Background: Stunting is a significant global health issue, with Indonesia's prevalence reaching 21.6% in 2022, particularly alarming in Keboguyang Village, Jabon District, where the stunting rate stands at 10%. Specific Background: Despite allocating 10% of village funds for stunting prevention, the persistence of high rates necessitates a critical evaluation of current interventions. Knowledge Gap: Limited research exists on the implementation effectiveness of stunting prevention programs at the village level in Indonesia, particularly regarding communication, resource allocation, and bureaucratic structure. Aims: This study aims to evaluate the implementation of stunting prevention programs in Keboguyang Village using Edward III's (1980) theory of policy implementation, focusing on the factors influencing success or failure. Results: Utilizing qualitative descriptive methods, data were collected through field observations, interviews with key informants—including the village head, midwife, health cadres, and mothers—and documentation analysis. The findings reveal effective communication strategies through door-to-door outreach and child data collection, alongside strong commitment from local leadership. However, challenges arise from insufficient incentive regulations, limited human resources, and infrastructural deficiencies. Novelty: This research contributes new insights into the multifaceted nature of stunting prevention efforts at the community level, highlighting specific barriers that need addressing. Implications: The study underscores the need for enhanced human resources and infrastructural support to bolster the effectiveness of stunting prevention initiatives, providing valuable recommendations for policymakers and community health programs aimed at reducing stunting rates in Indonesia.
Highlights:
Keywords: Stunting, Indonesia, Health Policy, Community Development, Implementation
Stunting menjadi masalah kesehatan global yang mempengaruhi jutaan anak di seluruh dunia. Stunting adalah gangguan perkembangan dan pertumbuhan anak yang ditandai dengan panjang atau tinggi badan yang berada di bawah standar yang diakibatkan oleh kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang [1]. Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan pangan [2]
Estimasi jumlah balita stunting di seluruh dunia pada tahun 2020 adalah 159,2 juta atau 22% [3]. Sedangkan di Indonesia sendiri menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2022 adalah 21.6% [4]. Meskipun mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu 24,4% di tahun 2021, angka prevalensi tersebut masih besar dibandingkan standar WHO tentang prevalensi stunting yang harus kurang dari 20%. Maka dari itu, stunting masih menjadi isu publik yang menimbulkan masalah yaitu dampak kesehatan seperti gagalnya pertumbuhan, hambatan perkembangan kognitif dan motorik, serta gangguan metabolik pada saat dewasa, sehingga meningkatkan resiko penyakit tidak menular kepada masyarakat. Selain dampak kesehatan, stunting juga menimbulkan dampak masalah di bidang ekonomi yaitu berpotensi merugikan negara sebesar 2-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya.
Terdapat dua faktor penyebab langsung stunting yaitu penyakit dan asupan zat gizi. Kedua faktor tersebut berhubungan dengan faktor akses terhadap makanan, akses terhadap layanan kesehatan, pola asuh, dan sanitasi lingkungan [5]. Mengingat faktor penyebab stunting multifaktor, maka upaya pencegahan stunting juga harus melalui pendekatan multisektor. Hal ini berarti dalam penanganan stunting tidak hanya di sektor kesehatan yang berperan, sektor-sektor di luar kesehatan juga berperan penting dalam penanganannya.
Berdasarkan hasil SSGI pada tahun 2022, penurunan prevalensi stunting di Indonesia dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6 % di tahun 2022 berasal dari sejumlah provinsi yang berhasil menurunkan angka stunting dari tahun 2021 sampai 2022 sekitar 5%, antara lain Sumatera Selatan turun dari 24,8% menjadi 18,6%, Kalimantan Utara turun dari 27,5% menjadi 22,1%, Kalimantan Selatan turun dari 30% menjadi 24,6%, dan Riau turun dari 22,3% menjadi 17%. Ada pula provinsi yang berhasil menurunkan sekitar 3% angka stunting di tahun 2022 yaitu Jawa Barat turun dari 24,5% menjadi 20,2% dan Jawa Timur turun dari 23,5% menjadi 19,2% [4].
Meskipun prevalensi stunting di Jawa Timur pada tahun 2022 sudah berada bawah standar prevalensi stunting WHO yaitu tidak lebih dari 20%, angka prevalensi Provinsi Jawa Timur yang sebesar 19,2% masih mendekati ambang batas tersebut. Angka tersebut bersumber dari rata-rata angka prevalensi stunting di kabupaten/kota di Jawa Timur yang cukup tinggi. Angka prevalensi balita stunting tahun 2022 di Provinsi Jawa Timur menurut kabupaten/kota dapat dilihat pada Gambar 1.
Figure 1.Prevalensi Balita Stunting Tahun 2022 di Provinsi Jawa Timur Menurut Kabupaten/Kota
Dari gambar di atas, pada tahun 2022 sebanyak 19 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tercatat prevalensi stunting melebihi 20%. Angka ini perlu menjadi perhatian karena lebih banyak kabupaten yang angka prevalensinya lebih besar dari prevalensi stunting di Jawa Timur dibandingkan dengan kabupaten yang angka prevalensinya lebih kecil. Kabupaten Sidoarjo sendiri angka prevalensinya cukup besar yaitu sebesar 16,1%. Angka tersebut naik dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 14,8% di tahun 2021. Kenaikan tersebut tidak berbanding lurus dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Sidoarjo yang sangat tinggi menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sidoarjo yaitu sebesar 81,02.
Adanya peningkatan prevalensi stunting di Kabupaten Sidoarjo di tahun 2022 padahal secara nasional dan Jawa Timur mengalami penurunan, hal tersebut disebabkan oleh kondisi ekonomi keluarga, tingkat pemahaman masyarakat dalam masalah pemberian gizi seimbang, dan perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu, faktor yang berpengaruh dalam perkembangan balita penderita stunting adalah pola asuh orang tua dimana kurangnya pengetahuan orang tua terhadap pemberian gizi selama hamil maupun setelah memiliki balita [6].
Sebelumnya Pemerintah Kabupaten Sidoarjo sudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk pencegahan stunting. Salah satu kebijakan tersebut adalah menetapkan desa prioritas pencegahan dan penanganan stunting dalam Keputusan Bupati Sidoarjo Nomor : 188/334/438.1.1.3/2021 tentang Desa Prioritas Pencegahan dan Penanganan Stunting serta Intervensi Gizi Spesifik dan Sensitif Kabupaten Sidoarjo Tahun 2022 yang diketahui bahwa terdapat 24 desa yang ditetapkan menjadi locus percepatan penurunan stunting. Desa-desa tersebut antara lain 7 desa di Kecamatan Jabon, 7 desa di Kecamatan Waru, 1 desa di Kecamatan Gedangan, 2 desa di Kecamatan Buduran, 1 desa di Kecamatan Balongbendo, dan 3 kelurahan di Kecamatan Sidoarjo. Kecamatan Jabon menjadi salah satu dari 2 kecamatan yang memiliki 7 desa locus percepatan penurunan stunting. Kecamatan Jabon sendiri pada tahun 2022 memiliki angka prevalensi sebesar 15.5%. Angka tersebut nomor dua terbesar di Kabupaten Sidoarjo setelah Kecamatan Waru yaitu sebesar 19%.
Salah satu desa yang menjadi locus percepatan penurunan stunting yaitu Desa Keboguyang. Desa Keboguyang adalah desa yang terletak di Kecamatan Jabon Kabupaten Sidoarjo dan termasuk desa yang terdampak lumpur lapindo. Desa Keboguyang terdiri dari 5 dusun yaitu Dusun Guyangan, Dusun Trosobo, Dusun Kriyan, Dusun Buaran I, dan Dusun Buaran II. Desa Keboguyang terdiri Dari 9 Rukun Warga (RW) dan 27 Rukun Tetangga (RT). Desa Keboguyang memiliki luas sebesar 158 hektar yang sebanyak 100 hektarnya digunakan untuk lahan pertanian dan sebanyak 58 hektar sebagai pemukiman penduduk. Berdasarkan data pemerintah Desa Keboguyang tahun 2022, jumlah penduduk Desa Keboguyang berjumlah 4943 jiwa, dengan rincian 2.495 penduduk laki-laki dan 2495 penduduk perempuan yang terdiri dari 1.546 KK. Data jumlah balita terindikasi stunting tahun 2022 dan tahun 2023 di Desa Keboguyang pada tiap pos dapat dilihat pada Tabel 1.
Pos | Tahun 2022 | Tahun 2023 | ||
---|---|---|---|---|
Jumlah Balita Peserta Posyandu | Jumlah Balita T erind ikasi Stunting | Jumlah Balita Peserta Posyandu | Jumlah Balita T erindikasi Stunting | |
Pos 1 | 187 | 23 | 208 | 7 |
Pos 2 | 109 | 2 | 93 | 4 |
Pos 3 | 145 | 0 | 125 | 0 |
Pos 4 | 43 | 5 | 86 | 0 |
Total | 484 | 30 | 512 | 11 |
Dari tabel di atas diketahui di Desa Keboguyang terjadi peningkatan dalam jumlah balita namun balita stunting cenderung mengalami penurunan. Meskipun mengalami penurunan, angka tersebut masih terbilang besar, hal tersebut disebabkan dari beberapa faktor salah satunya adalah banyaknya masyarakat yang masih percaya terhadap mitos perkembangan anak yang tidak sesuai dengan kesehatan, seperti pemberian MPASI sebelum usia anak 6 bulan, mitos bahwa pemberian susu formula membuat anak lebih gemuk dan sehat daripada ASI eksklusif, dan lain-lain, dari permasalahn tersebut perlu adanya program untuk pencegahan stunting di desa. Pemerintah desa merupakan salah satu aktor yang wajib berperan dalam pencegahan stunting sesuai dengan apa yang tertuang di Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2022 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2023 pasal 6 (2) huruf c yang menjelaskan bahwa penurunan dan pencegahan stunting merupakan prioritas kegiatan dalam penggunaan dana desa. Peraturan tersebut juga berfungsi sebagai sumber kepastian hukum pemerintah desa untuk melaksanakan program pencegahan stunting [7].
Sebagai salah satu desa yang ditunjuk menjadi locus stunting dalam keputusan Bupati Kabupaten Sidoarjo, Pemerintah Desa Keboguyang sebenarnya pada tahun 2021 telah menganggarkan sebanyak Rp.103.000.000 atau 10% dari dana desa sebagai penunjang program/kegiatan untuk menurunkan tingkat stunting tersebut, antara lain Pemberian Makanan Tambahan (PMT), kelas ibu hamil, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), kelas gizi, dan sosialisasi pencegahan stunting. PMT merupakan pemberian makanan tambahan yang kaya akan zat gizi kepada anak yang terindikasi stunting untuk meningkatkan status gizi anak. Kelas ibu hamil yaitu kelompok belajar bagi para calon ibu tentang kesehatan kehamilan dan persalinan yang lancar. Posyandu memberikan pelayanan kesehatan rutin berupa penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan, dan pemberian imunisasi pada anak setiap bulan. Kelas gizi yaitu pemberian informasi kepada orang tua agar selektif dalam memberikan asupan pada anak dengan gizi yang seimbang. Adapun sosialisasi pencegahan stunting ditujukan untuk meningkatkan pemahaman orang tua yang memiliki anak balita tentang pentingnya mencegah stunting. Akan tetapi, meskipun sudah terdapat program-program pencegahan stunting tersebut ternyata kondisi stunting di Desa Keboguyang masih menunjukkan angka stunting yang cukup tinggi bahkan salah satu tertinggi di wilayah Kecamatan Jabon. Oleh karena itu, implementasi kebijakan program penurunan prevalensi stunting harus terus dikawal.
Implementasi kebijakan dapat diidentifikasi sebagai suatu rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh institusi pemerintah, baik secara individu maupun berkelompok dalam rangka mencapai tujuan yang telah dirumuskan dalam kebijakan kepada masyarakat sehingga dapat membawa hasil yang diharapkan [8]. Menurut Edward III (1980), faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan terdiri atas komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi [9]. Implementasi kebijakan akan berjalan optimal jika suatu komunikasi kebijakan disampaikan secara jelas dengan pemahaman yang sama dan dapat dilaksanakan secara konsisten antara pelaksana kepada masyarakat. Sumber yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan implementasi kebijakan adalah kecukupan dan kualifikasi sumber daya manusia sebagai pelaksanaan kebijakan, kewenangan, informasi, serta sarana dan prasarana. Disposisi atau sikap para pelaksana diperlukan untuk mendukung suatu kebijakan yang ditetapkan. Selain itu, karakteristik struktur birokrasi seperti Standard Operating Procedure (SOP) dan fragmentasi turut menentukan keberhasilan implementasi kebijakan karena SOP berfungsi sebagai prosedur perencanaan yang baik serta kontrol untuk pelaksanaan kebijakan, sementara fragmentasi berfungsi sebagai penyebaran pelaksana kebijakan yang dilaksanakan tanpa tumpang tindih dengan pembagian tugas secara menyeluruh dalam implementasi kebijakan.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Afrizal & Rodiyah tahun 2023 berjudul “Implementasi Program Literasi Kesehatan dalam Penanganan Stunting di Desa Tambak Kalisogo” yang menjelaskan tentang implementasi program literasi pencegahan stunting di Desa Tambak Kalisogo dalam 3 indikator variabel lingkungan implementasi. Penelitian tersebut berfokus pada implementasi program melalui literasi serta aktor-aktor yang terlibat, karakteristik lembaga pelaksana pencegahan stunting, serta tingkat kepatuhan dan respon pelaksana [10]. Kemudian penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Regita & Pratama tahun 2023 berjudul “Peran Pemerintahan Desa dalam Upaya Pencegahan dan Penurunan Stunting Terintegrasi” menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif untuk menjelaskan upaya Desa Widoro dalam penanganan dan pencegahan stunting dengan intervensi gizi spesifik dan sensitif [11]. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Nuramalia et al. tahun 2023 yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pencegahan Stunting oleh Desa Saguling Kecamatan Baregbeg Kabupaten Ciamis” yang mengkaji keberhasilan implementasi kebijakan pencegahan stunting melalui 4 faktor keberhasilan dan disimpulkan bahwa implementasi kebijakan pencegahan stunting di desa tersebut belum optimal [12].
Berdasarkan hasil observasi awal penulis, implementasi pencegahan stunting di Desa Keboguyang menurut teori Edward III (1980) dirasa kurang efektif pada dua faktor yaitu faktor komunikasi dan sumber daya, yang ditunjukan dalam indikator-indikator yaitu Pemerintah Desa belum efektif dalam pelaksanaan sosialisasi stunting karena kurangnya peserta dalam mengikuti program tersebut. Berikut jumlah kedantangan peserta sosialisasi stuting desa keboguyang tiap Pos dapat dilihat dari tabel 2.
Pos | Jumlah peserta yang datang | Jumlah Peserta yang diundang |
---|---|---|
Pos 1 | 76 Peserta | 208 Peserta |
Pos 2 | 62 Peserta | 93 Peserta |
Pos 3 | 62 Peserta | 125 Peserta |
Pos 4 | 51 Peserta | 86 Peserta |
Total | 251 Peserta | 512 Peserta |
Selain itu pemerintah desa juga belum efektif dalam memberikan dukungan dalam meningkatkan kapasitas kader kesehatan sehingga banyak kader kesehatan di Desa Keboguyang kurang mengetahui cara mengukur anak dengan alat pengukur modern. Belum adanya regenerasi kader kesehatan di Desa Keboguyang sedangkan sebagian besar anggotanya berusia di atas 45 tahun.
Berdasarkan permasalahan di atas serta selaras dengan permasalahan dalam penelitian terdahulu bahwa banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan program pencegahan stunting di desa, peneliti tertarik untuk mengkaji implementasi program pencegahan stunting di Desa Keboguyang.
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Keboguyang Kecamatan Jabon Kabupaten Sidoarjo menggunakan metode kualitatif deskriptif. Metode penelitian kualitatif digunakan penulis dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang faktual, komprehensif, dan akurat dalam mendeskripsikan implementasi program pencegahan stunting di Desa Keboguyang secara rinci sesuai kondisi empiris di lapangan. Hal tersebut selaras dengan Creswell (2012) yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah sebuah alat untuk memahami dan memaparkan makna yang berasal dari individu dan kelompok mengenai masalah sosial atau masalah individu [13]. Penelitian ini akan berusaha menjawab permasalahan pokok yaitu mengkaji implementasi program pencegahan stunting di Desa Keboguyang dengan menggunakan teori dari Edward III (1980) mengenai implementasi kebijakan, yaitu penyebab keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan yang dipengaruhi oleh 4 variabel antara lain komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi [9]. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode studi lapangan dan studi kepustakaan. Studi lapangan dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi yang dilakukan mengenai tingginya kasus stunting di Desa Keboguyang sehingga Keboguyang menjadi desa locus stunting. Wawancara ditujukan kepada Kepala Desa Keboguyang, Bidan Desa, Kader Kesehatan Desa, dan ibu dari bayi di Desa Keboguyang. Dokumentasi yang dikumpulkan meliputi data program desa dan kader kesehatan desa serta profil desa. Adapun teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang meliputi pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan interpretasi data.
Untuk mengetahui implementasi kebijakan pencegahan stunting di Desa Keboguyang, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, berikut ini penulis sajikan hasil penelitian berdasarkan hasil observasi dan wawancara. Dalam penelitian ini penulis memaparkan permasalahan pokok yaitu mengkaji implementasi program pencegahan stunting di Desa Keboguyang dengan menggunakan teori dari Edward III (1980) sesuai metode penelitian yang mana keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 variabel antara lain komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi [9].
A. Komunikasi
Komunikasi adalah elemen yang sangat penting dalam menentukan suksesnya implementasi kebijakan publik. Kegiatan komunikasi diperlukan untuk memverifikasi apakah implementasi sesuai dengan substansi kebijakan publiknya. Meskipun komunikasi memiliki peran krusial dalam mendukung koordinasi dan implementasi secara umum, mencapai tingkat komunikasi yang ideal sering kali merupakan tantangan yang kompleks.
Dalam komunikasi, transmisi atau penyaluran informasi merupakan aspek penting dalam keberhasilan suatu implementasi program. Seperti yang dikatakan Pertiwi (2016) bahwa keberhasilan suatu program tergantung pada kemampuan aparat pelaksana kebijakan untuk secara efektif menyampaikan informasi kepada kelompok yang menjadi sasarannya [14]. Dalam hal ini, pengetahuan masyarakat tentang apa itu stunting serta dampak jangka panjangnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak sangat penting. Oleh sebab itu, perlu adanya sosialisasi tentang pencegahan stunting terhadap masyarakat di desa. Berdasarkan hasil wawancara pada penelitian ini, Kepala Desa Keboguyang, Bapak Musa menyatakan:
“Sebelumnya sosialisasi mengenai pencegahan stuntingdi Desa Keboguyang dilaksanakan melalui sebuah program sosialisasi stunting yang mengundang petugas kesehatan dan masyarakat yaituibu bayi di Desa Keboguyang, tapi pesertanya sedikit. Jadipada tahun 2022, program tersebut diganti dengan program pendataan balita dan stunting, yaitu kader yang terlebih dahulu di bimtek melakukan pendataan balita serta melakukan sosialisasi atau konseling tentang stunting di sekitar rumahnya.”(Hasil wawancara tanggal 8 Juli 2024)
Dari pernyataan tersebut disimpulkan bahwa program sosialisasi stunting yang sebelumnya dilaksanakan di Desa Keboguyang kurang menarik partisipasi masyarakat dan dirasa kurang efektif dalam mencapai tujuan jangka panjang dalam mengubah perilaku masyarakat terkait gizi dan kesehatan anak-anak. Sehingga pemerintah Desa Keboguyang mengubah pendekatannya dengan memperkenalkan program baru yang lebih intensif dengan melibatkan kader kesehatan desa yang sebelumnya telah dilatih guna ditingkatkan kapasitasnya, untuk melakukan pendataan balita dan sosialisasi langsung dari rumah ke rumah setiap bulan.
Figure 2.Foto Kegiatan Sosialisasi Stunting Desa Keboguyang
Perubahan langkah ini bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi tentang gizi seimbang dan upaya pencegahan stunting secara teratur dan berkelanjutan. Program tersebut dinilai berhasil dalam melakukan transmisi komunikasi di Desa Keboguyang, terbukti dari perbandingan jumlah peserta sosialisasi stunting dengan jumlah balita yang mendapatkan pendataan dan sosialisasi langsung setiap bulan dari rumah ke rumah seperti yang tercantum dalam Tabel 3.
Pos | Jumlah Peserta P rogram Sosialisasi Stunting | Jumlah Balita Program Pendataan dan Sosialisasi Langsung Setiap Bulan |
---|---|---|
Pos 1 | 76 Peserta | 98 Balita |
Pos 2 | 62 Peserta | 83 Balita |
Pos 3 | 62 Peserta | 97 Balita |
Pos 4 | 51 Peserta | 75 Balita |
Total | 251 Peserta | 353 Balita |
Dari tabel tersebut, dapat diamati bahwa jumlah balita yang mendapatkan pendataan dan sosialisasi langsung setiap bulan lebih besar dibandingkan dengan jumlah peserta dalam program sosialisasi stunting. Hal ini menunjukkan bahwa program pendataan dan sosialisasi langsung berhasil menjangkau lebih banyak balita secara efektif dibandingkan dengan program sosialisasi stunting yang lebih umum dilaksanakan sebelumnya. Transmisi informasi yang lebih sering ini tidak hanya meningkatkan jumlah interaksi antara kader kesehatan dengan masyarakat, tetapi juga memastikan bahwa pesan-pesan kesehatan disampaikan secara rutin dan konsisten.
Aspek penting lain dalam komunikasi adalah kejelasan. Posangi dkk (2020) mengatakan bahwa komunikasi yang tidak jelas dalam pesan terkait implementasi kebijakan dapat menyebabkan interpretasi yang keliru bahkan bertentangan dengan maksud awal pesan tersebut [15]. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu ibu dari bayi di Desa Keboguyang, Ibu Dita Nurfianti mengatakan:
“Iya, kader-kader sering memberikan informasi saat keliling untuk pendataan maupun saat perkumpulan PKK kayak jadwal posyandu dan imunisasi. Oh ya saat anak saya gatal-gataljuga ditanyakan ke Bu Inayah (bidan desa) pake obat apa biar sembuh.”(Hasil wawancara tanggal 15 Juli 2024)
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kejelasan komunikasi yang telah diterapkan oleh kader kesehatan dengan ibu bayi sudah berjalan dengan baik, dilihat dari transmisi langsung yang relatif lebih jelas ke masyarakat yang di laksanakan secara rutin. Purwanto dan Sulistyastuti (2012) dalam Abujuri (2021) menjelaskan bahwa inti dari implementasi adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para implementor kepada kelompok sasaran (target group) [16]. Dengan pendekatan secara langsung dari rumah ke rumah ini, diharapkan masyarakat memiliki kesempatan lebih besar untuk mendapatkan informasi yang diperlukan serta untuk bertanya langsung kepada kader kesehatan tentang isu-isu kesehatan yang mereka hadapi tanpa meninggalkan pesan-pesan tentang pentingnya gizi seimbang serta upaya pencegahan stunting yang lebih efektif dan diimplementasikan oleh masyarakat Desa Keboguyang.
Aspek penting selanjutnya adalah konsistensi. Pendekatan secara langsung dari rumah ke rumah tidak hanya meningkatkan jumlah interaksi antara kader kesehatan dengan masyarakat, tetapi juga memastikan bahwa pesan-pesan kesehatan disampaikan secara rutin dan konsisten. Dalam konteks konsistensi komunikasi, hasil wawancara dengan Bidan Desa Keboguyang, Ibu Fadilatul Inayah menjelaskan:
“Pelaksanaan program stunting seperti posyandu balita dan remaja dilakukan rutin setiap bulan di Desa Keboguyang pada minggu kedua setiap bulan dan dijadwalkan berurutan dari pos satu, pos dua, sampai pos empat. Namun ada kalanya tidak di minggu kedua, disesuaikan dengan keadaan desa. Kalaupemberian PMT dan kelas ibu hamil dilaksanakan triwulan sekali.”(Hasil wawancara tanggal 15 Juli 2024)
Dari wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa konsistensi komunikasi di Desa Keboguyang cukup baik. Meskipun terdapat perubahan dalam jadwal kegiatan, implementasi tetap dilaksanakan secara rutin dan teratur.
Ketiga aspek komunikasi pada implementasi program pencegahan di Desa Keboguyang yaitu transmisi, kejelasan, dan konsistensi telah dilaksanakan dengan baik. Pendekatan langsung dari rumah ke rumah serta penerapan beberapa program lainnya secara rutin dan konsisten memiliki dampak positif terhadap keberhasilan komunikasi. Hal tersebut selaras dengan penelitian Nuramalia (2022) dengan judul “Implementasi Kebijakan Pencegahan Stunting oleh Desa Saguling Kecamatan Baregbeg Kabupaten Ciamis” yang menyimpulkan bahwa kesuksesan pelaksanaan program stunting sangat tergantung pada kejelasan program serta aktivitas pelaksana dalam menerapkan kebijakan, sehingga kebijakan program dapat tersebar dan terimplementasikan secara efektif kepada masyarakat yang memerlukannya [12].
B. Sumber Daya
Indikator selanjutnya penyebab keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan adalah sumber daya. Meskipun kebijakan telah dijelaskan secara jelas dan konsisten kepada para pelaksana, implementasi seringkali terhambat oleh kurangnya sumber daya yang diperlukan untuk menjalankannya secara efektif. Sumber daya ini dapat berupa sumber daya manusia, seperti kapasitas serta kuantitas kader kesehatan yang memadai, sumber daya keuangan yang cukup untuk mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut, dan ketersediaan sarana prasarana yang mumpuni. Tanpa dukungan yang memadai dari sumber daya ini, pelaksanaan kebijakan seringkali tidak dapat mencapai hasil yang diharapkan.
Ketersediaan sumber daya manusia dengan kompetensi dan kapabilitas yang sesuai dalam bidangnya sangat krusial untuk menjamin keberhasilan dalam implementasi kebijakan [17]. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sumber daya manusia adalah kualitas dan kuantitas kerja mereka. Kualitas kerja penting untuk keakuratan, ketelitian, dan relevansi hasil kerja terhadap tujuan organisasi, sementara kuantitas kerja mengindikasikan jumlah pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu, yang berpengaruh pada efisiensi dan efektivitas program organisasi [18]. Dari hasil wawancara dengan Bidan Desa Keboguyang, Ibu Fadilatul Inayah mengatakan:
“Kader kesehatan di desa ini sekitar 30 orang. Kalau yang muda-muda itu skill klinis dasarnya sudah bagus dan komunikatif, wawasannya tentang kesehatan masyarakat juga sudah bagus. Sayangnya, jumlah kader sebanyak 30 ini terbilang sedikit kalau dibandingkan sama jumlah penduduk desa ini yang cukup banyak.” (Hasil wawancara tanggal 15 Juli 2024)
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa sumber daya manusia, atau dalam hal ini kader kesehatan di Desa Keboguyang memiliki kapasitas yang mumpuni sebagai implementator dalam program pencegahan stunting. Sebagian dari mereka telah memiliki pengetahuan kesehatan masyarakat, kemampuan komunikasi, dan keterampilan klinis dasar yang baik. Namun dalam hal kuantitas jumlah kader kesehatan di Desa Keboguyang yang mencapai 30 orang dianggap tidak mencukupi untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh penduduk desa yang jumlahnya lebih dari 5.000 jiwa. Permasalahan ini semakin diperparah dengan kenyataan bahwa beberapa kader tidak lagi berusia muda. Jumlah kader kesehatan di Desa Keboguyang berdasarkan kategori usia dapat dilihat pada Tabel 4.
Usia | Jumlah |
---|---|
Kader Kesehatan usia 20-30 tahun | 3 orang |
Kader Kesehatan usia 31-40 tahun | 4 orang |
Kader Kesehatan usia 41- 45 tahun | 8 orang |
Kader Kesehatan usia 46 - 50 tahun | 5 orang |
Kader Kesehatan usia 51 - 60 tahun | 7 orang |
Kader Kesehatan usia 60 tahun keatas | 3 orang |
Dari tabel diatas diketahui bahwa mayoritas kader kesehatan Desa Keboguyang berusia di atas 40 tahun, yang dapat mempengaruhi kegiatan mereka dalam sosialisasi dan pendampingan secara intensif. Hal ini selaras dengan pernyataan Pranata (2018) bahwa usia produktif biasanya terjadi di rentang 15 hingga 40 tahun, di mana individu cenderung memiliki pemikiran progresif, pengetahuan luas, dan tingkat keingintahuan yang tinggi. Sebaliknya, untuk usia di atas 40 tahun, sering dianggap kurang produktif karena cenderung mengalami penurunan dalam hal dinamika fisik dan mental [19]. Keberadaan kader kesehatan yang berkualifikasi merupakan sumber daya yang penting. Meskipun demikian, untuk meningkatkan efektivitas program, perlu dipertimbangkan pelibatan lebih banyak anggota masyarakat atau peremajaan kader kesehatan dengan pelatihan tambahan. Hal ini akan memastikan bahwa upaya pencegahan stunting dapat lebih merata dan efektif di Desa Keboguyang.
Selanjutnya adalah sumber daya keuangan. Menurut Van Metter dan Van Horn dalam Winarno (2007), sumber daya layak mendapat perhatian karena sangat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini mencakup dana atau perangkat lain yang memfasilitasi dan meningkatkan efektivitas implementasi kebijakan [20]. Dari observasi dengan melihat peraturan desa tentang APBDesa Pada tahun 2024, Desa Keboguyang telah menganggarkan sebesar Rp.141.000.000 atau sekitar 14% dari anggaran dana desa untuk kegiatan pencegahan stunting dengan rincian kegiatan seperti pada Tabel 5.
No. | Kegiatan | Anggaran |
---|---|---|
1 | Posyandu | Rp. 54.000.000 |
2 | Kelas Ibu Hamil | Rp. 12.000.000 |
3 | Pemberian Makan tambahan (PMT) | Rp. 30.000.000 |
4 | Pendataan Balita dan Sosialisasi Stunting | Rp. 45.000.000 |
Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa sumber daya keuangan Desa Keboguyang untuk pencegahan stunting sudah cukup memadai. Namun, menurut wawancara dengan salah satu kader kesehatan Desa Keboguyang, Ibu Ristanti Febriana Rohmadoni mengatakan:
“Tidak ada masalah dalam dukungan kegiatan, namun masih ada kebutuhan yang belum terpenuhi,terutama bangunan posyandu dan alat-alat pengukuran yang kurang layak. Pembangunan dan perawatan gedung posyandu di setiap pos perlu diadakan serta pembelian atau perawatan peralatan seperti kir (tera ulang alat ukur) timbangandan alat ukur lain.”(Hasil wawancara tanggal 15 Juli 2024)
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun sumber daya keuangan Desa Keboguyang untuk pencegahan stunting sudah cukup memadai, masih terdapat kegiatan tertentu yang belum terpenuhi, terutama terkait dengan sarana prasarana kesehatan. Ini mencakup pembangunan dan perawatan gedung posyandu di setiap pos, serta penambahan dan pemeliharaan peralatan kesehatan seperti timbangan dan alat ukur lainnya.
Sarana prasarana merupakan elemen krusial dalam implementasi suatu proyek atau program karena sarana prasarana menyediakan pondasi yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan dengan efektif dan efisien. Menurut Arifin (2020), meskipun tersedia tenaga kesehatan, tanpa dukungan sarana prasarana berupa peralatan yang memadai, pelayanan dan kegiatan dalam bidang kesehatan dapat mengalami penurunan [21]. Dengan memastikan bahwa setiap posyandu di Desa Keboguyang dilengkapi dengan fasilitas yang memadai dan peralatan yang terawat dengan baik, desa dapat secara signifikan meningkatkan efektivitas program pencegahan stunting serta meningkatkan kualitas layanan kesehatan untuk seluruh masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai sarana prasarana kesehatan, terdapat kebutuhan yang belum terpenuhi, terutama terkait kondisi bangunan posyandu yang kurang memadai dan ketersediaan alat-alat pengukuran yang tidak memadai. Penggunaan alat ukur tradisional juga sering kali menjadi kendala karena tidak memberikan hasil yang akurat dan dapat diandalkan, sehingga menambah kompleksitas dalam penanganan masalah kesehatan. Dalam wawancara dengan salah satu kader kesehatan Desa Keboguyang, Ibu Ristanti Febriana Rohmadoni, menurutnya:
“ P enggunaan alat ukur modern seperti timbangan elektrik lebih efektif dan akurat dibandingkan dengan timbangan dacin . ”
Namun, ia menambahkan:
“Iya, masih terdapat beberapa pos yang masih menggunakan timbangan dacin. Selain alatnya hanya dikit, teman-teman kader juga tidak begitu mahir kalau memakai timbangan elektronik.” (Hasil wawancara tanggal 15 Juli 2024)
Dari keterangan tersebut disimpulkan bahwa penggunaan timbangan modern dianggap lebih efektif dan akurat daripada timbangan tradisional, namun beberapa kader kesehatan di Desa Keboguyang masih memilih untuk menggunakan timbangan yang lebih tradisional. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pembaharuan peralatan dan kebutuhan akan pelatihan tambahan bagi kader kesehatan. Beberapa kader kesehatan belum sepenuhnya terampil dalam menggunakan alat ukur modern tersebut. Pembaharuan peralatan menjadi penting karena alat ukur modern memberikan keuntungan dalam pengukuran yang lebih akurat dan pencatatan yang lebih efisien. Dengan alat yang tepat dan kader yang terlatih, desa dapat lebih efisien dalam memantau status gizi balita secara rutin dan memberikan intervensi yang diperlukan untuk mencegah stunting.
Dari indikator sumber daya, program pencegahan stunting di Desa Keboguyang mengalami beberapa tantangan. dari sumber daya manusia kurangnya jumlah kader kesehatan tantangan utama dalam implemtasi program pencegahan stunting selain itu adanya masih terdapat kegiatan tertentu yang belum terpenuhi dalam anggaran, terutama terkait dengan sarana prasarana kesehatan juga menambah permasalahan tersebut.
Permasalahan tentang sumber daya juga terjadi dalam penelitian Larasati dkk (2024) dengan judul “Implementasi Agenda Internasional Stunting di Indonesia: Studi Kasus Kabupaten Malang Kecamatan Tajinan” yang menyebutkan bahwa terdapat kendala yang dihadapi dalam implementasi termasuk kurangnya jumlah petugas kesehatan yang tidak sebanding dengan luasnya wilayah desa dan jumlah penduduk yang mereka layani [22]. Sehingga dapat mempengaruhi kapasitas mereka dalam memberikan pelayanan kesehatan yang memadai dan efektif kepada seluruh masyarakat desa.
C. Disposisi
Disposisi menurut Edward III, seperti yang dijelaskan dalam Widodo (2010), mengacu pada kemauan, keinginan, dan kecenderungan dari para pelaksana kebijakan untuk melaksanakan kebijakan dengan sungguh-sungguh [23]. Disposisi yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan, seperti dukungan, komitmen, atau bahkan penolakan terhadap kebijakan, memiliki dampak signifikan dalam proses implementasi. Konflik kecenderungan timbul ketika eksekutor kebijakan menolak untuk mengikuti atau mendukung tujuan kebijakan yang sudah ditetapkan [24]. Dukungan dan komitmen yang kuat dari para pelaksana kebijakan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam menjalankan kebijakan, sementara sikap acuh tak acuh atau penolakan dapat menghambat kemajuan dan menciptakan hambatan dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Edward III dalam Widodo (2010) juga menegaskan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan tidak hanya ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan teknis para pelaksana (implementors), tetapi juga oleh kemauan mereka untuk melaksanakan kebijakan tersebut [23]. Dalam konteks pencegahan stunting di Desa Keboguyang, penting bagi pelaksana kebijakan seperti kepala desa maupun kader kesehatan desa untuk memiliki disposisi yang positif dan komitmen yang tinggi dalam menyampaikan program-program pencegahan kepada masyarakat. Dari hasil wawancara dengan Kepala Desa Keboguyang, Bapak Musa mengatakan:
“Sikap dan komitmen dari para kader dan bidan desa cukup baik, mereka aktif dalam mendukung program ini sebagai pelaksana yang terjun langsung dengan masyarakat. Sedangkan saya sebagai kepala desa selain dalam pengarahan, saya juga memberikan dukungan dalam segi anggaran dan koordinasi.” (Hasil wawancara tanggal 8 Juli 2024)
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kader kesehatan memiliki peran untuk mendukung sepenuhnya tujuan dan nilai-nilai program, serta berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan. Sedangkan kepala desa bertugas mendukung dengan memberikan penghargaan atau motivasi yang baik kepada kader kesehatan seperti pemberian insentif yang memadai.
Disposisi yang kuat dari kader kesehatan Desa Keboguyang tercermin dari pelaksanaan sosialisasi stunting secara door-to-door dan implementasi program pencegahan stunting lainnya. Sementara itu, kepala Desa Keboguyang menunjukkan disposisi yang kuat terhadap program pencegahan stunting dengan aktif mendukung dan mempromosikan tujuan program ini. Komitmen yang ditunjukkan oleh kepala desa penting dalam memastikan kesuksesan dan kelancaran pelaksanaan program tersebut di tingkat desa. Namun, meskipun ada keseriusan yang jelas, kepala desa juga menghadapi tantangan dalam meningkatkan insentif bagi kader kesehatan desa.
Insentif adalah cara untuk mengakui dan menghargai kontribusi serta pencapaian kerja. Pemberian insentif dapat berupa uang dan benda. Dalam penerapan pemberian insentif pada kader umumnya dalam wujud gaji, uang transport, uang pulsa, seragam, dll [25]. Dari hasil wawancara dengan Kepala Desa Keboguyang, Bapak Musa menjelaskan:
“Iya, pada setiap kegiatan pencegahan stunting, kader diberikan insentif. Namun bukan berupa honor (gaji) tapi uang transport, karena menurut informasi dari pendamping desamelarangpenggunaan dana desa untuk keperluan pemberianhonor.” (Hasil wawancara tanggal 8 Juli 2024)
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan terdapat hambatan yang dihadapi yaitu regulasi peraturan daerah dan kebijakan Kementerian Desa yang membatasi kemampuan desa untuk mengalokasikan dana tambahan untuk insentif kader kesehatan. Namun dalam kajian literatur yang dilakukan peneliti dalam lampiran Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Rincian Prioritas Penggunaan Dana Desa menyebutkan bahwa salah satu prioritas dana desa adalah pemberian insentif untuk kader kesehatan yang menjadi kewenangan desa [26]. Berdasarkan peraturan tersebut, terdapat kerancuan yang perlu penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian dan bentuk insentif yang diberikan untuk kader kesehatan.
Dalam indikator disposisi, implementasi program pencegahan stunting di Desa Keboguyang bisa dikatakan cukup baik. Para pelaksana (implementors), memiliki kemauan yang baik untuk melaksanakan program tersebut. Kepala desa maupun kader kesehatan memiliki peran masing-masing dalam pelaksanaannya. Namun dalam hal pemberian insentif tambahan perlu pengkajian ulang antara lembaga terkait untuk memastikan boleh atau tidaknya terkait pemberian honor kepada kader kesehatan Desa Keboguyang. Hal tersebut juga dijelaskan dalam penelitian Zulianti dkk (2021) dengan judul ”Pengaruh Usia dan Insentif terhadap Kinerja Kader Posyandu di Kabupaten Purworejo” yang mejelaskan bahwa pemberian insentif kepada kader posyandu berpengaruh terhadap motivasi dan kinerja mereka [27].
D. Struktur bir okrasi
Struktur birokrasi berperan fundamental dalam analisis implementasi kebijakan publik. Implementasi kebijakan publik merujuk pada serangkaian langkah yang dilakukan oleh pemerintah atau pelaku kebijakan untuk mengatasi masalah tertentu dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pelaksanaan kebijakan pencegahan stunting sangat krusial untuk mengurangi kemungkinan kesalahan saat implementasi di lapangan. Penting bagi semua kader kesehatan di desa untuk memahami betapa signifikannya peran SOP ini dalam memastikan konsistensi dan keakuratan dalam menjalankan program pencegahan stunting.
Di Desa Keboguyang, berdasarkan hasil wawancara dengan bidan Desa Keboguyang, Ibu Fadilatul Inayah mengatakan:
”Standar pelayanan posyandu ILP di Desa Keboguyang sudah sesuai dengan pedoman yang berlaku mulai dari alur kerja, klaster pelayanan, dan jenis layanan.” (Hasil wawancara tanggal 15 Juli 2024)
Dari wawancara tersebut terlihat bahwa salah satu program pencegahan stunting yang diimplementasikan di Desa Keboguyang adalah Posyandu ILP (Integrasi Layanan Primer) sebagai salah satu strategi utama dalam penyediaan layanan kesehatan bagi semua siklus hidup, mulai dari ibu hamil hingga lansia. Program ini didasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/2015/2023 tentang Petunjuk Teknis Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer. Keputusan ini menetapkan SOP untuk implementasi Posyandu ILP [28]. Dengan mengacu pada SOP tersebut, Posyandu ILP Desa Keboguyang sudah sesuai dengan pedoman yang berlaku mulai dari alur kerja, klaster pelayanan, dan jenis layanan. Jenis layanan kesehatan balita dan anak prasekolah posyandu ILP di Desa Keboguyang dapat dilihat pada Tabel 6.
Sasaran Masalah Kesehatan | Pelayanan Kesehatan | Unit Pemberi Pelayanan | |
---|---|---|---|
Posyandu Tiap POS | Kunjungan Rumah | ||
· Status gizi · Tumbuh kembang . Penyakit menular | Pelayanan neonatal esensial | Kunjungan neonatal dengan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM), edukasi perawatan neonatal termasuk pemberian ASI eksklusif dankonseling | Edukasi perawatan neonatal, tanda bahaya, pemberian ASI eksklusif, sweeping |
Kelas ibu balita | Fasilitasi pelaksanaan kelas ibu balita | Mengajak partisipasi ibu untuk mengikuti kelas ibu balita dan terlibat dalam pelaksanaan kelas ibu balita | |
Pelayanan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) | Pemantauan (perawatan di fasilitas kesehatan) | Pendampingan dalam perawatan sesuai buku KIA khusus bayi kecil | |
Pemantauan tumbuh kembang | Timbang BB, ukur PB/TB, LiLA, LK, ceklis perkembangan, rujukan | Sweeping, pemantauan dan edukasi tumbuh kembang | |
Imunisasi rutin lengkap | Edukasi dan layanan imunisasi rutin lengkap | DOFU (Drop Out Follow Up) dan edukasi imunisasi rutin lengkap | |
Vitamin A dan obat cacing | Pemberian vitamin A dan obat cacing | Sweepingdanedukasi vitamin A dan obat cacing | |
Pelayanan balita dengan masalah gizi (weight faltering), underweight, gizi kurang, gizi buruk, dan stunting | Pendampingan dan rujukan balita bermasalah gizi, edukasi PMBA dan pemberian MT | Edukasi PMBA dan monitoring, rujukan, sweeping | |
Pelayanan pengobatan dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) | - | Edukasi, tanda bahaya, dan kunjungan rumah pada balita tidak melakukan kunjungan ulang | |
Skrining kasus TBC balita | Tracking gejala TBC | Gejala TBC, edukasi gaya hidup sehat dan lingkungan sehat |
Dari tabel di atas diketahui terdapat berbagai jenis layanan kesehatan untuk balita dan anak prasekolah melalui Posyandu ILP di Desa Keboguyang, yang merupakan bagian dari program pencegahan stunting. Program ini bertujuan untuk mengatasi tiga masalah kesehatan utama, yaitu status gizi, tumbuh kembang, dan penyakit menular. Pelaksanaan program ini dilakukan melalui dua metode yaitu pelayanan di posyandu yang diadakan setiap bulan di setiap pos dan kunjungan rumah oleh kader kesehatan berdasarkan SOP yang berlaku.
Selain SOP, salah satu indikator kunci untuk menilai keberhasilan struktur birokrasi adalah fragmentasi atau pembagian tanggung jawab dalam pelaksanaan program atau kebijakan. Agustino dalam Lubis dkk (2022) mengatakan fragmentasi bertujuan untuk mendistribusikan tanggung jawab atas berbagai aktivitas, kegiatan, atau program ke beberapa unit kerja yang sesuai dengan bidang tugas mereka masing-masing. Dengan fragmentasi, implementasi kebijakan dapat menjadi lebih efektif karena dilaksanakan oleh organisasi yang memiliki keahlian dan kapabilitas yang relevan [29]. Dengan kata lain, fragmentasi dapat memecah tugas-tugas menjadi bagian yang lebih kecil dan spesifik. Dengan demikian, setiap unit atau individu dapat fokus pada aspek tertentu dari pelaksanaan kebijakan atau program, sehingga memungkinkan mereka untuk bekerja secara lebih efisien dan efektif dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Di Desa Keboguyang, menurut wawancara dengan bidan desa, Ibu Fadilatul Inayah mengatakan:
”Iya ada, dalam pembagian tugas program pencegahan stunting Desa Keboguyang dibagi jadi empat pos di setiap dusun.” (Hasil wawancara tanggal 15 Juli 2024)
Dari wawancara dengan bidan desa di atas, pelaksanaan program pencegahan stunting dibagi menjadi empat pos yang berlokasi di empat dusun yang berbeda. Pos 1 terletak di Dusun Trosobo, Pos 2 di Dusun Guyangan, Pos 3 di Dusun Buaran, dan Pos 4 di Dusun Kriyan.
Figure 3.Foto Kegiatan Posyandu Desa Keboguyang terbagi 4 pos
Dari Pembagian tersebut setiap pos dilaksanakan oleh kader kesehatan yang berbeda, yang bertanggung jawab untuk melakukan sosialisasi, pemantauan, dan pendampingan terhadap masyarakat dalam upaya pencegahan stunting di wilayahnya masing-masing. Penetapan pos-pos ini bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh desa mendapatkan cakupan informasi dan layanan yang merata dan efektif. Data mengenai jumlah kader kesehatan dan jumlah balita pada setiap pos di Desa Keboguyang dapat dilihat pada Tabel 7.
Pos | Jumlah Kader Kesehatan | Jumlah Balita Peserta Posyandu |
---|---|---|
Pos 1 | 12 Kader | 98 Balita |
Pos 2 | 6 Kader | 83 Balita |
Pos 3 | 6 Kader | 97 Balita |
Pos 4 | 6 Kader | 75 Balita |
Total | 30 Kader | 353 Balita |
Berdasarkan tabel tersebut, tampak adanya ketidakseimbangan dalam distribusi jumlah kader kesehatan dan balita peserta Posyandu. Dengan total 30 kader kesehatan yang melayani 353 balita, pembagian kader di setiap pos tidak merata. Pos 1 memiliki 12 kader untuk 98 balita, sementara Pos 2, Pos 3, dan Pos 4 masing-masing memiliki 6 kader dengan jumlah balita sebanyak 83, 97, dan 75. Ketidakseimbangan ini mengindikasikan bahwa beberapa pos mungkin menghadapi beban kerja yang lebih berat daripada yang lain, menyebabkan pembagian tugas menjadi tidak efisien dan kurang optimal. Hal tersebut juga dijelaskan oleh kader kesehatan Desa Keboguyang, Ibu Ristanti Febriana Rohmadoni menurut hasil wawancara yang mengatakan bahwa:
"Pembagian tugas kader dilakukan dengan membagi empat pos sesuai dengan domisili dusun: Pos 1 di Dusun Trosobo, Pos 2 di Dusun Guyangan, Pos 3 di Dusun Buaran, dan Pos 4 di Dusun Kriyan. Tapi, karena kekurangan kader, kadang kader dari pos yang satu juga diperbantukan di pos lain. Misalnya, saya sebagai kader dari Pos 2 di Dusun Guyangan sering harus membantu di Pos 3 di Dusun Buaran dan Pos 4 di Dusun Kriyan.” (Hasil wawancara tanggal 15 Juli 2024)
Dari wawancara tersebut dijelaskan ketidakseimbangan dalam distribusi jumlah kader kesehatan juga disebabkan oleh terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) kader kesehatan, sehingga menjadikan banyak di antara mereka harus mengemban tanggung jawab ganda dengan melayani lebih dari satu pos sekaligus. Hal tersebut diperparah dengan kurangnya koordinasi antara pelaksana dengan ketua RT maupun RW di wilayah pos-pos tersebut. Oleh karena itu, untuk melaksanakan kebijakan dan program dengan baik, penting untuk memiliki Standard Operasional Procedure (SOP) yang jelas dan membagi tanggung jawab dengan tepat. Hal ini akan mempermudah pelaksanaan serta mengurangi kemungkinan kesalahan. Selain itu, diperlukan reorganisasi atau pembaruan dalam struktur organisasi untuk memastikan bahwa setiap pelaksana program tidak memiliki beban tanggung jawab ganda. Langkah-langkah lain seperti koordinasi dengan lembaga desa yang lain juga penting agar implementasi program dapat berjalan efisien dan efektif.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan program pencegahan stunting di Desa Keboguyang dalam struktur birokrasi sudah cukup efektif. Program ini dijalankan sesuai dengan SOP yang berlaku, dan pembagian tanggung jawab dilakukan melalui empat pos kesehatan. Meskipun demikian, dalam praktiknya muncul masalah yakni banyak kader kesehatan yang harus menangani tanggung jawab ganda dengan melayani beberapa pos kesehatan sekaligus. Hal ini juga diperparah dengan kurangnya koordinasi antara pelaksana dengan lembaga-lembaga terkait di Desa Keboguyang.
Permasalahan tersebut juga terjadi dalam penelitian terdahulu oleh Nurfa dkk (2020) yang berjudul ”Analisis Pelaksanaan Kebijakan Penanggulangan Stunting: Studi Kasus di Kabupaten Brebes” yang menjelaskan bahwa salah satu hambatan pelaksanaan kebijakan yaitu kurangnya pemahaman para pelaksana program terkait tugasnya masing-masing serta kurangnya koordinasi implementator dengan instansi maupun lembaga-lembaga terkait [30].
Implementasi program pencegahan stunting di Desa Keboguyang, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, menunjukkan tingkat keberhasilan yang cukup baik meskipun masih dihadapi sejumlah tantangan. Ditinjau dari teori Edward III (1980) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi, Desa Keboguyang berhasil dalam faktor komunikasi melalui pendekatan pendataan balita dan sosialisasi stunting dari rumah ke rumah. Pada faktor disposisi, terdapat komitmen yang kuat dari kepala desa dan kader kesehatan, namun terkendala terkait kejelasan regulasi dan keterbatasan dana tambahan untuk insentif kader kesehatan. Selanjutnya pada faktor struktur birokrasi, Desa Keboguyang telah menetapkan SOP yang sesuai dengan peraturan yang berlaku serta melakukan pembagian tanggung jawab melalui 4 pos, meskipun terbatasnya SDM menyebabkan kader kesehatan harus mengemban tanggung jawab ganda dengan melayani lebih dari satu pos sekaligus, yang diperparah dengan kurangnya koordinasi antara pelaksana dengan lembaga-lembaga terkait di Desa Keboguyang. Lebih lanjut, pada faktor sumber daya, kekurangan sumber daya manusia dalam jumlah dan kapasitas kader kesehatan serta infrastruktur yang perlu diperbaiki menjadi tantangan utama dalam implementasi pencegahan stunting di Desa Keboguyang. Oleh karena itu, perbaikan pada sumber daya manusia dan infrastruktur menjadi krusial untuk meningkatkan efektivitas program ini di masa depan.