiliki peran yang signifikan dalam memengaruhi pandangan dan opini publik. Oleh karena itu, strategi penempatan berita pada halaman depan koran, dengan ukuran kolom yang besar, memiliki dampak yang cukup besar dalam menentukan seberapa pentingnya suatu topik bagi masyarakat.
Dengan menampilkan berita penting di halaman depan dalam ukuran yang mencolok, media cetak secara efektif menarik perhatian pembaca dan menginduksi mereka untuk membaca atau setidaknya memperhatikan topik tersebut. Hal ini membentuk kesan bahwa topik tersebut merupakan hal yang signifikan dan relevan bagi masyarakat. Dengan begitu, informasi yang disajikan dalam berita tersebut dapat menjadi penentu utama dalam membentuk pandangan awal masyarakat terhadap suatu isu atau peristiwa.
Dalam konteks film ini, strategi tersebut mungkin digunakan oleh karakter-karakter tertentu untuk memanipulasi opini publik atau untuk mengarahkan perhatian masyarakat pada suatu agenda tertentu. Dengan menampilkan berita dengan judul yang menonjol dan ukuran yang besar, karakter-karakter tersebut dapat secara efektif memanfaatkan media cetak sebagai alat untuk memengaruhi persepsi masyarakat sesuai dengan kepentingan mereka.
Figure 5.Adegan menampilkan penjara wanita dari atas.
Denotasi
Secara denotatif, ini berarti bahwa otoritas yang berwenang (misalnya, kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan) mengambil tindakan tegas untuk memastikan bahwa Jessica tidak memiliki kesempatan untuk memberikan pernyataan atau wawancara kepada media. Tindakan ini mungkin dilakukan untuk menjaga integritas penyelidikan, menghindari gangguan pada proses peradilan, atau mencegah Jessica dari mempengaruhi opini publik lebih lanjut.
Konotasi
Konotasi-konotasi ini menunjukkan bahwa tindakan memblokir wawancara memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar tindakan pembatasan. Tindakan ini mencerminkan berbagai aspek kekuasaan, di mana pihak berwenang menunjukkan kontrol mereka atas informasi yang boleh diakses oleh publik. Selain itu, hal ini juga menyiratkan adanya upaya sensor, di mana pihak berwenang berusaha membungkam suara Jessica, mungkin untuk mencegah informasi tertentu keluar atau untuk mengarahkan opini publik sesuai dengan keinginan mereka. Lebih jauh lagi, tindakan ini menunjukkan pembatasan terhadap hak individu, khususnya hak kebebasan berbicara, yang diambil dari Jessica dalam situasi ini. Selain itu, tindakan ini juga mempengaruhi dinamika opini publik, karena dengan mengendalikan informasi yang disebarkan, pihak berwenang berusaha mengarahkan persepsi dan sikap masyarakat terhadap kasus yang sedang berlangsung.
Mitos
Mitos dalam adegan ini menyoroti bagaimana tindakan otoritas untuk memotong wawancara dan menutupi informasi tertentu mencerminkan ideologi kekuasaan yang mengendalikan narasi, melindungi reputasi, dan membatasi kebebasan berbicara. Ini menunjukkan bahwa dalam situasi hukum dan penahanan, informasi dan kebenaran sering kali diatur dan dimanipulasi oleh otoritas untuk menjaga kontrol dan stabilitas mereka.
Tindakan otoritas dalam memblokir wawancara dengan Jessica menunjukkan bagaimana kekuasaan digunakan untuk mengontrol informasi yang sampai ke publik. Dengan membatasi wawancara, otoritas berusaha menjaga kendali atas narasi yang beredar di media dan mencegah munculnya perspektif yang mungkin merugikan reputasi mereka atau menggoyahkan pandangan yang ingin mereka tanamkan di masyarakat.
Selain itu, tindakan ini mencerminkan upaya untuk melindungi reputasi otoritas dengan menghindari kemungkinan adanya informasi yang dapat menimbulkan keraguan atau simpati terhadap Jessica. Dalam banyak kasus hukum, manipulasi informasi semacam ini digunakan untuk memastikan bahwa narasi yang mendominasi adalah yang mendukung tindakan dan keputusan pihak berwenang.
Pembatasan kebebasan berbicara yang ditunjukkan melalui pemotongan wawancara ini juga menyoroti bagaimana hak-hak individu sering kali dikorbankan demi kepentingan kekuasaan dan stabilitas. Dalam konteks penahanan dan proses hukum, pihak berwenang dapat menggunakan kekuasaan mereka untuk membatasi apa yang dapat dikatakan oleh tersangka atau terdakwa, sehingga mengendalikan bagaimana publik memahami dan menilai kasus tersebut.
Secara keseluruhan, adegan ini mengungkapkan bahwa dalam situasi hukum dan penahanan, kebenaran dan informasi sering kali diatur dan dimanipulasi oleh otoritas untuk mempertahankan kontrol dan stabilitas mereka. Ini menggambarkan bagaimana kekuasaan dapat digunakan untuk mengendalikan narasi publik, melindungi kepentingan otoritas, dan membatasi kebebasan individu dalam menyampaikan sudut pandang mereka.
Figure 6.Adegan ini menampilkan Otto Hasibuan saat diliput oleh media.
Denotasi
Pada adegan tersebut, Otto Hasibuan, yang bertindak sebagai pengacara Jessica, muncul di depan media dan dengan tegas menyatakan, "Tidak ada bukti." Pernyataan ini disampaikan untuk menegaskan bahwa tuduhan terhadap kliennya tidak didukung oleh bukti yang kuat. Setelah itu, Otto Hasibuan mempertanyakan asal-usul barang bukti dengan mengatakan, "Dari mana barang sianida itu diambil? Dari kantongnya kah?".
Konotasi
Dengan pernyataan pada adegan di atas, Otto Hasibuan memberikan pandangan lain mengenai kasus pembunuhan Mirna, di mana Jessica diduga meracuni Mirna menggunakan sianida. Dalam wawancara dengan media, Otto Hasibuan menegaskan, "Tidak ada bukti," untuk menunjukkan bahwa tuduhan terhadap Jessica tidak didukung oleh bukti konkret. Adegan berlanjut ke gambar 15, di mana Otto Hasibuan mempertanyakan asal-usul barang bukti dengan mengatakan, "Dari mana barang sianida itu diambil? Dari kantongnya kah?" Pernyataan ini dirancang untuk menimbulkan keraguan tentang sumber sianida dan mengkritik ketidakjelasan dalam kasus tersebut. Otto Hasibuan berusaha meyakinkan bahwa jaksa penuntut umum tidak memiliki bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa Jessica adalah pelaku yang meracuni Mirna.
Mitos
Otto Hasibuan melakukan pembelaan terhadap Jessica dengan cara mengubah opini publik. Dia menyampaikan pernyataan yang menekankan bahwa jaksa penuntut tidak memiliki bukti yang cukup untuk menuduh Jessica sebagai pembunuh. Dengan menggunakan selection technic,propagandis menfaatkan fakta-fakta yang tersedia untuk membuktikan sasaran yang ditentukan. Dengan mengungkapkan kepada media bahwa tidak ada bukti konkret yang mengaitkan Jessica dengan pembunuhan tersebut, Otto Hasibuan berusaha menanamkan keraguan di benak masyarakat tentang validitas tuduhan tersebut. Pernyataan seperti, "Tidak ada bukti," dan pertanyaan kritis seperti, "Dari mana barang sianida itu diambil? Dari kantongnya kah?" digunakan untuk memperkuat argumen bahwa kasus yang dibawa oleh penuntut hukum tidak memiliki dasar yang kuat. Dengan cara ini, Otto Hasibuan berupaya menggeser opini publik dan membela kliennya dari tuduhan yang diajukan.
Figure 7.Adegan kesaksian dari Djaja Surya Atmadja.
Denotasi
Dalam beberapa gambar di atas, ditampilkan adegan di mana Dr. Djaja Surya Atmadja, seorang dokter DNA pertama di Indonesia, hadir sebagai saksi dalam persidangan kasus Jessica dan Mirna. Terdapat narasi yang berbunyi, “Kalau tidak diperiksa otaknya, kita tidak tahu,” yang menyoroti pentingnya pemeriksaan otak dalam menentukan penyebab kematian. Selanjutnya, narasi berlanjut dengan pernyataan, “Apakah di otaknya ada strok atau tidak, misalnya,” menunjukkan kemungkinan penyebab lain kematian selain racun. Dr. Djaja Surya Atmadja mengatakan, “Yang semuanya bisa membikin mati,” mengindikasikan bahwa ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kematian.
Selanjutnya terdapat adegan di mana Otto Hasibuan mengajukan pertanyaan kepada Dr. Djaja Surya Atmadja. Otto bertanya, “Dengan hasil pemeriksaan ini, apa kesimpulan, saudara?” Dr. Djaja Surya Atmadja kemudian menjawab, “Matinya bukan karena sianida.” Jawaban ini menegaskan bahwa berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, penyebab kematian Mirna tidak disebabkan oleh sianida, yang memperkuat argumen pembelaan bahwa Jessica mungkin bukan pelaku pembunuhan tersebut.
Konotasi
Adegan yang menampilkan Dr. Djaja Surya Atmadja sebagai saksi dalam persidangan kasus Jessica dan Mirna mengandung unsur propaganda. Dalam kesaksiannya, Dr. Djaja menyatakan bahwa kematian Mirna bukan disebabkan oleh sianida. Pernyataan ini menjadi penting dalam konteks persidangan karena sebelumnya, banyak media dan saksi yang menggiring opini publik untuk membenci Jessica. Selama persidangan berlangsung, sebelum Dr. Djaja dihadirkan sebagai saksi, narasi yang beredar di media banyak yang menuduh Jessica sebagai pembunuh dengan menggunakan sianida. Dengan kesaksian Dr. Djaja, muncul pandangan alternatif yang membantah tuduhan tersebut dan menantang narasi yang sudah terbentuk. Hal ini menunjukkan adanya upaya untuk mengubah opini publik dan memberikan perspektif yang berbeda mengenai penyebab kematian Mirna, sehingga kesaksian ini memiliki dampak signifikan dalam membentuk persepsi masyarakat tentang kasus tersebut.
Mitos
Kesaksian ilmiah dan bukti medis dapat mengubah opini publik dan meruntuhkan narasi yang telah terbentuk sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa kebenaran ilmiah dan fakta medis memiliki kekuatan untuk mengubah persepsi dan keyakinan masyarakat. Proses ini melibatkan penyampaian gagasan, ide, kepercayaan, atau doktrin yang dirumuskan sedemikian rupa agar dapat mencapai tujuannya dengan efektif. Proses hukum dan persidangan adalah medan pertarungan narasi dan opini di mana kebenaran dapat dibentuk ulang berdasarkan bukti dan kesaksian baru. Ini menunjukkan ideologi bahwa keadilan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi sesuatu yang dinamis dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Figure 8.Adegan wawancara dari Fristian Greic salah satu jurnalis.
Denotasi
Fristian Greic mengatakan, “Saya melihat, orang yang sangat manja.” Selanjutnya, dia menyatakan, “Di saat psikologi menggambarkan dia orang yang terstruktur.” Dalam wawancara ini, pandangan Fristian Greic bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh ahli psikologi. Kontradiksi ini ditandai dengan narasi dari Fristian Greic yang mengatakan, “Itu sebuah hal yang sangat kontradiktif.” Fristian Greic menunjukkan ketidakcocokan antara pengamatannya yang melihat seseorang sebagai sangat manja dan penilaian ahli psikologi yang menggambarkan orang tersebut sebagai pribadi yang terstruktur. Pandangan yang berlawanan ini menyoroti adanya perbedaan interpretasi terhadap karakter seseorang, memperlihatkan kompleksitas dalam memahami perilaku manusia dari perspektif yang berbeda.
Konotasi
Konotasi dari pernyataan tersebut menyoroti adanya perbedaan interpretasi terhadap karakter seseorang, memperlihatkan kompleksitas dalam memahami perilaku manusia dari perspektif yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks dan bisa dilihat dari banyak sudut pandang yang berbeda, masing-masing dengan validitasnya sendiri. Interpretasi yang berbeda ini menggarisbawahi bahwa sifat manusia tidak bisa dipahami secara sederhana dan memerlukan pemahaman yang mendalam dari berbagai perspektif. Hal ini menegaskan bahwa dalam menganalisis perilaku manusia, tidak ada satu pandangan tunggal yang dapat sepenuhnya menjelaskan segala aspek dari karakter seseorang.
Mitos
Dalam teori mitos Roland Barthes, mitos adalah cara penandaan kedua yang bekerja pada tanda dalam konteks teori mitos Roland Barthes, pernyataan tersebut mencerminkan mitos tentang kompleksitas manusia dan kebutuhan untuk menggunakan berbagai perspektif untuk memahami sifat manusia secara mendalam. Ini mengajarkan bahwa penilaian manusia tidak dapat disederhanakan menjadi satu pandangan tunggal dan bahwa kebenaran tentang sifat manusia bersifat relatif dan multifaset. Gagasan yang disampaikan pada adegan tersebut bertujuan untuk mengubah opini individu atau kelompok dengan menggunakan teknik-teknik memengaruhi. Mitos ini menekankan pentingnya diversitas dalam pemahaman dan mengkritisi pandangan yang dogmatis serta superfisial.
Figure 9.Adegan menampilkan Otto Hasibuan dalam persidangan.
Denotasi
Adegan yang menampilkan Otto Hasibuan memberikan narasi yang menekankan ketidakadilan dan keberpihakan yang terjadi dalam kasus tersebut. Otto Hasibuan dengan tegas menyatakan bahwa tindakan yang diambil sangat tidak adil dan tidak berdasarkan hukum. Kemudian, Otto Hasibuan dengan penuh keyakinan mengatakan, “Dan kami melihat ada lonceng kematian keadilan.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa menurut pandangan Otto Hasibuan, proses hukum yang sedang berlangsung telah menyimpang jauh dari prinsip-prinsip keadilan dan telah mengguncang fondasi sistem hukum yang seharusnya melindungi kebenaran dan keadilan.
Konotasi
Otto Hasibuan menekankan adanya ketidakadilan dalam kasus tersebut, menyiratkan bahwa ada kekuatan atau pihak tertentu yang mempengaruhi proses hukum secara tidak adil. Ini mencerminkan kekhawatiran dan kritik terhadap integritas sistem hukum. Pernyataan tentang keberpihakan menunjukkan bahwa proses hukum tidak netral dan ada bias yang signifikan, menimbulkan perasaan ketidakpercayaan terhadap lembaga peradilan dan pihak-pihak yang seharusnya bertindak adil.
Dengan menyatakan bahwa tindakan yang diambil sangat tidak adil dan tidak berdasarkan hukum, Otto Hasibuan mengekspresikan kekecewaan dan kemarahan, menyoroti frustrasi terhadap sistem yang gagal melindungi hak-hak individu. Pernyataan "lonceng kematian keadilan" memberikan gambaran dramatis dan mengerikan tentang runtuhnya keadilan. Ini mengimplikasikan bahwa situasi ini tidak hanya buruk tetapi juga fatal bagi prinsip-prinsip keadilan, menunjukkan adanya krisis serius dalam sistem hukum.
Mitos
Mitos-mitos ini menggambarkan kompleksitas dan tantangan dalam menegakkan keadilan, serta menekankan peran penting individu yang berani dan berkomitmen untuk melawan ketidakadilan. Mereka mencerminkan ideologi yang lebih luas tentang bagaimana keadilan tidak selalu mudah dicapai dan memerlukan upaya terus-menerus dari semua pihak untuk memperbaiki dan mempertahankan integritas sistem hukum. Dengan menyampaikan gagasan atau doktrin dengan menggunakan pernyataan “lonceng kematian keadilan” di persidangan propagandis bertujuan untuk mengubah opini kepada individu/kelompok.
Hasil pembahasan film "Ice Cold" memperlihatkan bahwa kedua belah pihak, baik Edi Darmawan Salihin maupun pihak Jessica, mengandung unsur makna propaganda. Edi Darmawan Salihin, dalam upayanya untuk mengarahkan opini publik, menegaskan bahwa Jessica adalah seorang pembunuh berdarah dingin. Ini terlihat dari pernyataannya yang menyebutkan bahwa masyarakat akan memberi label negatif kepada Jessica, mengesampingkan bukti dan proses hukum yang seharusnya dijalani secara adil. Pernyataan ini menunjukkan upaya untuk membentuk persepsi publik dan menstigmatisasi Jessica tanpa memperhatikan asas praduga tak bersalah.
Di sisi lain, pihak Jessica, melalui pembelaannya yang disampaikan oleh Otto Hasibuan, juga menunjukkan unsur propaganda. Otto Hasibuan menekankan ketidakadilan dalam proses hukum dan keberpihakan yang terjadi, yang bertujuan untuk mengubah opini publik dan mempertanyakan integritas sistem peradilan. Pernyataannya tentang "lonceng kematian keadilan" menggambarkan krisis serius dalam sistem hukum, berusaha membangkitkan simpati dan dukungan dari masyarakat terhadap Jessica. Dengan demikian, kedua belah pihak menggunakan strategi propaganda untuk mempengaruhi persepsi dan opini publik, baik dengan cara membentuk stigma negatif maupun dengan membangkitkan rasa ketidakadilan. Hal ini mencerminkan bagaimana komunikasi massa dapat digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi dan mengarahkan pandangan masyarakat dalam kasus-kasus yang kontroversial.
Selama ini penonton hanya memahami makna keseluruhan dari sebuah film. Namun, ketika film tersebut dianalisis, terdapat banyak makna denotasi, konotasi, dan mitos yang tersembunyi. Misalnya, dari sembilan adegan yang dijadikan bahan penelitian, terdapat makna denotatif yang merupakan makna langsung dari masing-masing adegan, serta makna mitos dari kesembilan adegan tersebut.
Pesan dalam film Ice Cold, yang disampaikan dengan durasi yang panjang, mampu tersampaikan dengan baik kepada penonton. Pesan denotatif film ini mengandung propaganda yang dapat mempengaruhi pola pikir, keyakinan, dan tindakan individu, masyarakat, atau bangsa. Makna konotasi dalam film ini menggambarkan dugaan bahwa Mirna adalah pembunuh melalui gerak-gerik yang terekam di CCTV, didukung oleh masalah psikologis yang dialami oleh Jessica. Namun, pihak Jessica membantah bukti-bukti tersebut dengan memanggil beberapa saksi, termasuk Djaja Surya Atmadja, dokter DNA pertama di Indonesia. Meskipun demikian, keputusan hakim menetapkan Jessica sebagai pembunuh Mirna. Hal ini menimbulkan kekecewaan pada pihak Jessica, karena menurut Otto Hasibuan, tidak ada keadilan dalam kasus tersebut.