Text Type
Mode
TitleAbstract
Pendahuluan
Metode
Pembahasan
Simpulan
Footnotes
References
Enhancing Maternal Engagement for Effective Stunting Prevention Strategies
Meningkatkan Keterlibatan Ibu untuk Strategi Pencegahan Stunting yang Efektif
Urshella Syintania Fadilla, Ilmi Usrotin Choiriyah

Pendahuluan

Salah satu isu gizi yang dihadapi Indonesia adalah stunting, yaitu keterlambatan pertumbuhan pada anak, stunting pada anak-anak ditandai dengan tinggi badan yang berada di bawah batas standar yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab (sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021 mengenai Percepatan Penurunan Stunting 2021). Berdasarkan hasil Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, prevalensi stunting pada balita di Indonesia tercatat sebesar 24,4%. Angka ini masih dianggap tinggi jika dibandingkan dengan target Kebijakan Strategis Ketahanan Pangan dan Gizi (KSKPG) 2024, yang menargetkan penurunan prevalensi stunting pada balita menjadi 14%. Stunting didefinisikan sebagai kondisi yang diukur menggunakan rasio tinggi badan terhadap umur (TB/U) dengan nilai Z-score di bawah -2 SD, sesuai dengan standar pertumbuhan anak yang ditetapkan oleh WHO. Gangguan pada pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif anak, yang disebabkan oleh kekurangan nutrisi dalam jangka waktu yang panjang, dapat dikenali sebagai retardasi pertumbuhan[1].
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dampak negatif dari stunting dapat timbul baik dalam waktu singkat maupun panjang. Dalam jangka pendek, stunting dapat mengakibatkan meningkatnya jumlah penyakit dan angka kematian, perkembangan kognitif dan intelektual yang kurang optimal, serta peningkatan biaya perawatan medis merupakan hasil dari stunting. Dampak jangka panjangnya mencakup postur tubuh yang tidak optimal saat mencapai usia dewasa, risiko yang meningkat terhadap obesitas serta penyakit degeneratif, serta penurunan kesehatan reproduksi, masalah kelainan dalam pembelajaran dan performa di sekolah, serta penurunan produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak mencapai tingkat optimal. Anak-anak yang mengalami kurang optimalitas kecerdasan akibat stunting dapat menjadi hambatan bagi pertumbuhan ekonomi, bertambah tingkat kemiskinan, serta memperbesar kesenjangan di dalam suatu negara[2].
Angka stunting yang tinggi pada anak kecil dapat disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk penyebab yang terlihat secara langsung dan mendadak, seperti kekurangan asupan makanan bergizi dan adanya penyakit menular. Faktor-faktor tambahan melibatkan kurangnya pemahaman tentang metode pengasuhan anak, terbatasnya akses ke layanan kesehatan, dan kondisi kebersihan tempat tinggal yang tidak memadai. Selain itu, ada kecenderungan di masyarakat untuk lebih menerima anak-anak dengan tinggi dan berat badan yang normal daripada anak dengan BB di bawah pada umumnya, para ibu mungkin tidak menyadari bahwa perhatian yang kurang baik terhadap anak-anak mereka dapat menimbulkan risiko kesehatan. Hal serupa berlaku untuk calon ibu dan ibu hamil yang mungkin kurang informasi mengenai keterkaitan antara kebutuhan nutrisi pribadi dan kebutuhan nutrisi janin selama kehamilan serta sejauh mana keduanya saling memengaruhi[3].
Mengingat elemen-elemen di atas dan tingginya frekuensi stunting di Indonesia, langkah-langkah untuk mengatasi stunting menjadi suatu kebutuhan mendesak demi terwujudnya keberlanjutan yang ideal dan sangat baik bagi generasi kedepan. Salah satu inisiatif berlokasi di wilayah kota Sidoarjo. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Sidoarjo hingga bulan Agustus 2020, tingkat stunting di Kabupaten Sidoarjo hingga 8,24%, mencakup sekitar 6.207 anak. Sementara itu, kecenderungan stunting di Sidoarjo sendiri mengalami penurunan signifikan awalnya 28% di Agustus 2018 jadi 14% di tahun 2022. Angka 14% ini dihitung berlandaskan perkiraan jumlah 34.000 anak yang berusia 0 hingga 59 bulan/di bawah 5 tahun. Permasalahan kesehatan di Sidoarjo termasuk tingginya jumlah masyarakat yang masih menggunakan air sumur yang tidak memenuhi standar minum karena tingginya kandungan logam berat timbal (Pb) melebihi standar yang ditetapkan oleh pemerintah[4].
Desa Wonoayu ialah sebagian desa yang ada di wilayah Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo dan menjadi lokus stunting. Sehubungan dengan tujuan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), Desa Wonoayu telah mengembangkan sejumlah program pembangunan, antara lain program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi bayi kurang mampu secara ekonomi, kursus kelas bagi ibu hamil, dan kursus bagi ibu yang mempunyai anak, serta SOHT (Sekolah Orang Tua Hebat). 1000 hari pertama kehidupan (HPK) diawali dengan menjadi janin di waktu kehamilan (270 hari) dan berlanjut hingga anak berusia 2 tahun (730 hari). Status gizi 1000 HPK mempengaruhi kualitas kesehatan, kinerja mental, dan produktivitas di masa depan. Anak-anak yang menderita gizi buruk pada periode 1000 HPK mengalami gangguan saraf, yakni gangguan pada sistem saraf dan otak[5].
Menyadari kepentingan nutrisi bagi setiap 1.000 kepala keluarga, tindakan gizi di kategori tersebut menjadi fokus utama dalam upaya meningkatkan kualitas hidup generasi mendatang. Dalam konteks ini, ada dua pendekatan intervensi yang diterapkan pada kelompok 1.000 kepala keluarga, yakni intervensi gizi yang bersifat khusus dan intervensi gizi yang bersifat responsif. Intervensi gizi khusus melibatkan serangkaian tindakan ekonomis untuk menangani isu gizi yang buruk, sementara intervensi gizi yang responsif mencakup berbagai program kegiatan yang dirancang untuk memberikan dampak pada status gizi masyarakat, terutama pada kelompok 1.000 kepala keluarga[6]. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 97 Tahun 2014 mengatur terkait pelayanan kesehatan sebelum hamil, selama hamil, persalinan, pasca melahirkan, serta pelayanan kontrasepsi juga kesehatan seksual. Untuk itu, upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Desa untuk menanggulangi terkait masalah stunting yaitu dengan membantu melaksanakan suatu program dari program Puskesmas yakni program kelas ibu hamil yang dimulai sejak Tahun 2020. Program kelas ibu hamil ialah inisiatif guna menyebarkan informasi seputar gizi dan kesehatan selama masa kehamilan. Materi yang disampaikan dalam program ini terfokus pada aspek perawatan kehamilan, khususnya persiapan dan pemenuhan kebutuhan gizi selama periode kehamilan[7]. Penyebaran informasi kesehatan bertujuan untuk meningkatkan pemahaman ibu hamil terhadap tanda-tanda risiko kehamilan. Tujuan akhir dari upaya pendidikan kesehatan adalah peningkatan pengetahuan untuk memberdayakan personal, family, hingga warga agar mengadopsi pola hidup sehat serta berpartisipasi pada mencapai kehidupan yang menyehatkan. Hal ini melibatkan perubahan perilaku di tingkat masyarakat. Pemberian pendidikan kesehatan kepada ibu hamil melalui program kursus diharapkan dapat efektif meningkatkan pengetahuan dan keterampilan praktisnya. Ini mencakup kemampuan untuk menjaga kesehatan pribadi dan memastikan asupan gizi keluarga, sehingga anak- anak dapat tetap sehat dan memperoleh vitamin yang memadai hingga aman dari problem stunting[8].
X
Table 1
Nama
Wilayah RT/RW
Jumlah Ibu Hamil
2022
2023
Posyandu 1
RT 01,02,03 / RW 03 ; RT 03,04,05 / RW 2 ; RT 06 / RW 04
22
22
Posyandu 2
RT 01/RW04 ; RT 01,02,03 / RW 01 ; RT 01,02 / RW 02
25
26
Posyandu 3
RT 01,02 / RW 05
3
2
Posyandu 4
RT 04/RW01 ; RT 02,03,04,05 / RW 4
28
30

Total
78
80
Jumlah Ibu Hamil di Desa Wonoayu menurut Wilayah

X
Berdasarkan tabel 1. terdapat sejumlah ibu hamil yang ada di di Desa Wonoayu. Dari data tersebut, terlihat bahwa Desa Wonoayu memiliki 4 posyandu, yang mana dari tahun 2023 yakni sebanyak 80 ibu hamil. Hal ini mengindikasikan peningkatan jumlah ibu hamil dari tahun sebelumnya, yaitu 2022, yang mencatat 78 ibu hamil. Kejadian stunting di Kabupaten Sidoarjo tidak hanya terkait dengan kegagalan ekonomi masyarakat, melainkan juga berkaitan dengan kegagalan dalam hal pendidikan, terutama terkait konsumsi air yang tidak sehat oleh sebagian masyarakat. Pemerintah telah melakukan berbagai langkah, termasuk melalui program kelas prenatal yang diimplementasikan oleh Puskesmas Wonoayu untuk mencegah stunting. Program ini dirancang sebagai langkah preventif karena akar permasalahan stunting dapat ditemukan sejak dalam kandungan. Melalui kelas ibu hamil, diharapkan calon ibu dapat memperoleh pengetahuan yang memadai untuk memantau asupan makanan selama kehamilan, sehingga risiko anak lahir stunting dapat diminimalkan[9].
Program pengajaran berkala untuk calon ibu, dengan empat sesi setiap siklus, mengeksplorasi berbagai topik dan memanfaatkan referensi KIA (Kesejahteraan Individu dan Anak). Dengan partisipasi sebanyak 15 peserta per sesi, total peserta mencapai 45 individu dalam setahun. Kegiatan terintegrasi dalam program pembelajaran mencakup penyampaian materi, demonstrasi emosional, sesi senam fisik, dan praktik yoga khusus untuk ibu hamil. Data dari buku KIA memiliki potensi untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan orang tua dan kader, mendorong masyarakat menuju gaya hidup sehat (Sugiharti et al., 2021). Keuntungan lain dari buku KIA melibatkan peran sebagai sumber informasi berharga bagi keluarga terkait kesejahteraan ibu dan anak, serta sebagai panduan dan alat identifikasi masalah kesehatan. Studi oleh Suparmi, dkk (2018), menunjukkan dampak positif buku KIA pada peningkatan pengetahuan dan pemanfaatan layanan kesehatan oleh ibu dan anak[10]. Rencana agenda berikutnya melibatkan evaluasi isi buku KIA dalam pertemuan kelompok, diikuti dengan dialog serta berbagi pengalaman calon ibu serta tenaga kesehatan, yang diberi nama sebagai Kursus Antenatal.
X
Table 2
Pertemuan
Penyajian Materi
Alat Bantu
I (Bulan Januari 2024)
Pemeriksaan kehamilan agar ibu dan bayi sehat
Buku KIA, Lembar balik, Food Model/contoh makanan. Stiker P4K, dll.
II (Bulan Februari 2024)
Persalinan aman, nifas nyaman, ibu selamat bayi sehat
Buku KIA, Lembar Balik, Boneka Bayi, KB Kit, dll.
III (Bulan Maret 2024)
Pencegahan penyakit komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas agar ibu bayi sehat
Buku KIA, Lembar Balik, Metode Kanguru, Boneka, dll.
IV (Bulan April 2024)
Perawatan BBL agar tumbuh kembang optimal, pelayanan imunisasi seperti vaksin.
Buku KIA, Lembar Balik, Boneka Bayi, KB Kit, dll.
Jadwal Materi Pertemuan Program Kelas Ibu Hamil

X
Pada tiap pertemuan kelas calon ibu, konten dan rincian sesi dari Pertemuan I hingga IV tercermin melalui Pedoman fasilitator, Panduan KIA, Kartu Pemutar, CD senam wanita mengandung, serta panduan senam calon ibu. Pelaksanaan pertemuan dimulai dengan fasilitator menyajikan materi-materi sesi calon ibu hamil. Sesudah itu, fasilitator bersama peserta mencapai kesepakatan mengenai materi yang akan dijelaskan di setiap pertemuan serta menetapkan jumlah pertemuan yang diperlukan guna merinci seluruh materi sesi calon ibu hamil. Keputusan ini akan disesuaikan dengan urutan materi dan kebutuhan prioritas setempat.
Dalam studi sebelumnya, peneliti merujuk riset yang dilaksanakan Anna Malia, Farhati, Siti Rahmah, Dewi Maritalia, Nuraina, serta Dewita tahun 2022 yang berjudul “Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil dalam Upaya Pencegahan Stunting: Studi Kasus di Desa Peusangan Kabupaten Bireuen”. Riset ini memanfaatkan langkah kuantitatif dengan teknik sampling jenuh/total sampling. Temuan studi memperlihatkan program kelas ibu hamil di Desa Peusangan Kabupaten Bireuen cukup efektif dalam mencegah stunting. Temuan memperlihatkan pelaksanaan kelas ibu hamil secara rutin dilaksanakan (100%) oleh bidan desa, serta materi mengenai stunting tersedia di 69,9% kelas. Sebagian besar kader pelaksana (95,7%) ialah kader posyandu, dengan 30,1% kader yang sudah mengikuti pelatihan khusus. Seluruh partisipan (100%) mengakui manfaat dari pelaksanaan kelas ibu hamil dalam upaya pencegahan stunting[11].
Kedua, riset yang dilaksanakan Maysara Edriani serta Repotan Hasibuan di periode 2023 dengan judul "Strategi Implementasi Kebijakan Percepatan Penurunan Stunting di Fasilitas Puskesmas Terjun Kota Medan". Dalam konteks riset ini, digunakan pendekatan kualitatif dengan menerapkan metode pengumpulan data purposive sampling. Informasi diperoleh melalui serangkaian sesi interview, pengamatan faktual, dan pencatatan dokumentasi. Kesimpulan dari studi ini menyatakan bahwa pelaksanaan Kebijakan Penurunan Stunting di Fasilitas Puskesmas Terjun Kota Medan secara keseluruhan sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu Peraturan Presiden No. 72 periode 2021 serta Peraturan Wali Kota Medan No. 18 periode 2020 yang berkaitan dengan penurunan stunting. Walaupun demikian, masih terdapat tantangan terutama dalam domain sumber daya, fasilitas, infrastruktur, dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi optimalisasi pelaksanaan kebijakan tersebut[12].
Ketiga, Studi yang dilakukan oleh Yola Bergi Sembiring pada tahun 2023 berjudul "Implementasi Program Intervensi Gizi Spesifik Dalam Penurunan Stunting Oleh Dinas Kesehatan di Kabupaten Karo" menerapkan pendekatan kualitatif dengan strategi akumulasi data menggunakan wawancara, pengamatan faktual, dan dokumentasi. Kesimpulan studi menyatakan bahwa pelaksanaan Program Intervensi Gizi Tertentu dan Gizi Khusus dalam mengurangi stunting oleh Dinas Kesehatan di Kabupaten Karo masih belum mencapai tingkat optimal secara keseluruhan. Analisa pada sejumlah indikator riset, termasuk komunikasi, aset, sikap pelaksana (disposisi), serta struktur birokrasi, menunjukkan kinerja program tersebut belum mencapai tingkat yang diinginkan[13].
Berdasarkan hasil wawancara dari Ibu Roida Ulyah Amd, Keb selaku bidan Desa Wonoayu bahwa program kelas ibu hamil dalam penanggulangan stunting di Desa Wonoayu disebabkan oleh kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh orang tua mengenai perlambatan pertumbuhan serta dalam menjaga gizi anak salah satunya dalam kurangnya perhatian dan kepedulian untuk menjaga masa kehamilan. Sehingga diketahui sebagian orang tua yang belum terlalu memahami tentang pentingnya dan manfaat dalam mengikuti kegiatan materi kelas ibu hamil tersebut, karena waktu yang dijadwalkan untuk program sosialisasi belum tepat sehingga sebagian ibu hamil ada yang waktunya dibuat untuk bekerja. Berdasarkan hal tersebut, riset ini bertujuan guna menjalankan survei yang terfokus pada pelaksanaan kelas ibu hamil. Karenanya, determinasi dari riset ini mampu difungsikan sebagai rujukan/acuan, kerangka kerja, dan landasan untuk langkah-langkah yang akan diambil guna meningkatkan kelas ibu hamil serta menggalakkan upaya pencegahan stunting. Dalam konteks ini, peneliti mengadopsi teori implementasi kebijakan menurut Edward III, yang mengidentifikasi empat dimensi utama, Dalam hal ini, melibatkan elemen komunikasi, kapasitas sumber daya, perilaku pelaksana (disposisi), serta organisasi birokrasi. Proses analisa melibatkan langkah- langkah seperti pengurangan informasi, penyuguhan informasi, serta pembentukan hasil akhir[14].

Metode

Pada konteks riset ini, langkah yang diterapkan yaitu riset kualitatif berorientasi deskriptif. Dengan pendekatan ini, peneliti memiliki tujuan guna mendapat informasi yang sangat rinci serta mendalam terkait dengan situasi yang sebenarnya. Sehingga, penelitian ini dijalankan dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi kasus, yang mencakup wawancara yang mendalam dengan mengacu pada panduan kebijakan penanganan stunting[15]. Lokasi riset ini di Desa Wonoayu Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo. Penentuan informan yaitu menggunakan purposive sampling. Informan yang terlibat mencakup Petugas Laboratorium Gizi, Kepala Puskesmas, Kader Posyandu, Kepala Desa, Bidan Desa dan satu individu dari masyarakat yang mempunyai balita stunting. Teknik pengumpulan data menggunakan panduan wawancara, observasi, serta dokumentasi. Analisa informasi mengadopsi pendekatan interaktif Miles & Huberman (2014), yang mencakup proses pengumpulan informasi, reduksi data, penyuguhan informasi, serta formulasi hasil akhir[16].

Pembahasan

Peneliti menganalisis bagaimana implementasi program kelas ibu hamil pada penanganan stunting dengan teori Edward III, implementasi melibatkan 4 dimensi utama, antaranya komunikasi, alokasi sumber daya, sikap pelaksana (disposisi), dan struktur birokrasi.
A. Komunikasi
Komunikasi adalah elemen krusial dalam organisasi yang memungkinkan pimpinan dan staf untuk menjalankan tugas dengan efektif dan efisien demi mencapai tujuan organisasi. Agar komunikasi tersebut efektif, harus disampaikan dengan jelas agar mudah dipahami[17]. Komunikasi berfungsi untuk menghubungkan berbagai informasi yang diterima dan meningkatkan pemahaman tentang hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui[18]. Proses komunikasi mencakup penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan. Edward III menekankan bahwa informasi mengenai kebijakan publik harus disampaikan kepada pihak yang terlibat dalam kebijakan, agar mereka dapat mempersiapkan dan melaksanakan kebijakan dengan baik, sehingga tujuan dan sasaran kebijakan dapat tercapai. George Edward III mengidentifikasi beberapa sub-indikator penting dalam komunikasi kebijakan, termasuk transmisi, konsistensi, dan kejelasan, untuk memastikan implementasi kebijakan sesuai dengan harapan.
Pertama, dalam proses penyampaian komunikasi yang efektif, penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan dikomunikasikan kepada pelaksana sebelum dilaksanakan. Komunikasi ini bersifat unidirectional, yaitu dari pihak pembuat kebijakan kepada pelaksana kebijakan[19]. Dimensi transmisi mengharuskan bahwa kebijakan publik tidak hanya dikomunikasikan kepada pelaksana (implementor) kebijakan, tetapi juga harus disampaikan kepada kelompok target kebijakan dan pihak-pihak terkait lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung[20]. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Ibu Roida Ulyah Amd. Keb selaku bidan desa Wonoayu Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo
“Dengan adanya sosialisasi pemerintah berupaya untuk memberikan pengetahuan terkait manfaat program kelas ibu hamil kepada masyarakat, serta memberikan penyuluhan terkait penanganan pada stunting mulai dari ibu hamil hingga penanganan pada anak balita. Harapannya setelah diberikan sosialisasi, masyarakat bisa menerima dan memahami hal-hal yang berhubungan terkait stunting dan cara menanganinya”
Wawancara tersebut dilaksanakan pada 11 Januari 2024. Sebelum di laksanakan Pengelompokkan program kelas ibu hamil, tiap kader ibu hamil di desa mendata masyarakat yang sedang hamil lalu di laporkan kepada kader kelas ibu hamil untuk membuat undangan yang akan di sebarkan kepada masyarakat dengan persetujuan dari Kepala Desa dan ketua PKK.
X
Figure 1
Undangan Sosialisasi Program Kelas Ibu Hamil

X
Berdasarkan wawancara yang telah di dapat, dari jumlah 80 undangan yang telah disebar kepada masyarakat hanya sekitar 45 orang yang bisa menghadiri kegiatan sosialisasi terkait pengenalan program kelas ibu hamil dalam penanganan stunting. Terlihat tingkat partisipasi masyarakat dalam aktifitas sosialisasi masih tergolong rendah, sehingga pemahaman mereka mengenai stunting tetap minim. Akibatnya, upaya penyuluhan yang dilakukan oleh puskesmas guna mencegah stunting belum mencapai tingkat optimal. Ini bisa diatasi dengan bagaimana pihak pemerintah bisa menangani dan melakukan penjemputan bolang kerumah masyarakat agar dapat disadari bahwa kesehatan pada ibu hamil sangat penting untuk diperhatikan.
Kedua, menurut George Edward III, kejelasan merupakan aspek penting yang menekankan bahwa agar kebijakan dapat diimplementasikan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, instruksi untuk pelaksana kebijakan harus disampaikan dengan jelas dan tidak hanya diterima, tetapi juga dipahami dengan baik[21]. Komunikasi harus jelas dan akurat untuk menghindari interpretasi yang berbeda di kalangan pelaksana. Kebijakan harus dijelaskan secara mendetail kepada semua pihak terkait agar mereka memahami tujuan, sasaran, dan substansi kebijakan serta apa yang perlu dilakukan untuk implementasinya dengan efektif dan efisien[22]. Demikian dengan adanya kejelasan program kegiatan kelas ibu hamil ini bisa mudah dipahami oleh masyarakat. Berlandaskan wawancara yang saya kumpulkan dari bidan Desa Wonoayu bahwa
“Penyampaian informasi dari pihak Puskesmas kepada masyarakat dilakukan melalui bidan desa dan kader posyandu, kemudian dari kader posyandu menyampaikan kepada masyarakat Desa Wonoayu. Untuk informasi terkait kegiatan posyandu para kader menyampaikannya melalui kegiatan sosialisasi”.
wawancara tersebut dilakukan pada tanggal 11 januari 2024. Dari hasil wawancara diatas bisa disimpulkan kejelasan terkait penyampaian informasi dalam program kelas ibu hamil sudah tersusun dengan jelas serta pemahaman dalam cara menyampaikan informasi terkait pengimplementasian program kelas ibu hamil.
X
Figure 2
Kegiatan Sosialisasi Program Kelas Ibu Hamil

X
Berdasarkan gambar.2 di pelaksanaan edukasi pencegahan stunting di kelas ibu hamil dapat dilihat bahwa ada banyak ibu-ibu hamil tidak mengetahui tentang stunting. Dalam kegiatan edukasi stunting diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat terutama ibu-ibu hamil mengenai stunting, sehingga dapat meningkatkan peran masyarakat dalam pencegahan stunting dan ikut memantau perkembangan pertumbuhan anak- anak mereka. Adapun materi sosialisasi yang disampaikan adalah terkait pemahaman tentang buku KIA, mengetahui tujuan dan Manfaat dari pelaksanaan kelas ibu hamil mencakup pemahaman mengenai peran yang bisa dimainkan oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pemangku kepentingan lainnya dalam mendukung kegiatan tersebut. Ini termasuk memotivasi ibu hamil dan keluarga mereka untuk berpartisipasi dalam kelas, menyebarluaskan informasi tentang kelas ibu hamil kepada masyarakat dan keluarga ibu hamil, serta menyediakan dukungan fasilitas yang diperlukan untuk keberhasilan kelas ibu hamil.
Ketiga, konsistensi menurut Edward III mengharuskan bahwa perintah yang diberikan dalam proses komunikasi harus tetap konsisten dan jelas agar dapat diterapkan secara efektif. Perubahan yang sering pada perintah dapat menyebabkan kebingungan di antara pelaksana lapangan[23]. Oleh karena itu, konsistensi dalam komunikasi sangat penting. Ketidakstabilan dalam penegakan kebijakan dapat memaksa pelaksana untuk menafsirkan dan menerapkan kebijakan dengan cara yang sangat fleksibel, yang dapat mempengaruhi pencapaian tujuan politik. Dalam dimensi konsistensi ini, penting agar kebijakan yang diambil tidak membingungkan pelaksana, kelompok sasaran, dan pihak terkait[24]. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Kepala Desa Wonoayu.
“Kegiatan program pertemuan pelaksanaan kelas ibu hamil sudah melakukan kegiatan sesuai jadwal materi yang telah disepakati secara bersama antara bidan atau petugas kesehatan dengan peserta ibu hamil dan mengetahui informasi dalam tahapan pelaksanaan”.
Berdasarkan wawancara tersebut bisa diambil kesimpulan, konsistensi dalam aktifitas program kelas ibu hamil sudah berjalan dengan baik. Hasil penelitian terkait indikator komunikasi pada implementasi program kelas ibu hamil sudah terlaksana, namun masih terdapat kendala terkait partisipasi dari masyarakat yang belum menyadari adanya sosialisasi tersebut. Yang perlu ditekankan adalah rutinnya jadwal sosialisasi pada kelas ibu hamil dalam pengenalan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan stakeholder karena itu sangat penting sebelum dilaksanakan program kelas ibu hamil. Dengan adanya kegiatan sosialisasi ini, diharapkan seluruh elemen masyarakat bisa memberi tanggapan serta dukungan yang diperlukan, sehingga program kelas ibu bisa dikembangkan serta dilaksanakan selaras yang diinginkan. Temuan ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Intan Kartika Sari, dkk (2022), berjudul Edukasi Pencegahan Stunting di Kelas Ibu Hamil studi kasus di Desa Kualu, Kabupaten Kampar. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa komunikasi kebijakan dalam penyampaian informasi mengenai sosialisasi program kelas ibu hamil sudah terlaksana. Teori tersebut relevan terhadap penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa variabel komunikasi berpengaruh signifikan terhadap program sosialisasi kelas ibu hamil. Maka dari itu komunikasi tidak kalah penting pada implementasi sebab semakin tinggi nilai komunikasi yang dirasakan oleh masyarakat maka semakin besar peluang untuk mengedukasi stunting, tingkat pemahaman ibu hamil mengenai stunting dapat di kategorikan baik karena ibu ibu hamil mulai terpancing untuk bertanya mengenai stunting dari hasil penjabaran edukasi pencegahan stunting oleh tim KUKERTA Desa Kualu yang didampingi oleh bidan di PUSTU[25].
B. Sumber Daya
Sumber daya merupakan elemen krusial dalam pelaksanaan kebijakan publik. Tanpa dukungan sumber daya yang memadai, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas, sebuah kebijakan akan menghadapi kesulitan dalam mencapai tujuannya. Meskipun ketentuan dan aturan telah disampaikan dengan jelas dan konsisten, jika pelaksana kebijakan tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menerapkan kebijakan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut akan kurang optimal. Sumber daya di sini mencakup segala aspek yang mendukung keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Edward III mengidentifikasi beberapa indikator sumber daya, termasuk: tenaga kerja, dana/anggaran, peralatan, dan wewenang.
Pertama, tenaga kerja merupakan elemen penting yang mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan. Keberhasilan kebijakan sangat bergantung pada dukungan tenaga kerja yang memadai baik dalam aspek kualitas maupun kuantitas. Kualitas tenaga kerja mencakup keterampilan, dedikasi, profesionalisme, dan kompetensi di bidangnya, sementara kuantitas mengacu pada jumlah tenaga kerja yang ada dan apakah cukup untuk mencakup seluruh kelompok sasaran. Edward III menekankan bahwa keberadaan tenaga kerja berperan signifikan dalam keberhasilan implementasi, karena tanpa tenaga kerja yang memadai, proses implementasi akan berjalan lambat. Berdasarkan wawancara, jumlah tenaga kerja untuk program kelas ibu hamil di Desa Wonoayu sudah mencukupi, seperti yang diungkapkan oleh Bidan Desa Wonoayu.
“Terdapat fasilitator kelas ibu hamil adalah saya sendiri yaitu sebagai bidan desa atau petugas kesehatan yang telah mendapat pelatihan fasilitator kelas ibu hamil (atau melalui on the job training) dan setelah itu diperbolehkan untuk melaksanakan fasilitasi kelas ibu hamil.”
Berlandaskan informasi dari narasumber, sumber daya manusia guna pelaksanaan program kelas ibu hamil sudah dianggap memadai serta optimal. Selain itu, di pelaksanaan kelas ibu hamil, fasilitator bisa mengundang narasumber guna menyampaikan materi khusus dari bidang tertentu. Narasumber tersebut ialah tenaga kesehatan yang memiliki keahlian khusus yang bisa mendukung program kelas ibu hamil.
X
Table 3
No
Nama
Jabatan
Tugas
1
Dr. Erwin Berthaningrum
Kepala Puskesmas
Bertanggung jawab pelaksanaan serta mengkoordinir pelaksanaan ibu hamil diwilayah kerjanya
2
Roida Ulyah, Amd. Keb
Bidan Desa
Mengidentifikasi calon peserta, koordinasi dengan stakeholder, fasilitasi pertemuan, monitoring, serta pelaporan
3
Mulyati
Kader Desa
Sebagai pembuat undangan, mempersiapkan tempat pelaksanaan program, alat bantu penyuluhan, serta konsumsi
Pelaksana Program Kelas Ibu Hamil

X
Berdasarkan Tabel.3 diketahui bahwa petugas dalam pelaksanaan sudah memiliki tanggung jawab masing-masing. Pelaksanaan kelas ibu hamil telah dilakukan secara rutin di setiap desa dengan bidan desa sebagai fasilitator utama. Ini merupakan langkah positif dalam menggunakan kelas ibu hamil sebagai alat untuk mengatasi stunting. Selama pelaksanaan kelas ibu hamil, seharusnya bidan mendapatkan dukungan dari kader kesehatan desa untuk memastikan kegiatan berlangsung dengan lancar dan efektif. Idealnya, yang membantu bidan adalah kader kelas ibu hamil yang telah dibentuk oleh bidan bersama kepala desa. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa kader posyandu lebih aktif berpartisipasi dalam kegiatan kelas ibu hamil.
Kedua, Edward III mengungkapkan keterbatasan dalam sumber pendanaan/anggaran bisa berdampak signifikan pada efektivitas pelaksanaan kebijakan. Tanpa anggaran yang memadai, kebijakan tidak bisa dilaksanakan secara efektif guna mencapai tujuan yang ditetapkan. Edward III juga menyatakan kekurangan anggaran akan mempengaruhi keberhasilan pelaksana kebijakan, menyebabkan program tidak bisa dijalankan secara optimal serta menurunkan motivasi pelaksana kebijakan[26]. Di Desa Wonoayu, sumber pendanaan berasal dari Anggaran BOK, yang merupakan subsidi pemerintah guna sektor kesehatan. Pernyataan ini didukung oleh informasi dari Bendahara Desa, Bapak Infatakur,
“ Untuk sumber dana dalam program kelas hamil dari BOK kemarin terakhir selama 1 periode yaitu 4 bulan mulai dari bulan Januari sampai bulan April, jadi dari kita pelaksana yang akan mengatur keuangan selama 4 bulan itu dalam kegiatan 1 periode” .
X
Table 4
Uraian
Harga Satuan Tiap Pertemuan
Perhitungan Periode 2020-2024
Transport Bidan Desa
Rp. 25.000
Rp. 100.000
ATK
Rp. 50.000
Rp. 200.000
Konsumsi x 60 peserta
Rp. 47.000
Rp.2.820.000
Sumber Dana Dan Anggaran Program Kelas Ibu Hamil

X
Berdasarkan Tabel. 4 terlihat bahwa rncian kegiatan pertemuan kelas ibu hamil selama 1 periode dibiayai oleh BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) Tahun Anggaran 2024 sebesar RP. 3.120.000. Dalam 1 periode pertemuan kelas ibu hamil selama 4 bulan dengan jumlah peserta ibu hamil terdapat 15 orang per pertemuan.
Ketiga, Edward III mengemukakan bahwa sumber daya peralatan mencakup fasilitas yang diperlukan untuk operasionalisasi kebijakan, seperti gedung, tanah, dan perlengkapan lainnya. Semua elemen ini berperan penting dalam mempermudah pelaksanaan kebijakan dan menyediakan layanan yang diperlukan[27]. Sumber daya fasilitas ini juga mencakup berbagai aspek yang mendukung keberhasilan pelaksanaan kebijakan, yakni ketersediaan fasilitas, kondisi dan kualitas fasilitas, aksebilitas fasilitas, dukungan logistik, serta sumber daya manusia yang memadai. Dengan memperhatikan sub indikator ini, pengelola sumber daya fasilitas dapat dilakukan dengan baik, sehingga mendukung keberhasilan implementasi kebijakan secara keseluruhan. Edwards III menekankan bahwa pentingkan memastikan bahwa sumber daya, termasuk fasilitas, tersedia dan dikelola dengan baik untuk mencapai tujuan kebijakan yang telah ditetapkan[28]. Hasil wawancara yang telah di dapat dari Bidan Desa Wonoayu bahwa,
“sarana prasarana berupa alat tulis menulis seperti buku KIA, lembar balik kelas ibu hamil, buku pedoman pelaksanaan kelas ibu hamil, buku pegangan fasilitator, alat peraga berupa KB kit, food model, boneka, tikar/karpet, pedoman buku senam hamil/CD senam hamil”.
Selanjutnya berdasarkan dari hasil wawancara dan observasi terkait ketersediaan sarana dan prasarana sudah cukup memadai hanya saya penunjang pelaksanaan program dalam fasilitas ruangan kelas ibu hamil kurang luas sehingga untuk kenyamanan masih kurang maksimal.
Keempat, Edward III menekankan guna pelaksanaan suatu perintah, kewenangan harus bersifat formal. Kewenangan mencakup hak dan tanggung jawab pelaksana dalam menerapkan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketersediaan wewenang yang memadai guna membuat keputusan secara mandiri akan memengaruhi efektivitas lembaga di pelaksanaan kebijakan. Kewenangan ini menjadi krusial ketika lembaga menghadapi masalah yang memerlukan keputusan cepat. Berdasarkan wawancara dengan Bidan Desa mengenai pembagian tugas dan kewenangan dalam pelaksanaan program kelas ibu hamil di Desa Wonoayu, dijelaskan,
“Untuk kewenangan dan tanggungjawab dalam program kelas ibu hamil di Desa Wonoayu dikembangkan sesuai fungsi dan peran masing-masing. Dengan adanya tanggungjawab tersebut, maka program kelas ibu hamil akan bisa terlaksana dengan baik”.
X
Table 5
Wewenang
Penanggungjawab
Kepala Puskesmas
Sebagai penanggung jawab dan mengkoordinir pelaksanaan kelas ibu hamil diwilayah kerjanya.
Bidan/Tenaga Kesehatan
Bertanggung jawab dalam pelaksanaan kelas ibu hamil (indentifikasi calon peserta, koordinasi dengan stakeholder, fasilitasi pertemuan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan).
Kader Kelas Ibu Hamil
Sebagai membuat undangan, mempersiapkan tempat pelaksanaan program, alat bantu penyuluhan, dan konsumsi.
Kader Pendamping Ibu Hamil
Bertanggung jawab untuk mendata masyarakat di Desa Wonoayu pada tiap pos masing-masing.
Wewenang di Desa Wonoayu beserta penanggungjawabnya

X
Berdasarkan wawancara beserta Tabel. 5 menunjukkan bahwa yang bertanggung jawab dalam implementasi program kelas ibu hamil adalah Kepala Puskesmas. Tugas Kepala Puskesmas sebagai penanggungjawab untuk menkoordinir dalam implementasi kelas ibu hamil diwilayah kerjanya, yang nantinya akan menunjuk Bidan Desa masing-masing untuk melakukan identifikasi calon peserta, mengkoordinir dengan stakeholder, dan membuat jadwal materi di pelaksanaan kelas ibu hamil tersebut. Temuan riset dari wawancara terkait indikator sumber daya di sub indikator sumber daya manusia di pelaksanaan program kelas ibu hamil sudah dikatakan cukup optimal, selanjutnya pada sub indikator sumber dana/anggaran sudah berjalan dengan baik dan tidak ada kendala dalam sumber pendanaan, kemudian pada sub indikator sumber fasilitasi sarana dan prasaran sudah cukup memadai hanya saja penunjang pelaksanaan program dalam dalam fasilitas ruangan kelas ibu hamil kurang luas sehingga untuk kenyamanan tempat masih kurang maksimal, dan terakhir pada sub indikator kewenangan sudah terlaksana dengan baik dan masing-masing sudah memahami kewenangan dan tanggungjawabnya sehingga dengan adanya kewenangan, maka para pelaksana bisa memiliki kekuatan yang sah dalam melaksanakan kebijakan. Temuan penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Sudarmi pada Tahun 2021, yang berjudul Evaluasi Implementasi Program Kelas Ibu Hamil di Kabupaten Lampung jika Adapun hasil penelitian dari indikator sumberdaya mulai dari sub indikator sumber daya manusia sudah cukup dikatakan optimal. Selanjutnya, dalam pelaksanaan Kelas Ibu Hamil di tingkat Puskesmas, dana yang digunakan berasal dari Dana Operasional Puskesmas (DOP), yang khusus dialokasikan untuk transportasi petugas ke desa-desa. Sementara itu, untuk pelaksanaan Kelas Ibu Hamil di tingkat desa, belum ada dana khusus yang disediakan oleh Puskesmas; biaya kegiatan ini diperoleh dari dana desa dan kontribusi masyarakat. Selain itu, dalam hal sarana dan prasarana, pengamatan menunjukkan bahwa semua ibu hamil telah menerima buku KIA. Alat bantu yang digunakan fasilitator untuk edukasi meliputi lembar balik, namun belum semua desa memiliki paket LB yang lengkap. Prasarana tambahan seperti matras dan tikar juga belum sepenuhnya tersedia di semua lokasi KIH. Adapun kewenangan pelaksana program Kelas Ibu Hamil sesuai dengan standar yang ditetapkan pusat, berpedoman pada buku panduan yang diterbitkan oleh Kemenkes RI pada tahun 2014. Definisi ini sesuai dengan teori yang menunjukkan bahwa implementasi program Kelas Ibu Hamil memberikan hasil yang signifikan, didukung oleh pelaksanaan kebijakan yang terstruktur dan efektif. Hal ini tercermin dalam Renstra Kemenkes RI tahun 2020 dan capaian misi kedua Dinas Kesehatan Lampung Selatan (2020)[29].
C. Disposisi
Disposisi merupakan elemen krusial yang mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan. Sikap dan karakter pelaksana kebijakan sangat berperan dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Karakter yang penting bagi pelaksana kebijakan meliputi kejujuran dan komitmen tinggi. Kejujuran memastikan bahwa pelaksana tetap mengikuti pedoman program, sedangkan komitmen yang kuat mendorong mereka untuk melaksanakan tugas, wewenang, fungsi, dan tanggung jawab dengan penuh semangat dan sesuai dengan peraturan. Disposisi dipengaruhi oleh tiga faktor utama: pemahaman tentang kebijakan, respons terhadap kebijakan, dan tingkat komitmen dalam pelaksanaan kebijakan.
Pertama, Pemahaman yang baik mengenai program atau kebijakan perlu dimilki seluruh pelaksana. Menurut Edward III dalam teorinya tentang implementasi kebijakan publik, pemahaman adalah salah satu faktor kunci yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Pemahaman ini terkait bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan memahami tujuan, proses, dan cara pelaksana kebijakan tersebut. Terkait bagaimana kejelasan tujuan pada kebijakan, pemahaman terhadap tugas dan tanggungjawabnya, pemahaman terhadap prosedur dan mekanisme, mengkoordinasi dan komunikasi, pengetahuan tentang sumber daya. Dengan memahami aspek-aspek tersebut, pihak yang mengimplementasikan kebijakan dapat lebih mudah mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan mengatasi hambatan yang mungkin muncul selama proses implementasi. Pelaksanaan implementasi kebijakan dalam program kelas ibu hamil di Desa Wonoayu terkait kesiapan petugas dalam pengerjaan tugas dan kecekatan petugas sudah cukup baik.
X
Figure 3
Rapat Koordinasi Pelaksana Program KIH

X
Berdasarkan Gambar.3 yang dilakukan telah menunjukkan bahwa pengetahuan dan pemahaman kader mengenai program kelas ibu hamil telah menunjukkan tingkat pengalaman dan keterampilan yang tinggi, karena seluruh kader telah menjalani pelatihan di tingkat kecamatan dan kabupaten, serta memiliki pengalaman yang lama sebagai kader posyandu. Kader di Desa Wonoayu Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo telah memiliki pengalaman dan keahlian yang memadai dalam melaksanakan pelatihan untuk program kelas ibu hamil. Pelatihan ini adalah kegiatan yang diwajibkan untuk diadakan setiap puskesmas serta merupakan kewajiban dari kepala desa guna memberikan kader dengan pengetahuan dan keterampilan dalam menangani masalah stunting di desa tersebut. Hasil pelatihan menunjukkan bahwa kader yang mengikuti program ini berhasil meningkatkan pengetahuan, wawasan, dan kapasitas mereka terkait gizi seimbang dan pencegahan stunting.
Kedua, indikator respon yang memberi dampak efektivitas implementasi kebijakan yaitu sikap positif serta kesediaan pelaksana guna menjalankan kebijakan tersebut. Keberhasilan kebijakan tergantung di apakah pelaksana menunjukkan dukungan penuh serta tidak memiliki perbedaan pendapat yang signifikan yang bisa menghambat pelaksanaan kebijakan[30]. Respon berkaitan dengan bagaimana para pelaksana kebijakan, masyarakat, dan pihak- pihak lain yang terlibat merespon kebijakan yang sedang diimplementasikan. Terkait dengan kepatuhan, kesiapan dan keinginan, adaptasi, feedback dan dukungan, resistensi, interaksi. Apabila respon dalam kebijakan sudah terlaksana maka kita akan bisa menilai bagaimana kebijakan diterima dan dilaksanakan di lapangan, serta memungkinkan pengambil kebijakan untuk melakukan intervensi yang tepat guna meningkatkan keberhasilan implementasi kebijakan. Berdasarkan wawancara yang telah didapat dari Ibu Kader Kelas Ibu Hamil bahwa,
“Para kader yang sudah di berikan materi telah mendapatkan respon/tanggapan yang baik, dan para kader juga sudah cukup memahami dalam pelaksanaan program kelas ibu hamil “.
Berdasarkan wawancara tersebut, respondasi dari para pelaksana sudah cukup baik dan mereka bisa memahami dalan melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing.
Ketiga, selain respon positif, komitmen pelaksana juga merupakan faktor penting dalam pelaksanaan kebijakan yang efektif. Edward III dalam teori implementasi kebijakan publik menyatakan bahwa komitmen pelaksana adalah elemen krusial yang menentukan keberhasilan implementasi, memastikan bahwa kebijakan dilaksanakan selaras dengan hal yang telah ditentukan[31]. Komitmen mengacu pada sejauh mana para pelasana kebijakan, serta pihak- pihak terkait lainnya, memiliki dedikasi dan kemauan menjalankan ketentuan berdasarkan dengan tujuan yang ditentukan. Bagaimana dedikasi pelaksana, motivasi, kepatuhan pada visi dan misi, kemauan untuk mengatasi hambatan, stabilitas dan konsistensi, dukungan dari pimpinan, kolaborasi dan kerjasama. Dengan adanya memperhatikan aspek tersebut, dapat diidentifikasikan sejauh mana pelaksana kebijakan benar-benar berkomitmen terhadap tugas mereka. Ini membantu emastikan bahwa kebijakan dilaksanakan dengan semangat yang tinggi dan dedikasi penuh, yang pada akhirnya meningkatkan peluang keberhasilan implementasi kebijakan tersebut.
X
Figure 4
Skema kegiatan pelaksanaan program kelas ibu hamil.

X
Berdasarkan Gambar. 4 Proses pelaksanaan kegiatan ini melibatkan beberapa tahap, dimulai dengan tahap persiapan yang mencakup survei kelompok sasaran, konfirmasi, koordinasi dengan kepala desa dan bidan desa, serta persiapan sarana dan prasarana. Tahap kedua melibatkan penyuluhan pendidikan kesehatan mengenai materi buku KIA melalui metode ceramah, diskusi, dan sesi tanya jawab dengan menggunakan pedoman buku tersebut. Tahap terakhir adalah monitoring dan evaluasi untuk menilai peningkatan pemahaman ibu hamil tentang buku KIA. Hasil penelitian berdasarkan wawancara terkait indikator disposisi pada program kelas ibu hamil dalam sub indikator pemahaman bahwa pelaksana program sudah cukup baik dalam menguasai materi terbukti bahwa Dinas Kesehatan telah melakukan pelatihan bagi pelatih (TOT) dengan tujuan untuk melatih para fasilitator di tempat pelaksanaan kelas ibu, baik di tingkat Kabupaten, Kecamatan sampai ke Desa. Selanjutnya pada sub indikator respon dalam pelaksana sudah dikatakan cukup baik dan mereka mampu dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Kemudian pada sub indikator komitmen dalam pelaksanaan program kelas ibu hamil sudah konsisten dengan baik melalui tahapan-tahapan yang sesuai pedoman yang ada. Temuan penelitian ini sesuai dengan peneliti terdahulu oleh Yekti Satriyandari dan Belian Anugrah Estri pada Tahun 2024 yang berjudul IBM Pendampingan Kelas Ibu Hamil Untuk Meningkatkan Kesehatan Ibu Dan Janin. Adapun hasil penelitian dari indikator disposisi menunjukkan bahwa kedudukan pada program stunting memiliki elemen positif pada masyarakat untuk melakukan hal yang lebih bijak lagi. Semakin tinggi nilai disposisi yang didapatkan maka dapat mempengaruhi dalam penurunan pada stunting. Hasil ini konsisten dengan teori yang menekankan bahwa disposisi merupakan faktor penting yang memengaruhi implementasi program kelas ibu hamil. Disposisi, termasuk pengetahuan dan keterampilan, berperan dalam meningkatkan kesadaran dan motivasi kader untuk memberikan pendampingan dalam kelas ibu hamil. Terdapat hubungan yang jelas antara motivasi dan kinerja kader dalam program peran PKK di bidang kesehatan. Pemahaman yang mendalam mengenai manfaat pendampingan oleh kader PKK, serta motivasi yang tinggi, berkontribusi pada tingkat kehadiran kader yang mencapai 100% selama enam pertemuan kegiatan pengabdian masyarakat[7].
D. Struktur Birokrasi
Menurut teori implementasi kebijakan oleh Edward III, variabel terakhir adalah struktur birokrasi. Struktur birokrasi memiliki peran krusial dalam pelaksanaan kebijakan secara menyeluruh dan tidak hanya terbatas pada instansi pemerintah, tetapi juga berlaku pada organisasi swasta. Meskipun sumber daya untuk pelaksanaan kebijakan mungkin tersedia dan pelaksana kebijakan mengetahui serta berniat untuk melaksanakannya, kebijakan tersebut bisa gagal dilaksanakan akibat kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang kompleks memerlukan kerjasama yang baik dari berbagai pihak; jika struktur birokrasi tidak mendukung, sumber daya akan menjadi tidak efektif dan menghambat pelaksanaan kebijakan. Oleh karena itu, memahami struktur birokrasi adalah elemen penting dalam mempelajari implementasi kebijakan publik, dengan dua ciri utama yaitu fragmentasi dan prosedur operasional standar (SOP).
Pertama, fragmentasi atau pembagian tanggung jawab dalam pelaksanaan program atau kebijakan sangat penting untuk memastikan spesifikasi pelaksanaannya. Fragmentasi ini, atau distribusi tanggung jawab dalam organisasi, dirancang agar tugas-tugas dapat ditangani dengan lebih fokus[32]. Menurut teori Edward III, fragmentasi bertujuan untuk mendistribusikan tanggung jawab kegiatan atau tugas pegawai ke berbagai unit kerja. Ini bertujuan untuk mengurangi dampak tekanan eksternal terhadap kebijakan dan meningkatkan efektivitas koordinasi dalam pelaksanaannya. Tanpa koordinasi yang baik, pencapaian tujuan kebijakan seringkali terhambat jika pelaksanaan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
X
Table 6
Prosedur
1. Tahap Persiapan

A. Petugas melakukan identifikasi atau mendata semua ibu hamilyang ada di wilayah kerja kemudian menentukan peserta yang akan mengikuti kelas ibu hamil B. Petugas mempersiapkan tempat dan sarana C. Petugas mempersiapkan materi, alat bantu, penyuluhan dan jadwal pelaksanaan D. Petugas mengundang ibu hamil yang telah ditentukan sebagai peserta dengan umur kehamilan antara 20mgg sampai 32mgg E. Petugas mempersiapkan tim pelaksana kelas ibu hamil sebagai fasilitator dan narasumber F. Membuat rencana pelaksanaan kegiatan G. Akhir pertemuan dilakukan senam ibu hamil sebagai kegiatan extra H. Menentukan waktu pertemuan yang ditentukan kesiapan peserta

1. Tahap Pelaksanaan

A. Penjelasan umum ibu hamil dan pengenalan peserta sebelum pertemuan pertama dilakukan pretes Penyampaian materi
Prosedur Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil

X
Berdasarkan tabel. 6 dalam struktur birokrasi dalam program kelas ibu hamil memberikan gambaran tentang prosedur pelaksana kebijakan dalam menjalankan pelaksanaan programnya, dan kelas ibu hamil adalah sesi edukasi untuk ibu hamil usia 20-32 minggu yang membahas kesehatan ibu dan bayi secara menyeluruh. Kelas ini berlangsung rutin dan berkelanjutan, mencakup topik seperti tanda kehamilan, persiapan persalinan, dan perawatan bayi. Berdasarkan wawancara dengan Bidan Desa, program ini dilaksanakan di Desa Wonoayu, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo,
“Dalam pelaksanaan program kelas ibu hamil sudah ada prosedur dan tahap pelaksanaan yang sesuai dengan program kelas ibu hamil yang mana pelaksanaan sudah terstuktur dengan baik”.
Berdasarkan wawancara tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan tugas program kelas ibu hamil sudah optimal dan tidak terjadi tumpang tindih pelaksanaan implementasi dikarenakan struktur petugas sudah diatur dengan baik.
Kedua, SOP sangat penting dalam pelaksanaan kebijakan karena berfungsi sebagai panduan untuk tugas dan fungsi yang harus dilaksanakan. SOP merupakan komponen krusial dalam implementasi kebijakan karena memberikan pedoman yang jelas untuk melaksanakan aktivitas dengan konsistensi. Menurut teori implementasi oleh Edward III, SOP adalah serangkaian kegiatan rutin yang memfasilitasi pegawai atau pelaksana kebijakan dalam menjalankan tugas sehari-hari sesuai dengan standar yang ditetapkan, yang merupakan syarat minimal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan wawancara dengan Bidan Desa, disebutkan,
“Dalam pelaksanaan kebijakan kelas ibu hamil di Desa Wonoayu juga terdapat SOP (Standart Operational Prosedure) yang sudah berjalan dengan baik dan di jadikan sebagai pedoman“.
Dengan demikian, pelaksanaan program kelas ibu hamil menunjukkan bahwa struktur birokrasi yang ada sudah terbentuk dengan baik, berkat adanya SKPD yang memiliki kewenangan dalam pelaksanaan kebijakan ini. Hasil wawancara dalam penelitian menunjukkan bahwa indikator struktur birokrasi pada program ini sudah optimal, karena terdapat pembagian tugas yang jelas yang mencegah tumpang tindih dalam pelaksanaan. Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Liza Nurva dan Chatila Maharani pada tahun 2023 mengenai analisis kebijakan penanggulangan stunting di Kabupaten Brebes. Penelitian tersebut mencatat bahwa dalam aspek struktur birokrasi, berbagai program telah terlaksana dengan adanya SOP yang mengatur pelaksanaan. Temuan ini mendukung teori yang menyatakan bahwa struktur birokrasi berperan krusial dalam keberhasilan implementasi kebijakan, terkait dengan peran pemerintah dalam pelaksanaannya[14].

Simpulan

Sesuai dengan hasil penelitian terkait implementasi program kelas ibu hamil dalam penanggulangan stunting di Desa Wonoayu Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo ditinjau dari 4 aspek dapat ditarik kesimpulan bahwa pertama, indikator pada komunikasi belum cukup optimal. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya kesadaran para ibu hamil terkait pentingnya program kelas ibu hamil dalam penanggulangan stunting di Desa Wonoayu Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo. Kedua aspek sumber daya sudah cukup optimal hal ini dibuktikan dengan berbagai aspek sumber daya baik itu sumber daya manusia , sumber pendanaan atau anggaran , sumber daya peralatan dan kewenangan sudah struktur , memadai , terkelola dan terlaksana dengan baik. Ketiga aspek disposisi , sudah cukup optimal hal ini dibuktikan dengan bahwa dinas kesehatan telah melakukan pelatihan (TOT)dengan tujuan untuk melatih fasilitator ditempat pelaksanaan program kelas ibu hamil dari tingkat kabuten hingga desa selain itu respon yang diberikan dalam pelaksanaan juga sudah cukup baik , dimana para ibu hamil sudah melaksanakan tugas , tanggung jawab dan kotmitmen masing - masing. Keempat aspek struktur birokrasi sudah cukup optimal hal ini dibuktikan dengan adanya SKPD yang birokrasinya sudah terstruktur dengan baik selain itu dapat pembagian kerja dalam pelaksanaan dan implementasinya sehingga tidak terjadi tumpang tindih