General Background: Culture is a dynamic method that evolves within communities, shaping their identities and practices. Specific Background: This study focuses on the ritual communication involved in the traditional art of Jaranan Branasti Putro, originating from Ringinsari village in Kediri Regency, Indonesia. Jaranan is a performance art infused with mystical elements, often featured in celebratory events. Knowledge Gap: While the significance of ritual communication in traditional arts is recognized, comprehensive analysis of its role in Jaranan performances remains underexplored. Aims: This research aims to investigate the various stages of ritual communication in Jaranan Branasti Putro and their impact on audience appreciation. Results: Utilizing a descriptive qualitative method, the study collected data through purposive sampling interviews, documentation, and observations, revealing that ritual communication is not only central to the performance but also contributes to the overall entertainment value of Jaranan. Novelty: This research highlights the dual nature of Jaranan art as both a mystical and entertaining practice, emphasizing the importance of community involvement in sustaining this cultural expression. Implications: The findings underscore the need for continued support and engagement within the community to preserve the Jaranan Branasti Putro tradition, ensuring its relevance and accessibility for future generations.
Highlights:
Keywords: Jaranan, ritual communication, traditional art, community culture, qualitative research
Indonesia adalah negara yang mempunyai aneka ragam kesenian budaya. Koentjaraningrat berpendapat Budaya yaitu keseluruhan dari rangkaian ide, kegiatan dan hasil karya manusia dalam suatu kelompok masyarakat yang diturunkan dari generasi ke generasi. Budaya sendiri juga tercipta oleh banyaknya faktor kompleks yang mencakup sistem agama serta politik, adat istiadat, bahasa, busana, tempat dan juga buatan seni. Kesenian sebagai suatu bentuk mata pencaharian, diharap mampu menarik minat masyarakat sekitar untuk mempelajari bidang seni khususnya seni jaranan [1]
Kita sebagai masyarakat Indonesia tentunya tahu bahwa di Indonesia banyak sekali keberagaman budaya yang dimiliki serta berbagai ciri khas dan karakteristik masing-masing dari berbagai daerah. Tren budaya barat yang masuk di Indonesia menjadi salah satu tantangan yang besar bagi masyarakat, karena tren tersebut tentu membawa dampak buruk yang akan terus menghantui masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, harus ada kolaborasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat. Kedua belah pihak harus bersinergi mengupayakan segala cara agar kesenian lokal tetap eksis hingga generasi - generasi selanjutnya [2]. Salah satu kekayaan seni budaya warisan leluhur yang sampai sekarang masih terjaga keberadaannya dan berjalan bahkan sangat banyak sekali peminatnya adalah kesenian Jaranan. Jaranan berasal dari kata Jaran yaitu artinya kuda. Jaranan sendiri ialah salah satu seni tari wilayah Jawa Timur yang mempunyai karakteristik khas tertentu yaitu adanya unsur seni serta religi didalamnya. Kesenian jaranan mempunyai sifat religi, yaitu adanya magis yang selalu berkaitan dengan hal yang bersifat mistis.
Ciri khas dari pertunjukan jaranan yaitu dengan memakai jaran atau kuda yang terbuat dari rajutan bambu sebagai properti pementasan serta juga adanya peristiwa kesurupan didalam pementasan. Seni jaranan suka dipertontonkan saat upacara adat suro, acara hajat seperti nikah dan khitan, pada rangka memperingati hari ulang tahun suatu daerah ataupun hari kemerdekaan [3]. Walaupun berbeda di setiap daerahnya, jaranan dipertontonkan ditempat terbuka dengan banyaknya orang yang melihatnya. Beberapa masyarakat juga mempercayai bahwa pertunjukan kesenian jaranan dalam acara bersih desa bisa menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi dalam suatu daerah, misalnya yaitu musibah atau wabah penyakit.
Kediri merupakan kota yang berada di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di Kediri ada kesenian jaranan Jawa yang terus hidup dan berkembang dengan baik, salah satunya adalah Jaranan Branasti Putro yang berada di Desa Ringinsari Kecamatan Kandat tepatnya di Jl. Atmowijoyo. Menurut Sumiatun jaranan Branasti Putro menjadi ciri dan juga sebagai identitas desa Ringinsari (wawancara oktober 2023). Jaranan Branasti Putro dijadikan sebuah tarian hiburan masyarakat desa Ringinsari, Jaranan Branasti Putro sendiri biasanya digelar saat ada acara hajatan, khitan, dll. Kuda, pecut, celeng dan barongan menjadi properti di dalam pertunjukan Jaranan Branasti Putro. Kesenian Jaranan Branasti Putro bukan hanya sebagai tontonan saja akan tetapi ada juga pesan moral yang disampaikan di dalam pertunjukan salah satunya adalah sebagai tuntunan adanya nilai sosial keagamaan yang mengandung sebuah pedoman hidup mengajarkan kepada manusia untuk menjalankan kehidupan menjadi lebih baik. Jaranan Branasti Putro sendiri berjumlah 50 orang , yang dimana ada beberapa sesi di dalam pertunjukan jaranan, dari Jaranan Branasti Putro sendiri pastinya memakai komunikasi ritual dalam pertunjukannya. Dan para pemain jaranan menunggangi Jaranan yang dibuat dari anyaman bambu sesuai nada lagu yang dimainkan.
Komunikasi ritual ialah yaitu komunikasi yang banyak dijumpai dalam acara keagamaan ataupun upacara sakral pada masyarakat. Salah satu ciri khas komunikasi ritual adalah penggunaan bahasa simbolik yang unik (khas), terlihat dalam wujud tarian, permainan, kisah dan tutur lisan [4]. Dalam suatu budaya, komunikasi ritual berhubungan dengan bagaimana suatu masyarakat menunjukkan keyakinan bersama lewat ritus keagamaan, sedangkan dalam pandangan ritual, komunikasi ritual dilakukan masyarakat untuk memanjatkan doa kepada leluhur. Komunikasi upacara dapat dimaknai sebagai proses pemaknaan pesan sebuah kelompok pada aktivitas religi dan sistem kepercayaan yang dianutnya[5]. Komunikasi ritual dilakukan dalam setiap upacara entah upacara keagamaan dan lain sebagainya, komunikasi ritual juga dilakukan untuk menghormati para leluhur yang sudah tidak ada atau meninggal. Komunikasi ritual dari jaranan sangatlah berbeda-beda terutama di Jaranan Branasti Putro. Menurut Sri Handayani pola komunikasi dalam perspektif ritual dipahami sebagai rangkaian (sequence) upacara sakral (sacred ceremonial) [6].
Penelitian ini berfokus pada komunikasi ritual yang dilakukan oleh gambuh sanggar Jaranan Branasti Putro pada pertunjukan seni Jaranan. Dimana mereka menjalankan berbagai macam prosesi ritual sebelum sampai sesudah pertunjukan dilaksanakan. Pandangan ritual bukan hanya pada perluasan atau perpanjangan pesan akan tetapi mengarah pada waktu yang dipertahankan oleh masyarakat, bukan sebuah tindakan menyampaikan informasi tapi representasi kepercayaan bersama[7]. Komunikasi ritual bisa bermakna sebagai proses penyampaian pesan suatu kelompok masyarakat pada kegiatan religi dan suatu keyakinan yang dianutnya.
Penelitian ini juga menggunakan beberapa jurnal dari penelitian terdahulu sebagai pembanding dari data yang diperoleh. Yang pertama, pada tahun 2017 Mustika Mala Sari melakukan penelitian berjudul arti Komunikasi Nonverbal Seni Pertunjukan Jaran Kepang Turonggo Putro di Bagan Batu Kabupaten Rokan Hilir dengan menggunakan pendekatan kualitatif [8]. Didalam jurnal tersebut dijelaskan mengenai komunikasi nonverbal yang ditunjukan oleh peserta saat pementasan Jaranan Turonggo Putro agar mengetahui arti pesan kineksik yang ada didalam pertunjukan. Hal serupa juga terdapat pada jurnal karya Laras Sekar Kinanti pada tahun 2018 yang dimana juga melakukan penelitian berjudul arti Ritual Dalam Persiapan Pertunjukan Seni Jaranan Sanggar Seni Jaranan Legowo Putro di Desa Sugihwaras, Kabupaten Nganjuk dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif[9]. Pada tahun 2021 Yunanto Tri Laksono melakukan penelitian dengan judul Bahasa Inggris Communication and ritual on jaranan pogogan: The semiotics of performing arts dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif[10]. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana bentuk pertunjukan, eksistensi dan faktor-faktor mendukung eksistensi Seni Jaran Guyub Budaya di kota Blitar. Pada tahun 2019 Rizky Agung dan Dhalia Soetopo melakukan penelitian berjudul Budaya Kerasukan Seni Tradisi Jaranan di Banyuwangi dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif yang dimana menjelaskan tentang bagaimana proses ritual kesurupan, arti dari kesurupan dan transformasi budaya kesurupan dalam upacara tradisi jaranan Banyuwangi [11].
Penelitian ini memakai teori komunikasi ritual yang dipelopori oleh James W. Carry. James W. Carry berpendapat bahwa dalam pandangan ritual, komunikasi berhubungan dengan berbagi, partisipasi, komunitas, dan kepercayaan bersama. Dalam perspektif ritual komunikasi ritual digambarkan dengan adanya orang-orang yang secara bersama ikut berkumpul untuk melaukan perjamuan ilahi atau upacara do’a. komunikasi ritual sendiri akan terus ada sepanjang zaman, dikarenakan ia telah menjadi kebutuhan manusia, walaupun bentuknya berbeda-beda untuk memenuhi kebutuhan diri manusia sebagai makhluk sosial, mahluk menyendiri, dan untuk menjadi salah satu bagian dari alam semesta.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk menjelaskan bagaimana proses komunikasi ritual yang dijalankan oleh para pelaku jaranan Branasti Putro desa Ringinsari Kecamatan Kandat Kabupaten Kediri. Dalam tradisi ini komunikasi ritual bukan kegiatan mendapatkan informasi akan tetapi hadirnya kepercayaan bersama. kepercayaan bersama tersebut yang dapat memupuk kebersamaan antar kelompok. Alhasil bisa disimpulkan kalau riset tersebut dicoba untuk memandang seperti apa sudut pandang komunikasi ritual yang dibentuk serta terjalin didalam adat- istiadat seni Jaranan Branasti Putro.
Penulisan artikel ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Subjeknya adalah Jaranan Branasti Putro sedangkan objek penelitiannya yaitu komunikasi ritual. komunikasi ritual sendiri dipilih sebagai objek penelitian karena dianggap menarik bagi peneliti. Teknik yang digunakan dalam mengakji penelitian ini menggunakan Teknik Pruposive Sampling, yaitu dengan pengambilan informan melalui pertimbangan yaitu sebagai warga desa Ringinsari, pimpinan dan anggota sanggar kesenian Jaranan Branasti Putro. Informan tersebut yaitu mbah Maji yang merupakan pimpinan dari sanggar kesenian Jaranan Branasti Putro. informan kedua yaitu ada Mas Bayu dan Mas Andi yang merupakan anggota jaranan Branasti Putro dari tahun 2014. yang ketiga ada Ibu Sumiatun dan Ibu Ningsih yang merupakan warga desa Ringinsari Kecamatan Kandat Kabupaten Kediri.
Metode pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara, dokumentasi, serta observasi. Wawancara dilakukan untuk menambah informasi terkait penelitian secara langsung dari informan. Beberapa dokumentasi berupa foto juga diambil secara langsung oleh peneliti pada saat pementasan berlangsung. Observasi digunakan sebagai metode pengambilan data dilapangan dengan cara melakukan pengamatan langsung dilapangan. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis dari Miles & Huberman reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan [12].
Sejarah Sanggar kesenian Jaranan Branasti Putro pertama kali dipegang oleh mbah Dono, lalu dilanjutkan oleh mbah Gapar yaitu sebagai generasi kedua yang memegang sanggar kesenian jaranan Branasti Putro dan saat ini dipegang oleh mbah Maji sebagai generasi ketiga. Dengan berkembangnya zaman terdapat perubahan dalam setiap pementasan yang ada di pertunjukan Jaranan Branasti Putro. Contohnya di alur pementasan yang dimana sekarang ada tambahan hiburan modern seperti pengisi suara yang bukan hanya dari sinden akan tetapi juga ada penyanyi dan iringan musik dangdut modern. Jaranan Branasti Putro sendiri berjumlah 50 orang.
Sesi Pertunjukan Jaranan Branasti Putro
Sesi pertama yaitu penampilan dari 6 personil jaranan dengan memakai pakaian komplit dan juga kuda dari anyaman bambu serta make up untuk menambah sentuhan magis didalam penampilan jaranan,
Sesi kedua penampilan dari 6 personil ditambah dengan dua celeng srenggi yang membawa anayaman bambu berupa babi, penampilan kedua ini biasanya dinamakan perang celeng yang dimana nanti saat pertunjukan celeng srenggi meluapkan kemarahannya dengan mengejar dan menghajar pasukan kuda dan tunggangannya hingga terjatuh dan akhirnya kesurupan.
Sesi ketiga ada ganongan dengan tiga personil serta ada juga banteng dan juga suro yang ikut meramaikan, biasanya pada sesi ini ganongan bertugas untuk memberikan obrolan obrolan yang lucu dan menarik sehingga para penonton dapat terhibur dan tidak merasakan takut saat menonton pertunjukan, tidak hanya itu ganongan juga menampilkan atraksi-atraksi untuk menghibur penonton, sedangkan banteng dan suro berpenampilan menakutkan dengan make up yang sangat tebal untuk menakut nakuti penonton.
Sedangkan sesi keempat atau sesi yang terakhir ada penampilan dari enam personil jaranan ditambah dengan barongan yang berjumlah tujuh sampai delapan barongan, sesi ini adalah sesi yang ditunggu tunggu oleh para penonton dimana para penonton dapat berinteraksi langsung dengan barongan bahkan bisa juga menyawer atau memberikan uang kepada barongan lewat mulut barongan sendiri.
Figure 1.Pertunjukan Jaranan Branasti Putro (Sumber : Pengambilan gambar langsung dari kamera HP,2023)
A. Communication/Komunikasi Ritual Kesenian Jaranan Branasti Putro
Dari Jaranan Branasti Putro sendiri pastinya memakai komunikasi ritual dalam pertunjukannya, komunikasi ritual dari jaranan sangatlah berbeda-beda terutama di Jaranan Branasti Putro. komunikasi ritual berhubungan dengan identitas sistem religi serta keyakinan masyarakat. Komunikasi ritual adalah bagian dari makna simbol, MajidTehranian menjelaskan bahwa manusia tidak ditempatkan dengan cara individual tetapi kolektif, yang dimana ada hubungan antara manusia dan alam yang tidak bisa dipisahkan, selalu terjadi interaksi. Pendapat Mulyana (2005:25) komunikasi ritual berkaitan dengan komunikasi ekspresif, yang dimana didalam komunikasi ritual orang berbicara kata-kata atau menunjukkan gerakan khusus yang bersifat simbolik [13].
Komunikasi ritual adalah salah satu fungsi komunikasi yang banyak ditemui dalam upacara keagamaan ataupun upacara sakral dalam masyarakat. Couldry dalam Sulaeman dan Malawat, juga berpendapat soal 11 komunikasi ritual ada 3 terminologi yang saling berhubungan, yaitu communication (komunikasi), communion (komunitas), serta common. Komunikasi ritual pada kesenian jaranan Branasti Putro mempunyai memiliki beberapa tahap, yang pertama: Ritual malam hari saat sebelum pementasan, Ritual ketika pementasan, dan ritual terakhir selesai pementasan. Beberapa sesi upacara ritual ini biasanya dipimpin oleh Bopo. Karena Bopo berperan baik didalam pementasan jaranan sebagai orang yang paham, mengerti dan disegani.
Sebelum memulai pertunjukan H-1 minggu para pemain melakukan latihan di sanggar kesenian Jaranan Branasti Putro. latihan dilakukan pada malam hari dimulai pada jam 8 malam sampai selesai. Adapun penggunaan bahasa komunikasi ritual dalam pementasaan jaranan Branasti Putro terwujud dalam bentuk tarian, nyanyian dari sinden, musik seperti gamelan dan juga bunyi pecut.
Figure 2.Pertunjukan Jaranan Branasti Putro (Sumber : Pengambilan gambar langsung dari kamera HP,2023)
B. Communion/Komunitas Jaranan Branasti Putro
Jaranan Branasti Putro juga memiliki komunitas yang terbentuk sudah lama sekali dari mulai generasi pertama hingga saat ini yang sekarang dipegang oleh generasi ketiga. Alasan mengapa Jaranan Branasti Putro hingga saat ini masih berkembang dengan baik adalah karena pemilik dan juga para pemain selalu kompak. Jaranan Branasti Putro juga memiliki akun tiktok dengan jumlah followers/pengikut sangat banyak sehingga lewat media sosial ini juga Jaranan Branasti Putro dapat dikenal lebih mudah dan dipromosikan lebih mudah sampai luar kota. Dan setiap kali Jaranan Branasti Putro akan tampil atau pentas jadwalnya selalu di uploud di media sosial agar para penonton dapat melihat jadwal kapan Jaranan Branasti Putro akan pentas. Dwi Zahrotul Mufridah berpendapat Solidaritas dan komunikasi juga terjalin dengan masyarakat sekitar ketika pertunjukan kesenian Jaranan berlangsung [14]. Pada jaman dahulu sebelum globalisasi datang, kesenian merupakan bentuk ekspresi masyarakat. Eksistensi kesenian sebagai sarana sosial bagi masyarakat untuk saling berbagi cerita dan berkumpul memupuk rasa persaudaraan didalam komunitas[15].
Figure 3.Akun media sosial Tiktok Jaranan Branasti Putro
C. Common
Para pemain dari sanggar kesenian Jaranan Branasti Putro sebelum memulai pementasan biasanya pada malam hari mereka melakukan do’a di pepunden bernama Mbah Branti yang dipercaya oleh warga Ringinsari adalah pemilik atau orang yang membabat wilayah Ringinsari pertama kali, tujuannya adalah untuk menjaga pertunjukan dari marabahaya yang sifatnya ghaib, agar pementasan berjalan dengan lancar dan juga sebagai sarana pelestarian budaya agar tidak dilupakan. Para Bopo juga memanjatkan berdo’a agar komunitas Jaranan selalu diberi kesuksesan dan keselamatan. Para bopo yang ikut dalam ritual malam hari yaitu bopo Maji, Bopo bungkik, Bopo supadi, dan Bopo man. Harapan dari para pemain dan pendiri kesenian sanggar Jaranan Branasti Putro adalah agar kesenian Jaranan tetap berkembang dengan baik dan selalu dapat diminati oleh banyak orang dan juga para pemain selalu kompak.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kesenian jaranan bukan hanya berisi hal-hal mistis tetapi ada juga hiburan didalamnya. Penelitian ini berfokus pada komunikasi ritual yang dijalankan para gambuh sanggar seni Jaranan Branasti Putro dalam persiapan pertunjukan kesenian Jaranan. Dimana mereka menjalankan berbagai macam prosesi ritual sebelum sampai sesudah pertunjukan dilaksanakan. Ada pula komunitas sanggar kesenian Jaranan Branasti Putro yang sampai sekarang masih aktif bersama-sama dalam membesarkan nama sanggar Kesenian Jaranan Branasti Putro agar dapat dinikmati selau oleh masyarakat.